Monday, February 25, 2019

Lea: Perempuan yang Tidak Dicintai Suaminya


by Alphaomega Pulcherima Rambang 

Tetapi pada waktu malam diambilnyalah Lea, anaknya, lalu dibawanya kepada Yakub. Maka Yakub pun menghampiri dia. Tetapi pada waktu pagi tampaklah bahwa itu Lea! Lalu berkatalah Yakub kepada Laban: “Apakah yang kauperbuat terhadap aku ini? Bukankah untuk mendapat Rahel aku bekerja padamu? Mengapa engkau menipu aku?” Jawab Laban: “Tidak biasa orang berbuat demikian di tempat kami ini, mengawinkan adiknya lebih dahulu dari pada kakaknya.”
(Kejadian 29:23, 25-26)


Alkitab dengan gamblang menjelaskan bahwa ide menjadikan Lea sebagai istri Yakub tanpa sepengetahuan Yakub adalah ide Laban. Gak terbayangkanlah ya bagi kita di zaman sekarang pernikahan seperti ini. Amit-amit dah, ini Laban orang tua macam apa sih, kok teganya melakukan ini pada anak-anaknya. Mosok sih dia tidak memikirkan perasaan anak-anaknya? Walaupun dikatakan tidak biasa dalam adat mereka untuk mengawinkan adik lebih dahulu, kenapa fakta itu tidak disampaikan ke Yakub sebelumnya? Ini sih memang niat menipu. Entah kenapa Lea juga menerima saja hal ini. Apakah dia dipaksa Laban, atau dia diam-diam juga mencintai Yakub sehingga mau saja melakukan ini, kita tidak tahu. 

Yang terjadi kemudian sungguh tragis. Bayangkan scene ini. Yakub bangun tidur, melihat Lea, menatap Lea dengan tidak percaya, lalu Yakub langsung lari mendatangi Laban dan protes! Well, Lea mungkin sudah membayangkan kekecewaan Yakub dan pasti tahu Yakub merasa tertipu. Dia telah dibodohi Laban, dipaksa menikahi perempuan yang tidak dicintainya. Respon Yakub saat mengetahui bahwa yang dinikahinya (dan ditidurinya) bukan Rahel tentu sangat bisa dimengerti. Lea menyadari bahwa tidak ada tempat baginya di hati Yakub. Duh, itu hati apa gak hancur berkeping-keping ya. 

Demikianlah hari pertama pernikahan Lea yang sangat menyedihkan. Yang terjadi di hari-hari berikutnya lebih menyedihkan lagi. 

Maka Yakub berbuat demikian; ia menggenapi ketujuh hari perkawinannya dengan Lea, kemudian Laban memberikan kepadanya Rahel, anaknya itu, menjadi isterinya. Yakub menghampiri Rahel juga, malah ia lebih cinta kepada Rahel dari pada kepada Lea. Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi.
(Kejadian 29:28, 30)

Lea tidak dicintai oleh suaminya sendiri, sejak hari pertama pernikahannya. Betapa menyakitkannya itu. Kalau ini belum cukup menyakitkan, tujuh hari kemudian suaminya menikahi adiknya sendiri, dan rela bekerja tujuh tahun lagi untuk wanita lain. 

Tetapi Tuhan melihat Lea. Dia memperhatikan Lea yang menaruh pengharapan kepada-Nya, dan memberikan seorang putera kepadanya. Tuhan menunjukkan perhatian-Nya pada Lea. 

Ketika TUHAN melihat, bahwa Lea tidak dicintai, dibuka-Nyalah kandungannya,
tetapi Rahel mandul.
(Kejadian 29:31)

Kita bisa membayangkan sakit hati Lea. Lea bisa saja menjadi pahit dan menarik diri dari orang lain, menyalahkan orang lain dan Tuhan, atau menyakiti dirinya sendiri. Tapi Lea tidak melakukan itu. Satu hal luar biasa yang kita pelajari dari Lea, di tengah kepedihan hatinya, Lea tetap menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Lea semakin mendekat kepada Tuhan. Kita dapat melihat dari nama yang diberikannya kepada anak-anaknya: 

Lea mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ruben, sebab katanya: “Sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku; sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku.”
(Kejadian 29:32)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sesungguhnya, TUHAN telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai, lalu diberikan-Nya pula anak ini kepadaku.” Maka ia menamai anak itu Simeon.
(Kejadian 29:33)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Lewi.
(Kejadian 29:34)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Yehuda. Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi.
(Kejadian 29:35)

Nama yang diberikan Lea kepada anak-anaknya menunjukkan iman percaya-nya kepada Tuhan. Saat menamai Ruben, Simeon dan Lewi, Lea meyakini Tuhan telah memperhatikan dan mendengar sengsaranya: Tuhan adalah ALLAH yang mengetahui isi hatinya yang terdalam. Setiap kali Lea menyebut nama anak-anaknya, dia teringat akan kasih Tuhan padanya. Memang Lea masih mengharapkan cinta suaminya; nama ketiga anaknya yang pertama jelas-jelas menunjukkannya. Tapi melalui ketiga nama anaknya pula, Lea mengingatkan dirinya bahwa sekalipun dia tidak dikasihi suaminya, tetapi Tuhan mengasihinya. Saat Yehuda lahir, Lea tidak lagi menyebut-nyebut tentang kasih suaminya; ia hanya bersyukur kepada Tuhan. Luar biasa imannya: walaupun pernikahannya tidak bahagia, dia tetap bersyukur. 

Tidak ada yang tahu apakah akhirnya Lea dikasihi Yakub atau tidak, tetapi di akhir hidupnya, Yakub meminta agar Lea dikuburkan di gua Makhpela, kuburan keluarga mereka. Lea dikuburkan bersama-sama dengan Abraham, Sara, Ishak, Ribka dan Yakub. Sebuah tempat terhormat tentunya, disejajarkan dengan Abraham, Sara, Ishak, dan Ribka. 

Melalui perjalanan imannya yang menyakitkan, Lea menjadi semakin dekat dengan Tuhan dan menyadari kalau hanya Tuhanlah kasih sejatinya, yang selalu mengasihinya setiap saat. Tuhan adalah Allah yang mendengar dan memperhatikan segala pergumulannya. Pada akhirnya, Lea mampu mensyukuri segala apa yang terjadi dalam hidupnya. Sumber sukacitanya bukanlah kasih suaminya, tetapi Tuhan yang telah terbukti kasih dan kesetiaan-Nya sepanjang hidupnya. 

Apa yang dialami Lea rasanya terlalu menyedihkan untuk dialami di zaman sekarang. Dinikahi tanpa cinta dan tidak dicintai selama pernikahannya. Wow! Membayangkannya saja sungguh mengerikan. Tapi, dari Lea kita dapat belajar untuk terus menaruh pengharapan kepada Tuhan dan semakin mendekat kepada Tuhan saat kepedihan hati melanda. Sebagai seorang istri, ada kalanya love tank saya tidak penuh karena merasa suami kurang perhatian. Saya merasa tidak dikasihi karena suami begitu sibuk sampai-sampai sesi pillow talk ditiadakan berhari-hari. Saat itu terjadi, saya punya pilihan: fokus melakukan sesuatu untuk mendapatkan kasih suami (ngambek, marah, mengkomunikasikan ke suami) atau mendekat kepada Tuhan dan merasa puas dalam kasih-Nya. Akan ada saat di dalam pernikahan kita merasakan ketidakbahagiaan, frustasi, dan tidak puas. Banyak faktor bisa menyebabkannya. Tetapi mari kita terus mendekat kepada Tuhan dan merasa puas di dalam Dia.

Monday, February 18, 2019

Priskila: Wanita Tangguh itu Indah



by Femmy Kowel

Semua diawali lewat sebuah perjumpaan.

Kalau dipikir-pikir, benar juga. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin ada persahabatan. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin seseorang dapat menikah—apalagi pada zaman dulu yang belum secanggih sekarang! Itu pula yang dialami oleh sepasang suami-istri di Perjanjian Baru, Akwila dan Priskila.

Akwila adalah pria kebangsaan Yahudi, tapi tidak tinggal di wilayah Yahudi. Dia dibesarkan di Pontus, salah satu propinsi kekuasaan Roma. Setelah menikah, Akwila mengajak istrinya pindah ke kota Roma, Italia, untuk menjalani hidup baru mereka. Kemungkinan besar, Priskila juga berkebangsaan Yahudi. Melalui keahlian dalam membuat kemah, akhirnya mereka menjadikan hal itu sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Italia (Kis 18:2).

Sebagai istri yang juga tidak tinggal di tanah kelahirannya sendiri, saya bisa membayangkan bahwa mereka adalah pasangan yang, mau tidak mau, harus berbaur dan beradaptasi dengan adat budaya yang berbeda dari mereka. Mereka harus hidup hati-hati dalam lingkungan itu, serta membangun hubungan yang baik dengan tetangga, pemerintah setempat dan rekan-rekan kerja. Pokoknya harus cari cara biar bisa diterima dan survive.

Namun apa mau dikata?

Tiba-tiba, situasi menyakitkan harus mereka hadapi. Kaisar Klaudius—yang saat itu berkuasa di Roma—memberikan perintah untuk mengusir seluruh orang Yahudi dari Roma.

Saya mencoba membayangkan perasaan Akwila & Priskila saat itu. Pasti hati mereka diliputi perasaan khawatir, down, takut, dan bingung. Situasi pengusiran adalah situasi dadakan alias tak terencana. Coba bayangin deh, gimana perasaan kita kalau diusir dari rumah sendiri. Stress iya, merasa terhina ya iya, dan yang pasti ada rasa takut yang menusuk hati. Jadi, saya bisa merasakan bahwa pasangan ini pasti kaget setengah mati!

Sebagai perempuan, pasti banyak hal yang berkecamuk di hati Priskila; seperti ini:
“Kok gini, sih?”
“Terus, kita harus ke mana?”
“Kita harus ngapain buat dapat penghasilan untuk makan?”
“Besok makan apa?”
“Kenapa setelah nikah jadi begini, ya?”
“Mungkin harusnya aku nggak nikah dengan orang Yahudi… nggak aman “
“Apakah aku salah pilih pasangan?”
… dan seterusnya.

Setelah menerima perintah pengusiran itu, tentunya juga ada banyak pertanyaan dan perdebatan yang harus mereka lalui dengan air mata. Bayangin, deh. Akwila dan Priskila harus meninggalkan kampung halaman mereka yang penuh kenangan, dengan harapan dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala di tempat lain. Tanpa diduga, hidup tenang yang didambakan malah lenyap begitu saja karena pengusiran itu.

Long story short, mereka memutuskan untuk menuju ke Korintus dan memulai hidup yang baru di sana. Kitab Kisah Para Rasul 18:2 mencatat, perjumpaan antara Paulus dengan pasangan suami istri ini di Korintus menjadi titik awal kehidupan baru yang penuh arti dalam perjalanan rumah tangga mereka. Secara pribadi, sosok Priskila yang tangguh memberikan peneguhan dan kekuatan baru untuk terus setia dalam panggilan Tuhan atas hidup saya. Dari Priskila, saya belajar bahwa dia dimampukan mendemonstrasikan ketangguhannya itu oleh kasih karunia Allah. Karena-Nya, Priskila sanggup menghadapi kehidupan rumah tangganya dan setia dalam panggilan hidupnya. Dari situlah saya menyadari bahwa menjadi wanita tangguh itu sangat indah.

Eh, tunggu dulu. Ketangguhan seperti apakah yang diperlihatkan Priskila?
1) Ketangguhan hidup berumah tangga
Setelah diusir dari Italia, Priskila tidak berontak ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia dan suaminya harus memulai kembali kehidupan mereka dari awal di Korintus. Kata “memulai” berarti mengerjakan sesuatu dari awal lagi. Ini tidak mudah, dan memerlukan ketangguhan mental dan fisik untuk membangun kehidupan dari awal lagi. Harus mencari tempat tinggal baru lagi, membangun usaha baru, serta membangun pertemanan agar bisa berbaur dan mendapat kesempatan untuk berbisnis. Sebuah keadaan yang menekan, bukan?

Namun di dalam situasi seperti itu, Priskila tetap setia dan tidak meninggalkan suaminya. Sebenarnya bisa saja kan, dia menyerah dan pergi dari suaminya? Tapi dia tidak melakukannya. Priskila taat pada proses dan terus setia mendampingi suaminya (Kisah Para Rasul 18:2-4).

2) Ketangguhan mental untuk mau di-ajar dan taat pada otoritas 
Selama beberapa tahun, Priskila dan suaminya belajar dari Paulus untuk semakin mengenal Tuhan lewat Kitab Suci, serta praktik pelayanan langsung bersama penginjil besar itu. Priskila dan Akwila pergi bersama ke Siria dan berbagai kota lain untuk menemani dan melayani Paulus memberitakan injil. Bahkan Paulus mengatakan Priskila dan suaminya itu telah mempertaruhkan nyawa untuknya (Roma 16:3)! Wow!

3) Ketangguhan pikiran untuk belajar Kitab Suci dengan tekun sehingga tahu kebenaran dan akhirnya berani mengkoreksi dan mengajar 
Priskila dan suaminya berani mengoreksi orang seperti Apolos, lho. Apolos adalah seorang Yahudi yang sangat teliti mempelajari Kitab Suci. Orang-orang seperti ini, biasanya, sangat susah untuk disanggah, di-challenge, apalagi diajari. Kemungkinan besar Apolos pun memiliki sifat demikian. Tetapi yang membuat saya salut, Priskila sanggup mendampingi suaminya untuk mengajar Apolos untuk bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah (Kisah Para Rasul 18:26). Dua ayat terakhir yang membahas Apolos dalam Kisah Para Rasul menceritakan bahwa melalui kasih karunia Allah, Apolos menolong jemaat di Efesus—karena dengan penuh semangat dia membuktikan melalui Kitab Suci bahwa Kristus adalah Yesus, sekaligus membantah orang-orang Yahudi yang meyakini sebaliknya.

4) Ketangguhan dalam tugas pelayanan 
Priskila dibentuk menjadi wanita yang tangguh ketika harus pergi ke tempat-tempat lain untuk menyertai Paulus dalam pemberitaan Injil. Saya bisa membayangkan betapa lelahnya dia. Harus melayani keluarga, membantu pekerjaan suaminya, dan taat pada tugas pelayanan yang diberikan Paulus ke tempat-tempat yang mungkin jaraknya tidak dekat. (Kisah Para Rasul 18:18). Saya percaya bahwa Priskila bisa melakukan semuanya itu karena Tuhan yang menguatkannya.

5) Ketangguhan hati dalam berkorban untuk orang lain 
Alkitab mencatat bahwa rumah Priskila menjadi basecamp bagi jemaat untuk bersekutu, serta memuji dan menyembah Tuhan (baca: komsel). Hm, memangnya nggak capek ya, kalau secara rutin ada banyak orang yang berkumpul di rumah kita? Kita harus selalu menyediakan minum, makan, kursi, meja dan hal-hal lainnya kalau ada yang berkunjung. Sebelum mereka datang, pasti Priskila sudah sibuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel dan mengatur rumah agar rapi dan bersih. Belum lagi kalau mereka sudah pulang. Beres-beresnya jadi dua kali, otomatis capeknya bakal terasa dua kali juga, kan?

Tapi Priskila setia. Hatinya tangguh, tidak lemah, menolak, apalagi berontak. Dia tetap mengizinkan persekutuan jemaat terjadi di rumahnya, membuka pintu, melayani dan mengajari mereka. Wow! Full service! (1 Korintus 16:19).

Kita memerlukan ketangguhan untuk memenuhi panggilan hidup kita yang diberikan Tuhan, ladies. Namun ada poin yang harus kita ingat: Ketangguhan bisa diperoleh hanya melalui sebuah proses. Seperti Tuhan memampukan Priskila untuk menjadi wanita tangguh, saya berdoa agar Tuhan juga melakukan hal yang sama pada kita dalam menjawab panggilan-Nya dalam hidup kita masing-masing. 

Yes, a tough-woman-in-God is beautiful.

Monday, February 11, 2019

The Touch of Faith



by Poppy Noviana

Adakah di antara kita yang memiliki harapan tak tercapai? Adakah di antara kita yang sering menemui kegagalan, bahkan setelah melakukan banyak usaha? Adakah di antara kita yang karena semua kegagalan itu lalu mulai berhenti berusaha, bahkan berhenti berharap?
“Saya sudah pernah mencoba setia, namun tetap saja saya selalu dikhianati dalam membangun hubungan”.
“Saya sudah berusaha semaksimal yang saya bisa, namun tetap saja pekerjaan saya tidak dihargai”.
“Saya sudah berusaha, namun hasilnya masih belum memuaskan.”
“Saya sudah mencoba berbicara kepadanya, namun tetap saja tidak berhasil.”
“Saya sudah coba untuk belajar lebih giat, namun tetap saja saya tidak lulus.”
“Saya sudah beberapa kali mengampuninya, namun tetap saja dia menyakiti hati saya.”
“Saya sudah berusaha untuk berbuat baik, namun tetap saja saya tidak pernah dipuji.”
“Saya sudah berolah raga dan menjaga pola makan saya, namun berat badan saya belum turun juga.”
Kondisi seperti ini kah yang sedang kita hadapi hari-hari ini? Menjadi sinis untuk mencoba suatu hal yang sudah pernah kita coba sebelumnya? Terasa berat untuk berharap kembali apalagi melangkah lebih dulu untuk berjuang bangkit lagi dari keterpurukan hidup? Pertanyaannya, kata siapa kita akan gagal lagi? Kata siapa kita akan kalah lagi? Kata siapa kita akan jatuh lagi? Kata siapa kita akan disakiti lagi? Apakah mungkin pikiran kita sendiri yang menjadi hambatan untuk terus melangkah?

Hei, kamu yang saat ini sedang mengalami kondisi seperti itu, kamu tidak sendirian.

***

“Saya sudah berobat kemana-mana, menghabiskan semua yang saya punya, namun saya belum sembuh juga.”

Mungkin inilah keluhan seorang wanita yang kisah hidupnya tertulis dalam Matius 9:20-22, Markus 5:25-34 dan Lukas 8:43-48. Ia mengalami pendarahan selama kurang lebih dua belas tahun lamanya, tanpa sedikitpun titik terang untuk sembuh.

Inilah sepenggal pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan wanita pengidap sakit pendarahan itu. Kisah hidupnya ditulis di tiga kitab, dengan beberapa bagian kata yang diulang sebagai pesan penting yang ditekankan Allah. Mari kita ulas secara sederhana penggalan kisahnya.

“She had heard [reports] about Jesus.”

Pertama, wanita ini mendengar tentang Yesus. Bisa dibayangkan kalau hal-hal yang ia dengar adalah tentang perkara-perkara ajaib yang dilakukan Yesus. Pastinya ia mendengar bagaimana Yesus berkeliling dan menyembuhkan orang sakit atau mengusir setan-setan. Kabar tentang Yesus inilah yang membangkitkan harapannya: ia masih bisa sembuh. Semangatnya yang mungkin patah, mulai menyala kembali. Kisah-kisah tentang Yesus membangkitkan imannya. 

Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
(Roma 10:17 / TB)

Dari sini kita bisa belajar bahwa dalam kondisi yang paling buruk sekalipun, justru menuntut kita untuk tetap tinggal dalam Firman Tuhan dan komunitas orang percaya. Ada orang-orang yang mengalami kejatuhan, lalu justru menjadi kecewa dan berhenti membaca Firman, berhenti ke gereja, berhenti mengejar hal-hal rohani. Padahal di dalam semua itu, Tuhan menyediakan pengharapan.

“she came up behind Him in the crowd and touched His outer robe.”

Setelah mendengar tentang Yesus, wanita itu meresponi dengan melangkah menemui Yesus untuk menyentuh jubah-Nya. Wanita itu tidak berhenti dengan beriman, tapi melakukan tindakan iman. Ia bertindak dan melangkah untuk mendapatkan kembali harapannya yang pernah hilang. Ia berjuang untuk mengubah keadaan. Melangkah adalah bagian kita sedangkan untuk menyertai setiap langkah-langkah kita dan membuatnya menjadi berhasil adalah bagian Tuhan.

Maukah kita menindaklanjuti kebenaran yang kita peroleh dari Firman Tuhan? Maukah kita keluar dari zona nyaman, sehingga Firman Tuhan tidak hanya didengarkan tapi juga dilakukan? 

“For she thought, “If I just touch His clothing, I will get well.”

Inilah alasan kenapa wanita itu mendekati Yesus dan menyentuh jubahnya. Inilah pernyataan iman wanita itu. Inilah iman yang menggerakkan kuasa Yesus dan mengalirkan kuasa kesembuhan. Wanita itu adalah bukti bahwa Allah merespon langkah iman yang kita lakukan. Wanita itu seakan menghapuskan kemustahilan dua belas tahun dengan kabar-kabar yang baru dia dengar. Ia memberanikan diri untuk beriman, meskipun tidak punya dasar, dan melangkah dalam iman itu.

“Immediately her flow of blood was dried up; and she felt in her body [and knew without any doubt] that she was healed of her suffering.”

Pada saat ia menyentuh jubah Yesus, wanita itu masih belum punya bukti bahwa imannya akan menghasilkan sesuatu. Bisa saja ketika ia mengambil langkah ia masih punya banyak pertanyaan. Tapi saat pada akhirnya kuasa Tuhan bekerja, ia tahu mukjizatnya sudah ia terima. Ketika kita menyadari bahwa kita sudah menerima jawaban iman kita, kita akan semakin teguh di dalam Dia. Pengalaman bersama Allah akan mengubah iman kita dan melepaskan keraguan. Di kemudian hari, kita dilatih untuk punya cara pandang yang berkemenangan dan berpengharapan, sebab kita tahu Allah kita adalah Allah pembuat mukjizat.

Immediately Jesus, recognizing in Himself that power had gone out from Him, turned around in the crowd and asked, Who touched My clothes?

Pada saat itu tentu saja banyak orang yang bersentuhan dengan jubah Yesus. Namun kuasa Allah tidak dilepaskan ke semua orang itu. Allah meresponi sentuhan yang dilakukan karena iman, bukan desakan-desakan tanpa iman percaya kepada-Nya. Imanlah yang menarik keluar kuasa Allah. Jika Tuhan bertanya, apakah Tuhan menemui iman di bumi, adakah di antara kita yang percaya diri untuk menjawab, “Ya, Tuhan, Engkau akan menemui iman di dalamku.”

“Daughter, your faith [your personal trust and confidence in Me] has restored you to health; go in peace and be [permanently] healed from your suffering.”

Bagian inilah yang menjadi treasure of the story. Perkataan Yesus ini adalah peneguhan mengenai status kehidupan wanita itu dan kondisi selanjutnya di masa depan. 

Pertama, Yesus menegaskan bahwa yang menyembuhkan sakit wanita itu adalah imannya. Yesus tidak mengatakan ia sembuh karena sentuhan pada jubahnya. Kadang ketika ada yang menerima mukjizat, kita fokus pada metode yang dilakukan. Misalnya, ketika ada orang yang berdoa tengah malam lalu doanya dijawab, kita melakukan hal yang sama. Atau ketika ada orang yang puasa 40 hari sampai mukjizat terjadi, kita juga melakukan hal yang sama. Padahal bukan metode, namun iman lah yang membuat perubahan. 

Kedua, wanita itu sudah sembuh, Yesus ingin dia pergi dalam damai sejahtera. Yesus tidak ingin masa lalu menghantui perjalanan hidup wanita itu selanjutnya. Kadang kita sudah menerima mukjizat, namun tetap saja kenangan buruk, trauma, pola pikir dari masa lalu menghalangi kita untuk melanjutkan hidup dengan bebas. 

Bisa saja dulu wanita itu selalu khawatir karena penyakitnya. Setelah sembuh, Yesus mau wanita itu hidup dalam damai sejahtera, karena bisa saja Iblis menaruh kekhawatiran baru seperti “Bagaimana jika penyakitmu kambuh lagi?” Dengan setiap mukjizat fisik (hal-hal jasmani seperti kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan lain-lain) yang Ia anugerahkan, Allah juga mau mengerjakan jiwa dan roh kita semakin sempurna di dalam Kristus. 
So, who will touch Jesus? The ordinary one who have faith within her/his heart and take the step for their faith in action to meet Jesus with confident (no doubt). God promised that He’ll arm you with strength for every battle. We may not know what the future holds, but we know Who holds the future. (Joel Osteen)

Monday, February 4, 2019

Delila: Dua Wanita




by Glory Ekasari

Seorang wanita mendapat tawaran untuk memberikan informasi yang diinginkan pemerintah, dengan imbalan 600 juta Rupiah. Dan memberi informasinya pun tidak perlu susah payah, cukup merayu orang yang punya informasi itu saja. Gimana? Gampang sekali kan? 

Tapi yang tidak disadari wanita itu, yang dia jual bukanlah informasi; dia menjual masa depannya. Sejak hari itu dan sampai ribuan tahun kemudian, namanya menjadi identik dengan tindakan asusila dan pengkhianatan. Dia adalah Delila. 


- WANITA BERNAMA HIKMAT -

Ketika kita membaca kitab Amsal, kita bertemu dengan tokoh-tokoh yang membimbing kita sepanjang perjalanan membaca kitab tersebut. Ada tokoh bapak yang memberi nasehat kepada anak yang dikasihinya, ada tokoh raja, ada tokoh ibu suri, dan ada pula seorang tokoh wanita yang berkarakter kuat. Dia adalah Hikmat. 

Kata “hikmat” dalam bahasa Ibrani adalah hokmah, dan dalam bahasa Yunani adalah sophia, keduanya merupakan kata benda feminin. Dengan kata lain, Hikmat dipersonifikasikan dalam sosok wanita. Ini sama sekali bukan seksis; ini adalah kebenaran. Pergaulan dengan Hikmat mendatangkan sejahtera; penolakan terhadapnya mendatangkan malapetaka. Sosoknya dominan dalam Amsal 8 dan 9, dimana dia memperdengarkan suaranya dan mengundang orang-orang untuk datang kepadanya. Amsal 10 dan seterusnya adalah tentang “tingkah laku” Hikmat: bagaimana dia berbicara, berpikir, dan bertindak. Dasar dari kehidupannya adalah takut akan Tuhan, sebagaimana yang disebutkan dalam Amsal 1:7. Konsep tentang Hikmat ini terus mengalir sampai pasal terakhir dari kitab Amsal, dimana Hikmat mendapatkan wujud fisiknya dalam seorang isteri yang cakap. 


- WANITA BERNAMA KEBODOHAN -

Tetapi mari bandingkan Hikmat ini dengan seorang wanita lain, yang juga disebutkan dalam Amsal. Sejak awal, perseteruan antara Hikmat dengan wanita ini sudah sangat jelas, dan mencapai puncaknya dalam pasal 9, dimana keduanya berebut mengundang orang untuk menjadi sahabat mereka. Wanita yang satu lagi ini bernama Kebodohan. Ia adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan Hikmat, namun khususnya, ia tidak takut akan Tuhan. Ia bertindak sekehendak hatinya, tidak berpikir panjang, dan semua yang dilakukannya bersifat merusak. Dalam Amsal 10-29 kita melihat betapa berbedanya cara Hikmat dan Kebodohan menghadapi kehidupan sehari-hari. 

Mengapa membicarakan hal ini? Karena ketika kita memikirkan Delila dan tindakannya, pembaca yang familiar dengan kitab Amsal akan mengenali dia sebagai wanita yang kedua: Kebodohan. 

Cerita tentang Delila dalam Alkitab sangat sederhana. Simson jatuh cinta pada Delila, dan para raja Filistin datang kepada Delila dengan tawaran yang menggiurkan: dua talenta (sekitar 70 Kg) uang perak—jumlah uang yang sangat besar bagi seorang wanita di masa itu, untuk satu tugas yang sederhana, yaitu mencari tahu bagaimana Simson dapat dikalahkan. Delila membujuk Simson tujuh kali demi mendapatkan uang itu (satu-satunya yang lebih bodoh dari Delila di sini jelas adalah Simson), sampai akhirnya Simson tidak tahan dan memberitahu Delila bahwa rahasia kekuatannya adalah rambutnya. Delila dengan gembira memberitahukan hal itu pada raja-raja Filistin (seperti yang sudah enam kali dia lakukan sebelumnya), dan akhirnya dia mendapatkan uangnya. Kita tidak tahu akhir cerita Delila, kita juga tidak tahu apa yang dia rasakan dalam hatinya. Yang kita tahu, nama Delila menjadi sinonim bagi perempuan yang tidak baik, licik, penggoda, dan berbahaya. 

Sebagaimana zaman Delila, demikian pula zaman sekarang. Highlight di zaman kita ini adalah orang-orang yang hidup semau mereka sendiri, yang dianggap seperti pahlawan emansipasi. Mereka tidak peduli pada Tuhan, apalagi apa yang Ia suka atau tidak suka. Tokoh seperti Delila, yang mengumbar sex appeal untuk keuntungannya sendiri, justru dipuja. Sebagaimana yang dikatakan Amsal: 

Inilah jalan perempuan yang berzinah: ia makan, lalu menyeka mulutnya dan berkata, “Aku tidak berbuat salah.”
(Amsal 30:20)

Ketika bertemu orang seperti itu, kita ingat apa yang dikatakan Pengkhotbah: 

Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit daripada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat, dan tangannya adalah belenggu. Orang yang dikenan Allah terhindar dari padanya, tetapi orang yang berdosa ditangkapnya.
(Pengkhotbah 7:26)

Mungkin Delila tidak berpikir panjang waktu mendapat tawaran dari raja-raja Filistin. Dia pikir, kapan lagi dapat uang gampang seperti ini? Dia tentunya tidak berpikir bahwa namanya akan dicatat dalam buku sejarah orang Israel, yang tetap dibaca di seluruh dunia sampai ribuan tahun kemudian. Delila menjual integritas dan reputasinya untuk uang senilai sekitar Rp 600 juta (kita ingat Esau yang begitu bodoh menukar kesulungannya dengan semangkuk makanan), jumlah yang terlalu sedikit untuk nama yang rusak selama-lamanya. 

Tapi bukan hanya Delila yang sebodoh itu. Banyak wanita, sayangnya, juga bertindak bodoh dalam hidup mereka, karena satu akar yang sama dengan Delila: mereka tidak takut akan Tuhan. 


- TAKUT AKAN TUHAN -

Saya ingat ketika masih kecil ada yang menjelaskan kepada saya bahwa “takut akan Tuhan” berbeda dengan “takut kepada Tuhan”. Takut kepada Tuhan berarti memandang Tuhan sebagai wasit yang galak, yang siap dengan tongkat hukuman kapanpun kita melanggar aturan-Nya. Takut akan Tuhan, di sisi lain, melibatkan penghormatan dan kasih kepada Dia. 

Orang yang takut akan Tuhan lebih memikirkan apa yang disukai Tuhan, daripada apa yang ia sendiri suka. Dia menjadikan Tuhan sebagai prioritas. Ini bukan hanya berlaku dalam hal-hal “besar” seperti memilih pekerjaan, atau tidak berbuat dosa yang skalanya besar. Ini berlaku dalam segala hal sehari-hari. Ketika seorang wanita yang takut akan Tuhan nyaris terlibat dalam pertengkaran dengan suaminya, ia ingat, Tuhan meminta para isteri tunduk kepada suami mereka, dan ia menurutinya dengan cara tidak menjawab lagi (atau menurunkan nada suaranya). Bukan karena takut dihukum Tuhan, tetapi karena mengasihi Tuhan. 

Takut akan Tuhan diwujudkan dengan melakukan firman Tuhan. Ketika kita hidup dalam firman Tuhan, kita hidup above reproach—tanpa cela. Orang lain menilai kita dan diam-diam menghakimi kita. Biarlah mereka menilai kita dan menemukan hidup yang tidak bercela, yang taat kepada Tuhan. Dan bila kita melakukan firman Tuhan, itu berarti kita mengambil keputusan yang bijaksana. Firman Tuhan mengendalikan pikiran kita dan menolong kita. Orang bilang, wanita dikendalikan oleh emosinya, sedangkan pria oleh pikirannya. Saya percaya baik pria maupun wanita harus dikendalikan oleh firman Tuhan. 

Pada akhirnya ada dua wanita: Hikmat dan Kebodohan. Kita, para wanita, harus memilih mau menjadi wanita yang mana. Wanita yang berbahaya bagi semua orang, sampai suaminya pun dia jual demi uang; atau wanita yang begitu saleh, sampai suaminya—yang melihat cara hidupnya sehari-hari—pun memuji karakternya? 

Suaminya memuji dia: 
“Banyak wanita telah berbuat baik, 
tetapi engkau melebihi mereka semua.” 
(Amsal 31:29)

Monday, January 28, 2019

Debora: Perkataan Meneduhkan Di Bawah Pohon Kurma


by Tabita Davinia Utomo 

Bayangkan jika saat ini kita hidup di bawah penjajahan bangsa yang pernah kita taklukkan sebelumnya. Merasa kesal? Hm, bagaimana kalau semua itu karena kehidupan bangsa kita yang tidak menaati Tuhan? Penjajahan bangsa asing tersebut jadi terasa mengerikan, apalagi karena ada 900 kendaraan perang yang bisa datang sewaktu-waktu dan melukai—bahkan membunuh—kita seketika. Yang lebih menyedihkan, penderitaan tersebut berlangsung selama 20 tahun—dan tidak ada seorang pun yang berani melawan imperialisme ini! Lengkap sudah penderitaan kita, bukan? 

Hal itulah yang dirasakan oleh bangsa Israel di bawah penjajahan raja Kanaan, Yabin, dan panglima tentaranya yang bernama Sisera. Setelah Ehud, hakim Israel yang kidal (Hakim-hakim 3:15), mati, bangsa Israel kembali menyembah berhala dan hidup di luar kehendak Tuhan. Sebagai konsekuensinya, Tuhan menyerahkan bangsa bebal itu untuk dijajah bangsa Kanaan. Walaupun begitu, Dia tidak tinggal diam terhadap penindasan umat-Nya—sehingga diutuslah Barak bin Abinoam untuk memimpin bangsa Israel melawan bangsa Kanaan. 

Berbicara tentang Barak, tentunya kita tidak boleh melupakan sosok wanita di balik keberanian pria itu. Nama wanita itu Debora, istri Lapidot, yang menjadi satu-satunya hakim wanita di Israel (Hakim-hakim 4-5). Debora biasa duduk di bawah pohon kurma, di antara Rama dan Betel di pegunungan Efraim, untuk menyampaikan nasihat pada orang-orang yang datang kepadanya. 

Bisa dibilang, Debora mendobrak “kebiasaan” di zaman itu, di mana hanya laki-lakilah yang dapat menjadi pemimpin. Mungkin ada beberapa orang yang iri pada Debora karena dia memiliki kesempatan langka untuk memerintah bangsa Israel. Tapi satu hal yang harus kita pegang: orang-orang menaruh hormat dan segan Debora. Respek tersebut bisa timbul dari bangsa Israel karena Debora menyampaikan kebenaran firman Tuhan. 

Walaupun tidak ada penjelasan gamblang alasan terpilihnya Debora menjadi hakim Israel, kita bisa melihat bahwa Tuhan memilihnya untuk menguatkan Barak yang sempat takut untuk berperang. 


Ia (Debora) menyuruh memanggil Barak bin Abinoam dari Kedesh di daerah Naftali, lalu berkata kepadanya: "Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau,  dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin, dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke dalam tanganmu." 

Jawab Barak kepada Debora: "Jika engkau turut maju akupun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju akupun tidak maju." Kata Debora: "Baik, aku turut! Hanya, engkau tidak akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang perempuan." Lalu Debora bangun berdiri dan pergi bersama-sama dengan Barak ke Kedesh. 

(Hakim-hakim 4:6-9 / TB) 

Debora bisa saja menjawab kegentaran Barak dengan berkata, “Dasar, kayak gitu aja takut? Jadi cowok kok lemah!” Atau mungkin Debora memilih menertawakan Barak dan tidak mau ikut berperang bersamanya. Sebaliknya, Alkitab menegaskan bahwa Barak tetap memimpin mereka sampai menang. Meski tidak tertulis secara eksplisit, kita bisa melihat betapa Debora sangat memaklumi ketakutan Barak. Yah, secara logika manusia, bangsa Israel yang lemah dan minim persenjataan tidak akan bisa menang dari bangsa Kanaan yang kuat dan memiliki 900 kereta besi itu. “Itu mah cari mati,” mungkin Barak berpikir demikian, “Tuhan pasti bercanda memilihku yang penakut ini!” Bahkan sampai detik-detik perang akan dimulai, bisa jadi dia tetap gelisah saat melihat persiapan bangsa Kanaan untuk melawan bangsa Israel. 

Tapi Debora kembali menguatkan Barak, 

“Up! For this [is] the day in which the LORD has delivered Sisera into your hand. Has not the LORD gone out before you?” 
(Hakim-hakim 4:14 / NKJV) 

… and the rest is history :) Kita tahu bahwa pada akhirnya bangsa Israel berhasil mengalahkan bangsa Kanaan—dan Sisera pun dibunuh oleh Yael, salah satu wanita yang berasal dari keturunan ayah mertua Musa. Apa yang Debora katakan pada Barak adalah benar: mereka mengalahkan bangsa Kanaan karena pertolongan Tuhan, dan puncaknya adalah ketika nubuat Debora mengenai Sisera terjadi. 

--**-- 

Bagiku pribadi, Debora mengajarkanku tentang: 
1. Pentingnya bersikap meneduhkan, bukannya mencela dan tidak mau peduli pada orang lain. 
Melalui perkataannya, dia menguatkan Barak untuk memimpin bangsa Israel dalam berperang. Bukan hanya itu, Debora juga menemani Barak berperang—yang sebenarnya waktu berperangnya itu bisa dia alihkan untuk melakukan hal lain. 

Kalau dalam “Teduhnya Wanita” Raisa berkata, “Tajam rasa racun dunia, ia (wanita) punya penawarnya: kelembutannya (adalah) kekuatannya”, maka Amsal 31:26 berkata, 

“Ia (wanita/istri yang cakap) membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.” 
(Amsal 31:26)

Betapa besar kekuatan kata-kata, apalagi jika keluar dari diri wanita yang percaya pada Allah! 

2. Tidak jemu untuk membangun hubungan pribadi dengan Tuhan dan memohon hikmat-Nya dalam menjadi hakim bagi umat-Nya. 
Debora tidak akan bisa menjadi hakim Israel jika bukan karena Tuhan yang memilihnya. Debora menyadarinya, karena itu dia setia berdoa dan memohon pada Tuhan untuk memberikan hikmat-Nya dalam memberikan nasihat—termasuk saat Barak ragu-ragu untuk maju berperang.

3. Menaati panggilan Tuhan, sesulit apapun itu.
Kalau melihat Barak yang takut untuk memimpin bangsa Israel berperang, ada kemungkinan muncul secuil kesombongan dalam diri Debora, “Huh, kayak gitu aja nggak bisa! Imanmu lemah sih, Barak! Nggak kayak aku!” ataupun keluhan, “Kok, Tuhan memilih Barak yang penakut, bukan aku yang adalah hakim ini?”, tapi dia tidak melakukannya. Debora sadar bahwa Tuhan ingin bertindak bagi umat-Nya melalui dirinya dan Barak; karenanya, dia tahu posisinya adalah “pelaksana” perintah Tuhan dan tunduk pada-Nya, bukannya melangkahi-Nya. 

4. Tidak tinggal diam saat mengetahui ada yang memerlukan pertolongan.
Debora bisa saja meninggalkan Barak diam-diam saat berperang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: Dia menemani Barak dengan berdoa kepada Tuhan untuk menyertai para tentara Israel—hingga mereka memuji Tuhan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang Dia berikan.


***


Mungkin Debora tidak pernah menyangka, bahwa berabad-abad kemudian, penulis surat Ibrani menyatakan bahwa jenderal Barak yang sempat takut berperang itu termasuk dalam salah satu pahlawan iman (Ibrani 11:32-34). Ya, kata-kata memiliki kekuatan untuk menghancurkan, tapi juga bisa membangkitkan semangat yang patah. Kalau kita mengaku sebagai anak-anak Allah, maka sudah seharusnya kita berkata-kata seperti yang Dia kehendaki: membangun, bukan meruntuhkan. Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan seseorang di masa depan selain Allah. Bisa saja dia mengalami keputusasaan berkepanjangan karena celaan kita, atau dia justru memiliki hidup yang berpengharapan pada Tuhan karena encouragement yang kita berikan—walaupun cuma sesaat. 

Jadi, siapakah orang yang ingin Anda berikan encouragement hari ini?

Monday, January 21, 2019

Hana: Dari Masalah, Pada Pengenalan Akan Allah


by Eunike Santosa

Pernah nonton sinetron Indonesia? Atau, kalo kamu anak 90-an, ingat gak zaman ketika telenovela Amerika Latin lagi heboh-hebohnya di Indonesia (Esmeralda, Esperanza, dkk)? Atau, buat yang masih ga konek lagi, drama Korea or Cina or Jepang, your choice dehhhhh… Hehe. Nah, di Alkitab ada loh, cerita ala sinetron yang penuh drama, penyiksaan batin dan derai tangis air mata... (ini bahasanya harus diberikan ekstra bumbu-bumbu biar lebih mantap! :P) Penyiksaan jiwa oleh istri lain dari sang suami telah membuat seorang wanita jatuh dalam depresi. Alkitab mencatat bahwa sang istri pertama ini menangis tersedu-sedu setiap tahunnya, sampai tidak mau makan. Akankah… dia terbebas dari belenggu penderitaan batin ini? Kita kupas setajam SILET… (Nih acara masih ada ga sih? Hahaha…) 

Oke, setelah intro yang (mohon maaf) agak lebay, mari kita tengok Alkitab kita di 1 Samuel 1:1—2:26 Disini kita mendapatkan kisah tentang seorang perempuan bernama Hana (dalam bahasa Ibrani: Channah yang artinya: favor, grace). Di pasal 1 kita bisa melihat background Hana: 
  1. Dia adalah isteri dari pria bernama Elkana (ayat 2). 
  2. Dia isteri pertama dari dua orang isteri; artinya, si mbak Hana dipoligami. 
  3. Hana ga punya anak so far (ayat 2), sementara si isteri satunya (Penina) dah punya beberapa anak. 
  4. Suaminya cinta ama dia; isteri favorit kayaknya, dibanding si istri kedua (ayat 5 dan 8). 
  5. Tuhan menutup kandungannya. (Kenapa ditutup yah?) 
  6. Tiap tahun mereka sekeluarga pergi ke Silo buat mempersembahkan korban bagi Tuhan (ayat 3), berarti mereka cukup religious. 
  7. Tiap tahun ketika mereka pergi ke Silo sekeluarga, Hana di-bully ama isteri kedua suaminya karena dia ga punya anak (ayat 6). 
  8. Hana sakit hati, menangis dan ga mau makan (ayat 7). Kedengarannya seperti gejala depresi kan yah? 
Bisa melihat pattern sinetronnya? Hehe… Tapi, jokes aside, apa yang diderita Hana saya rasa bisa dirasakan oleh banyak perempuan di dunia ini yang sedang berdoa untuk mempunyai anak. Atau mungkin untuk kamu-kamu yang sedang bergumul dengan sebuah masalah dimana kamu merasa Tuhan menutup jalanmu seperti Tuhan menutup kandungan Hana. Dan mungkin seperti Hana, kamu sudah menunggu bertahun-tahun untuk keluar dari pergumulanmu ini. Apapun itu, kamu ingin berteriak ke Tuhan, kamu sudah tidak tahan, kamu menangis dan menangis dan menangis dan tidak ada jawaban. Kamu mungkin bertanya, kenapa kok Tuhan menutup jalan? Atau dalam kasus Hana, kenapa Tuhan menutup kandungan Hana? kenapa Tuhan mengizinkan Hana untuk dibully oleh isteri yg lain, menangis bertahun-tahun, hilang nafsu makan, or even depresi? Kok Allah yang baik ini… tega…? 

Membaca cerita Hana lebih lanjut, kita kemudian melihat bahwa Hana berdoa kepada Tuhan. Pastinya ini doa yang kesekian kalinya. Alkitab mencatat bahwa Hana berdoa dengan hati pedih, sambil menangis tersedu-sedu (ayat 10) dan kemudian dibilang lagi di ayat 16 oleh Hana sendiri kalo dia berdoa dengan cemas dan sakit hati. Bisa kita lihat betapa dalam, dan pedihnya hati Hana ini, desperate ama Tuhan, sampai-sampai dia bikin janji nazar ke Tuhan. Di ayat 11, Hana berdoa untuk Tuhan melihat dia, mengingat dia—kadang kita juga berdoa seperti ini kan? Tuhan dimana? Apakah Tuhan lupa terhadapku? Hana berdoa dan berdoa, dan saking lamanya dia berdoa sampai dikira mabuk dan perempuan ga bener oleh imam Eli (ayat 12). Dan mungkin di sini, ketika kamu menghadapi pergumulanmu masing-masing, banyak orang yang bukannya bersimpati dan berempati, eh malah nge-judge kamu yang nggak-nggak… *sigh. Banyak yang tidak akan mengerti pergumulanmu tentunya, tapi justru karena itu, kita melihat bahwa dalam kasus Hana, dia melepaskan semua pergumulan jiwanya kepada Tuhan, lewat doa-doanya. 

Lalu tiba di ayat 18 dimana Hana mau makan dan ga sedih lagi. Hmmmmm, what happened? Apakah karena si imam Eli sudah bercakap-cakap dengan Hana? Apakah karena Eli bilang Tuhan akan kasih apa yang kamu minta? Apakah karena Hana sudah puas nangis-nangis dan berdoa? Kita lihat di ayat 20, Hana akhirnya dikasih Tuhan anak, trus dinamain Samuel yang artinya “Heard from God” —didengar oleh Tuhan. Jadi apakah karena doa Hana didengar oleh Tuhan, maka penderitaan Hana lenyap? I don’t think so. Hana sudah hepi duluan sebelum dia dapat anak oleh Tuhan. Kok bisa? Aye naon hepen? 

Jawabannya mari kita lihat di doa syukur Hana di pasal 2. 

Nah di ayat pertama aja si mbak Hana langsung bilang: “Hatiku bersukaria karena TUHAN!” Noh Jawabannya! Hahahhaha… Kenapa Hana bisa bersukacita lagi? Karena Tuhan sudah membuat dia kuat; Tuhan adalah pertolongannya! Ketika saya meneliti Doa Hana lebih lanjut, saya menggaris bawahi begitu banyak deklarasi karakter-karakter Allah. 
  1. Allah itu Kudus (ayat 2) 
  2. Allah itu gunung batu (ayat 2, 3) 
  3. Allah itu Mahatahu (ayat 3) 
  4. Dia lah Hakim yang menguji (ayat 3) 
  5. Dia meninggikan yang lemah (ayat 4 dan 5) 
  6. Allah itu Berkuasa! 
  • Berkuasa atas hidup dan mati (ayat 6) 
  • Berkuasa atas materi (kaya dan miskin) (ayat 7) 
  • Berkuasa atas bumi/dunia (ayat 8) 
  • Berkuasa atas manusia (ayat 9) 
Selain dari deklarasi itu, lagi dan lagi, si mbak Hana mereferensikan bahwa kekuatan manusia itu dari Allah saja, jadi kita ga berhak untuk sombong. Allah yang meninggikan, dan memberi kekuatan kepada yang lemah. So dari sini, jawabannya jelas: Hana memandang kepada Tuhan, dia mengenal Tuhan, dia fokus kepada Tuhan. Dia berpaling kepada Allah dan mencari kekuatan dari Allah saja. And therefore she praises God, bahwa kekuatannya dari Allah saja. Bukan hanya itu, lewat pergumulannya ini, Hana mengenal Allah, dia mengenal karakter-karakter Allah. Hana mengakui kedaulatan Tuhan atas hidupnya. 

Bagaimana denganmu? Cerita Hana diakhiri dengan happy ending, karena setelah Hana punya Samuel dan serahkan dia ke Tuhan, Tuhan memberi Hana lima orang anak lagi. Samuel in the end menjadi hakim Israel yang terakhir sebelum Israel beralih ke masa raja-raja. Samuel dari kecil dicatat di Alkitab sebagai anak yang saleh, dengar-dengaran sama si imam Eli, dan ketika Tuhan memanggil Samuel… Dia menjawab. :) Ini mengingatkan saya lagi kepada ayat ini: 

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. 
(Roma 8:28)

Kemandulan Hana adalah tindakan langsung dari Allah. Komentator di Sabda mencatat bahwa Tuhan tidak langsung memberikan anak kepada Hana dengan tujuan mempersiapkan Hana untuk kelahiran Samuel. Tuhan kadang mengizinkan kita mengalami hal-hal yang tidak enak atau tidak mampu supaya kita jadi jadi rendah hati, agar kita tahu bahwa pada akhirnya semua ini bukan karena kekuatan kita sendiri, tetapi karena Tuhan. He knows best. :) Apapun yang baik yang kita dapatkan, seperti arti dari nama Hana, it’s a favor, it’s only by God’s grace.

Monday, January 14, 2019

Atalya: Mata Rantai Dosa


by Tabita Davinia Utomo 

Selamat memasuki tahun 2019, Pearlians! Bagaimana kabarnya? Masih bersemangat menjalani resolusi yang sudah tersusun di tahun sebelumnya? :) Nah, biar lebih afdol lagi, hari ini kita akan belajar dari seorang wanita yang sangat berpengaruh di zamannya. Bukan hanya sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga bagi cucu dan… seluruh bangsanya! Well, the clue is… dia adalah satu-satunya ratu yang pernah memerintah di sepanjang sejarah kerajaan Yehuda dan Israel. Who is that woman? 

Dia adalah Atalya, anak perempuan Ahab, raja Israel. Kisahnya bisa kita temukan di 2 Raja-raja 8:26; 2 Raja-raja 11; 2 Tawarikh 22; 2 Tawarikh 23:13-21; 24:7. Seperti yang kita tahu, Ahab dan Izebel, istrinya, telah membuat Israel sampai ke titik kebobrokannya. Pada masa pemerintahan Ahab, ia membuat bangsa Israel menyembah berhala dan mengakibatkan Tuhan murka—sampai-sampai hujan tidak turun selama 3,5 tahun. 

Atalya yang dibesarkan dengan orang tua seperti Ahab dan Izebel, tumbuh pula menjadi wanita yang tidak mengenal Allah. Yuk, kita berefleksi melalui tiga peran buruk yang dicatat Alkitab mengenai Atalya! 

1. ATALYA SEBAGAI ISTRI
Dengan membawa didikan mengenai penyembahan berhala dari orangtuanya, Atalya pun memengaruhi Yoram—suaminya sekaligus raja Yehuda—untuk memimpin kerajaan Yehuda dalam penyembahan berhala. Padahal, Yoram adalah salah satu keturunan Daud, yang seharusnya menjaga integritasnya untuk hidup dalam kehendak Tuhan. Tapi Alkitab mencatat, 

Ia (Yoram) hidup menurut kelakuan raja-raja Israel seperti yang dilakukan keluarga Ahab, sebab yang menjadi istrinya adalah anak Ahab. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. 
(2 Raja-raja 8:18 / TB)

Selama ini, saya hanya mendengar bahwa seorang istri memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan suaminya. Tapi kali ini, Alkitab memberikan data akurat bahwa pengaruh seorang istri bisa menjadi salah satu sumber kejatuhan suaminya dalam dosa. 

Seorang istri dapat menjadi sarana bagi suaminya untuk mendekat kepada Tuhan, atau justru menjauh dari-Nya. 

Untuk menegaskan hal ini, berabad-abad kemudian, Petrus menuliskan tentang bagaimana seorang istri harus bersikap, bahkan saat suaminya tidak taat pada Firman Tuhan, 

“Begitu juga kalian, istri-istri, harus tunduk kepada suami supaya kalau di antara mereka ada yang tidak percaya kepada berita dari Allah, kelakukanmu dapat membuat mereka menjadi percaya. Dan tidak perlu kalian mengatakan apa-apa kepada mereka, sebab mereka melihat kelakukanmu yang murni dan saleh.” 
(2 Petrus 3:1-2 / BIMK) 

Dari peran pertama ini, kita bisa crosscheck ke diri masing-masing. Apakah sebagai istri atau calon istri kita: 
  1. rindu agar kehidupan suami mengalami pertumbuhan, baik secara iman dan karakter? 
  2. mendorong suami untuk bertumbuh bersama; baik melalui saat teduh, komunitas pertumbuhan iman, dsb.? 
  3. mendorong suami untuk terlibat dalam pelayanan; baik di gereja maupun di luar gereja—disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya? 
  4. bukan hanya “memerintah” suami untuk melakukan ini atau itu, melainkan juga bersedia untuk mengalami proses pertumbuhan iman dan karakter di dalam Tuhan bersamanya—maupun tidak? 

2. ATALYA SEBAGAI IBU 
Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri. Ia pun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihatinya untuk melakukan yang jahat. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN sama seperti keluarga Ahab, sebab sesudah ayahnya mati, mereka (keluarga Ahab) menjadi penasihat-penasihatnya yang mencelakakannya. 
(2 Tawarikh 22:2-4 / TB) 

Sejahat-jahatnya seorang ibu, pasti dia ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, bukan? Tapi sepertinya, apa yang Atalya lakukan ini benar-benar di luar logika manusia. Terlepas dari obsesinya untuk jadi ratu—lalu membunuh semua calon penerus kerajaan Yehuda—pola asuh (parenting) dengan cara mengajarkan hal-hal jahat bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan orangtua maupun keluarga besar lainnya. 

Yang lebih “aneh” lagi, usia Ahazia saat menjadi raja sudah 42 tahun. Bukan usia yang muda, namun bisa dimaklumi jika dia memerlukan penasihat (yah, memimpin sebuah negara/kerajaan pasti butuh nasihat yang bijak karena menyangkut kepentingan banyak orang). But at least, seharusnya Ahazia paham kalau apa yang ibunya lakukan itu salah. Tidak dijelaskan apakah kejahatan yang Ahazia lakukan ini juga karena ayahnya yang melakukan hal yang sama; tapi ada kemungkinan demikian. Jika tidak, kenapa Ahazia tidak menolak usulan ibunya saat keluarga Ahab (yang notabene adalah musuh kerajaan Israel waktu itu) menjadi penasihatnya? 

Selain kepada suami, seorang wanita juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan anaknya. 

Dear mommies and mommies soon to be, apakah kita: 
  1. rindu agar anak kita mengalami pertumbuhan dalam Tuhan secara pribadi, khususnya dalam iman dan karakter? 
  2. tidak segan menegur anak kita ketika dia melakukan kesalahan, tentunya dengan cara yang bijak dan tidak asal mengomel? 
  3. bersama suami – atau anggota keluarga lain bagi yang single parents, berjuang mendidik dan memberikan teladan pada anak untuk hidup dalam kebenaran Firman Tuhan? 
  4. mendorong anak untuk terlibat dalam pelayanan, disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya, bukan hanya sekedar kesibukan? 
  5. menjadi teladan dalam disiplin rohani, kepekaan iman, dan aspek-aspek kerohanian maupun karakter lainnya?

3. ATALYA SEBAGAI NENEK
Saya yakin siapapun pasti ingin melihat keturunan-keturunan berikutnya selagi bisa, dan berusaha mendidik mereka untuk hidup dalam Firman Tuhan. Tapi Atalya melakukan sesuatu yang anti mainstream dan bahkan brutal, yaitu membunuh semua calon penerus tahta kerajaan Yehuda demi obsesinya untuk jadi ratu. Meskipun Yoas, anak Ahazia yang luput dari pembunuhan itu, terselamatkan, namun peran Atalya sebagai nenek menunjukkan bahwa dia gagal menjalankan peran sebagaimana seharusnya (2 Tawarikh 22:10-12). 

Inti pertanyaan refleksi di bagian ini sama dengan bagian sebelumnya, tapi yuk, kita juga berdoa bagi anak kita agar dia dan pasangannya dapat mendidik cucu kita kelak untuk bertumbuh dalam Firman Tuhan. Selagi masih ada kesempatan, kita juga bisa menolong cucu kita dengan cara menceritakan pengalaman iman kita. 

4. ATALYA SEBAGAI RATU/PEMIMPIN
Obsesi Atalya untuk menjadi ratu membuat bangsa Yehuda ketakutan. Mereka takut melanggar perintahnya, tapi juga tidak tahu harus lari ke mana. Bukankah sebenarnya ini adalah bentuk kegagalan seorang pemimpin dalam menjadi “penjamin keamanan” bagi rakyatnya? 

Menjadi pemimpin di sini bukan hanya soal memerintah sebagai pemimpin negara, melainkan bagaimana kita memimpin anak-anak rohani kita untuk bertumbuh dan berbuah di dalam Tuhan. Saya pun harus mengakui kalau saya belum menjadi pemimpin yang baik bagi anak-anak rohani saya. Tapi di sisi lain, saya juga tidak mau menjadi pemimpin yang gagal seperti Atalya. 

Bagi Pearlians yang dipercaya untuk menjadi pemimpin dalam sebuah perusahaan, yayasan, atau apapun itu, yuk kita belajar bersama menjadi teladan iman bagi orang-orang di sekitar kita. Berapapun usia dan apapun latar belakang kita, biarlah mereka dapat menemukan Kristus dalam kehidupan kita dan memuliakan-Nya. 

***

Kisah Atalya ini sesungguhnya menggambarkan sebuah pola tentang dosa yang diwariskan hingga ke generasi selanjutnya. Dimulai dari Ahab dan Izebel, kemudian Atalya dan suaminya, bahkan hingga ke anak-anak dan cucu mereka. Dosa di dalam keluarga mereka seakan menjadi rantai yang mengikat, dimana setiap orang di dalamnya adalah mata rantainya. Tapi sebenarnya, alih-alih menjadi mata rantai yang melanjutkan kehancuran bagi keluarga dan bangsanya, Atalya punya pilihan untuk berbalik dan memutus rantai dosa. Sebenarnya dia bisa menjadi seperti Yosia – raja Yehuda yang memutus rantai dosa penyembahan berhala di keluarga dan bangsanya, meskipun hal itu tidak dilanjutkan oleh keturunannya (2 Raja-Raja 22:1-20 dan 23:1-30). Kakek dan ayah Yosia, Manasye dan Amon, melakukan hal-hal yang jahat di mata Tuhan, tapi Yosia justru melakukan apa yang benar dengan menghancurkan bukit-bukit pengorbanan, tiang-tiang berhala, patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan di Yehuda. Yosia menjadi mata rantai yang berbeda dari kakek dan ayahnya dan bahkan melakukan reformasi rohani bagi bangsanya. 

Sebagai penutup, biarlah lagu berikut dapat menjadi pengingat sekaligus penyemangat kita untuk menjadi mata rantai yang meneruskan teladan Kristus dalam segala aspek dan peran kita di dunia ini. :) 



(Hidup Ini Adalah Kesempatan) 

Hidup ini adalah kesempatan 
Hidup ini untuk melayani Tuhan 
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'ri 
Hidup ini harus jadi berkat 

O Tuhan, pakailah hidupku 
selagi aku masih kuat 
Bila saatnya nanti, ‘ku tak berdaya lagi, 
hidup ini sudah jadi berkat