Monday, May 9, 2016

Bullet in Your Spine, or Revenge in Your Heart?

by Krisan Wijaya

Tanggal 12 Juli 1986, Steven McDonald, seorang polisi muda, berpatroli seperti biasanya dengan salah seorang rekannya di Central Park. Ketika sedang menanya-nanyai tiga orang remaja yang tampak mencurigakan, salah satu remaja itu menembaknya. Tembakan pertama mengenai wajahnya. Tembakan kedua mengenai lehernya.

Ia segera dilarikan ke rumah sakit – selama empat puluh delapan jam, ia berada di antara hidup dan mati. Kepala dokter bedahnya pun sempat putus asa dan memberi kesempatan pada keluarganya untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun, pada akhirnya McDonald bertahan hidup – dengan cacat permanen. Peluru yang mengenai lehernya menembus sampai sumsum tulang belakangnya – membuatnya lumpuh dari leher ke bawah. Untuk bernapas pun, ia memerlukan alat bantu. Saat itu, istrinya, Patti Ann, baru berusia dua puluh tiga tahun, dan sedang mengandung anak pertama mereka.

McDonald menghabiskan delapan belas bulan berikutnya di rumah sakit, belajar untuk hidup dengan selalu mengandalkan bantuan orang lain untuk memandikannya, mengganti pakaiannya, menyuapinya makan, dan sebagainya.

Sudah sewajarnya jika McDonald marah sekali pada remaja itu, kan? Ia yang tadinya bisa bebas beraktivitas, bahkan tidak bisa mengancingkan bajunya sendiri. Ia tidak akan pernah bisa menjadi seorang ayah yang menggendong, memandikan, menyuapi, bermain dengan anaknya. Ketika istrinya pertama kali mengetahui kondisinya, ia menangis melihat istrinya menangis, namun ia tidak sanggup mengulurkan tangan untuk memeluk dan menenangkannya.

Tidak lama setelah putranya lahir, McDonald mengadakan konferensi pers, di mana istrinya mengatakan bahwa McDonald memaafkan Shavod Jones, remaja yang telah menembaknya.
Mengapa? McDonald menjawab,

“...I believe the only thing worse than receiving a bullet in my spine would have been to nurture revenge in my heart.”

Ia memutuskan untuk berdamai dengan Chavod Jones, bahkan ia saling berkirim surat dengan remaja itu di penjara. Tiga hari setelah keluar dari penjara, Jones tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Banyak orang menganggap apa yang dilakukan McDonald sia-sia, namun McDonald tidak berpikir demikian. Setelahnya, ia malah menjadi pembicara di berbagai tempat, menceritakan penembakan di Central Park itu dan bagaimana hal itu telah mengubah hidupnya.

Luar biasa sekali pengampunan yang diberikan McDonald kepada Jones yang bisa dibilang telah menghancurkan hidupnya. Namun, tahukah kamu, bahwa ada sebuah cerita pengampunan paling luar biasa sepanjang sejarah manusia?

Jika kamu terlahir di tengah keluarga Kristen, mungkin cerita ini sudah berkali-kali didengungkan sejak kamu masih sekolah minggu: cerita Yesus Sang Juruselamat mati di atas kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Mungkin, saking seringnya cerita ini diucapkan dalam khotbah dan artikel Kristen, atau saking lamanya kamu sudah mengetahui cerita ini, pengampunan ‘luar biasa’ itu menjadi ‘biasa saja’.

Truth is, there is nothing ordinary about God’s forgiveness!

“Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23)
Aku dan kamu, kita semua telah berdosa. Kotor. Dosa telah menjauhkan kita dari Tuhan yang Maha Kudus. Dosa membuat kita tidak mungkin masuk surga, dan apa pun upaya yang kita lakukan tidak akan membuat kita masuk surga. Tidak peduli berapa banyak uang yang kita berikan untuk persembahan, seberapa sering pun kita berdoa dan saat teduh, tidak akan bisa menghapus dosa-dosa kita – hanya penebusan dosa oleh Dia yang tak bercela yang membuat kita diampuni dan dilayakkan di hadapan Tuhan.

Dan karena seluruh dosa kita telah diampuni, kita pun harus mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Seperti perumpamaan di Matius 28:21-35, kita adalah hamba yang berutang sepuluh ribu talenta pada raja – jumlah yang sangat besar sampai-sampai jika kita menjual diri pun, tidak akan sanggup melunasi seluruhnya. Namun sang raja, Tuhan yang mengasihi kita telah menghapus ‘utang’ kita!

Sayangnya, hamba dalam perumpamaan tersebut – meski seluruh utangnya telah dihapuskan – malah menjebloskan seorang hamba lain yang tidak sanggup membayar utang kepadanya, padahal utang hamba lain itu hanya sejumlah seratus dinar. 1 talenta = 6000 dinar. Yang berarti, utang hamba pertama yang dihapuskan oleh raja itu 600.000 kali lebih banyak daripada utang hamba kedua padanya! Ketika hal ini diketahui raja, ia pun marah besar dan menyerahkan hamba pertama pada algojo-algojo, sampai ia melunasi seluruh hutangnya. Yang berarti, hampir pasti hamba pertama ini disiksa algojo seumur sisa hidupnya, karena 10.000 talenta adalah jumlah yang amat besar.
Yesus menutup perumpamaan itu dengan berkata, “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”

Pengampunan adalah hal yang amat penting bagi Tuhan, sampai-sampai Ia berkata bahwa jika seseorang hendak memberi persembahan pada Tuhan, namun teringat bahwa ia memiliki masalah dengan seseorang, orang itu harus meninggalkan persembahannya dan berdamai terlebih dahulu.

Selama kita hidup di dunia, pasti akan selalu ada orang yang menyakiti kita. Beberapa kesalahan mungkin dapat dimaafkan dengan mudah, namun pasti ada peristiwa yang membuat kita sulit mengampuni – meskipun tidak seekstrem apa yang terjadi dengan Steven McDonald.

Beberapa orang mungkin menurut kita tidak layak mendapatkan pengampunan. Mungkin orang tua kita mengecewakan kita, bahkan meng-abuse kita. Mungkin pasangan hidup kita tidak setia. Mungkin atasan kita memperlakukan kita dengan semena-mena. Mungkin saudara kandung kita sendiri tega menusuk kita dari belakang. Mungkin rekan sepelayanan kita di gereja membuat kita sakit hati. Tapi ingatkah kita, bahwa kita pun sebenarnya tidak layak diampuni? Namun Tuhan telah mengampuni kita terlebih dahulu, karena itulah kita harus mengampuni orang lain.

Ditambah lagi, tidak mengampuni berarti menyimpan dendam dan membuka celah bagi Iblis untuk masuk ke dalam hati kita. It destroys your life from the inside out.

Mengampuni itu sulit? Pasti. Martin Luther King, Jr. mengatakan, “Forgiveness is not an occasional act, it’s a permanent attitude.” Sama seperti kita harus berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh kita, kita pun harus berusaha memaafkan terus-menerus untuk menjaga ‘kebugaran’ hati kita.
Dan yang tidak kalah pentingnya, mustahil mengampuni mereka yang telah begitu dalam menyakiti hati kita jika kita hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Again, as always, we need God’s help.

So, let’s pray and ask God to give us strength to forgive, shall we?

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^