Monday, October 5, 2020

Delayed Obedience


by Leticia Seviraneta

Pada pelayanannya di bumi, Yesus menunjuk 12 orang untuk menjadi murid-Nya dengan sebuah ajakan, “Mari, ikutlah Aku...” (Mat 4:19). Dalam versi terjemahan Bahasa Inggris, ayat yang sama berbunyi, “Come, follow me…” Sejak itu, mereka yang dipanggil oleh Yesus meninggalkan pekerjaan dan keluarganya lalu mengikuti-Nya (Mat 4:22). Pada zaman itu, belum ada istilah “Kristen”. Orang-orang yang mengikuti Yesus, dikenal dengan sebutan para pengikut Kristus (Christ’s followers) atau para murid (Christ’s disciples). Seorang murid akan mengikuti guru (rabbi) mereka ke mana pun ia pergi, menirukan cara hidupnya, cara bicaranya, bahkan sampai ke cara ia makan. Pada intinya, tujuan hidup seorang murid adalah menjadi sama atau serupa dengan gurunya. Mereka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk itu.

Seiring dengan bertambahnya popularitas Yesus melalui mujizat-mujizat yang Ia kerjakan, banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pengikut-Nya, termasuk seorang ahli Taurat. Ahli Taurat merupakan orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajarkan hukum Taurat kepada orang Ibrani. 

Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka."
Matius 8:19-22 [TB]

Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."
Luk 9:60-62

Mujizat-mujizat yang Yesus kerjakan dapat memberikan gambaran yang megah akan sebuah pelayanan. Orang banyak ingin mengikuti-Nya karena salah mengira bahwa pelayanan adalah kehidupan yang menyenangkan, selalu di atas tidak pernah di bawah, memberikan dampak, dan dikagumi banyak orang. Namun Yesus dengan mudah dapat menyaring orang-orang yang siap mengikuti-Nya tidak hanya di masa suka saja, melainkan di masa duka. Karena pelayanan yang Ia kerjakan sesungguhnya jauh dari gambaran kenyamanan tersebut. Ia membandingkan diri-Nya dengan serigala maupun burung yang memiliki rumah, namun Ia tidak memiliki-Nya. Pelayanan yang dikerjakan memiliki harga yang besar, yaitu nyawa-Nya. Para pengikut-Nya (seorang murid yang memiliki tujuan hidup untuk menjadi serupa dengan-Nya) juga tidak lepas dari gambaran hidup yang demikian: menunjukkan kasih dengan pengorbanan untuk kemuliaan Allah.

Lalu ada seorang murid yang lain yang berkata ingin mengikuti-Nya, namun meminta izin untuk pergi dahulu menguburkan ayahnya (Mat 8:21). Respon Yesus terhadapnya seolah-olah tidak mengindahkan keluarganya. Namun sebenarnya ketika murid tersebut sedang berkata demikian, ayahnya belum meninggal. Dengan alasan pergi dahulu menguburkan ayahnya, sesungguhnya ia menyatakan ingin berada di rumah ayahnya dan menemaninya terus sampai ia meninggal. Ini berarti merupakan sebuah periode waktu yang tidak jelas kapan ia akan mulai mengikuti Yesus. Bila ayahnya berumur panjang, maka ia jelas untuk waktu yang lama tidak pergi mengikuti Yesus. Dengan kata lain, ia menunda untuk mengikuti Yesus.

Mari kita bandingkan dengan respon murid Yesus yang lain kembali di Matius 4:19-22.

Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes ketika diajak oleh Yesus untuk mengikuti-Nya, mereka dengan segera meninggalkan jalanya, ayahnya, dan mengikuti-Nya. Bagi para nelayan, jala adalah alat yang digunakan sehari-hari dalam mata pencaharian mereka. Jadi, meninggalkan jala serta ayah mereka (untuk Yakobus dan Yohanes) berarti mereka bersedia meninggalkan seluruh kehidupan lama, zona nyaman (comfort zone), keadaan yang mereka kenal betul (familiar). Itulah mengapa Yesus berkata, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9:62). Seseorang tidak dapat benar-benar menaati Tuhan dan tujuan-Nya bila ia tidak mau meninggalkan kehidupan lamanya. Ini merupakan sebuah ketaatan yang radikal karena benar-benar mengubah kehidupan mereka 180 derajat. Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes tidak tahu ke mana Yesus akan membawa mereka, namun mereka percaya kepada pribadi Yesus sebagai figur yang layak untuk mereka ikuti menjadi teladan.

Bila kita bandingkan sikap para murid di Mat 4:19-22 dengan Mat 8:19:22, Luk 9:57-62; jelas betapa kontras sikap antara murid sejati dengan murid yang hanya menginginkan kenyamanan saja. Sebuah ketaatan yang ditunda adalah bentuk ketidaktaatan. Bila kita tahu apa yang benar dan harus kita lakukan saat ini, namun dengan berbagai alasan tidak melakukannya, maka sama saja kita sedang tidak taat. Kita lebih memilih berbagai alasan dibandingkan dengan perintah Tuhan. Bila kita tahu kehendak Allah untuk mengampuni seseorang yang menyakiti kita, namun kita berargumentasi dengan mengatakan betapa orang tersebut telah menyakiti kita dan memutuskan untuk tetap memendam rasa pahit terhadap orang tersebut, maka itu berarti kita sedang tidak taat kepada-Nya. Kita lebih memilih untuk menyimpan rasa pahit daripada mengampuninya. 

Yesus menunjukkan harga yang harus dibayar oleh para pengikut-Nya secara gamblang di muka. Perjalanan menjadi serupa dengan-Nya akan membuat kita harus meninggalkan kebiasaan dosa kita, segala bentuk keterikatan, sumber keamanan kita, dan mengajar kita untuk percaya, taat, dan bergantung sepenuhnya hanya kepada Kristus. Hanya dengan proses ini seorang murid dapat berhasil mencapai tujuan akhir-Nya yaitu menjadi serupa dengan Sang Guru. Buah dari semua harga yang perlu dibayar untuk mengikuti Yesus tersebut manis, yaitu hubungan pribadi dengan Kristus yang sanggup memenuhi segala dahaga dalam jiwa kita, kehidupan kekal melalui pengenalan akan Kristus (Yoh 17:3), dan upah di sorga nantinya (Mat 5:11-12).

Tahun lalu, saya membatalkan pernikahan dan memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama 7 tahun dengan mantan kekasih. Bila ada yang bertanya mengapa, saya hanya menjawab sekilas dengan harapan semua orang dapat maklum tanpa bertanya lebih jauh lagi, yaitu berkaitan dengan restu orang tua. Namun kepada orang yang saya kenal dekat, saya dapat lebih terbuka bahwa sebenarnya ini adalah bentuk ketaatan karena Tuhan berkata dengan jelas bahwa partner saya waktu itu sudah tidak lagi sevisi dan hubungan pribadinya dengan Kristus sudah menurun jauh. Akan sulit ke depannya untuk mewujudkan panggilan Tuhan atas hidup saya, bila saya tetap memaksakan untuk menikah dengannya. 

Saya mendengar Tuhan berkata, “Put it down in the altar...” “Pesta pernikahan impian, gaun impian, pasangan yang selama ini kamu yakini akan kamu nikahi dan bahagia selamanya, letakkan itu semua di altar.” Partner saya saat itu merupakan orang yang sangat baik dari segala aspek, cinta pertama, pacar pertama, setia, dan sangat mengasihi saya. Benar-benar seseorang yang berharga bagi saya untuk “dikorbankan di atas altar.” Meskipun berat, saya memutuskan untuk percaya kepada-Nya serta kepentingan misi-Nya lebih dari perasaan saya. Itu merupakan masa yang sulit, namun saya tidak pernah menyesalinya. Itu merupakan keputusan yang benar, sebuah ketaatan, meskipun ada harga yang harus dibayar. Hal ini dikarenakan hubungan dengan Kristus bagi saya bukan hanya sekedar bumbu dalam Kekristenan, itu merupakan segalanya, pusat dari kehidupan kita. Tanpa-Nya, seorang yang baik dapat tergelincir menjadi tidak baik suatu saat nanti. Tanpa terhubung dengan Kristus secara terus menerus, kita tidak dapat mencapai tujuan hidup yang telah Ia rancangkan bagi kita. 

Ketaatan kepada kehendak-Nya menunjukkan kita menaruh nilai bahwa kehendak-Nya lebih utama dari hal lain yang berharga dalam hidup kita. Ketaatan itu ditunjukkan dengan segera melakukan yang kita sadar betul benar dan sejalan dengan kehendak-Nya. Menunda ketaatan sama saja dengan ketidaktaatan dan ke depannya harga yang kita bayar sangat mungkin jauh lebih mahal lagi. Bila saya memaksakan untuk tetap menikah dengan menerabas restu orang tua saat itu, saya sangat mungkin akan masuk dalam pernikahan yang sulit seumur hidup ke depannya. Harga yang kita bayar untuk mengikuti Yesus, seberapa pun mahalnya, tetap tidak lebih mahal dari harga untuk sebuah ketidaktaatan. Saya percaya Tuhan Yesus yang kita sembah itu adalah Tuhan yang baik, seorang Bapa yang rindu memberikan yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

“Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Matius 7:9-11 [TB]

Segala perintah-Nya itu untuk kebaikan dan melindungi kita dari konsekuensi yang lebih buruk. Percayalah kepada kebaikan-Nya dan mulailah untuk taat dari hal terkecil sekalipun yang kita ketahui Ia ingin kita lakukan saat ini. Bukalah telinga kita untuk mendengar, jangan lagi memberi alasan-alasan, atau menunda mentaati-Nya. Karena saya percaya buah dari ketaatan kita hari ini akan sangat manis ke depannya. Tuhan memberkati!

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^