Monday, February 8, 2021

Not Simply Tell the Truth




by Tabita Davinia Utomo

“B’rani nyatakan kebenaran.”

Itu adalah salah satu bagian lirik jingle dari PPSMB (Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru) Fakultas ketika saya menjadi mahasiswa baru di sana. Walaupun sudah hampir dua tahun lulus dari kampus tersebut, lirik jingle itu kadang-kadang terngiang di benak saya. Nah, pikiran saya yang terbiasa random ini akhirnya membuat saya berpikir, “Bukannya susah ya kalau mau ngomong apa yang bener?”

Iya lho, coba aja lihat para martir. Mereka sampai kehilangan nyawa karena mempertahankan iman kepada satu-satunya Tuhan. Begitu juga dengan tokoh-tokoh reformasi gereja seperti Martin Luther dan John Calvin yang juga bergumul berat karena penolakan gereja atas gerakan back to the Bible yang mereka lakukan… Itu belum termasuk orang-orang yang “hilang” karena menentang pemerintah—entah yang ada di Indonesia maupun di luar negeri. Kalau cara halus (sampai harus ada sindiran elegan) saja tidak mempan, rasanya satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membangkang. Eh, maksud saya membangkang terhadap peraturan atau hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.

Secara teori, kita paham bahwa integritas kepada Tuhanlah yang seharusnya jadi pegangan. Ironisnya, kenyataan justru berbicara dengan keras adanya ketidaksinkronan apa yang Firman Tuhan katakan dengan respon orang lain (bahkan kita termasuk di dalamnya). Tidak perlu membayangkan terlalu jauh, kenyataan seperti ini mungkin juga sering kita alami dalam konteks-konteks berikut:

Sebagai anak:
“Kamu tuh, masih bocah! Nggak usah ikut campur.” – diomeli karena berkata pada orang tua agar tidak bertengkar terus-menerus.

Sebagai istri:
“Kamu tuh, perempuan! Nggak pantes ngatur-ngatur aku!” – perkataan ketus dari seorang suami pada istrinya yang berusaha memastikan bahwa suaminya menjalankan perannya dengan baik sebagai suami (dan ayah).

Sebagai ibu:
“Mama/Mami/Ibu/Bunda nggak usah sok tahulahh. Ini tu namanya trennn.” – sang anak berkata dengan sinis ketika ibunya menasihati agar tidak memboroskan uangnya untuk membeli barang-barang demi tren semata.

Sebagai orang yang bekerja/berkuliah/bersekolah:
Dikucilkan karena dianggap tidak memperlancar “kerja sama” di antara teman-temannya; saat ada tindakan buruk yang akan dilakukan, dia justru menegur—dan berujung pada dirinya yang mendapat label “orang naif” di tempat tersebut.

Lama-kelamaan, mulut ini lebih memilih untuk diam karena penolakan-penolakan yang bertubi-tubi. Pertanyaannya, ketika apa yang kita katakan terbukti benar dan orang yang sempat membantah justru overwhelmed karena membantah perkataan kita, apa yang menjadi respon kita? Mungkin dua meme dari @transletin ini menjadi jawabannya:


Saking gemasnya dengan orang-orang yang ngeyel kalau diberitahu apa yang benar, kita cenderung memilih untuk “membiarkan” mereka agar jatuh ke lubang yang telah mereka gali. Well, dosa memang sudah membuat seluruh tatanan kehidupan menjadi rusak, dan hanya karena kasih karunia Tuhanlah yang bisa memulihkannya—termasuk dalam hal memberitakan kebenaran dalam kasih. Kebenaran di sini bukan hanya tentang Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan, keselamatan, dan hidup (Yohanes 14:6), tapi juga menjadi cermin dari-Nya yang adalah kebenaran itu. Salah satu bagian Firman Tuhan yang perlu kita pegang dalam menghadapi keadaan-keadaan seperti itu adalah 1 Petrus 3:15-16, namun di sini saya akan mengutip dari versi Alkitab Ayat Yang Terbuka (AYT):

“Akan tetapi, kuduskanlah Kristus sebagai Tuhan dalam hatimu! Siap sedialah untuk memberi jawaban kepada siapa pun yang menuntutmu mengenai pengharapan yang kamu miliki, tetapi lakukanlah itu dengan lemah lembut dan hormat, serta milikilah hati nurani yang jernih supaya ketika kamu difitnah, orang yang mencaci cara hidupmu yang baik di dalam Kristus akan menjadi malu.”

Konteks penulisan surat dari rasul Petrus ini bukan tanpa alasan. Pada masa itu, orang Kristen mula-mula (termasuk Gentiles, orang non-Yahudi yang menjadi Kristen) mengalami penganiayaan dan tersebar di berbagai wilayah (di antaranya Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia – 1 Petrus 1:1). Mengetahui pergumulan mereka mengenai iman kepada Kristus, Petrus menulis semacam encouragement di 1 Petrus 1:2 sebagai berikut:

“yang dipilih sejak semula oleh Allah Bapa melalui pengudusan oleh Roh untuk dapat hidup dalam ketaatan kepada Kristus Yesus dan memperoleh percikan darah-Nya. Kiranya anugerah dan damai sejahtera melimpah atasmu.” (AYT)

Mengacu pada AYT, “sejak semula oleh” dimaksudkan jemaat penerima surat Petrus ini telah ditentukan melalui rencana Allah sejak semula (literally foreknowledge—prapengetahuan); sementara “memperoleh percikan darah-Nya” mengingatkan mereka pada pengudusan oleh darah Kristus. Sebagai orang percaya yang teraniaya (bukan hanya fisik, tapi juga secara sosial), bukan hal yang mudah bagi mereka untuk tetap mempertahankan iman kepada Sang Juruselamat. Namun di sisi lain, saya membayangkan ada dorongan dalam diri mereka untuk memberitakan Injil melalui kehidupan mereka—sehingga semakin banyak orang percaya kepada Kristus. Itulah alasan Petrus mengingatkan agar orang-orang percaya ini tetap mempertahankan integritas hidup mereka di dalam Kristus, karena dari sanalah (siapa tahu) lingkungan yang mencerca dan menolak pemberitaan Injil justru menjadi malu. Well, ini seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus, “Jika Allah di pihak kita, siapakah dapat yang melawan kita?” (Roma 8:31)

Kalau ditarik ke zaman sekarang, kita harus mengakui bahwa ada ketidakberdayaan dan rasa putus asa setiap kali kebenaran yang disampaikan jadi mental (baca: semacam masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri pula). Lama-kelamaan kita jadi memilih untuk memakai jalan pintas: memaksakan apa yang kita yakini tanpa mendengarkan pendapat orang lain. I’m sorry to say, ini justru membuat citra kita sebagai orang Kristen jadi dicap buruk. :( Lalu apa yang harus kita lakukan?

1. Sabar adalah kunci

Menghadapi orang-orang bawel nan ngeyel membutuhkan kesabaran ekstra, Pearlians. Percayalah, kalau kita hanya bergantung pada diri sendiri, kita akan jadi cepat lelah untuk membuat orang lain jadi percaya pada kebenaran yang kita beritakan. Then come to Jesus Christ; He will encourage us to be more patient to tell the truth.

2. Allah yang memroses kita dan mereka

Seringkali kita lupa bahwa kebenaran yang disampaikan bukan hanya bertujuan memenangkan orang lain, tapi juga membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Tentunya ini hanya bisa terjadi karena intervensi Allah—yang bekerja secara misterius namun pelan-pelan buahnya bisa terlihat. Kalau Tuhan saja tidak memaksa sedemikian rupa hanya agar kebenaran-Nya mendarat di hati orang lain, siapa kita sehingga merasa berhak untuk mengindoktrinasi mereka? Tugas kita adalah menabur dan menyiram, namun Allah memberikan pertumbuhan.

3. Jangan lupa berdoa!

Usaha manusia ada batasnya, karena itulah kita dipanggil untuk berdoa dan menyerahkan pada Tuhan apa yang telah kita lakukan. Oh iya, bahkan sebelum menyatakan kebenaran, kita harus selalu bertanya, “Apa iya sih, yang mau aku sampein ini udah berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan jelas?” Kan, sia-sia ya kalau kebenaran yang kita sampaikan hanya untuk melengkapi wawasan dan untuk jadi bahan penghakiman bagi orang lain. Melalui doa (yang tentunya bukan hanya satu-dua kali), kita bisa mendengarkan Tuhan berbicara ketika kita memberikan-Nya ruang untuk itu. Sometimes the best time of prayer is silent for a moment, and let Him speak gently.

4. Last but not least… jangan sok tahu

Kadang-kadang apa yang kita tahu lebih banyak daripada orang lain membuat kita jadi sombong haha (saya juga masih bergumul dengan hal ini, sih). Itulah kenapa kita juga harus belajar rendah hati dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berpendapat. Kalau pada akhirnya mereka sadar dan mau menerima kebenaran (misalnya teguran penuh kasih), that’s a good thing. Kalaupun sampai maranatha mereka tetap bersikukuh pada hal yang salah, setidaknya kita tidak membuat mereka jadi semakin kesal dengan kesoktahuan kita—walaupun apa yang disampaikan memang benar.

Kiranya Tuhan memampukan kita untuk berkata-kata dalam kasih dan kebenaran melalui berbagai konteks yang Dia izinkan terjadi. Cheers!

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^