Monday, January 7, 2019

Abigail: When your marriage is HARD


by Lia Stoltzfus 

Apakah saat ini kita sedang merasa bahwa pernikahan yang dijalani tidak sebahagia yang diharapkan? Atau kita sempat berpikir telah “salah menikah”, atau menikah dengan “orang yang salah”? 

Jika dua pertanyaan tersebut menggambarkan pernikahan kita, mungkin pikiran kita sehari-hari adalah “difficult marriage”, “difficult relationship”, “difficult husband”. Dengan demikian, kita menjadi self-pity, merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia karena pernikahan yang carut-marut. 

Ladies, jika memang benar demikian, kita dapat belajar dari seorang wanita tangguh yang ada di Alkitab. Ketangguhannya bukan karena dia adalah wanita perkasa secara fisik, melainkan karena kesetiaannya pada “hard marriage”-nya. Yuk, kita belajar dari tokoh tersebut. 


--**-- 


Namanya adalah Abigail. Dia adalah wanita cantik yang namanya berarti “sukacita bagi ayahku”. Kebayang dong, kira-kira bagaimana kepribadian wanita ini? Alkitab mencatat bahwa Abigail tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan bijak. Wow… wanita yang menarik, kan? 

Eh, eh, tapi kok dia bisa menikah dengan Nabal—yang artinya “bodoh” (fool)? Alkitab mencatat bahwa pria kaya raya itu memiliki 3.000 domba dan 1.000 kambing, tapi dia terkenal sebagai orang jahat, bodoh, keras kepala dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. Heee... Wanita bijak menikah dengan pria bodoh? Kedengarannya sangat timpang, bukan? Kok bisa sih? 

Ladies, kita perlu mengetahui bahwa perjodohan (alias pernikahan yang diatur) adalah sebuah hal yang wajar bagi orang zaman dulu. Hanya orangtua yang berhak memilihkan pasangan untuk anak-anak mereka; dan ironisnya, Abigail si cantik dan bijak itu dinikahkan dengan pria kasar, jahat, dan bodoh. Sungguh menyedihkan. 

Berbanding terbalik dengan zaman sekarang, kita punya kebebasan (free will), jadi tidak lagi harus mengikuti kemauan orangtua atau tradisi perjodohan itu. Tapi bukan berarti dengan memilih pasangan sendiri pernikahan jadi mudah dan tanpa ada tantangan. Selama hampir sembilan tahun saya menikah, saya tahu bahwa pernikahan itu adalah ‘kerja keras’. 


Marriage is a HARD WORK an HEART work. 


Membangun oneness (kesatuan dalam pernikahan) tidaklah mudah, Pearlians. Apalagi kalo pasangan tidak takut akan Tuhan atau termasuk kategori 'difficult people, a hard man'. Karena itu, pernikahan kita sangat membutuhkan kasih karunia Tuhan—agar kita sanggup menjalaninya bersama Dia. 

Beberapa teman saya mengalami hal yang serupa dengan Abigail. Ada yang menyerah (alias bercerai), tapi ada yang terus berjuang untuk pernikahan mereka, belajar untuk menghargai janji nikah (covenant) yang sudah dia buat bagi pasangannya di hadapan Tuhan dan keluarga. Dan saya percaya, Tuhan memberkati orang-orang yang mau berusaha menjadi ‘covenant keeper’. 

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ‘penderitaan’ yang dialami oleh Abigail: punya suami yang sering mengambil keputusan-keputusan bodoh, tidak mau menghargai orang lain, dan pria yang kasar. Pasti menderita harus tinggal bersama orang seperti itu, kan? Tapi Abigail tidak menyerah terhadap pernikahannya. Ada yang berbeda dalam diri wanita ini; sesuatu yang luar biasa dan mengundang perhatian serta campur tangan Allah dalam hidupnya. 

1 Samuel 25:23-31 mencatat peristiwa tentang Daud yang mengutus 10 orang untuk menghadap Nabal, dan memintanya bermurah hati menunjukkan kebaikan dengan memberikan sedikit persediaan makanan untuk Daud dan orang-orangnya. Daud “berani” meminta demikian karena mereka telah menjaga gembala-gembala pekerja Nabal dan kambing domba mereka supaya tidak diterkam binatang buas (1 Samuel 25:15-16). Padahal sebenarnya, Daud dan pasukannya bisa dengan mudah mencuri atau sesekali mengambil kambing domba milik Nabal. Tapi Daud tidak mau melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, jadi Daud meminta dengan baik-baik. 

Sayangnya, Nabal yang tidak tahu berterimakasih malah membentak, mendamprat, dan menjawab dengan kasar, “Emang siapa itu Daud? Siapa anak Isai? Kenapa gua harus kasih roti, air, dan daging ke orang yang gua gak kenal? “ (1 Sam 25:10-11). Hmm, rasanya gak mungkin banget orang Israel gak “tau” siapa Daud, yang beberapa tahun lalu menang mengalahkan Goliat dan bangsa Filistin. Dalam kesombongan dan kebodohannya, Nabal menolak mengakui bantuan Daud dan menolak dengan kasar permohonan dari orang yang diurapi Tuhan sebagai raja. Padahal Daud sudah berbuat baik dengan membantu menjaga kawanan kambing domba milik Nabal dari marabahaya. 

Air susu dibalas air tuba. Kebaikan dibalas dengan kejahatan. Bukannya menunjukkan ungkapan terima kasih, Nabal malah kasar dan berbuat jahat. Tanpa disadari, kebodohannya itu justru mengundang malapetaka atas dirinya sendiri. 

Nah, setelah mendengar laporan dari 10 orang utusannya itu, Daud marah dan segera pergi dengan 1/3 pasukannya (400 orang) untuk membantai Nabal dan seisi rumah pria itu. Tapi ketika Abigail mendengar hal ini, dia langsung mengambil tindakan. 

Apa tindakan yang diambil Abigail? 

Apa yang dilakukan a wise wife in difficult situation? 

1. She acted quickly (1 Sam 25:18) 
Abigail tidak menunda kesempatan untuk memohon pengampunan Daud. Dia segera mengambil persedian bahan makanan yang dimilikinya. 200 roti, 2 botol anggur, 5 domba yang sudah dimasak, 5 sukat gandum, 100 kue kismis, dan 200 kue ara. Hal ini menunjukkan bahwa Abigail menyediakan apa yang Daud minta, yaitu bahan makanan. 

2. She didn’t tell her husband (1 Sam 25:19)
Abigail tahu karakter suaminya. 1 Samuel 25:17 mencatat, “Nabal adalah seorang yang dursila, sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia.” Nabal tidak mau mendengarkan pendapat orang dan selalu merasa dirinya benar; padahal kebodohannya bisa dihindari kalau dia belajar mendengarkan orang lain. Abigail tahu suaminya seperti apa, makanya dia tidak memberitahukan rencananya dan diam-diam melakukan apa yang dia pikir benar dan bisa menyelamatkan mereka dari bencana. (tapi ini kasus khusus, ya. Selama suami bisa diajak berbicara, lebih baik kita melakukannya. Karena bagaimanapun, suami adalah kepala keluarga, bukan? (Efesus 5:22-24)) 

3. She quickly got off and bowed down with her face to the ground (1 Sam 25:23) 
Rendah hati adalah kunci untuk berdamai dengan orang lain! Abigail menggunakan senjata yang ada di Amsal 15:1a, 

“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman“.
(Amsal 15:1a)

Kemarahan besar yang Daud rasakan “dipadamkan” amarahnya dengan sikap (attitude) kerendahan hati dan perkataan yang lemah lembut. Abigail bukan hanya menyampaikan permohonan (intercession) untuk suaminya, tapi juga untuk dirinya dan seluruh isi rumahnya. Namun yang lebih penting lagi, Abigail berhasil mengingatkan Daud tentang siapa dirinya sebagai orang pilihan Tuhan, Raja yang diurapi oleh Tuhan—supaya jangan ada penyesalan atau track record yang buruk (1 Samuel 25:24-31). Akhirnya, kerendahatian dan kebijakan hati Abigail menyelamatkan nyawa suami (pada saat itu) dan seluruh isi rumah mereka. Bukan hanya itu, Abigail juga mencegah Daud melakukan hal yang tidak bijak karena kemarahan yang menggebu-gebu. 

4. She told him nothing at all until day break (1 Samuel 25:36-37) 
Kebijakan Abigail terlihat karena dia mampu membaca situasi. Abigail memilih waktu dan tempat yang tepat untuk berbicara pada Nabal (yaitu setelah Nabal selesai mabuk karena perjamuannya), memberitahunya apa yang terjadi, dan seberapa tindakan pria itu bisa berakibat fatal. Abigail terus berusaha untuk seek what is best. Dia berusaha untuk mengingatkan Nabal tentang pentingnya berlaku bijaksana. Tuhan mau pakai setiap kita, sebagai istri, untuk memberi pengaruh positif bagi pasangan. Let God work in you and through you by His power to redeem a bad relationship. 

Kisah Abigail berakhir dengan Tuhan yang membebaskan dia dari ‘difficult husband’-nya. Nabal mati 10 hari kemudian, setelah jantungnya berhenti bekerja dan dia membatu karena Tuhan memukulnya. Tapi hal yang sama tidak bisa jadi ending story yang sama buat semua orang yang punya difficult marriage. Setiap orang memiliki kisah pernikahan masing-masing, dan Tuhan bisa memakai apapun untuk menyatakan kemuliaan-Nya melalui pernikahan kita. 

Kita mungkin telah menikah dengan difficult man; tapi apakah tanggapan kita terhadapnya menjadikannya semakin sulit? Pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan menanggapinya dengan tujuan untuk membuat keadaannya jadi lebih baik, ATAU menyerah pada kemarahan kita dan membuat situasinya jadi lebih parah? Kalau kita tidak bisa memberikan hadiah kepada anak-anak berupa TWO godly parents, at least give them ONE! 

“Tapi kamu nggak tahu suami gue kayak apa... Kalo di luar rumah, di gereja, dia kelihatan baik, kelihatan penyayang… Tapi dia terikat pornografi. Dia suka ngelakuin kekerasan, pemarah…”  
“Suami gue lemah banget kepemimpinan rohaninya. Jangankan mimpin altar/renungan keluarga, saat teduh pribadi aja bolong-bolong…”  
“Susah menghargai suamiku. Dia terikat main games, lebih suka nonton daripada menghabiskan waktu sama anak-anak. Aku udah berusaha ingetin, tapi dia pasif banget, gak terlibat dalam pertumbuhan anak-anak.” 

Kita bisa saja menyebutkan sekian puluh hal yang tidak kita sukai dari pasangan maupun dalam kehidupan pernikahan. Tapi setidaknya, kita bisa memakai energi kita untuk membangun sesuatu. Work on your attitudes and marriage daripada tenggelam dalam kepahitan dan penyesalan. Sama seperti Abigail, dia tahu bahwa dia tidak bisa mengubah suaminya. Tapi Abigail terus punya sikap hati yang benar, tidak lari dari pernikahan yang sulit tersebut; bahkan dia terus seek for the best of Nabal, masih berusaha ‘menyelamatkan’ Nabal dari keputusannya yang bodoh, masih mau terus ngomong, dan mengingatkan Nabal tentang apapun. 

Buat teman-teman yang sedang bergumul dengan difficult marriage, teruslah mencari Tuhan. Baca Firman-Nya, temukan kepuasanmu dan keberhargaan dirimu lewat apa yang Dia katakan. Biarlah Firman-Nya menjadi sumber kekuatan dalam hidupmu. 

Sebagai penutup, saya mau membagikan satu janji Tuhan yang luar biasa indah: 

"Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kupada suamimu, supaya jika di atara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan   oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu.” 

(1 Petrus 3:1-2)

The power of submission will win the heart of your husband! Percayakah kita bahwa Tuhan sanggup melakukan mujizat dalam pernikahan kita? Dia bekerja melalui iman kita kepada-Nya, dan dari situ pula kita akan semakin dibentuk menjadi semakin serupa dengan-Nya; menjadi lebih dimampukan untuk mengasihi suami dan tegar di dalam Tuhan. 

Di tahun baru ini, let’s work on our marriage, apply what we learn from Abigail… Semangat! 

(PS: Saya merekomendasikan bukuSacred Marriage danSacred Influence dari Gary Thomas buat teman-teman yang sudah menikah supaya bisa work on your marriage, build a heaven on earth! Buku tersebut sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dapat dibeli di toko buku online)

1 comment:

  1. Hai saya mau tanya, apakah mustahil jika perceraian adalah jalan keluar yang diijinkan Tuhan drpd dianggap menyerah? Karena hidup istri mungkin dapat menjadi jauh lbh baik dan menjadi berkat drpd sekedar bertahan dengan difficult husband yang malah membuatnya semakin menjadi orang yang buruk.

    ReplyDelete

Share Your Thoughts! ^^