Monday, March 1, 2021

Wanita Ideal versi Alkitab




by Yunie Sutanto

Ada seorang remaja bermimpi menjadi gadis sampul. Setelah mencari tahu syaratnya, ia urungkan niat itu. Ia cukup sadar diri untuk tak meneruskan mimpi tersebut. Mau tahu apa saja syaratnya? Daftar ini diambil dari majalah langganannya:

● Wanita, WNI, berusia 18-25 tahun
● Pendidikan minimal lulus SMA
● Fotogenik
● Memiliki kulit mulus, gigi rapi, dan rambut sehat
● Bertubuh bugar dan proporsional
● Tinggi minimum 165 cm
● Cerdas dan berkepribadian menarik

Sayangnya tidak semua persyaratan tersebut bisa terpenuhi. Hanya gadis dengan atribut fisik ideal yang bisa ikutan. Kepribadiannya pun harus menarik. Padahal si gadis itu bukanlah wanita yang mudah bergaya bebas untuk dipotret, wajahnya berjerawat di sana-sini, bahkan kecerdasannya mungkin tidak seideal yang diharapkan. Dengan kriteria-kriteria tersebut, si gadis merasa bahwa dirinya jelas tak masuk hitungan.

Singkat cerita, masa ababilnya telah berlalu. Ketika dirinya mulai menjalani peran sebagai istri dan ibu, si gadis yang menjadi dewasa itu merenungkan Amsal 31:10-31 yang merupakan sebuah puisi akrostik berisi puji- pujian untuk wanita yang saleh:

● Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. 
● Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. 
● Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. 
● Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. 
● Ia serupa kapal-kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya. 
● Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan. 
● Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya. 
● Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya. 
● Ia tahu bahwa pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam. 
● Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal. 
● Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin. 
● Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya, karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap. 
● Ia membuat bagi dirinya permadani, lenan halus dan kain ungu pakaiannya. 
● Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri. 
● Ia membuat pakaian dari lenan, dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang. 
● Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan. 
● Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. 
● Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya. 
● Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: 
● Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. 
● Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji. 
● Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang! 

Perikop mengenai wanita yang tertuang dalam Alkitab itu membuat serangkaian pertanyaan memberondong pikiran si gadis:

1. Apakah Amsal 31 merupakan serangkaian checklist untuk menjadi wanita saleh? 

Jika untuk menjadi wanita saleh harus melakoni semua checklist di atas, tidak semua orang sanggup, dong! Sangat langka—bahkan nihil—orang-orang yang bisa melakoninya dengan sempurna. Namun kabar baiknya, Tuhan Yesus tahu kesanggupan kita. Dia melihat kedalaman hati kita melebihi yang tampak di luaran. Well, terlihat saleh dan sungguh-sungguh saleh itu dua hal yang berbeda, kan?

Sebagai contoh, Marta yang sibuk bekerja dengan tangannya mungkin terlihat sebagai pribadi yang lebih bertanggung jawab daripada Maria yang duduk santai di kaki-Nya. Marta lebih mirip figur wanita saleh Amsal 31 yang produktif di dapur, bahkan bisa dikatakan si nyonya rumah serba bisa! Sebaliknya, Maria bisa dianggap wanita malas, tidak peka dan cuek. Bukannya membantu Marta menjamu para tamu dengan menghidangkan makanan dan sebagainya, Maria justru memilih duduk bersama Tuhan Yesus. Padahal Dia juga datang bersama dengan (setidaknya) para murid-Nya. Tentu menyediakan hidangan dan melayani mereka bukanlah perkara yang bisa dilakukan dengan cepat oleh satu orang saja. Mungkin itulah yang membuat Marta kesal dan meminta Tuhan Yesus “membela” dirinya yang sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi-Nya dan tamu-tamu lainnya. Uniknya, respon-Nya dalam Lukas 10:40-42 (TB) ternyata tidak menyalahkan Maria: 

... sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Hati orang yang fokusnya berpusat pada Kristus tidak merasa pusing dengan citra dirinya. Apapun kata orang tentang dirinya, ia merasa aman dan memprioritaskan apa yang terutama. Satu-satunya yang dirindukan hatinya hanya kemelekatan dan keserupaan kepada Kristus saja; bukan seberapa hebat dirinya di mata dunia yang jadi fokus utamanya, tetapi seberapa dirinya bisa memuliakan Allah lewat segenap tindakannya. Setiap tindakan apapun yang hanya sebatas ritual demi memenuhi checklist semata tentu kehilangan esensi spiritualnya. Nah, mungkin Maria tidak terlihat sesaleh Marta dari tampak luar, tetapi Tuhan Yesus mengetahui kedalaman hatinya, motivasinya dalam menjamu diri-Nya dengan cara yang berbeda. Jika mengaitkannya dengan tindakan Maria, Amsal 31 adalah buah kehidupan yang nampak secara otomatis saat seorang wanita tenggelam dalam rencana Allah, sebuah gambaran wanita yang memiliki rasa takut akan Allah dan menyatakannya secara konkret. Saat hati kita tenggelam dalam rencana illahi, dengan sendirinya kualitas-kualitas di checklist Amsal 31 akan bermunculan dalam diri, bukan hasil kekuatan diri sendiri agar nampak saleh. Tentunya hal itu hanya bisa terjadi jika kita sungguh-sungguh menyadari ada buah pertobatan yang digerakkan oleh Roh Kudus, karena tanpa pertolongan-Nya kita yang berdosa ini tidak akan bisa menangkap kerinduan Tuhan dan taat pada-Nya.

Menjadi wanita yang takut akan Tuhan itu bukan soal tampilan luar semata, melainkan pada kerelaan untuk memiliki teachable heart terhadap diri-Nya dan mendasarinya dalam semua aspek kehidupan kita.


2. Apakah nasihat di dalam Amsal 31 ini masih relevan untuk generasi ini?

Pearlians, sebagai wanita yang terlahir dalam generasi X, generasi Y (generasi milenial) dan generasi Z, kita kian hari semakin akrab dengan dunia maya. Banyak hal yang bisa diraih wanita zaman now ini—yang pada era Perjanjian Lama itu mustahil dilakukan. Salah satunya adalah dengan adanya kesetaraan gender yang membuka banyak pintu kesempatan untuk wanita; kita hidup di “zaman anugerah” bagi kaum hawa!

Jika demikian, apakah pesan Tuhan dalam Amsal 31 masih relevan berbicara kepada wanita-wanita di generasi kita? Tentu! Pesan yang terkandung di dalamnya melintas zaman dan ruang!

Sebagai wanita yang takut akan Tuhan, kita senantiasa rindu memuliakan-Nya, seperti ungkapan hati Daud dalam Mazmur 145:3-4 (TB) ini:

Besarlah TUHAN dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga. Angkatan demi angkatan akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu.

Angkatan demi angkatan akan memuliakan Tuhan, generasi demi generasi yang mengenal Allahnya memiliki kerinduan yang sama: memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya (Shorter Westminster Catechism). Lewat kehidupan kita sebagai wanita yang maksimal dalam Kristus, terang-Nya dinyatakan! See? Meskipun zaman telah berubah drastis, namun sebagai wanita generasi X (termasuk baby boomers), generasi Y, dan generasi Z, kita bisa tetap berkaca pada wanita Amsal 31 ini dan tetap memuliakan Allah melalui konteks apapun yang Dia percayakan bagi kita.


3. Sebetulnya apa sih, tujuan Allah menciptakan wanita?

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Kejadian 1:27 (TB)

Tahukah Pearlians alasan di balik penciptaan Hawa setelah Adam? Salah satu alasannya karena Allah ingin Adam memiliki kesadaran bahwa dia tidak bisa hidup seorang diri. Meskipun pemberian nama yang Adam lakukan menyimbolkan kekuasaannya, namun sebenarnya Allah ingin agar Adam menjadikan Hawa sebagai rekan sekerjanya dalam kasih karunia Allah. Itulah sebabnya kita sering mendengar pernyataan bahwa pria dan wanita (seharusnya) saling melengkapi satu sama lain. Sayangnya, kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat sistem yang telah dipandang Allah dengan sangat baik itu jadi rusak. Akibatnya, wanita diperlakukan semena-mena dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. So ironic, but grace unites us again by Christ alone!

Nah, ketika wanita berfungsi sesuai rencana Allah, terang Tuhan dinyatakan lewat kehidupannya, dan itulah the great calling yang seharusnya juga kita responi—baik melalui studi, pekerjaan, pelayanan, pernikahan, maupun parenting yang kita terapkan. Oleh karena itu, biarlah kita bisa menjalani panggilan dengan maksimal dalam setiap fase kehidupan: sebagai wanita single, maupun sebagai istri dan ibu yang memuliakan Tuhan! Stop comparing our unique calling with others. Berlomba-lombalah berbuat baik di dalam Kristus dan selesaikanlah pertandingan iman kita sampai garis akhir! Who knows panggilan kita yang berbeda-beda ini bisa saling melengkapi dan menguatkan karena Allah menghendakinya demikian.

Kiranya kata-kata berikut menyambut kita saat menyelesaikan pertandingan iman ini:

“Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang!”
Amsal 31:31

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^