by Glory Ekasari
Wanita pertama adalah seorang wanita yang sudah berumur, dikenal saleh dan merupakan istri dari seorang imam. Dia tipe wanita yang akan kita datangi kalau kita perlu nasehat. Tetapi sayangnya, orang yang begitu setia dalam imannya kepada Allah, malah tidak dikaruniai keturunan. Padahal di masa itu, kemandulan adalah aib besar yang hanya terjadi atas orang-orang yang dianggap berdosa. Mengapa orang yang begitu saleh malah mengalaminya? Di mana keadilan Allah?
Bagaimana dengan wanita kedua? Ternyata dia adalah seorang wanita yang masih muda. Tidak banyak yang kita ketahui tentang dia. Kemungkinan besar usianya masih remaja belasan tahun. Yang jelas, dia sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah dengan seorang pria baik-baik. Tetapi mereka belum hidup sebagai suami istri, sehingga gadis ini masih perawan. Ironisnya, dia justru mengandung di luar nikah, bahkan bukan dengan calon suaminya! Bahkan dia mengandung dari sosok yang disebut Roh Kudus. How come!
Begitulah kisah yang tertera pada Lukas 1:1-38. Menariknya, apa yang dicatat setelah itu (tepatnya pada ayat 39-56 dari pasal yang sama) menjadi titik temu bagi kedua wanita yang berada dalam fase yang berbeda dalam kehidupan mereka ini. Di dalamnya memang tidak dikisahkan apakah mereka malah jadi curhat masalah masing-masing, atau untuk mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, penulis Injil ini menceritakan bahwa ketika kedua wanita tersebut bertemu, yang jadi fokus mereka bukanlah diri mereka, namun pekerjaan Allah yang besar!
Wanita Pertama: ELISABET
Kita bisa membayangkan pedihnya hati Elisabet. Dia sudah berdoa selama bertahun-tahun, meminta keturunan kepada Tuhan, dan akhirnya dia pasrah serta menerima kenyataan bahwa Tuhan memang tidak mengaruniainya anak. Tetapi itu sudut pandang Elisabet sebagai manusia. Dia tidak tahu bahwa Allah memiliki rencana atasnya, rencana yang bahkan tidak terpikirkan olehnya. Bagi pasangan menikah, punya anak itu hal biasa. Tapi ketika Tuhan membuat mereka menunggu lama, lalu mengaruniakan anak bagi mereka, orang-orang di sekitar mereka segera menyadari bahwa anak itu istimewa; ditambah lagi kelahirannya dinubuatkan oleh malaikat Allah secara langsung.
Bangsa Israel menyadari bahwa pemimpin mereka yang sesungguhnya bukanlah imam, atau bangsa Romawi yang menjajah mereka, melainkan Allah sendiri. Pada saat itu, mereka merindukan masa-masa ketika banyak nabi datang dan berbicara atas nama Allah, ketika para nabi mendapat penglihatan dari Allah, dan ketika Allah berbicara kepada mereka. Bangsa Israel sudah menantikan itu selama empat ratus tahun, tanpa satu katapun keluar dari mulut Allah bagi mereka. Selain itu, mereka sedang menanti-nantikan penggenapan nubuat para nabi mengenai Raja Israel yang akan datang, keturunan Daud yang akan memimpin mereka, yaitu Sang Mesias.
Karena itu, ketika imam Zakharia mendapat penglihatan berupa malaikat Gabriel yang menyampaikan pesan bahwa ia akan punya anak, dan ketika Elisabet—istrinya—benar-benar mengandung di usia tuanya, sadarlah mereka bahwa Allah kembali berbicara kepada umat-Nya! Kelahiran Yohanes–yang namanya berarti “TUHAN telah bermurah hati"–merupakan tanda bahwa Allah tidak melupakan umat-Nya, dan bahwa sebentar lagi Mesias yang dijanjikan itu akan datang. Kita bisa bayangkan betapa sukacitanya keluarga Zakharia, bahkan tetangga-tetangganya, dan semua orang yang mengenal mereka, menantikan kelahiran Yohanes!
Apa yang terjadi atas Elisabet dan Zakharia menunjukkan bahwa Allah tidak meninggalkan orang-orang yang sungguh-sungguh menanti-nantikan Dia. Apa yang dikira manusia adalah aib, ternyata merupakan bagian dari rencana Allah. Hamilnya Elisabet di usia tua adalah tanda ajaib yang Allah gunakan untuk kemuliaan-Nya.
Wanita Kedua: MARIA
Hanya sedikit yang kita ketahui tentang Maria, namun dari informasi yang sedikit itu kita bisa menyimpulkan seperti apa karakternya.
Untuk ukuran anak belasan tahun, wawasan Maria tentang firman Tuhan sangat luas. Kalau kita baca Lukas 1:46-55, kita melihat nyanyian pujian Maria sarat dengan kutipan dari Perjanjian Lama, yang menunjukkan bahwa ia familiar dengan firman Tuhan (banyak kutipannya dari Mazmur). Ia juga memahami bahwa pekerjaan Allah (mendatangkan Juruselamat melalui dia) selaras dengan perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya, yaitu Israel. Sebelum Allah memakainya untuk mengandung Sang Juruselamat, Maria sudah lebih dulu punya hubungan pribadi dengan Allah dan menyimpan firman-Nya di dalam hatinya.
Respons Maria ketika ia menerima berita dari malaikat Gabriel juga menunjukkann kedewasaan rohaninya. Ia menerima semua pesan Allah dan menyatakan kesediaannya untuk menjalankan firman Allah. Elisabet memujinya atas respons tersebut, dan berkata, “Berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (Lukas 1:45). Karena imannya, nama Maria akan tertulis dalam sejarah sebagai satu-satunya wanita yang disebut sebagai ibu dari Juruselamat. Menanggapi anugerah ini, Maria berseru, “Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus” (Lukas 1:48-49). Ia tidak meninggikan diri, namun membesarkan Tuhan!
Puji-Pujian Bagi Allah
Ketika dua wanita yang mengalami pekerjaan Allah yang besar dalam hidup mereka ini bertemu, Roh Kudus memenuhi mereka dengan roh nubuat, dan mereka menyerukan puji-pujian bagi Tuhan. Persis seperti yang terjadi dengan murid-murid Yesus ketika mereka dipenuhi Roh Kudus pada hari Pentakosta. Mereka memberitakan pekerjaan Allah yang besar dan mulia.
Elisabet, yang penuh dengan Roh Kudus, berseru, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (Lukas 1:43-44). Roh Kudus membuka pengertiannya bahwa Anak yang dikandung Maria bukanlah anak biasa, melainkan Tuhan—yang berinkarnasi menjadi manusia—sendiri! Sungguh sukacita yang besar, bisa menyaksikan bagaimana Juruselamat dunia dikandung, dilahirkan, dan menjadi besar!
Maria meresponi hal itu dengan pujian pula. Ia berseru:
Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.
(Lukas 1:46-48)
Bagi dunia, Maria adalah gadis remaja biasa yang tidak kaya, tidak berkesan, bahkan mungkin dari kasta sosial rendah dan kurang dihargai. Namun dia mengenal Tuhan, dia mengharapkan keselamatan dari Tuhan, dan dia merendahkan diri di hadapan Tuhan… dan Tuhan memperhatikan semua itu. Maria bersukacita, karena, “... apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (1 Korintus 1:28-29)
Mengapa Lukas memberi ruang yang lebar bagi kisah tentang dua orang wanita ini? Bagi orang Yahudi pada masa itu, wanita kastanya dianggap di bawah laki-laki. Tapi Lukas menunjukkan bahwa Allah memperhatikan semua hamba-Nya, pria dan wanita, dan Ia bisa memakai siapapun yang Ia karuniakan anugerah, baik pria maupun wanita. Tidak berhenti di situ, Allah juga memenuhi orang-orang pilihan-Nya dengan Roh Kudus tanpa terkecuali—dimana pria dan wanita dilayakkan-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya.
Siapapun kita, di manapun kita, apapun keadaan kita, Allah bisa memakai kita. Namun satu hal yang harus kita pegang, seperti Elisabet dan Maria, adalah menghidupi kehidupan ini dalam kesetiaan kepada Allah dan menyediakan diri ketika panggilan Allah datang. Kiranya Natal tahun ini menjadi titik balik bagi kita agar kita berkata seperti Maria:
Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.
(Lukas 1:38a)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^