Wednesday, October 20, 2021

[ANNOUNCEMENT!]

Hai, Pearlians!

Setelah sekian lama menanti, akhirnya website Majalah Pearl bermigrasi ke www.majalahpearl.org 🥳 Tenang, Pearlians masih bisa mengakses www.majalahpearl.com, kok, hanya saja setiap tulisan terbaru akan tayang pada alamat terbaru. So, stay tune, ya!

Terima kasih untuk doa dan dukungan Pearlians! Soli Deo Gloria!

Monday, August 9, 2021

Manajemen Waktu




by Alphaomega Pulcherima Rambang


“Kenapa ya waktu berjalan lambat banget??”
“Ya ampun, gak terasa dah jam segini, waktu cepat banget berlalu!”
“Sepertinya aku gak punya waktu buat mengerjakan ini semua, aaarrggghhhhh...!!!”
“Kenapa sih sehari cuma 24 jam?” *konyol*
“Aku terlalu sibuk nih…”
“Aku akan melakukannya kalau punya waktu…”


Pernah berpikiran seperti itu? Aku pernah dong. Hal yang aneh sebenarnya karena kita semua memiliki jumlah waktu yang sama setiap hari. Logikanya, sebenarnya kita memiliki waktu dong untuk melakukan yang perlu kita kerjakan. Kalau kita bilang tidak punya waktu, sebenarnya kita sedang mengakui kalau kita tidak memilih memanfaatkan waktu untuk melakukan aktivitas tersebut. Kita perlu belajar berkata tidak terhadap suatu hal. Ini harus dilakukan, karena saat kita berkata tidak untuk suatu aktivitas, kita sedang berkata ya terhadap aktivitas lain.

Jadi, tantangannya sekarang adalah menentukan bagaimana menggunakan waktu yang kita miliki. Ada beberapa prinsip yang perlu kita pegang dalam mengelola waktu kita. Prinsip ini aku dapatkan dari Buku Peserta KAMBIUM-Bertumbuh Dalam Kristus.

1. Kita adalah pengelola, bukan pemilik waktu

Kata Yesus kepada mereka:”Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
(Yohanes 4:34)

WAKTU yang ada sebenarnya adalah milik Tuhan, kita hanyalah pengelola. Dan sebagai pengelola, kita wajib menggunakan waktu ini sesuai keinginan sang pemilik, Tuhan.

Pertanyaan yang perlu kita ajukan dalam seluruh kehidupan (dalam menggunakan waktu kita):
  • Apakah ini sesuai dengan kehendak Tuhan? 
Pertanyaan ini akan membuat kita mencari tahu, apakah yang kita lakukan sesuai dengan kehendak-Nya, kita akan menemukan jawabannya melalui firman Tuhan atau melalui doa.
  • Apakah hal ini membuatku semakin serupa dengan Tuhan? 
Ini akan membuat kita memandang Tuhan, melihat karakter dan sifat-Nya, dan belajar melakukan sesuatu seperti yang Dia lakukan, menyelami hati-Nya dan menyelaraskan hidup kita dengan-Nya. Saat kita MEMILIH melakukan satu hal, apakah membuat kita makin serupa dengan-Nya atau ngga, kalo ngga, jangan lakukan!!!

  • Apakah hal ini mengasihi dan memuliakan Tuhan?
Yang kita lakukan di waktu yang dipercayakan-Nya ini, sudahkah menjadi bukti kita mengasihi-Nya? Apa waktu ini sudah kita berikan bagi-Nya atau hanya digunakan untuk kesenangan kita sendiri?

Ini berarti KRISTUS lah pusat dalam kehidupan kita orang percaya, kita melakukan segalanya hanya karena dan untuk kepentingan Tuhan kita. Kalau memang apa yang kita lakukan ternyata tidak ada kepentingan Tuhan di dalamnya, mungkin kita harus berhenti melakukannya ^^ Tiga pertanyaan tadi bisa mulai kita tanyakan ke diri masing-masing saat melakukan sesuatu, supaya kita sungguh-sungguh menggunakan waktu yang ada hanya untuk Tuhan.


2. Keseimbangan penggunaan waktu bukan hierarki (tingkatan) tetapi keseimbangan

Tidak ada tingkatan dimana aspek kehidupan tertentu merupakan hal lebih rohani daripada aspek kehidupan yang lain. Jangan sampai kita memisahkan kehidupan kita jadi rohani dan sekuler. SEMUA hal yang kita lakukan dalam waktu kita bisa jadi rohani/kudus waktu kita melakukan semuanya buat TUHAN. Ini bukan tentang jenis pekerjaan ato kegiatannya, misalkan kita anggap semua yang di luar gereja tu gak rohani! SALAH boooo....!! Check this out:

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
(Roma 12:1)

APAPUN, SEMUA yang dilakukan tubuh ini bisa menjadi persembahan yang hidup bagi Tuhan, ASALKAN kita melakukannya bagi Tuhan, bagi kemuliaan-Nya, untuk kesenangan-Nya. 

Pernah gak sih bingung, mau ikut KKR ato acara ultah teman? Sepintas, ikut KKR terlihat ‘lebih rohani’ ya? ^^ Tapi, come on... TUHAN melihat hati lhooooo... Don’t forget this!!

Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."
(1 Samuel 16:7)

Kalau kita datang ke acara ultah teman untuk merayakan kebaikan TUHAN dalam hidupnya, mendoakannya dan jadi teman yang menyatakan kasih Kristus baginya, bukankah itu akan sama ‘rohaninya’ dengan datang KKR? ^^V Jangan juga yo, kalo gak ibadah PAKE ALASAN SEMU, “Gak apa-apa milih melakukan yang laen, toh Tuhan kan melihat hati,” Haissss....Justru karena TUHAN tau banget hati kita, kita gak boleh sembarangan beralasan kayak gitu, HE KNOWS OUR HEART!

Setidaknya ada 5 bidang utama dalam kehidupan: (baca sendiri ya ayat-ayatnya ^^V)

1) Kehidupan pribadi (Roma 12:1-2; Efesus 4:17-5:21, 6:10-20; Kolose 3:1-17)

2) Keluarga (Efesus 5:22-6:4; Kolose 3:18-21)

3) Pekerjaan (Efesus 6:5-12; Kolose 3:22-4:1)

4) Tubuh Kristus (Roma 12:3-21, 14:1-23; Efesus 4:1-16)

5) Masyarakat (Roma 13:1-14; Kolose 4:5-6)

Ingat prinsipnya ya, ini bukan masalah tingkatan, tapi keseimbangan. Bayangkan jika setiap hari kita menggunakan waktu untuk pelayanan di Gereja tapi keluarga terlantar. Atau sibuk pelayanan pemuda di PMK tapi kuliah kacau balau. Wah... Itu bukan kesaksian yang benar di tengah dunia ini. Beragama atau pun tidak, percaya Kristus atau pun tidak orang di sekitar kita, sadar ga sadar hidup kita ini adalah surat yang dibaca oleh SEMUA ORANG. Mereka melihat bagaimana kita menggunakan waktu kita, membuat penilaian, dan belajar dari yang kita lakukan (entah belajar meniru ato belajar gak meniru, hahahahaha ^^’). Masih mau menggunakan waktu dengan sembarangan???


3. Lakukan yang penting bukan yang (seolah-olah) genting

Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana. Tetapi Simon dan kawan-kawannya menyusul Dia; waktu menemukan Dia mereka berkata: "Semua orang mencari Engkau." Jawab-Nya: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang." Lalu pergilah Ia ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka dan mengusir setan-setan.
(Markus 1:35-39)

See? Yesus tahu apa yang penting. Dia sangat peduli dengan hubungan pribadi-Nya dan BAPA-Nya, dan Dia MENYEDIAKAN WAKTU untuk itu (jangan kira Yesus punya waktu lebih banyak dari kita, Dia sama dengan kita, punya waktu hanya 24 jam sehari). Dan Yesus tahu apa tugas-Nya, saat murid-murid ribut karena banyak orang mencari-Nya (minta disembuhkan, dsb.nya), dengan tegas Dia bisa bilang, ”Boy, tugas Gue sekarang ngabarin injil ke kota sebelah, itu yang utama!” (Yesus kita gaul banget yee??? Hehehe). Kalo kita tahu UNTUK APA KITA DI DUNIA, kita pasti tahu apa yang harus dilakukan. Yesus tidak membiarkan manusia mengganggu jadwal-Nya dengan Allah.

Jadi, bagaimana mengelola waktu yang kita miliki? 

Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.
(Efesus 5:15-16)

Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja.
(Yohanes 9:4)

Dalam Perjanjian Baru, kata Yunani yang digunakan untuk waktu adalah kronos (54 kali) dan kairos (85 kali). Kronos dipakai untuk istilah waktu yang berurutan secara berkesinambungan, dalam detik, menit, jam, dst. Kairos dipakai untuk istilah waktu yang tepat untuk melaksanakan sesuatu, atau kesempatan. Penatalayanan atas waktu meliputi keduanya, yaitu bagaimana menggunakan setiap waktu dengan bijaksana dan juga bagaimana menggunakan setiap kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melakukan sesuatu dengan bertanggung jawab.

Langkah-langkah praktis yang bisa kita ambil : 

1. Susunlah kehidupan doa di sekeliling bidang-bidang utama agar dapat menggunakan waktu (kronos dan kairos) sesuai kehendak Tuhan. 

2. Tentukan sasaran mingguan untuk masing-masing bidang tersebut.

Ada dua macam sasaran:

a. Sasaran kronos : Prioritas penggunaan waktu mingguan yang rutin (dibuat satu kali per periode tertentu.

 Contoh : Buat jadwal Senin-Minggu dengan jam-jam berisi aktivitas yang akan dilakukan selama seminggu. 


b. Sasaran kairos : Prioritas penggunaan kesempatan mingguan yang non-rutin (dibuat satu kali per minggu).
Contoh penggunaan kairos dalam satu minggu :
  1. Kehidupan pribadi : me time (membaca buku, ke salon, spa), belanja bulanan
  2. Keluarga : mengunjungi ortu, menelepon saudara kandung
  3. Pekerjaan : membuat laporan bulanan, input di aplikasi
  4. Tubuh Kristus : menulis artikel, pelayanan musik di Gereja 
  5. Masyarakat : mengunjungi tetangga yang baru mengalami kedukaan, ikut arisan RT

Setelah selesai melakukan kegiatan yang telah ditentukan, kita bisa centang daftar yang telah kita buat. Daftar ini kita perbaharui setiap minggu sesuai rencana kita.

3. Lakukan penjadwalan waktu dari masing-masing sasaran, terapkanlah dengan integritas, dan evaluasilah secara berkala.

4. Setelah melakukan 3 langkah di atas, bagikan evaluasi yang telah dilakukan pada rekan pertumbuhan (misal: saudara KTB, teman cell-group, suami, dll). Berusahalah melakukannya setiap minggu. Lakukanlah disiplin penatalayanan ini bersama-sama.

*

Mengapa kita memerlukan rekan dalam melakukan evaluasi ini? Karena, jika kita hanya melakukannya sendiri, tanpa dievaluasi bersama, ada kecenderungan untuk berkompromi dan gak menepati sasaran-sasaran yang telah dibuat, kita cenderung mencari alasan atas ketidakmampuan kita berdisiplin. Bukan berarti kita menjadi hamba atas jadwal atau sasaran yang kita buat, tapi kita belajar untuk sungguh-sungguh bertanggung jawab atas setiap waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan.

C.S. Lewis berkata,”Dahulukan yang utama, dan kita akan mendapatkan juga yang sekunder; Dahulukan yang sekunder dan kita akan kehilangan baik yang utama maupun yang sekunder”. Terdapat sebuah teknik manajemen yang disebut Matriks Eisenhower yang juga dapat menolong kita mengelola waktu, dengan matriks ini kita memisahkan hal-hal yang kita lakukan dalam empat kategori : 


JANGAN LUPA, yang terpenting adalah berdoa, supaya kita tidak menjadi hamba atas jadwal yang kita buat. Sasaran penatalayanan atas waktu bukanlah mengatur sedemikian rupa ‘jadwal’ dan melakukannya tepat sesuai rencana kita. Tapi bagaimana membuat rencana bersama dengan Tuhan dan menjalankannya juga bersama-Nya. Belajar menikmati waktu dan kesempatan yang ada sebagai petualangan bersama-Nya. Membiarkan-Nya memimpin kita melakukan hal-hal di luar keinginan kita, mendengar suara-Nya dan mengikuti jadwal-Nya. Waktu dan kesempatan ini adalah hanya milik-Nya. AGAIN, kita hanyalah pengelola!!

Monday, June 7, 2021

Harga Mati Sebuah Kemenangan



by Nidya Mawar Sari

Artikel ini mengacu pada Matius 4:1-11

“Hari ini masak apa?” adalah sebuah pertanyaan yang tidak pernah selesai dalam hidup saya sebagai ibu rumah tangga—yang salah satu jabatannya adalah menteri dalam negeri urusan dapur. Rasanya indah sekali jika akhir minggu tiba, karena saya bisa libur dari urusan memikirkan menu hari itu (akhir minggu adalah jadwal kami boleh membeli makan di luar).

Urusan makan memang jadi kebutuhan paling utama, ya (khususnya bagi yang sudah berkeluarga, karena urusan ini bukan hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga pasangan maupun anak-anak). Selain itu, kita juga sering mendengar orang berkata, “Makan dulu yuk. Kalau laper ga bisa mikir.” Suara keroncongan di perut memang sangat mengganggu. Apalagi keadaan lapar juga sangat memengaruhi emosi kita. Itulah alasan ketika perut kita sudah terisi dengan pas (baca: sudah kenyang), maka kita bisa lanjut fokus beraktivitas. Emosi yang tadinya sempat tidak bisa dikontrol akhirnya bisa mulai dikendalikan lagi karena pikiran kita juga sudah diberi asupan makanan.

Nah, keadaan lapar ini (bahkan lebih ekstrim, sebenarnya) juga pernah dirasakan oleh Tuhan Yesus. Setelah Ia dibaptis, Roh Kudus membawanya ke padang gurun. Di sana Ia berpuasa selama 40 hari, dan Ia juga dicobai oleh Iblis disana. Ada empat hal yang bisa kita pelajari tentang Iblis dan trick-nya saat mencobai kita. Yuk, kita lihat satu per satu:

1. Iblis memakai kesempatan saat kita lemah.
Hal pertama yang menjadi bahan cobaan Iblis adalah soal perut. Iblis mengambil keadaan Yesus yang lapar sebagai satu kesempatan mencobai Yesus untuk mengubah batu itu menjadi roti. Hmm.. sangat menggiurkan ya, dan mungkin terlihat benar juga usulnya. Hati-hati! Terkadang usul Iblis itu terlihat benar dan baik untuk kita, padahal sebenarnya justru menjerumuskan dan jika tidak segera disadari, kita akan semakin terjebak dan tidak ingin keluar dari sana.

2. Iblis memakai frase “kalau Kau anak Allah” untuk mengawali dua dari tiga pencobaan yang dia berikan.
Perikop sebelumnya menceritakan peristiwa pembaptisan Yesus dan ada kejadian yang sangat spektakuler di sana. Allah Bapa memberikan deklarasi, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Nah, Iblis memakai ungkapan “kalau Kau Anak Allah” untuk mempertanyakan, “Masa’ iya Anak Allah bisa lapar? Lakukan sesuatu dong, supaya ga menderita.” Bukankah hal semacam ini juga sering Iblis pertanyakan kepada kita? “Katanya kamu anak Allah yang disayang, kok kamu hidupnya masih menderita?” Hati-hati (lagi)! Ini adalah bentuk manipulasi Iblis yang rentan membuat kita meragukan iman kepada Allah dan tidak ingin lagi memercayai-Nya!

3. Iblis tahu Firman Allah, tapi dia memutarbalikkannya.
Strategi yang sama Iblis pakai pada saat dia memelintir perintah Tuhan kepada Adam dan Hawa di Taman Eden.

4. Iblis hanya bisa memberikan usul untuk melakukan apa yang seharusnya tidak kita lakukan.
Kitalah yang menentukan pilihan kita, mau taat kepada siapa: kepada Allah atau Iblis. Secara teori, mudah bagi kita untuk berkata bahwa seharusnya kita taat kepada Allah, tetapi natur manusia yang telah tercemar oleh dosa membuat kita tidak lagi merindukan Allah dan menyenangkan hati-Nya. Kalaupun bisa berbuat baik, itu semata-mata karena anugerah Allah sendiri.

-

Kita sama-sama tahu bahwa Tuhan Yesus menang telak dari Iblis dalam peristiwa ini. Mungkin kita berpikir bahwa sudah pasti Tuhan Yesus menang, kan Dia Tuhan. Namun, dalam perikop ini dituliskan Tuhan Yesus menang bukan seperti sulap. Ada beberapa hal yang menjadi poin penting yang bisa kita, manusia biasa, usahakan untuk menang juga atas pencobaan. 

1. Dalam Lukas 4:1 ditulis, “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus…” Sebelumnya kita membahas kalau saat itu Dia sedang lapar, tapi di perikop ini kita bisa tahu bahwa meskipun lapar, Dia penuh dengan Roh Kudus. Kalau kita biasanya kebalikannya ya. Penuh secara jasmasni, tapi kosong dalam roh. Inilah satu hal penting yang harus kita punya saat kita mau menang dalam pencobaan. Kita tidak bisa hanya peduli soal perut lalu berharap kita bisa menang melawan pencobaan. 

2. Tuhan Yesus selalu melawan Iblis dengan senjata yang paling ampuh, yaitu Firman Tuhan. Setiap kali menjawab Iblis, Tuhan Yesus selalu mengatakan “Ada tertulis..” Inilah hal kedua yang kita perlu untuk melawan segala macam cobaan, tipuan dan godaan Iblis. 

3. Pencobaan mengenai rasa lapar ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh Yesus, namun juga bangsa Israel yang menuju ke Kanaan setelah keluar dari perbudakan di Mesir. Tentu Pearlians masih ingat bahwa mereka mengembara di padang gurun selama 40 tahun karena ketidakpercayaan mereka atas janji penyertaan Allah (tepatnya setelah 12 pengintai itu kembali dari Kanaan dan memberikan informasi mengenai tanah tersebut). Nah, bangsa Israel juga dikenal sebagai bangsa yang tegar-tengkuk dan lebih mementingkan roti daripada Firman Allah. Ada buktinya dari peristiwa pemberian manna: mereka menyisakan manna saat Allah telah berfirman agar mereka tidak menyisakannya untuk keesokan harinya (karena pasti akan membusuk); dan mereka mencari manna pada hari Sabat padahal Allah telah berfirman bahwa Dia tidak akan menurunkan manna pada hari tersebut (karena itu, Dia memerintahkan bangsa Israel untuk mengambil manna dua kali lipat dari kebutuhan mereka pada satu hari sebelum Sabat). Berbeda dari Israel, Yesus lebih mementingkan Firman Allah—bahkan Dia menggunakannya untuk melawan Iblis yang sedang mencoba memutarbalikkannya. Tidak heran jika Yesus disebut sebagai Israel yang sejati, kan, karena Dia bisa menggenapi ketaatan kepada Allah—sesuatu yang tidak bisa digenapi oleh bangsa Israel?


Jesus fought this battle as a Spirit-filled and Word-of-God filled Man. Kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan adalah harga mati bagi kita dalam menghadapi pencobaan-pencobaan. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak kita. Sebagai seorang ibu, pasti kita mau anak-anak kita tidak kelaparan, bukan? Kita pastikan mereka mendapat asupan makanan yang cukup untuk pertumbuhan mereka dan daya tahan tubuh untuk melawan virus penyakit. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah memastikan anak-anak kita juga penuh dalam roh dan Firman Tuhan sehingga mereka bisa bertumbuh dalam iman dan kuat melawan pencoban-pencobaan yang datang pada mereka? Apakah saya sebagai ibu sudah memberikan teladan dalam hidup dalam Roh dan Firman? Kiranya Tuhan senantiasa memampukan kita untuk senantiasa hidup dalam Roh dan Firman-Nya.

Monday, April 12, 2021

Solusi Dosa




by Priskila Dewi Setyawan

Sebagai orang percaya, kita diajarkan untuk mengimani (dan memang benar demikian adanya) bahwa Allah sangat mengasihi manusia. Dia menciptakan manusia sesuai gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27-28). Manusia diciptakan bukan seperti robot yang otomatis menuruti Sang Pencipta, tapi Allah memberikan kehendak bebas pada manusia dan manusia memilih untuk memberontak kepada Allah. Manusia berbuat dosa karena natur manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam Kejadian 3, kita mempelajari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Adam dan Hawa tergoda pada bujukan Iblis karena ingin menjadi seperti Allah yang mengetahui kebaikan dan kejahatan (ayat 5). Mereka melanggar perintah Allah dengan memakan pohon pengetahuan yang baik dan jahat. 

Nah, inilah dosa itu. Banyak orang berpendapat bahwa dosa hanya berarti sebuah perbuatan salah. Padahal sebaliknya: dosa lebih serius dari itu! Dosa adalah bentuk pemberontakan manusia pada Sang Pencipta. Pemberontakan tersebut bukan hanya mengenai masalah makan buah pengetahuan yang baik dan jahat (yang juga merupakan ujian dari Allah terhadap penggunaan kehendak bebas (freewill) mereka), melainkan adanya keinginan manusia untuk memiliki standar norma yang baru dan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Nah, sejak saat itulah, dosa merusak hubungan Allah dengan manusia dan membuat seluruh tatanan alam semesta yang “sangat baik” menjadi rusak—terkhusus dalam diri manusia (Yesaya 59:1-2). Saat Allah memanggil mereka, manusia merasa takut dan bersembunyi di Taman Eden. Selain itu, terjadi drama melempar kesalahan: Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular yang memperdayakannya. Relasi Allah dan manusia yang dulunya sangat dekat, kini rusak dan terpisahkan oleh jurang dosa yang dalam. Pada akhirnya, Tuhan menghukum ular, perempuan, dan laki-laki. Walaupun demikian, di balik permusuhan keturunan ular (baca: orang-orang yang memberontak dari Allah, seperti yang dilakukan Iblis dan para pengikutnya) dengan keturunan Hawa (baca: anak-anak Allah), ada janji keselamatan perdana yang Dia berikan (Kejadian 3:15).

Roma 3:10b berbunyi, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” Sebagai penegasan, Paulus menulis Roma 3:23 yang menyatakan, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Lihatlah, dosa bukan hanya telah dilakukan oleh Adam dan Hawa saja, tapi tidak ada seorang pun yang terluput dari dosa. Ya, saya dan Anda juga telah berbuat dosa! Adalah sebuah kebohongan jika kita berkata bahwa kita tidak pernah berdosa, karena itu artinya kita baru saja berbohong dan itu termasuk dosa. Seperti semua orang yang bekerja berhak mendapatkan gaji, orang yang berbuat dosa juga “berhak” mendapatkan upahnya. Apa itu? Maut (Roma 6:23). Walaupun semua orang pasti akan mati secara jasmani (kecuali dalam kasus khusus seperti Henokh (Kejadian 5:24) dan Elia (2 Raja-raja 2:3-11)), tapi ada yang lebih mengerikan yaitu kematian kekal. Semua orang yang mati pasti dihakimi. Orang yang meninggal dalam kondisi berdosa pasti dihukum mati secara rohani (Ibrani 9:27) dan terpisah dari Allah.

Manusia berusaha untuk melepaskan diri dari hukuman ini dengan membuat jembatan sendiri. Sayangnya, menjalankan perintah-perintah agama tidak membuat orang menjadi suci, dan manusia tetap berdosa serta terpisah dari Allah. Kebaikan, ibadah, pelayanan, dan baptisan tidak dapat menyelamatkan. Semua usaha manusia ini sia-sia dan tidak bisa membawa perdamaian dengan Allah. Yesaya 64:6a menjelaskan bahwa segala kesalehan seperti kain kotor. Efesus 2:8-9 berbunyi, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Jadi, kita memerlukan Sang Pencipta dan tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Itulah sebabnya iman adalah anugerah Tuhan.

Sebagai analoginya, mari kita simak kisah berikut:

Ada seorang hakim yang memiliki saudara kembar seorang penjahat. Kembarannya ini membunuh dan harus dihukum mati, padahal hakim sangat menyayangi saudaranya. Karena kasihnya, hakim ini menggantikan saudaranya untuk dihukum mati. Hakim berpesan agar saudaranya bertobat. Keesokan harinya, saudara kembarnya bebas dan hakim ditembak mati. Hakim ini adil, tapi penuh kasih.

Demikian pula dengan Bapa kita: walaupun adil, tapi Dia juga mengasihi manusia. Itulah sebabnya Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, untuk mati dan menyelamatkan manusia dari dosa serta membawa orang percaya berdamai dengan Allah (1 Petrus 3:18). Kemenangan Yesus atas dosa dibuktikan melalui kebangkitan-Nya dari kematian.

Tawaran Allah untuk kebebasan atas dosa ini tentu memerlukan respons. Tidak merespons artinya menolak tawaran. Iman dimulai dari mendengarkan firman Tuhan dan percaya kepada-Nya. Setelah itu, orang percaya akan beroleh hidup kekal, tidak turut dihukum sebab mereka sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup (Yohanes 5:24), dan menjadi anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Roma 10:10 menjelaskan bahwa kepercayaan ini berasal dari hati dan pengakuan mulut (digerakkan oleh Roh Kudus, tentunya). Solusi dosa hanya ada dalam diri Yesus Kristus. Kita perlu mengundang-Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat secara pribadi, mengakui dosa-dosa kita, bertobat secara sungguh-sungguh, meninggalkan dosa, dan menyerahkan hidup kita seutuhnya ke dalam tangan Tuhan. Sudahkah Pearlians merespons tawaran ini?

Monday, April 5, 2021

Maut Dikalahkan




by Amidya Tri Agustinus

Kemarin Minggu (4 April), semua orang Kristen merayakan Paskah. Ya, Paskah menjadi tanda kemenangan Yesus Kristus—Sang Anak Allah—atas dosa, dan menjadi bukti bahwa Dia adalah Juruselamat yang hidup. Meski demikian, dalam natur-Nya sebagai manusia, Kristus juga mengalami kematian dulu sebelum pada akhirnya bangkit. Secara teori, kita tahu bahwa kematian merupakan garis akhir bagi semua manusia. Namun pernahkah terlintas di benak kita alasan di balik adanya kematian ini, dan mengapa Kristus harus bangkit dari kematian?

Dalam Roma 6:23, Rasul Paulus mengatakan, “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Ayat ini menjelaskan dua hal utama, yaitu: (1) upah dosa adalah maut, karena manusia telah jatuh dalam dosa, maka hukuman dosa tidak dapat dielakkan lagi; dan (2) hidup kekal hanya ada di dalam Yesus Kristus; oleh karena belas kasihan dan kemurahan Allah, kita menerima karunia untuk mengalami kehidupan kekal di dalam Kristus.

Seperti yang telah dituliskan di atas, Tuhan Yesus juga mengalami kematian, bahkan sebelum itu Dia menderita sengsara mulai dari sejak memperoleh penghinaan di rumah imam besar hingga akhirnya mati di atas kayu salib (Pearlians bisa membaca kisah selengkapnya dari bagian akhir keempat kitab Injil). Menariknya, kematian Kristus begitu istimewa—melebihi siapapun yang pernah mengalaminya. Jadi, di mana letak keistimewaan dari kematian Kristus ini?

· KRISTUS BERKUASA ATAS MAUT
Kristus memang mati dengan menanggung penghinaan dan penderitaan, namun Dia bangkit pada hari yang ketiga dengan bukti yang bisa dilihat dan dirasakan oleh lebih dari 500 orang (1 Korintus 15:1-11). Kubur kosong, kesaksian para murid, hingga Yesus menampakkan diri-Nya menjadi bukti nyata bahwa Dia bangkit. Dengan demikian, kehadiran Kristus ini menunjukkan bahwa Dia telah mengalahkan kuasa maut, sehingga semua orang percaya memperoleh kehidupan kekal bersama-Nya. Yesus memang telah mati; Dia sudah dikuburkan, tetapi lihatlah bahwa Dia telah menaklukkan kematian. Sekarang Dia hidup untuk selama-lamanya dan bertahta di hati setiap orang percaya jika mereka mengizinkan-Nya menjadi Raja atas hidup mereka. Pertanyaannya, apakah kita termasuk di dalamnya?

· BUKTI KEBANGKITAN dalam KITAB INJIL
Para penulis Injil menyertakan kisah kematian dan kebangkitan Kristus dalam empat Injil. Mereka bahkan mencantumkan banyak tokoh sejarah seperti Kayafas, Pontius Pilatus (yang juga disebutkan dalam Pengakuan Iman Rasuli), dan Herodes. Dengan demikian, kita pun mengetahui bahwa peristiwa kebangkitan Kristus benar-benar peristiwa sejarah yang besar dan para murid mendasarkan pemberitaan Injil pada kematian dan kebangkitan Kristus.

· KETERANGAN PAULUS
Paulus menjadi salah satu rasul yang senantiasa memberitakan kematian dan kebangkitan Kristus. Secara khusus dalam 1 Korintus 15, Paulus berusaha menjelaskan kepada jemaat di Korintus bahwa iman Kristen dibangun di atas kebangkitan Kristus atas maut, sebab tanpa kebangkitan-Nya sia-sialah iman percaya kita.


Sebagai orang percaya, selayaknya kita bersukacita karena kita menyembah dan melayani Juruselamat Agung yang adalah penakluk kematian. Kristus menyelamatkan kita dari belenggu dosa, membangkitkan kita, dan mengangkat kita untuk hidup bersama-Nya selamanya. Oleh karena itu, mari kita menyaksikan kepada sesama bahwa iman kita didasarkan pada Kristus yang mati dan benar-benar bangkit. Last but not least, selamat merayakan Paskah dan memperteguh iman kepada Sang Juruselamat yang kekal itu! Soli Deo Gloria!

Monday, March 29, 2021

Darah Anak Domba




by Glory Ekasari

Pada suatu hari yang bersejarah di tanah Mesir, bangsa Mesir mengamati orang Israel yang sibuk sekali menyiapkan makan malam bagi keluarga mereka. Menjelang sore, orang Israel menyembelih anak domba—seekor bagi tiap keluarga—dan menyiapkan dagingnya untuk diolah. Lebih anehnya lagi, darah anak domba itu mereka sapukan di ambang pintu rumah. Orang Mesir tahu bahwa orang Israel melakukan hal tersebut karena Tuhan mereka berkata bahwa malam itu akan datang bencana yang menakutkan, dan hanya rumah yang memiliki darah anak domba di ambang pintu rumah merekalah yang tidak akan kena bencana itu. Tetapi, mana mungkin itu terjadi, ya kan? Apa yang bisa dilakukan darah anak domba untuk menyelamatkan nyawa orang?

Tetapi apa yang “tidak mungkin” itu benar-benar terjadi: malam itu keluarga-keluarga Mesir menjerit karena kematian anak-anak sulung mereka! And let us guess: tidak ada satupun anak sulung Israel yang meninggal—karena ada darah di ambang pintu mereka.

Darah bukan sekadar substansi yang ada dalam tubuh manusia dan binatang. Darah itu mengandung makna sesuatu yang lebih tinggi:

Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.
(Imamat 17:11)

Darah berarti nyawa (karena itu orang Israel dilarang makan darah). Dalam ayat di atas dikatakan bahwa darah (binatang) dipakai sebagai pendamaian bagi nyawa manusia. Maksudnya, ada seekor binatang yang dibunuh dan darahnya dicurahkan, supaya seorang manusia tidak mati karena dosanya. Tanpa penumpahan darah itu, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22) dan semua orang yang berdosa harus mati (Roma 6:23). Jadi, melalui tulah kesepuluh yang telah dijelaskan di atas, nyawa anak sulung Israel dibeli dengan nyawa anak domba.

Tetapi, sekalipun kisah tulah kesepuluh di Mesir adalah contoh yang jelas tentang penebusan nyawa manusia, kita tahu bahwa manusia dan binatang tidak setara. Ini jelas terlihat dalam hukum Taurat. Setiap kali seseorang akan menghadap Tuhan di Bait Suci, dia harus mempersembahkan korban. Setiap hari imam-imam harus membakar korban bakaran bagi Tuhan. Darah binatang tidak cukup untuk menghapus seluruh dosa seseorang, apalagi dosa semua orang! Sekalipun semua binatang di dunia dikorbankan untuk satu orang, itu tetap tidak cukup untuk menghapus semua dosanya. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?

Kita tentu pernah mendengar tentang Yohanes Pembaptis yang berseru mengenai Yesus: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia!” (Yohanes 1:29). Gelar “Anak Domba Allah” yang dikenakan kepada Yesus menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa tulah kesepuluh di Mesir. Anak domba itu menggambarkan Yesus. Darah anak domba yang dicurahkan untuk keselamatan anak-anak sulung Israel adalah gambaran dari darah Yesus dicurahkan untuk keselamatan kita; nyawa Yesus sebagai ganti nyawa kita. Karena Yesus adalah Anak Allah yang sempurna, maka kematian-Nya—satu kali di atas kayu salib—cukup untuk menebus semua dosa semua manusia yang percaya kepada-Nya.

Mengapa Allah memberikan Anak Domba Allah, yaitu Yesus, sebagai penebusan nyawa kita? Jawabannya tidak lain karena Allah mengasihi kita. Dalam kisah tulah kesepuluh, Allah menyelamatkan bangsa Israel karena mereka adalah umat-Nya. Namun, kasih Allah ternyata tidak hanya terbatas bagi bangsa Israel, karena Allah membuka pintu keselamatan itu bagi semua manusia dari semua bangsa melalui Yesus Kristus. Mungkin kita pernah mendengar ada orang yang berkata bahwa Kekristenan itu eksklusif karena jalan keselamatan hanya melalui Yesus. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa Kekristenan itu sebenarnya inklusif? Ya, karena semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus—tidak peduli latar belakangnya, segala dosanya, status sosialnya, dan sebagainya—bisa menerima keselamatan melalui-Nya? Itu semua hanya bisa terjadi “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,” demikian kata firman Tuhan (Yohanes 3:16). Kalau kembali pada tulah kesepuluh, kita akan menemukan bahwa perintah Allah untuk menyapukan darah anak domba di ambang pintu tentu tidak hanya didengar oleh bangsa Israel, tetapi diketahui pula oleh orang Mesir. Kalaupun mereka percaya pada perintah itu, mereka juga akan diselamatkan (terbukti dari bukan hanya bangsa Israel yang keluar dari Mesir, namun ada beberapa orang non-Israel yang ikut bersama mereka)! Siapapun yang mau menerima keselamatan itu disambut dengan tangan terbuka oleh Allah.

Prosesi kematian Yesus di atas kayu salib memang sangat menyentuh. Orang yang tidak percaya pun bisa menangis saat menonton filmnya, karena begitu berat penderitaan dan penghinaan yang Yesus alami. Namun, rencana Allah yang ada di balik penyaliban itu lebih luar biasa lagi! Apabila kita percaya kepada Yesus yang telah mati bagi kita, kita seakan sedang menyapukan darah anak domba di ambang pintu rumah kita. Dalam kitab Wahyu dikatakan bahwa orang-orang yang diselamatkan adalah:

... orang-orang yang ... telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. (Wahyu 7:14)

Bagaimana mungkin jubah dicuci dalam darah tetapi menjadi putih? Bukankah justru jubah itu akan menjadi kotor karena darah? Ternyata tidak! Ini karena darah Yesus menyucikan kita dari segala dosa! Orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak akan dihukum untuk dosa mereka, karena semua dosa itu telah diampuni. Ketika kita menerima darah Yesus, kita menerima pula hidup-Nya bagi kita.

Tetapi ada orang yang tidak percaya kepada Yesus, sebagaimana bangsa Mesir tidak percaya bahwa darah anak domba akan menyelamatkan nyawa anak sulung mereka. Harga dari ketidakpercayaan itu adalah kematian. Harga dari ketidakpercayaan manusia kepada Yesus jauh lebih mahal, yaitu kebinasaan kekal. Ini karena semua orang yang tidak percaya kepada Yesus harus mempertanggungjawabkan dosa mereka sendiri di hadapan Tuhan, dan menerima hukuman atas dosa-dosa mereka. Bagaimana dengan kita? Apa yang akan menjadi respons atas anugerah keselamatan melalui Sang Anak Domba Allah ini?

Monday, March 22, 2021

Tidak Bercela




by Poppy Noviana

…dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita
(Titus 2:7-8)

Saya teringat seorang teman yang bertanya kepada saya, bagaimana mungkin saya bisa menerima kenyataan bahwa saya difitnah di pengadilan dan menyaksikan lawan yang saya gugat bersumpah di atas Alkitab bahwa mereka tidak bersalah. Padahal, sudah jelas mereka melanggar kontrak kerja dengan pemecatan sepihak atas dasar pandemi. Apakah semua orang Kristen semunafik dan sejahat itu? 

Saat itu Roh Kudus mengingatkan saya, tidak semua hidup orang Kristen serupa dengan gambaran ideal di Alkitab. Status Kristen bisa saja adalah warisan dari orang tua, namun menjadi pengikut Yesus adalah keputusan pribadi berdasarkan kesadaran tentang penebusan karena kasih-Nya. Itulah mengapa, Yesus memanggil kita untuk menjadi pengikut-Nya, bukan menjadi orang yang beragama saja. Mengikut Yesus merupakan perintah yang lebih tinggi dari sekedar menjadi seorang yang beragama Kristen. Jika ada yang menyaksikan seorang Kristen hidup tidak benar, lalu menganggap ajaran Tuhan-nya seperti itu, sesungguhnya itu tidak tepat, karena perihal menjadi orang Kristen dan mengikut Tuhan dan adalah dua hal yang berbeda. 

Walaupun begitu, Firman Tuhan sendiri memerintahkan kita agar hidup tidak bercela. Titus secara khusus menyebutkan “agar tidak ada hal-hal buruk” yang dapat disebarkan orang-orang tentang kita. Tujuannya jelas, supaya terang kita bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan kita yang baik dan memuliakan Bapa kita di sorga (Matius 5:16). 

Kadang ada yang bilang, ngga usah memikirkan apa yang orang pikirkan atau bicarakan tentang kita. Namun saat semua itu berhubungan dengan identitas kekristenan kita, hal itu menjadi penting. Tuhan ingin kita memiliki image yang baik karena kita membawa image Kristus. Ia juga tidak ingin perbuatan kita menjadi batu sandungan, khususnya bagi mereka yang belum mengenal Yesus.

Ini berarti, kehidupan sebagai menjadi pengikut Yesus seharusnya tidak berseberangan dengan perintah dan prinsip hidup-Nya. Padahal, kenyataannya selama kita masih hidup di dunia, kita akan selalu menjadi orang Kristen yang tidak sempurna. Bagaimana kalau kita gagal, lalu ada orang-orang yang membicarakan kita, karena label kita sebagai orang Kristen? 

Firman Tuhan menyediakan jawabannya,

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)

Dalam versi Bahasa Inggris, bagian awal ayat ini berbunyi, “Let us fix our eyes on Jesus, the author and perfecter of our faith,”. Yesus adalah penulis iman kita dan yang menyempurnakannya. Allah memahami bahwa kita tidak bisa memiliki iman yang sempurna, hidup yang sempurna, namun kita punya Yesus yang sanggup menyempurnakannya. Dengan satu syarat, mata kita selalu tertuju kepada Yesus. 

Hidup mengikut Yesus adalah sebuah proses. Mengikut Yesus tidak berhenti saat kita menerima Dia sebagai Juru Selamat kita, namun terus berlanjut saat kita menjalani hidup setiap hari memikul salib-Nya. 

Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.
(Lukas 9:23)

Yesus tahu memikul salib bukan hal yang mudah. Ia sendiri kepayahan dan pernah jatuh. Tapi Yesus tidak menyerah, Ia memandang Bapa-Nya, bangkit kembali, dan tetap berjalan sampai tujuan. Ibrani mengatakan Yesus “tekun memikulnya salibnya”.

Kesimpulannya, menjadi pengikut Yesus dan hidup dengan label tidak bercela membutuhkan dua langkah ini:

Langkah Pertama - Menerima dan mengakui Yesus sebagai Juru Selamat pribadimu.

Langkah Kedua - Mengikut Dia dengan melakukan perintah-Nya dengan setia.

Terdengar sederhana memang, tapi menjalaninya tentu tidak mudah. Tapi Tuhan berjanji bahwa Ia bekerja di dalam kita dan memberi kekuatan untuk melakukannya. Jadi jangan takut untuk mengikut Dia. Fokus pada Yesus. Fokus mengejar excellence bukan jadi perfection. Fokus untuk taat dan setia demi menyenangkan hati Tuhan, bukan untuk mendapatkan kekaguman dan pengakuan orang. Tuhan pun ngga selalu menyenangkan semua orang. 

Akhir kata, status tidak bercela sebenarnya sudah kita terima saat kita melakukan langkah pertama, karena Yesus sudah menebus dosa kita. Tugas kita menghidupi status tersebut, dengan melalukan langkah kedua, sampai akhirnya Dia memanggil kita kembali. 

Tetap semangat memelihara iman dan memikul salibnya di dunia ini. Mari kita saling mendoakan dan menguatkan dalam percaya dan berserah penuh kepadanya, tanpa ragu sedikitpun.