Monday, July 9, 2018

Tuhan, Tolong Ubahkan Suamiku!


by Natalia Setiadi 

Pernahkah berdoa begitu?

Saat ini saya lagi naikkan doa itu, sampe nungging2. Bukan buat saya sendiri, tapi dalam rangka mendukung seorang teman yang lagi memperjuangkan pernikahannya yang gonjang-ganjing.

Ini memang zaman edan ya. Ada yang setengah gila mengejar harta. Ada yang merana haus kasih sayang. Ada yang setengah mati mencari pengakuan. Ada trend menggaet berondong di kalangan ibu2 rumah tangga, ada juga trend selingkuh ria di kalangan bapak2 pekerja. Ada lagi yang berkutat sama kecanduan (narkoba lah, alkohol lah, seks lah, judi lah, game lah, dll lah). Ada macem-macem lah...

Benerkah suami harus berubah?

“Ya JELAS lah...! Mau sampe kapan adem ayem di kerjaan sekarang yang gajinya pas-pas-an, sedangkan ini anak-anak makin gede, inflasi selangit, biaya hidup makin naik!”

“Harus berubah dong, udah umur segitu masa masih juga hobi main game, kumpul-kumpul sama temen2, asik menikmati idup sendiri... Woiiii, inget anaaakkk istriiiii, sadar woi! Sadaarr!!”

“Pengennya suami bisa berubah, soalnya selama ini saya udah bersabar sampe kering, udah gak kuat lagi... Gimana masa depan rumah tangga, anak2, kalo suami masih mabuk dan judi...” 

“Heh, elo nanya yang bener ya! Orang lagi galau gini, gua parang juga lo entar!” >:-{

Maap... maap... 

Ya, saya SETUJU sekali bahwa para suami yang punya masalah2 seperti di atas KUDU HARUS MUSTI berubah. Apalagi yang masalahnya “sangat serius” seperti KDRT, kecanduan narkoba, dan sejenisnya. Bukannya masalah lain ga serius, tapi untuk KDRT, kecanduan, rumit dan absolutely SANGAT PERLU intervensi dari pihak-pihak yang berkompeten.

By God’s grace, saya juga belom pernah ngalamin hal-hal yang saya sebut di atas. 

Yang saya pernah alamin adalah (naaaah, mulai buka-bukaan, yihaa... seru nih... silakan pada lanjut baca untuk memuaskan hasrat ke-kepo-an :P): 

Saya pernah menggantungkan kebahagiaan saya pada suami. Saya menuntut suami untuk memenuhi seluruh kebutuhan saya, baik fisik, mental, sosial, intelektual, bahkan spiritual.

Hasilnya? Saya terjun bebas dengan suksesnya ke jurang self-pity alias mengasihani diri sendiri dan mendarat di lembah sengsara tiada akhir (kayak tulisan di bak belakang truk ya wkwkwk...)

Saya menyalahkan suami krn saya mikirnya, “Semasa single dulu rasanya saya hepi deh, kenapa abis nikah kok jadi ga hepi ya?!” Dan saya merasa gak disayang karena suami gak punya banyak waktu buat saya, gak ngertiin saya, kurang berusaha menyenangkan hati saya seperti si A, B, C, dst. 

Penyakit kronis para perempuan ya, suka membanding2kan “rumput sendiri” sama “rumput tetangga” dan biasanya sih rumput tetangga yang lebih ijo. Atau berkhayal pingin yang serba romantis dan cihuy seperti “Bella and Edward Cullen” -> FYI saya gak demen pasangan ini, saya ngerasa mereka bad influence, ngasih ilusi yang gak realistis buat anak2 muda khususnya gadis2 yang merindukan cinta dan pasangan... (feel free to disagree :P)

Anyway, karena suami saya adalah suami yang (sangat) baik, awalnya dia berusaha memenuhi semua tuntutan saya. Horeee....!

Udah gitu selesai kah masalahnya?

ENGGAK sama sekali! Karena segera setelah tuntutan awal saya terpenuhi, senengnya cuman sebentar lalu saya segera nemu tuntutan2 baru, yang lebih tinggi dan lebih susah lagi. 

Akhirnya suami end up babak belur TANPA dapet penghargaan buat usaha kerasnya untuk memenuhi kebutuhan saya dan bikin saya hepi. Sementara saya masih berkutat dengan tuntutan-tuntutan saya yang ga mungkin bisa dipenuhi sama suami. Mentok.

Jadi harusnya gimana ya...?

Believe it or not, jawabannya adalah: 

DIRI SENDIRI DULU YANG HARUS BERUBAH. 

Ih. Nyebelin.

“Wong dia yang salah kok saya yang harus berubah? Hello??“ 

(Ini bicara pada umumnya ya, dalam kasus saya mah JELAS kok saya yang salah huehehehe... *tau diri :P*)

Tapi perubahan selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ga bisa menuntut orang lain untuk berubah tanpa diri sendiri berubah duluan!

Seiring dengan perubahan diri sendiri, percaya deh, keadaan akan berubah (atau reaksi kita terhadap keadaan itu yang berubah), dan orang yang kita harapkan berubah juga akan ikut berubah. Prosesnya bisa PANJANG dan LAMA dan SUAKIITTTT.

Saya nyampe di kesimpulan ini juga adalah hasil dari proses yang panjang dan menyakitkan. Bukan cuma soal rumah tangga, tapi juga soal lain-lain secara umum (baca deh ratapan saya di My Desert Journey).

Seperti saya udah pernah bilang, beberapa taun belakangan saya suka banget dengerin program radionya Nancy Leigh DeMoss (www.reviveourhearts.com). Saya diberkati banget, dikuatkan, diubahkan, dan banyak terinspirasi ajaran, sharing, dan kotbahnya. Di beberapa seri tentang pernikahan (klik juga di sini kalo mau liat seri2 yg laen), saya banyak denger kesaksian dari orang-orang yang pernikahannya luluh lantak karena suaminya selingkuh, terlibat pornografi, dlsb, yang berhasil dipulihkan. Semuanya dengan seiya sekata bilang bahwa perubahan DIMULAI dari diri mereka sendiri.

Padahal kalo diliat2 mah jelas suaminya yang salah ya. 

Tapi MEREKA SEMUA MEMULAI PERUBAHAN DARI DIRI SENDIRI (bisa dengan cara memperbaiki diri atau memperbaiki cara mereka bereaksi dan berinteraksi dengan suaminya), baru kemudian suaminya berproses dan lambat laun berubah, dan akhirnya pernikahannya pulih kembali.

Mungkin ga semua masalah bisa selesai dengan perubahan ya. Saya juga ga tau deh, nikah baru mau 7 taun, jadi saya masih sangat hijau dan miskin pengalaman.

Tapi yah saya rasa ini salah satu pilihan yang bagus buat mengatasi masalah dalam rumah tangga. Kalo udah bertaun-taun dilanda masalah, berdoa udah sampe nungging tapi belom ada titik terang, daripada mentok dan putus asa, saya rasa cara ini patut dicoba :)

Heh jadi gimana lanjutan ceritanyaaaa? (:P Biarin aja ah, biar penasaran wkwkwk...)

Setelah dapet pencerahan, saya sadar bahwa suami ngga bisa bikin saya bahagia. LOH? 

Maksud saya, bukan suami yang menentukan kebahagiaan saya. Suami memang wajib memenuhi kebutuhan saya akan cinta kasih, perhatian, duit, dst, atau istilahnya berusaha menuhin “love tank” alias “rekening cinta” saya. Tapi mau bahagia atau enggak, itu pilihan saya. Mau mensyukuri apa yang ada atau mau terus menuntut yang enggak ada, itu pilihan saya.

Hidup punya banyak fase dan musim, kadang di musim tertentu ada keadaan yang ga bisa diubah. Yang saya bisa lakukan adalah mengubah SIKAP HATI dan CARA PANDANG saya, supaya meskipun keadaan lagi ngga menyenangkan, saya bisa tetep positif, penuh sukacita, damai sejahtera, and keep the right attitude. 

Setelah hati dan sikap saya berubah, surprise... surprise... saya bisa melayani keluarga saya dengan lebih baik, saya gak banyak bersungut2 atau banyak tuntutan lagi. Saya lebih hepi, saya lebih bisa nemu kegiatan positif/hobi buat buang stres dan “melakukan sesuatu”. Grup temen2 cewek/persekutuan buat berbagi suka duka, saling menguatkan dan mendoakan juga bikin kita hepi loh. 

Bukan artinya melarikan diri dari masalah ya, tapi saya nyoba utk be happy tanpa menggantungkan diri secara tidak sehat ke suami, membebani suami dengan segala “kerumitan” saya. Jadi misalnya kalo suami lagi suntuk/cape, ya jangan diajak diskusi yang berat2, diskusinya sama temen dulu, ntar kalo suami udah OK baru diskusi yang berat2. 

Dan setelah liat saya berubah, suami jadi hepi, dan lebih pingin spend time bareng saya, karena ga lagi ngerasa dirongrong, ga takut salah atau takut dijutekin lagi :P 

Tuh kan, ikutan berubah loh dia... :)

So, sebelom berdoa “Tuhan, ubahkan suamiku”, yuk kita doa dulu “Tuhan, ubahkan aku...”


Change My Heart O God - Hillsong

Change my heart, oh God, Make it ever true
Change my heart, oh God, May I be like You
You are the potter, I am the clay,
Mold me and make me, This is what I pray.

Jesus oh Jesus, Come and fill your lamb


You let the distress bring you to God, not drive you from him. The result was all gain, no loss.

Distress that drives us to God does that. It turns us around. It gets us back in the way of salvation. We never regret that kind of pain. But those who let distress drive them away from God are full of regrets, end up on a deathbed of regrets.
2 Corinthians 7:9b-10 (MSG) 

Sebab dukacitamu itu adalah menurut kehendak Allah, sehingga kamu sedikit pun tidak dirugikan karena kami. Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.
(2 Korintus 7:9b-10)

1 comment:

  1. Suka deh dengan artikelnya. Masalahku adalah tentang Pengakuan Diri, Penerimaan dan yg lain2. Ini adalah akar masalahnya. Merasa kurang mendapat kasih sayang, perasaan Tertolak, tidak dikasihi, tidak diinginkan menumbuhkan selain perasaan Tidak Percaya Diri juga merasa diriku Rendah, Tidak Berharga.

    Seiring banyaknya masalah, proses hidup yang Tuhan ijinkan terjadi (kebanyakan tentang KEpahitan, sifat pemberontakan, ketidakmampuan berhubungan sosial dgn orangtua, anggota keluarga, teman kantor,dll )Btw Saya 33 tahun sekarang haha...(lama bener ya), akhirnya Saya sadar sumber masalahnya adalah Saya sendiri.
    Saya belum Berdamai dengan Diri saya atas semua yang terjadi dgn Hidup saya. Dan yg terutama saya belum berdamai dengan Tuhan, mengakui bahwa dalam semua Jalan2 Hidup yg Tuyan ijinkan terjadi dalam hidup saya Baik adanya dan dalam Kendali Tuuan.

    Proses yg sulit memang, karena berarti saya harus membuang keEgoan saya utk bertanya "KENAPA SAYA TUHAN?". Saya jg harus membuang Semua Kemarahan, kecemburuan saya akan jalan2 hidup saudara2 atau teman2 saya yang saya rasa jalan2 hidup mereka begitu Indah, MUDAH, begitu dikasihi oleh keluarga mereka dan sepertinya jg oleh Tuhan.

    He..he, kepanjangan ya. mudah2an ga bosan bacanya.




    ReplyDelete

Share Your Thoughts! ^^