Monday, April 13, 2020

Di Hadapan Penghakiman


by Glory Ekasari

Kita yang tinggal di Indonesia pasti tidak asing dengan demo alias demonstrasi massa. Ketika massa berkumpul, mereka gagah sekali, berteriak-teriak menyuarakan tuntutan, bahkan berani melakukan tindakan anarkis: melempar batu, melawan polisi, merusak fasilitas umum, dsb. Kita juga mungkin pernah mengalami musim bahaya geng motor yang sering tawuran, bahkan membegal dan mencelakakan orang lain. Mengapa begitu nekat? Karena mereka beramai-ramai, dan ketika bersama, mereka yakin mereka tidak terkalahkan.

Tapi coba orang-orang itu dipisahkan, lalu masing-masing, sendirian, dihadapkan ke pengadilan. Masihkah ada keberanian? Biasanya mereka tertunduk takut dan malu, bicara dengan suara pelan, menyembunyikan wajahnya. Di mana keberanian mereka? Mengapa begitu takut? Sebagai bagian dari massa, mereka merasa bebas berbuat apa saja yang mereka inginkan. Ketika dihakimi oleh masyarakat yang rasional, mereka tidak bisa membela diri.

Ada satu orang yang dihadapkan ke pengadilan yang tidak adil, tanpa ketakutan sedikitpun dalam hatinya. Bagaimana kita tahu? Karena Ia, dan bukan para hakimnya, yang mengendalikan situasi. Ia berbicara tanpa takut. Bahkan orang-orang yang mengeksekusinya mengakui bahwa Dia orang benar. Dialah Yesus, Tuhan kita.

Ketika saya membaca perjalanan Yesus sejak ditangkap sampai pada kematian-Nya di salib, saya tidak melihat seseorang yang ketakutan. Saya juga tidak melihat orang yang mengasihani diri sendiri. Saya tidak melihat orang yang berusaha membenarkan diri dan melepaskan diri dari hukuman mati. Saya melihat orang yang tenang, berkuasa, dan mengerti dengan jelas apa yang sedang terjadi. Para pemimpin bangsa menentang Dia, hukuman mati menanti-Nya, namun tidak sedikitpun Dia gentar. Yesus menghadapi kematian-Nya dengan kepala tegak.

// YESUS DITANGKAP
Yohanes memberi cerita yang jelas tentang penangkapan Yesus. Setelah Yesus selesai berdoa di taman Getsemani, datanglah sepasukan prajurit Romawi dan para penjaga Bait Allah, juga Yudas, dengan senjata dan lentera. Yesus bertanya siapa yang mereka cari. Kita bisa bayangkan prajurit menjawab dengan suara tegas dan keras - seperti polisi membentak orang yang mereka tangkap: “Yesus dari Nazaret!” Kebanyakan orang pasti ciut nyalinya ketika berhadapan dengan polisi bersenjata yang membentak mereka. Namun apa yang terjadi berikutnya sungguh mengherankan:

Kata-Nya kepada mereka: “Akulah Dia.” Ketika Ia berkata (demikian), mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.
(Yohanes 18:5-6)

Apa yang terjadi? Yesus menjawab mereka dengan ketenangan dan kuasa yang luar biasa, seperti saat Ia meredakan badai di danau Galilea, dan para prajurit yang gagah itu dilanda oleh kuasa-Nya. Di hadapan para prajurit, Yesus menunjukkan bahwa Ia sungguh bukan manusia biasa. Saat Petrus hendak membela-Nya dengan pedang, Yesus berkata,

“Sarungkanlah pedangmu itu. Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa-Ku?”
(Yohanes 18:11)

Yesus tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi. Ia tidak kuatir akan keselamatan nyawa-Nya; Ia sudah siap menghadapi salib. Hanya orang yang sudah siap mati yang akan berkata seperti itu. Sekalipun kemudian para murid lari dan meninggalkan Dia (sangat masuk akal, karena mereka tentu takut ikut ditangkap - kitapun akan berbuat yang sama) Yesus tidak menjadi lemah. Sendirian, Ia tetap penuh keberanian dan kuasa.

// YESUS DI HADAPAN MAHKAMAH AGAMA
Markus menulis Injilnya seperti sebuah gunung: makin lama makin menuju ke puncak. Di awal Injil Markus, saat Yesus membuat mujizat, Ia selalu memperingatkan orang-orang yang menyaksikan-Nya agar mereka tidak menyebarluaskan apa yang mereka lihat itu. Namun semakin lama kita membaca Injil Markus, semakin jelas Markus menyatakan siapakah Yesus sebenarnya. Puncaknya adalah pada saat Yesus dihadapkan pada Mahkamah Agama.

Sidang yang digelar Mahkamah Agama ini adalah sidang ilegal: diadakan mendadak pada malam hari tanpa pemberitahuan agar tersembunyi dari masyarakat, Yesus tidak diberi pembela atau saksi pendukung, dan banyak saksi palsu yang berdusta melawan Dia. Jelas sekali mereka ingin Yesus segera mati, sekalipun dengan cara yang curang. Imam Besar akhirnya bertanya pada Yesus:

“Apakah engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji (yaitu Allah sendiri)?”
(Markus 14:61) (tambahan oleh penulis)

Jawaban Yesus memastikan hukuman mati bagi diri-Nya sendiri:

“Akulah Dia. Dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.”
(Markus 14:62)

Inilah yang mereka tunggu-tunggu: pernyataan yang dianggap menghujat Allah, sehingga Yesus harus dihukum mati. Yesus mengutip dari kitab Daniel pasal 7, penglihatan Daniel tentang Anak Manusia yang menerima segala kuasa dan pemerintahan dari Allah dan memerintah bersama Allah - yang artinya, Dia adalah Allah. Bagaimana mungkin seorang rabi Yahudi biasa terang-terangan menyamakan diri-Nya dengan Allah?

Bila Yesus tahu bahwa jawaban seperti ini akan mendatangkan malapetaka bagi Dia, mengapa Dia masih menjawab demikian? Di bawah ancaman maut, manusia akan mengatakan apa saja yang dapat menyelamatkan dirinya; namun Yesus malah memberi jawaban yang pasti mencelakakan-Nya! Mengapa? Karena Dia bukan manusia biasa; karena Dia memang lahir untuk salib.

“Apakah yang akan Kukatakan? ‘Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini’? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah Nama-Mu!”
(Yohanes 12:27-28)

Yesus berdiri di hadapan Mahkamah Agama yang akan menjatuhkan putusan hukuman tentang Dia. Namun sungguh mereka tidak tahu bahwa saat itu Yesuslah yang menentukan nasib-Nya sendiri, bukan mereka.

// YESUS DI HADAPAN HERODES
Lukas adalah satu-satunya yang menyebutkan tentang pertemuan Yesus dengan Herodes. Herodes sangat penasaran dengan kuasa Yesus dan ia berharap Yesus akan melakukan “atraksi” di hadapannya. Bukankah dia raja di Yudea? Namun Yesus sama sekali tidak berkata apa-apa, bahkan tidak menjawab pertanyaan Herodes. Malah imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat sibuk mendakwa Dia, dan akhirnya Herodes dan pasukannya pun menista dan mengolok-olok Dia.

Yesus tahu bahwa Herodes, sekalipun raja, hanyalah raja boneka. Kemuliaannya di wilayah Yudea tidak ada artinya, bahkan rakyat pun tidak menyukainya. Yesus tidak terpancing dengan permainan politik Israel. Herodes tidak sadar bahwa di hadapannya berdiri Raja segala raja, Tuan segala tuan, yang suatu hari akan menghakimi-Nya. Yesus tidak berkata apa-apa, karena percumalah bicara pada orang yang tidak ingin mendengarkan. Sekali lagi, Yesus menunjukkan karakter dan kuasa-Nya.

// YESUS DI HADAPAN PILATUS
Injil Yohanes mencatat percakapan singkat Yesus dengan Pilatus. Sebelumnya Pilatus menolak mengadili Yesus dan menyerahkan-Nya pada Herodes. Namun Herodes tidak bisa membuat keputusan dan mengembalikan-Nya pada Pilatus. Kepada Pilatus Yesus berterus terang bahwa Ia memang adalah Raja, tetapi kerajaan-Nya bukan di dunia ini. Pilatus tidak memahaminya, namun satu hal yang dia tahu: Yesus tidak berbuat kesalahan yang setimpal dengan hukuman mati.

Pilatus berusaha dengan berbagai cara agar Yesus tidak dihukum mati. Pertama, ia menawarkan agar Yesus ditukar dengan Barabas. Ia berpikir, orang tentu tahu betapa jahatnya Barabas dan tidak mungkin mereka memilih dia daripada Yesus. Namun ternyata mereka memilih Barabas! Kemudian Pilatus menyuruh prajurit menyesah Yesus, dengan harapan orang banyak akan puas setelah melihat Yesus dalam keadaan luka-luka. Tapi mereka malah meminta Yesus disalibkan. Pilatus masih berusaha meyakinkan orang Yahudi bahwa Yesus tidak bersalah. Namun mereka berseru:

“Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”
(Matius 27:25)

(Catatan: Sumpah kutuk yang mengerikan ini akhirnya menimpa kepala mereka sendiri ketika bangsa Romawi menghancurkan Yerusalem tahun 70 Masehi.)

Bayangkan seandainya kita di posisi Yesus. Orang banyak menghendaki agar kita mati dengan cara yang paling menyakitkan, mereka berteriak-teriak meminta nyawa kita, dan kita tahu pasti kematian sudah di depan mata. Apa yang kita rasakan? Saya rasa manusia paling berani pun pasti takut sekali. Namun ketakutan sama sekali tidak nampak pada Yesus. Pilatus mendesak Dia membantunya dengan memberikan pembelaan, dan ia berkata:

“Tidakkah Engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?”
(Yohanes 19:10)

Jawaban Yesus tidak disangka oleh Pilatus:

“Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jika kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.”
(Yohanes 19:11)

Sekali lagi kita melihat bahwa Yesus bukan hanya tahu apa yang akan terjadi, namun Ia juga berkuasa atasnya. Yesus sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang akan disalib: Dia sangat tenang dan berani.

// YESUS DISALIBKAN
Salib adalah hukuman mati yang mengerikan. Orang yang disalib akhirnya akan mati karena kehabisan nafas, tetapi setelah melalui beberapa hari yang penuh penderitaan. Yang kita lihat di film-film adalah orang-orang yang sangat tenang saat disalib. Tapi sebenarnya korban penyaliban akan terus mengerang-erang karena sakitnya, nafasnya tersengal-sengal, bahkan tercekik, punggungnya terus-menerus menggesek kayu salib saat mengambil nafas dan membuang nafas. Belum lagi penderitaan lainnya seperti demam, sakit kepala luar biasa, dan otot serta sendi tangan dan kaki yang makin lama makin kejang karena direntangkan terus-menerus.

Dalam keadaan seperti itu, manusia mencapai breaking point. Tidak ada lagi kepura-puraan atau etika. Apapun yang ada dalam hatinya: kemarahan, kebencian, kesedihan, sakit hati, dsb, tidak mungkin ditutupi lagi. Salah satu orang yang disalib di sisi Yesus menghujat Dia dan meminta-Nya menurunkan dia dari salib - pasti karena penderitaannya tidak tertahankan lagi. Namun apa yang kita lihat dari Yesus sungguh berbeda.

Ada tujuh perkataan Yesus yang Dia sampaikan saat disalib. Kita akan lihat satu contoh saja. Saat Yesus disalibkan, Ia berkata,

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
(Lukas 23:34)

Akankah kita berkata seperti itu bila kita disakiti orang lain secara sengaja? Mereka jelas tahu apa yang mereka perbuat! Namun di saat-saat breaking point itu, apa yang ada di dalam hati Yesus tidak bisa ditutupi lagi:

Kasih-Nya bagi kita.

Ia tahu bahwa manusia tidak bisa memahami sepenuhnya akibat dari dosa mereka. Ia tahu mereka tidak mengenal Dia. Hati-Nya dipenuhi belas kasihan. Dan saat tangan dan kaki-Nya dipakukan ke kayu salib, Ia bersyafaat untuk orang-orang yang menyalibkan-Nya.

Ini bukan kata-kata yang diucapkan demi gimmick. Ini adalah perkataan orang yang pikirannya sehat, sangat rasional, bahkan bisa berpikir lebih jauh dari orang lain yang tidak sedang disalib. Ia tahu untuk siapa Ia ada di salib itu, dan Ia berdoa bagi kita.

// TUHAN YANG MAHAKUASA
Saya percaya bahwa di taman Getsemani lah semua urusan pribadi-Nya diselesaikan oleh Yesus sebelum Ia menghadapi pengadilan dan salib pada akhirnya, yang bisa dibaca disini.

Kesiapan dan keberanian Yesus menghadapi salib terjadi karena Ia sudah lebih dahulu melewati taman Getsemani. Kita biasanya langsung terjun ke dalam masalah tanpa melalui taman Getsemani pribadi kita terlebih dahulu, tempat kita bergumul dengan Allah. Sebagai akibatnya, deru masalah dan penderitaan di dunia ini menjatuhkan kita. Ini tidak perlu terjadi lagi kalau kita senantiasa berdoa dan berjaga-jaga, seperti yang Yesus perintahkan.

Di sisi lain kita juga melihat Tuhan kita yang memegang kendali penuh atas semua yang terjadi, bahkan kematian-Nya. Yesus menghadapi salib sebagai seorang pemenang, seorang hamba yang menyelesaikan tugasnya. Bila kematian pun ada dalam rencana Allah, apa lagi yang kita takutkan? Bukankah kita ini anak-anak Allah yang menjadi tanggung jawab-Nya? Bukankah hidup kita, di dunia ini maupun yang akan datang, dijamin oleh Dia? Mari kita mengingatnya kembali, dan mengucap syukur. Sekacau dan setidak pasti apapun dunia ini, kita punya Gunung Batu yang teguh, tempat kita berlindung.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^