Friday, November 30, 2018

Beauty in Weakness


by Natalia Setiadi

Rasul Paulus berkata dalam 2 Korintus 12:7 bahwa dia diberi duri dalam dagingnya supaya dia jangan meninggikan diri. Ada penafsir yang berpendapat duri dalam dagingnya itu adalah penyakit, ada juga yang bilang sifat Paulus yang pemarah, tidak ada yang tahu pasti.

Kalo boleh disama-samain, kayaknya keadaan atau situasi hidup juga bisa jadi duri dalam daging ya. Dalam perjalanan saya ikut Tuhan, salah satu tantangan terbesar adalah kecaman terhadap kinerja saya sebagai ibu. Maksudnya, di-judge dalam hal motherhood. Motherhood memang dunia yang keras. Sejak proses melahirkan kita udah kenyang di-judge soal lahiran normal atau caesar, kasih ASI atau susu formula, pakein pampers atau cloth diapers, dan seterusnya. Seiring berjalannya waktu, kritik, kecaman, dan judgement itu bukannya mereda, tapi makin bertambah terus.

Dulu, dengan segunung idealism, saya berusaha sekuat tenaga untuk menjadi the best mother. Bukan cuma buat anak saya, tapi juga buat ego saya pribadi. Saya diam-diam menikmati pujian “supermom” dan merasa diri lebih baik daripada beberapa mama lain. Buat menghibur diri karena “pengorbanan” saya melepaskan atribut dokter dan turun ke dapur jadi ibu RT, saya berusaha sedemikian rupa supaya jadi mama yang maksimal. Apa itu ngga baik? Tentu saja baik. Ngga baiknya adalah, saya merasa sudah berhasil dan tanpa sadar berhenti mengandalkan Tuhan.

Tahun ketiga jadi mama, anak saya didiagnosis ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau gangguan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas). Seiring bertambahnya umurnya, sebagian kesulitannya berkurang, tapi muncul juga kesulitan-kesulitan lain yang justru makin jelas. Salah satunya masalah perilaku.

Ngomong memang selalu lebih gampang daripada menjalani. Menghakimi selalu lebih gampang daripada mengalami sendiri. Karena anak saya tidak bisa duduk tenang, mudah emosi dan frustrasi, “nakal”, papa-mamanya dibilang kurang perhatian. Kalo orang dengar pantangan makan anak saya yang segambreng, mereka bilang saya overprotective. Kalo saya mendisiplin, saya dibilang terlalu keras. Kalo saya biarkan anak saya eksplorasi, manjat dan lari-lari, saya dibilang terlalu membiarkan. Bahkan pernah juga mentah-mentah saya disebut mama yang ngga bener.

Untuk menepis omongan-omongan itu, saya berusaha lebih keras jadi mama yang lebih baik lagi. Kadang-kadang berhasil, tapi lebih sering gagalnya. Gagal dengan sukses. Ternyata jadi mama yang paling baik yang saya bisa pun tidak bisa meredakan judgement.

Saya membiasakan diri untuk ngga ambil pusing dengan komentar orang, tapi selain itu juga ada macem-macem kesulitan silih berganti. Dari masalah sosialisasi, tuntutan akademis dari sekolah, guru yang ngga paham dan ngga ingin paham, rutinitas ketat, pola pikir yang kaku, masalah emosi, sampe urusan insomnia parah yang meliputi episode nangis-tantrum hampir setiap malam selama berminggu-minggu.

Berulang kali saya jatuh bangun dan terpuruk. Saya merasa kurang sabar, pernah sampe histeris, sering kali sikap saya juga ketus dan mudah marah. Ternyata saya bukan supermom. Pingin banget kayak mama-mama di TV nan cantik rupawan dan lemah lembut. Tapi saya kok jauhnya kebangetan deh dari mama-mama itu, saya lebih mirip tokoh ibu tiri jadul yang suka ngomel teriak-teriak sambil nyirih dan makan jengkol. Wkwkwkw...

Kadang saya merasa tak berdaya ngeliat begitu banyak pergumulan anak saya di sekolah, juga di rumah, tak berdaya mengubah diri sendiri supaya jadi mama yang lemah lembut dan panjang sabar, tak berdaya menangkis tuduhan-tuduhan si jahat yang hobi me-replay komentar miring yang sering saya terima. Ternyata saya lemah. Image supermom juga dipakai iblis buat memojokkan saya: “Keliatannya aja baik di luar, kalo ngga ada yang lihat kok pake teriak-teriak... Nggak malu tuh, sama tetangga?”

Waktu saya lemah terpuruk berurai air mata, saya berseru minta pertolongan Tuhan. Tapi kok Tuhan diem aja ya? Nggak ada tuh suara yang menenangkan saya. Nggak ada damai sejahtera supranatural yang mendadak melingkupi saya. Saya gak mendadak bangkit dan jadi kuat kayak Hulk. Padahal kalo saya baca atau denger kesaksian orang, kok mereka ditolong Tuhan luar biasa?

Kok mereka dapat damai sejahtera yang melampaui segala akal? Kok saya enggak? Kok Tuhan tega ya liat saya nangis-nangis putus asa tapi Tuhan diem aja? How could You, Lord? :(

Tanpa saya sadari, Tuhan TIDAK DIAM SAJA! Dia sedang bekerja, walaupun tangan-Nya ngga terlihat oleh saya.

Saya berusaha berserah seperti kata orang-orang. Gimana sih sebenernya berserah itu? Apa yang harus saya lakukan kalo mau menyerahkan masalah saya sama Tuhan? Gimana caranya?

Maka dengan sabar Tuhan pun mengajari saya lagi, seperti mengajari anak kecil sesuatu yang udah diketahui oleh semua orang.

Saya belajar lagi bahwa berserah itu adalah tidak mencari jalan keluar sendiri. Menyerahkan suatu masalah ke Tuhan itu adalah berhenti memikir-mikirkan masalah itu dan menunggu.

Kadang-kadang menunggu itu sambil diam saja, kalo memang Tuhan memerintahkan demikian. Kadang-kadang menunggu sambil melakukan bagian kita, artinya melakukan yang baik yang bisa kita lakukan, dan selebihnya biarkan Tuhan melakukan bagian-Nya.

Maka saya tidak lagi berusaha mengubah kepribadian saya. Wong aslinya memang renyah (alih-alih lembut) ya mau dikata apa wkwkwk... Dan saya berhenti brainstorming untuk setiap kesulitan baru yang dialami anak saya.

SAYA BERDOA LEBIH BANYAK, LALU MENUNGGU.

Menunggu Tuhan menuntun saya, untuk melakukan sesuatu yang Dia tunjukkan, atau untuk diam saja menantikan pertolongan-Nya.

Ternyata ini yang mau Tuhan ajarkan dalam “diam”-Nya. Dia “membiarkan” saya merasakan kelemahan.

“Karena kuasa-Ku menjadi sangat nyata ketika kamu lemah.”
(2 Korintus 12:9 / Terjemahan Sederhana Indonesia)

Jadi lemah itu bukan sesuatu yang buruk. Hebat dan kuat itu tidak selalu baik.

Kalau lemah membuat saya melihat kuasa Tuhan dinyatakan, maka lemah itu indah. Kalau hebat dan kuat membuat saya berhenti mengandalkan Tuhan dan menyombongkan diri, maka hebat dan kuat itu sama sekali tidak baik.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.
(2 Korintus 12:9-10)

Kalo saya lihat ke belakang, ke waktu-waktu yang paling sulit, di mana saya udah desperado abis, beneran loh justru masa-masa itu yang Tuhan pakai luar biasa buat membentuk saya. Waktu di tengah badai persoalan memang mata saya seperti rabun, ngga bisa lihat tangan Tuhan bekerja, hati saya ndablek, susah buat ngerasain kebaikan Tuhan. Tapi setelah badai berlalu, setelah mata saya cukup terang buat memandang karya tangan-Nya, hati saya sudah cukup tenang buat ngerasain kasih setia-Nya, kuasa-Nya, begitu nyata saya lihat dan rasakan.

Jadi, next time kalo lagi ngerasa lemah, it’s OK, there’s beauty in weakness.

Ingat bahwa kasih karunia Tuhan selalu cukup. Senang dan relalah dalam kelemahan, karena di situlah kuasa Tuhan nyata.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^