Monday, August 3, 2020

Mengapa Yesus Mau Melayani?


by Glory Ekasari

Mayoritas orang Kristen pasti pernah mendengar tentang kisah Tuhan Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Ini peristiwa yang tidak biasa, karena di mana-mana guru atau tuan itu dilayani dan dituruti—bukannya malah melakukan hal yang rendah bagi pengikutnya. Namun Yesus mendobrak norma dan menentukan standar yang baru bagi para pemimpin. Tapi mengapa Dia mau melakukannya?

Kita bisa membaca kisahnya dalam Yohanes 13:1-17, tapi secara khusus saya akan menyoroti ayat-ayat di awal kisah ini:

Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saatnya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. Yesus tahu bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
(Yohanes 13:1, 3)

Melalui kedua ayat tersebut, kita “mengintip” isi hati Yesus tentang self-awareness yang Dia miliki. Setidaknya itulah yang akan kita pelajari dari Tuhan sekaligus Guru kita dalam artikel kali ini.

1. YESUS MENGASIHI MURID-MURID-NYA
Suatu kali ketika sedang mengobrol dengan Mama, saya menceritakan tentang seorang teman yang frustasi mengurus anaknya yang masih kecil. Saya bertanya kepada Mama, “Sampai umur berapa sih, anak menyusahkan orang tua?”, yang dijawabnya dengan sangat singkat, “Sampai tua.”

Jawaban yang tongue-in-cheek ini pasti me-rhema bagi para ibu. Hahaha… Tapi mengapa orang tua bersedia direpotkan oleh anak—bahkan kadang-kadang diperlakukan dengan tidak hormat, direndahkan, anak berontak, dan sebagainya? Mengapa orang tua juga tetap mengurus mereka, memperhatikan, membiayai, bahkan melayani anak-anak itu (sekalipun tindakannya tidak selalu diapresiasi oleh mereka)? Penyebabnya hanya ada satu: kasih.

Yesus menyadari bahwa pada perjamuan malam menjelang Paskah itu adalah momen terakhir bagi-Nya untuk mengajarkan sesuatu kepada para murid-Nya secara langsung. Mereka sudah melihat semua teladan hidup-Nya, dan pada saat itu Dia akan menunjukkan kepada mereka satu prinsip sangat penting: kasih membuat orang menjadi rendah hati dan mau melayani. Yesus mengajarkan ini dengan tindakan nyata: Dia mengambil posisi seorang hamba dan membasuh kaki mereka. Bukan karena Dia memiliki posisi yang lebih rendah, tapi justru karena Dia lebih berkuasa dari mereka. Yesus menggunakan kuasa-Nya itu bukan untuk menindas, melainkan untuk melayani.

Ketika kita mengasihi, kita bersedia merendahkan diri untuk melayani, bahkan apabila kita diperlakukan dengan tidak baik. Kita perlu introspeksi diri bila selama ini kita sering mengeluh tentang fasilitas yang tidak kita dapatkan, apresiasi yang tidak kita terima, dan kesulitan yang kita alami. Mengapa kita melayani? Apakah kita mengasihi orang-orang yang kita layani? Apakah kita mau memanfaatkan waktu yang terbatas dalam hidup kita untuk mengikuti teladan Tuhan Yesus, dan melayani orang lain?

2. YESUS TAHU BAHWA BAPA TELAH MENYERAHKAN SEGALA SESUATU KEPADA-NYA
Ketika Yesus dicobai oleh Iblis di padang gurun, Iblis berkata, “Segala kuasa (kerajaan dunia) serta kemuliaannya... telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki.” (Lukas 4:6) Ketika manusia jatuh dalam dosa, mereka memberontak terhadap Allah dan menaati Iblis, sehingga sejak saat itu Iblislah yang berkuasa di bumi dengan memakai manusia sebagai pion-pionnya untuk merusak ciptaan Allah. Tetapi Yohanes menulis bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada Yesus! Lalu kapankah perpindahan kekuasaan itu terjadi?

Di mana-mana, perebutan kekuasaan pasti dilakukan dengan cara konfrontasi. Bangsa kita merebut kekuasaan dari tangan para penjajah dengan cara berperang dan diplomasi. Kita melawan mereka yang menindas kita. Nah, banyak orang Kristen berpikir cara mengalahkan Iblis adalah dengan cara yang sama. Tetapi Yesus tidak berperang melawan Iblis dengan cara-cara seperti yang kita bayangkan. Lalu bagaimana caranya? Bagaimana Yesus mengalahkan Iblis dan mengambil alih kekuasaan dari tangannya?

Melalui penderitaan dan kematian-Nya. Melalui salib.

Logikanya demikian: Manusia pertama memberontak kepada Allah dengan ketidaktaatannya dan menyerahkan pemerintahan kepada Iblis (karena tadinya yang ditentukan untuk berkuasa di bumi adalah manusia); Yesus Kristus membalikkan keadaan dan mengambil kembali kekuasaan itu, dengan – tentu saja – ketaatan-Nya kepada Allah. Bukan ketaatan pada saat-saat tertentu saja, tapi ketaatan yang sempurna sepanjang hidup-Nya, sampai kematian-Nya. Dan sebagai upah dari ketaatan-Nya, kita melihat dalam Filipi 2:9-11:

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Bertahun-tahun yang lalu saya melihat sebuah buku rohani yang berjudul Descending Into Greatness (tulisan Bill Hybels). Saya tidak pernah membaca bukunya, tapi judulnya melekat dalam ingatan saya. Bagi manusia, greatness (kebesaran, kemahsyuran) itu adanya di atas, dan jalan ke sana adalah ascending (naik), bukan descending (turun). Makanya kita berebut menjadi yang terbaik, paling kaya, paling sukses, paling dihormati, dst. Kita berusaha membangun “menara Babel” masing-masing agar sampai ke langit—pada kemuliaan Allah. Tapi tidak seorangpun berhasil sampai ke sana. Kita semua dihentikan oleh keterbatasan dan, pada akhirnya, kematian.

Berbeda dari yang diajarkan oleh dunia, Yesus tahu bahwa jalan untuk mencapai kemuliaan itu bukan ke atas—melainkan ke bawah. Caranya bukan dengan pemberontakan, tapi dengan ketaatan. Dari surga yang mulia, Dia turun ke bumi. Dia turun lebih rendah lagi saat Dia dibaptis oleh Yohanes dan bersolidaritas dengan semua manusia yang berdosa. Dia turun lebih rendah lagi saat Dia membasuh kaki murid-murid-Nya. Dan Dia sampai pada titik terendah ketika Dia dianiaya, ditelanjangi, dinista, dan dibunuh dengan keji di kayu salib. Yesus bersedia melakukannya karena bagi-Nya semua itu tidak sia-sia. Melalui ketaatan-Nya, Dia menyelamatkan kita, memuliakan Bapa, dan mengalahkan Iblis.

3. YESUS TAHU DARI MANA DIA BERASAL
Seandainya Yesus berasal dari dunia ini—seperti kita—maka Dia akan berjuang, melawan, dan berperang dengan raja-raja lain untuk berebut kekuasaan, seperti yang kita lihat setiap hari di berita. Sebagian besar manusia merasa bahwa mereka berasal dari dunia ini dan karenanya mereka hanya hidup satu kali, sehingga mereka harus mendapat kemuliaan sebesar mungkin selagi mereka ada di dunia.

Tapi Yesus tidak berasal dari dunia. Di dunia ini Dia hanya menjalankan tugas, dan setelah itu Dia akan kembali ke tempat-Nya di surga. Karena itu Dia tidak pusing tentang berebut kekuasaan dan sebagainya. Bukankah segala kuasa telah diberikan oleh Bapa kepada-Nya? Karena itulah Yesus bisa mengerjakan tugas-Nya dengan fokus, tanpa beban kepentingan pribadi-Nya.

Kalau kita merasa at home di dunia, kita akan melakukan apa saja untuk mempertahankan posisi kita. Kita akan bermusuhan, bertengkar, berperang dengan orang lain demi membela kepentingan kita. Tapi kalau kita menyadari bahwa kita, yang percaya kepada Tuhan Yesus, tidak lagi berasal dan berakhir di dunia ini, then we have nothing to lose. Di dunia ini kita hidup hanya menjalankan tugas untuk kemuliaan Allah, dan setelah itu kita pulang ke tempat kita yang sebenarnya, yang telah Yesus sediakan bagi kita (Yohanes 14:2-3). Melayani? Tidak masalah. Merendahkan diri? Bagi Tuhan, apa sih yang enggak. Bahkan mati? “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Yesus bersedia menerima salib, karena salib itulah yang akan menghantarkan-Nya kepada kebangkitan, dan kepada kemuliaan.

Sebagai pemusik, saya belajar bahwa pemusik yang benar-benar jago biasanya justru menyembunyikan skill dan bersedia main musik sebagai pengiring, bukan sebagai pusat perhatian. Pada waktunya, misalnya ketika mendapat bagian solo, dia akan menunjukkan kebolehannya; tapi di luar itu dia bermain wajar, bahkan minimalis. Mengapa? Bukan karena dia tidak percaya diri. Tapi karena orang yang benar-benar ahli tidak merasa perlu menunjukkan kebolehannya hanya karena ingin diakui; dia sudah tahu bahwa dia hebat. Sebaliknya, mereka yang banyak gaya biasanya tidak banyak skill dan hanya ingin menonjolkan diri.

Jika seorang pemain musik saja bisa berpikir seperti itu, apalagi Yesus Kristus, Tuhan kita! Sebagai yang berkuasa atas segalanya, Dia tidak merasa perlu menonjolkan diri atau minta diakui. Dia bersedia merendahkan diri dan melayani, karena satu motivasi yang paling mendasar: kasih. Sebagai salah satu bagian dari pengajaran-Nya, Yesus juga berkata,

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu – Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu – maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu jika kamu melakukannya.”
(Yohanes 13:13-17)

Kiranya teladan Tuhan Yesus ini menolong kita untuk tetap setia melayani di dalam seluruh konteks yang dipercayakan-Nya kepada kita. Soli Deo Gloria.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^