Monday, March 8, 2021

Nyaman




by Ika Hambali 

Bagi kita, para wanita, kita pasti tahu bagaimana rasanya menjadi wanita. Kita suka dipuji, kita suka disayang, senang kumpul-kumpul dan ngobrol dari hati ke hati. Kita suka menerima kado dan memberi kado, rasanya bahagia kalau bisa membuat orang lain juga senang. Kita suka bikin arisan, mungkin tujuan utamanya bukan uangnya, tapi kumpul-kumpul, makan bersama, tertawa dan berbagi cerita. Bahkan, sekarang pun banyak perkumpulan ibu-ibu menyusui, perkumpulan ibu-ibu sekolah tertentu, ibu-ibu homeschooling, klub masak, klub sepeda wanita, atau apa saja yang bisa menjadi alasan untuk membuat suatu perkumpulan dengan para wanita sebagai anggotanya. 

Seorang penyiar radio di Amerika pernah membuat laporan, bahwa di hari dia dimana membawakan topik tentang masalah makro; politik, ekonomi, keuangan, maka mayoritas penelpon adalah pria. Sedangkan, di hari dimana dia membawakan topik tentang hubungan manusia, seperti topik tentang cinta, anak, atau parenting, maka mayoritas penelpon adalah wanita.

Jelas sekali jika kita, wanita, adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang sangat peduli dengan relasi atau hubungan antar manusia. Rasanya mudah untuk sesama wanita menemukan kesamaan dan saling membantu. Saya sejujurnya, selalu terganggu bila ada masalah kecil, apalagi besar, dengan keluarga atau teman. Rasanya itu mengambil hampir semua porsi perhatian saya di hari itu. Ingin cepat membereskan dan cepat baik-baik saja, rasanya gundah kalau ada hubungan yang bermasalah. Karena hubungan itu penting buat saya. 

Tetapi tanpa sadar, hal ini juga yang kadang saya jadikan acuan untuk kebahagiaan saya. Apa kata orang, apa kata dia, apa kata mertua, apa yang dia pikirkan, dan apa yang terjadi kalau saya lakukan ini dan itu. Tanpa sadar, saya menjadikan orang lain sebagai tolak ukur rasa puas dan kebahagiaan saya. Dan ternyata hal ini juga membuat saya jadi tidak berani membuat keputusan karena takut dengan apa kata orang, atau dengan pemikiran orang lain. Kemudian berlanjut ke kepercayaan diri saya yang dipengaruhi dengan perkataan orang, misalnya bertemu dengan kerabat yang lama tidak bertemu lalu kalimat pertamanya adalah, “Eh gemukan ya.” Secuek apapun seorang wanita, pasti ada rasa di hati saat hal itu dilontarkan. Belum lagi kalau komentarnya soal anak, dan dilontarkan oleh orang yang dekat. Sampai di satu titik saya lelah dengan semua ini, dan menutup diri dari semua relasi atau hubungan dekat. Karena tidak nyaman, tidak mau disakiti, dan tidak mau menyakiti. 
“To love at all is to be vulnerable. Love anything, and your heart will certainly be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact, you must give your heart to no one, not even to an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements; lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket – safe, dark, motionless, airless – it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable … The only place outside Heaven where you can be perfectly safe from all the dangers … of love is Hell.” 
(C. S. Lewis – the Four Love)
Lalu, saat saya menutup semua pintu dan diri dari semuanya, keadaan tidak bertambah baik, tidak lantas tambah bahagia, tapi sepi sendiri, kaku seperti kanebo kering, dan mudah patah. Tuhan mengetuk pelan pintu hati saya, untuk membuka diri untuk diriNya, dan saya jawab ya. Berusaha bangun pagi untuk membaca Alkitab dan berdoa, perjuangan yang tidak mudah. Tapi saya menikmatinya, dan terbawa dalam perjalanan romantis dengan Tuhan, hal-hal yang diungkapkanNya melalui FirmanNya dan keseharian yang sederhana benar-benar memukau diriku. Pada saat yang sama, ternyata hati ini pun jadi lebih mudah terbuka dan menerima orang lain yang memiliki banyak salah, mudah untuk memaafkan, mudah untuk mengerti alasan orang lain melakukan hal yang menyebalkan. Tanpa sadar Tuhan membuat kapasitas hati saya menjadi besar untuk menampung banyak hal-hal yang mungkin dulu tidak bisa saya toleransi. 

Masih wanita yang sama, wanita yang menghargai hubungan, dan peduli dengan orang lain, yang juga masih sensitif, dan takut disakiti, tapi sekarang dengan hati yang berbeda. Perubahan yang terjadi adalah hati ini telah diisi oleh kasihNya terlebih dahulu, sebelum diberikan pada orang lain. Ternyata, Tuhan peduli dengan hubungan manusia, karena Dia yang menciptakan wanita sesuai gambaranNya. Artinya Tuhan juga sebenarnya rindu untuk mempunyai kedekatan dengan kita, sama seperti wanita mau disayang dan dikejar, demikian juga Tuhan. Dan saat saya berusaha meletakkan hubungan dengan Tuhan di atas segalanya, ternyata cara pandang saya dan reaksi saya dalam banyak hal bisa berubah. As if everything falls into its perfect place. 

“For a woman to enjoy relationship, she must repent of her need to control and her insistence that people fill her. Fallen Eve demands that people ‘come through’ for her. Redeemed Eve is being met in the depths of her soul by Christ and is free to offer to others, free to desire, and willing to be disappointed. Fallen Eve has been wounded by others and withdraws in order to protect herself from further harm. Redeemed Eve Knows that she has something of value to offer; that she is made for relationship. Therefore, being safe and secure in her relationship with her Lord, she can risk being vulnerable with others and offer her true self.”
(Stasi Eldredge – Captivating)
Masih wanita yang sama, tapi sekarang saya merasa nyaman menjadi diri sendiri, nyaman untuk berekspresi, nyaman untuk membuka dirinya dan memberikan apa yang bisa diberikan untuk orang lain. Karena rasa nyaman itu ditemukan dari penciptaNya. Wanita yang ber-partner dengan Tuhan akan membawa kehidupan dimana pun dia berada. 

“I’ve loved you the way my Father has loved me. Make yourselves at home in my love. If you keep my commands, you’ll remain intimately at home in my love. That’s what I’ve done—kept my Father’s commands and made myself at home in his love.” 
John 15:9-10 MSG

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^