Monday, September 7, 2020

Ironi dari sebuah Pengajaran Agung


by Tabita Davinia Utomo


Artikel ini mengacu pada Matius 20:17-34 dan Markus 10:32-52.

Pernahkah Pearlians merasa kesal saat melihat ada orang lain yang tidak memahami perintah yang baru saja diberikan? Misalnya saja ada anak, murid, atau karyawan kita yang justru melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kita suruh. Hmmmm… rasanya gemas dan tidak habis pikir, ya? Bahkan mungkin kita jadi berpikir, “Aku salah apaaaa? Kok, mereka nggak ngerti-ngertiii. Hufttt… “

Mungkin itu juga yang dirasakan Yesus saat mendengar permintaan Yakobus dan Yohanes—yang kisah selengkapnya ada di kedua bagian Injil di atas. Menariknya, ada perbedaan pada perikop yang akan menjadi fokus kita di artikel ini. Di Matius, kita mengetahui bahwa permintaan dua anak Zebedeus itu disampaikan oleh ibu mereka; sementara Markus justru mencatat mereka sendirilah yang meminta kepada Yesus.

Wait, permintaan apa yang dimaksud di sini?

“Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”
(Ibu Yakobus dan Yohanes, dalam Matius 20:21b)

“Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami! Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.”
(Yakobus dan Yohanes, dalam Markus 10:35, 37)

Mungkin bagi sebagian orang, permintaan tersebut menunjukkan bahwa mereka sedang “menjilat” Yesus agar bisa memperoleh kekuasaan yang tinggi di kerajaan-Nya kelak. Tidak heran kalau para murid yang lain jadi marah, tapi bisa juga itu karena mereka merasa “kalah cepat” dari kedua murid yang berada dalam inner circle Yesus ini. Tapi sebelum membahas lebih lanjut mengenai “jilat-menjilat” ini, kita perlu melihat konteks yang sedang terjadi pada saat itu.

Beberapa saat sebelumnya, Yesus berkata kepada mereka saat menuju ke Yerusalem:

’”Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.”
(Matius 20:18-19)

Tampaknya setelah mendengar pemberitahuan ketiga tentang penderitaan Yesus, Yakobus dan Yohanes berpikir bahwa di Yerusalem lah Sang Guru akan berkuasa. Padahal tidak. Kekuasaan yang dimaksud Yesus bukanlah tentang pembebasan dari penjajahan Romawi, tapi tentang diri-Nya yang mengalahkan maut bagi semua orang yang percaya kepada-Nya—meskipun harus melalui salib. Karena itulah, Yesus berkata kepada mereka, “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta.” Yesus tidak ingin para murid-Nya hanya berfokus kepada kekuasaan duniawi yang mereka dambakan, tapi melihat bahwa ada satu hal yang lebih penting dari itu: bersikap dan bertindak seperti yang dilakukan-Nya. Dia juga ingin agar mereka memberikan “warna” yang baru dalam berelasi dengan orang lain.

Yesus ingin agar para murid-Nya melayani, bukannya dilayani.

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
(Matius 20:26b-28)

Ironisnya, sepertinya para murid tidak langsung memahami maksud Yesus ini. Mungkin saat memasuki Yerusalem dan melihat Sang Guru dielu-elukan seperti raja, ada juga yang justru bertanya-tanya, “Kapan Guru akan disalib? Lha wong orang-orang nyambut Dia kek gini! Bohong, ah!” Saya menduga alasan inilah yang membuat kisah mengenai penyembuhan dua orang buta dicatat oleh Matius setelah pengajaran melayani-bukan-dilayani itu (Matius 20:29-34). Matius ingin menunjukkan Yakobus dan Yohanes—yang adalah dua murid terdekat Yesus—ternyata tidak memahami kehadiran Sang Guru. Di sisi lain, dua orang buta itu justru tahu status-Nya sebagai Tuhan, Sang Anak Daud yang dijanjikan itu—sehingga mereka tidak asal bersikap. Bahkan mereka memohon belas kasihan Yesus agar Dia menyembuhkan kebutaan mereka. Well, mungkin dua orang itu buta secara fisik, tapi setidaknya mereka menyambut Yesus untuk mengubah hidup mereka sebelum Dia menyelesaikan misi-Nya di dunia. Ingat kan, dengan apa yang Yesus katakan saat Dia dan para murid-Nya menuju ke Yerusalem?

Pengajaran mengenai “bukan memerintah, namun melayani” ini perlu kita renungkan bersama. Kita tidak bisa melayani tanpa kasih; tapi saat kita mengasihi, di situlah kita digerakkan untuk melayani. Sayangnya, pelayanan yang Yesus inginkan bukan hanya soal aktif paduan suara di gereja, atau ikut kegiatan pemuridan di sana-sini, bahkan pergi mission trip ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Oke, ketiganya memang bukan sesuatu yang salah, Pearlians. Tapi dalam banyak kondisi, pelayanan kepada orang-orang terdekatlah yang kita abaikan. Mungkin mereka adalah keluarga kita sendiri, atau teman sekolah/kuliah maupun rekan kerja. Bahkan bisa saja ada juga orang-orang yang menyebalkan yang masuk ke dalam kriteria ini (sampai membuat kita ingin menundukkan mereka, mungkin?). Ironis, ya :(

Tidak seorangpun yang tahu persis seberapa dekat hubungan kita dengan Tuhan selain Dia dan diri kita sendiri. Tapi setidaknya, kita bisa menyimpulkan bahwa pengenalan pribadi dengan Tuhan akan membuat kita memandang pelayanan dengan lebih luas dan mendalam. Melayani orang lain bukanlah bentuk ketidakberdayaan, tapi justru bentuk kasih kita kepada orang lain, sekaligus ketaatan kepada Tuhan yang sudah memberikan teladan pelayanan itu kepada kita. Pertanyaannya, sudahkah kita memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh? Atau jangan-jangan… selama ini “pelayanan” kita hanya sebatas di permukaan saja tapi rasanya hambar karena tidak ada kasih di dalamnya?

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^