Monday, February 18, 2019

Priskila: Wanita Tangguh itu Indah



by Femmy Kowel

Semua diawali lewat sebuah perjumpaan.

Kalau dipikir-pikir, benar juga. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin ada persahabatan. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin seseorang dapat menikah—apalagi pada zaman dulu yang belum secanggih sekarang! Itu pula yang dialami oleh sepasang suami-istri di Perjanjian Baru, Akwila dan Priskila.

Akwila adalah pria kebangsaan Yahudi, tapi tidak tinggal di wilayah Yahudi. Dia dibesarkan di Pontus, salah satu propinsi kekuasaan Roma. Setelah menikah, Akwila mengajak istrinya pindah ke kota Roma, Italia, untuk menjalani hidup baru mereka. Kemungkinan besar, Priskila juga berkebangsaan Yahudi. Melalui keahlian dalam membuat kemah, akhirnya mereka menjadikan hal itu sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Italia (Kis 18:2).

Sebagai istri yang juga tidak tinggal di tanah kelahirannya sendiri, saya bisa membayangkan bahwa mereka adalah pasangan yang, mau tidak mau, harus berbaur dan beradaptasi dengan adat budaya yang berbeda dari mereka. Mereka harus hidup hati-hati dalam lingkungan itu, serta membangun hubungan yang baik dengan tetangga, pemerintah setempat dan rekan-rekan kerja. Pokoknya harus cari cara biar bisa diterima dan survive.

Namun apa mau dikata?

Tiba-tiba, situasi menyakitkan harus mereka hadapi. Kaisar Klaudius—yang saat itu berkuasa di Roma—memberikan perintah untuk mengusir seluruh orang Yahudi dari Roma.

Saya mencoba membayangkan perasaan Akwila & Priskila saat itu. Pasti hati mereka diliputi perasaan khawatir, down, takut, dan bingung. Situasi pengusiran adalah situasi dadakan alias tak terencana. Coba bayangin deh, gimana perasaan kita kalau diusir dari rumah sendiri. Stress iya, merasa terhina ya iya, dan yang pasti ada rasa takut yang menusuk hati. Jadi, saya bisa merasakan bahwa pasangan ini pasti kaget setengah mati!

Sebagai perempuan, pasti banyak hal yang berkecamuk di hati Priskila; seperti ini:
“Kok gini, sih?”
“Terus, kita harus ke mana?”
“Kita harus ngapain buat dapat penghasilan untuk makan?”
“Besok makan apa?”
“Kenapa setelah nikah jadi begini, ya?”
“Mungkin harusnya aku nggak nikah dengan orang Yahudi… nggak aman “
“Apakah aku salah pilih pasangan?”
… dan seterusnya.

Setelah menerima perintah pengusiran itu, tentunya juga ada banyak pertanyaan dan perdebatan yang harus mereka lalui dengan air mata. Bayangin, deh. Akwila dan Priskila harus meninggalkan kampung halaman mereka yang penuh kenangan, dengan harapan dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala di tempat lain. Tanpa diduga, hidup tenang yang didambakan malah lenyap begitu saja karena pengusiran itu.

Long story short, mereka memutuskan untuk menuju ke Korintus dan memulai hidup yang baru di sana. Kitab Kisah Para Rasul 18:2 mencatat, perjumpaan antara Paulus dengan pasangan suami istri ini di Korintus menjadi titik awal kehidupan baru yang penuh arti dalam perjalanan rumah tangga mereka. Secara pribadi, sosok Priskila yang tangguh memberikan peneguhan dan kekuatan baru untuk terus setia dalam panggilan Tuhan atas hidup saya. Dari Priskila, saya belajar bahwa dia dimampukan mendemonstrasikan ketangguhannya itu oleh kasih karunia Allah. Karena-Nya, Priskila sanggup menghadapi kehidupan rumah tangganya dan setia dalam panggilan hidupnya. Dari situlah saya menyadari bahwa menjadi wanita tangguh itu sangat indah.

Eh, tunggu dulu. Ketangguhan seperti apakah yang diperlihatkan Priskila?
1) Ketangguhan hidup berumah tangga
Setelah diusir dari Italia, Priskila tidak berontak ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia dan suaminya harus memulai kembali kehidupan mereka dari awal di Korintus. Kata “memulai” berarti mengerjakan sesuatu dari awal lagi. Ini tidak mudah, dan memerlukan ketangguhan mental dan fisik untuk membangun kehidupan dari awal lagi. Harus mencari tempat tinggal baru lagi, membangun usaha baru, serta membangun pertemanan agar bisa berbaur dan mendapat kesempatan untuk berbisnis. Sebuah keadaan yang menekan, bukan?

Namun di dalam situasi seperti itu, Priskila tetap setia dan tidak meninggalkan suaminya. Sebenarnya bisa saja kan, dia menyerah dan pergi dari suaminya? Tapi dia tidak melakukannya. Priskila taat pada proses dan terus setia mendampingi suaminya (Kisah Para Rasul 18:2-4).

2) Ketangguhan mental untuk mau di-ajar dan taat pada otoritas 
Selama beberapa tahun, Priskila dan suaminya belajar dari Paulus untuk semakin mengenal Tuhan lewat Kitab Suci, serta praktik pelayanan langsung bersama penginjil besar itu. Priskila dan Akwila pergi bersama ke Siria dan berbagai kota lain untuk menemani dan melayani Paulus memberitakan injil. Bahkan Paulus mengatakan Priskila dan suaminya itu telah mempertaruhkan nyawa untuknya (Roma 16:3)! Wow!

3) Ketangguhan pikiran untuk belajar Kitab Suci dengan tekun sehingga tahu kebenaran dan akhirnya berani mengkoreksi dan mengajar 
Priskila dan suaminya berani mengoreksi orang seperti Apolos, lho. Apolos adalah seorang Yahudi yang sangat teliti mempelajari Kitab Suci. Orang-orang seperti ini, biasanya, sangat susah untuk disanggah, di-challenge, apalagi diajari. Kemungkinan besar Apolos pun memiliki sifat demikian. Tetapi yang membuat saya salut, Priskila sanggup mendampingi suaminya untuk mengajar Apolos untuk bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah (Kisah Para Rasul 18:26). Dua ayat terakhir yang membahas Apolos dalam Kisah Para Rasul menceritakan bahwa melalui kasih karunia Allah, Apolos menolong jemaat di Efesus—karena dengan penuh semangat dia membuktikan melalui Kitab Suci bahwa Kristus adalah Yesus, sekaligus membantah orang-orang Yahudi yang meyakini sebaliknya.

4) Ketangguhan dalam tugas pelayanan 
Priskila dibentuk menjadi wanita yang tangguh ketika harus pergi ke tempat-tempat lain untuk menyertai Paulus dalam pemberitaan Injil. Saya bisa membayangkan betapa lelahnya dia. Harus melayani keluarga, membantu pekerjaan suaminya, dan taat pada tugas pelayanan yang diberikan Paulus ke tempat-tempat yang mungkin jaraknya tidak dekat. (Kisah Para Rasul 18:18). Saya percaya bahwa Priskila bisa melakukan semuanya itu karena Tuhan yang menguatkannya.

5) Ketangguhan hati dalam berkorban untuk orang lain 
Alkitab mencatat bahwa rumah Priskila menjadi basecamp bagi jemaat untuk bersekutu, serta memuji dan menyembah Tuhan (baca: komsel). Hm, memangnya nggak capek ya, kalau secara rutin ada banyak orang yang berkumpul di rumah kita? Kita harus selalu menyediakan minum, makan, kursi, meja dan hal-hal lainnya kalau ada yang berkunjung. Sebelum mereka datang, pasti Priskila sudah sibuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel dan mengatur rumah agar rapi dan bersih. Belum lagi kalau mereka sudah pulang. Beres-beresnya jadi dua kali, otomatis capeknya bakal terasa dua kali juga, kan?

Tapi Priskila setia. Hatinya tangguh, tidak lemah, menolak, apalagi berontak. Dia tetap mengizinkan persekutuan jemaat terjadi di rumahnya, membuka pintu, melayani dan mengajari mereka. Wow! Full service! (1 Korintus 16:19).

Kita memerlukan ketangguhan untuk memenuhi panggilan hidup kita yang diberikan Tuhan, ladies. Namun ada poin yang harus kita ingat: Ketangguhan bisa diperoleh hanya melalui sebuah proses. Seperti Tuhan memampukan Priskila untuk menjadi wanita tangguh, saya berdoa agar Tuhan juga melakukan hal yang sama pada kita dalam menjawab panggilan-Nya dalam hidup kita masing-masing. 

Yes, a tough-woman-in-God is beautiful.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^