Monday, June 15, 2020

Serupa tapi Tak Sama


by Yunie Sutanto

"Awas uang palsu!" demikian tertera tulisan besar di etalase toko pulsa langganan saya. Persis di sebelah tulisan tersebut, dipajanglah uang kertas palsu yang mirip sekali dengan uang asli. Saya sulit membedakannya. Kasihan juga karena si penjual pulsa itu tertipu oleh uang palsu yang berhasil mengecohnya.

Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ya kok, uang palsu itu bisa eksis? Tentu saja karena ada uang yang asli. Bukan hanya uang; barang tiruan itu bisa laku karena orang mendapat kesan bahwa barang tersebut mirip sekali dengan yang asli. Sebut sajalah tas tiruan (bahkan ada tiruan KW 1, KW 2, dan seterusnya) dan lukisan replika asli. Padahal kalau kita jeli mengamatinya, mana yang asli dan yang tiruan itu tidaklah sama—meskipun kedua tampak serupa.

Begitu pula yang ditekankan oleh Yesus mengenai orang-orang yang mengikut-Nya.

“Eh? Memangnya ada pengikut Kristus KW?”

Nah, untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita membaca Matius 13:24-30 terlebih dulu:

"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah lalang itu?

Jawab tuan itu: Seorang musuh yang melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu?

Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku."


Dalam perumpamaan di atas, kita bisa mengetahui bahwa gandum asli dan “gandum palsu” (alias si lalang) memang serupa, tetapi tak sama! Jika gandum (Triticum aestivum) adalah sumber pangan penting (khususnya bagi orang Ibrani), maka lalang (Lolium temulentum) adalah sejenis gulma—yang justru menghalangi pertumbuhan tanaman yang tumbuh di tempat yang sama dengannya. Jika gandum—yang merupakan sumber asupan karbohidrat—bisa diolah menjadi roti dan minuman (melalui proses fermentasi), maka lalang justru dianggap sebagai tanaman liar—bahkan sering disebut “false wheat” (gandum palsu). Sayangnya, hanya waktu yang bisa menunjukkan mana yang adalah gandum dan lalang itu. Perbedaan keduanya baru kelihatan ketika bulir-bulirnya mulai muncul. Bulir gandum lebih bernas (penuh) dan ketika matang warnanya kecokelatan, sedangkan lalang tampak lebih kurus dan saat matang warnanya kehitaman.

Coba bayangkan jika kita menjadi petani gandum. Setelah menabur benih-benih gandum terbaik dan menggemburkan tanah agar cocok untuk media tanamnya, lantas apa yang kita harapkan? Tentunya sebagai petani, kita ingin menikmati hasil panen berupa gandum yang berkualitas terbaik! Plus, kita juga tidak ingin ada serangan hama maupun gulma, bukan? Tapi siapa sangka… Saat sedang tidur lelap, ternyata ada musuh yang menabur benih lalang! Karena itu, ketika benih-benih gandum mulai berbulir, tampak pula banyak lalang!

Nah, kembali ke bacaan kita di atas… Bagaimana tanggapan sang pemilik ladang saat hamba-hambanya hendak mencabuti lalang-lalang tersebut? Ternyata sang tuan yang bijak menyuruh membiarkan keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai! Sabar banget, ya? Tapi kenapa harus menunggu kalau memang sudah diketahui bahwa ada lalang di situ? Bukannya akan lebih baik kalau lalang tersebut segera dicabut sehingga tidak mengganggu pertumbuhan gandum? Nah, pemilik ladang ini menjelaskan bahwa ada kemungkinan akar gandum (yang benar-benar gandum) juga ikut tercabut bersama dengan lalangnya. Dengan demikian, dia memerintahkan agar para hambanya menunggu hingga musim menuai tiba untuk mencabut lalang terlebih dulu, lalu barulah mereka memanen gandum mereka.


Mungkin seperti itu pula yang kita alami di dalam menghadapi orang-orang tertentu.


Kita cenderung mudah untuk berprasangka buruk pada orang lain. Lagipula, geregetan rasanya kalau melihat ada “lalang” yang mengganggu kita. Saking geregetan-nya, kita ingin mengekspos orang—yang kita ketahui—sedang jatuh dalam dosa. Bahkan mungkin kita tidak segan untuk keluar dari komunitas yang sedang disorot karena ada skandal di dalamnya. Pokoknya, harus ada solusi instan untuk membereskan “si lalang”—karena kita tidak ingin terganggu olehnya!

Tapi tunggu… sebenarnya apa sih, makna yang ingin disampaikan Yesus dalam perumpamaan ini? Nah, Yesus menjelaskan makna ini kepada para murid-Nya—seperti yang bisa kita baca dari Matius 13:36-43:

Maka Yesus pun meninggalkan orang banyak itu, lalu pulang. Murid-murid-Nya datang dan berkata kepada-Nya: "Jelaskanlah kepada kami perumpamaan tentang lalang di ladang itu."

Ia menjawab, kata-Nya: "Orang yang menaburkan benih baik ialah Anak Manusia; ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan dan lalang anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan benih lalang ialah Iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. Maka seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan dari dalam Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!"


Di hari-hari terakhir inilah, bulir “gandum” mulai nampak dan bisa dibedakan dari bulir “lalang”.


"Awas, nabi palsu!" demikian seruan untuk waspada di antara jemaat-Nya, apalagi di masa sekarang. Well, pada akhirnya, kedok serigala berbulu domba akan terbongkar—meskipun tidak ada yang tahu kapan semuanya akan benar-benar tersingkap. Namun sebelum itupun, kita bisa melihatnya melalui buah kehidupannya. Tapi jangan lupa: bukan hanya menilai orang lain, kita juga harus berani mengevaluasi kualitas kehidupan kita (yang mengaku sebagai pengikut Kristus), “Apakah kualitas kehidupan rohaniku saat ini sudah menunjukkan karakter Kristus, sang pemilik ladang itu? Atau jangan-jangan ternyata aku nyaman dengan peranku sebagai “lalang” yang mengganggu pertumbuhan iman orang lain?”

Mengevaluasi diri sendiri bukanlah hal yang bisa dilakukan secara instan, Pearlians. Kita memerlukan waktu untuk benar-benar men-digest terhadap hal-hal yang—mungkin—selama ini kita abaikan saking terbiasanya. But at least, kita perlu bersyukur karena melalui pandemi Covid-19 (yang saat ini sedang melambatkan laju kehidupan), kita memiliki kesempatan untuk merenungkan sisi-sisi kehidupan yang selama ini kita tutupi—namun akhirnya mulai terlihat.

Apakah pandemi ini membuat kita lebih rajin membagikan (bahkan membuat) berita atau reshare feeds yang meresahkan hingga menyulut permasalahan?

Apakah pandemi ini membuat kita jadi lebih sering bertengkar dengan pasangan, padahal sebelumnya yang ada justru komunikasi yang minim di antara kita dengannya?

Apakah pandemi ini membuat kita semakin mudah marah pada anak yang sulit memahami pelajaran di sekolah?

Apakah pandemi ini membuat kita jadi malas untuk bersekutu dengan Tuhan—baik secara pribadi maupun komunal melalui ibadah (entah streaming atau media lainnya)?

Atau yang terjadi justru sebaliknya:

Kita semakin menyadari bahwa hidup ini adalah kesempatan yang harus digunakan untuk memuliakan dan menikmati Tuhan, baik melalui relasi pribadi dengan-Nya, orang lain, dan semua kegiatan yang kita lakukan—sekalipun itu adalah sesuatu yang kita anggap sederhana.


Time will show everything.


“Barangsiapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar, biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!”
(Wahyu 22:11)

Meski demikian, kita perlu mengingat bahwa yang bertugas memilah dan menilai siapa yang “gandum” dan “lalang” adalah para malaikat-Nya, bukan kita. Penghakiman adalah hak Tuhan semata. Bagian kita bukanlah untuk menunjuk dan menghakimi orang lain, “Oh, si ini ternyata nabi palsu, si ono rupanya serigala berbulu domba!”, tapi justru memastikan bahwa kita adalah “gandum” yang ditanam dan dikumpulkan untuk pekerjaan mulia-Nya.

Mari bersama-sama berjuang untuk memelihara kualitas “gandum” dalam diri kita, seperti yang Yesus katakan kepada para murid-Nya:

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."
(Matius 5:38)

3 comments:

Share Your Thoughts! ^^