Monday, April 15, 2019

Hawa: Wanita yang Disalahkan


by Mekar Andaryani Pradipta

“Gara-gara Hawa, seluruh umat manusia jadi menderita.”

“Satu wanita membuat semua orang hidup dalam hukuman.”

“Andai Tuhan tidak menciptakan Hawa, bisa saja dunia ini berbeda”

Apakah kamu pernah mendengar kalimat-kalimat seperti itu tentang Hawa? Mungkin tidak persis, tapi bisa saja senada. Intinya, Hawa adalah pembuat masalah. Hawa membuka pintu terhadap dosa. Hawa adalah biang kerok dari kejatuhan umat manusia.

Bahkan sampai ribuan tahun setelahnya, kebanyakan orang masih mengingat dosa Hawa dan menyalahkan Hawa atas segala kemalangan di dunia.

Pertanyaannya, apakah Tuhan menyalahkan Hawa?


***


Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.
(Roma 5:12)

Ya, ayat ini memang menjelaskan bahwa dosa masuk ke dunia karena satu orang. Tapi kalau kita membaca perikop lengkapnya, orang yang dimaksud dalam Firman ini bukanlah Hawa—melainkan Adam. 

Seluruh dunia bisa saja menyalahkan Hawa, tapi Tuhan tidak. Hawa memang berdosa, tapi Tuhan tidak memberikan label “penyebab dosa” pada Hawa.

Wow.

Kalau kita melihat lagi kejadian sesaat setelah kejatuhan manusia di Taman Eden, orang pertama yang diminta Tuhan menjelaskan apa yang terjadi memang bukan Hawa:

Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau? Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."
(Kejadian 3:8-10)

Terjemahan Indonesia memang memakai kata “manusia” yang bisa merujuk pada Adam maupun Hawa. Tapi terjemahan Bahasa Inggris menggunakan kata “man” atau “laki-laki” yang jelas-jelas mengacu kepada Adam.

Kenapa Allah meminta penjelasan atau pertanggungjawaban dari Adam? Alasan terkuatnya adalah karena Allah telah menyatakan Adam dan Hawa sebagai satu daging (Kejadian 2:24), dengan Adam sebagai kepalanya.

Lalu, apa yang Adam katakan?

“Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."
(Kejadian 3:12)

Apakah itu benar? Hmm, benar sih… tapi kurang tepat. Mari kita kembali tepat ketika dosa pertama terjadi.

Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah tahu tentang yang baik dan yang jahat. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.
(Kejadian 3:1-6)

Alkitab menuliskan Adam ada bersama Hawa ketika Hawa digoda oleh si ular, tapi Adam tidak melakukan apa-apa—sepatah kata pun tidak diucapkannya. Adam justru membiarkan istrinya memberikan respon yang salah. Ya, Adam tahu bahwa istrinya dicobai oleh ular, namun jawabannya kepada Tuhan di Kejadian 3:12 hanya menyebutkan bahwa dia jatuh dalam dosa karena istrinya. Jangankan membela dan melindungi istrinya, Adam bahkan sama sekali tidak menyebutkan fakta bahwa semua yang terjadi itu disebabkankan karena pencobaan dari si jahat. Adam adalah orang pertama yang menyalahkan Hawa, istrinya sendiri.

Bagaimana rasanya menjadi Hawa?

Hawa memang melakukan kesalahan. Mungkin saat itu dia merasa bingung, sedih, dan takut. Sangat normal jika Hawa mengharapkan Adam, yang adalah bagian yang utuh dari dirinya, menghadapi tragedi itu bersama-sama. Tapi, suaminya itu justru meletakkan semua kesalahan di pundaknya. Bukannya mengakui kesalahannya, Adam lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai kepala yang gagal melindungi Hawa—yang (katanya) adalah tulang rusuknya.


***


Dari kehidupan Hawa ini, Alkitab justru menegaskan tentang pribadi Allah: 
1) Dia adalah Allah yang setia dan adil 
Pada saat manusia melakukan dosa, Allah tidak fokus pada hukuman; tapi Dia lebih peduli pada hubungan. Ia adalah Tuhan yang punya hati untuk memahami keadaan dan posisi kita. Bagaimanapun Ia adalah seorang Bapa yang baik, yang mau mendengarkan dan mengerti. Allah bukan Tuhan yang menyalahkan kita lalu asal memberikan hukuman; melainkan Dia memberikannya dengan adil. Baik Adam dan Hawa sama-sama melakukan dosa, namun Adam dituntut pertanggungjawaban karena sebagai suami ia adalah kepala. Adam juga dimintai pertanggungjawaban, karena sejak awal ia ada bersama dengan Hawa—sesungguhnya dia bisa mencegah Hawa meladeni Iblis sampai melanggar perintah Allah.

Mungkin saat ini, ada di antara kita yang sedang menghadapi masalah karena kesalahan yang kita lakukan. Mungkin kita jadi satu-satunya pihak yang dituntut pertanggungjawaban, padahal sebenarnya kita bukanlah satu-satunya penyebab masalah itu terjadi. Listen, God knows what happened. Dunia bisa saja mengacungkan jari ke muka kita, semua orang pergi dan membiarkan kita berjuang sendiri, tapi Tuhan tidak. He knows, He cares, He understands.

Tidak hanya adil, Allah juga setia. Jika kita lanjut membaca Kejadian 3, bahkan setelah menghukum Adam dan Hawa lalu mengusir mereka dari Taman Eden, pemeliharaan-Nya tidak berakhir.

Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.
(Kejadian 3:21)

Rasanya bagian ini sangat mengharukan. Tuhan bukan bapa yang mengatakan, “Kalian pendosa, kalian bukan anak-anak-Ku lagi!” Dengan membuatkan pakaian dan memakaikannya langsung, Allah seperti mengatakan, “Kalian memang berdosa, tapi kalian tetap anak-anak-Ku dan Aku tetap mengasihi kalian. Sekarang kalian harus menerima konsekuensi dosa, berjuanglah dan jangan melakukan dosa lagi. Aku masih menyertai kalian.” Dari situ, kita bisa belajar bahwa Tuhan yang adil jugalah Bapa yang tetap mengasihi kita.

Ia adalah Tuhan yang setia, apapun dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

2) Alih-alih menyalahkan, Allah memberikan jalan keluar
Ketika manusia jatuh dalam dosa, rencana Tuhan seolah-olah hancur, Iblis merasa menang karena maut telah menguasai seluruh dunia. Tapi Tuhan punya jalan keluar. 

Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.
(Roma 5:12-15)

Saat kita melakukan kesalahan, kadang-kadang kita menganggap hidup kita berakhir dan masa depan kita hancur. Tapi Tuhan sanggup membalikkan keadaan. Dalam kasus Adam dan Hawa, Yesus Kristus adalah jalan keluar. Kabar gembiranya, Yesus menjadi jalan keluar yang juga Allah sediakan untuk setiap pergumulan dan dosa kita saat ini. Ia adalah kunci menuju kasih karunia dan anugerah Allah yang membenarkan hidup kita.


***


Sebagai bahan refleksi, bagaimana perasaanmu jika menjadi Hawa, yang suaminya menyalahkan dia, dan tidak mau menanggung beban bersama, bahkan ketika Tuhan sudah menyatakan bahwa mereka adalah satu daging? 

Alkitab tidak mencatat Hawa balas menyalahkan suaminya. Alkitab tidak mencatat Hawa sebagai wanita yang kecewa pada suaminya lalu meninggalkan dia. Alkitab mencatat Hawa yang tetap bersama Adam dan menjalankan perannya sebagai penolong bagi Adam.

Kesalahan Hawa tidak menghentikannya untuk memberikan tanggapan yang benar di kemudian hari. Hawa berusaha memahami apa artinya menjadi satu daging, meskipun suaminya pernah mengecewakannya. Bersama Adam, ia berjuang dari tragedi yang menimpa keluarga kecilnya. Pada akhirnya, Hawa tahu bahwa hidupnya dipulihkan semata-mata karena pertolongan Tuhan—sehingga ketika anak pertamanya lahir, Hawa bisa berkata, “"Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." (Kejadian 4:1)

Dengan pengampunan dan karunia Tuhan, kesalahan Hawa justru membuatnya sungguh-sungguh mengalami dan mengenal-Nya.


***


Dosa apa yang saat ini sedang menjadi bebanmu? Apakah kamu merasa sudah tidak ada harapan untukmu? Apakah kamu merasa tidak ada seorangpun yang membelamu?

Mungkin…

kamu hamil di luar nikah. Kamu melakukannya dengan pacarmu, tapi orang-orang menyalahkanmu. Mereka tidak tahu pacarmu yang merayumu. Mereka tidak tahu kamu melakukan itu karena kamu mencari kasih. Mereka tidak tahu keluargamu tidak memberikan kasih yang kamu butuhkan, sehingga kamu mencarinya di tempat lain. Orang-orang tidak tahu, tapi mereka menyalahkanmu.

… atau mungkin,

kamu pernah mencoba bunuh diri. Orang-orang menghakimimu. Mereka mengatakan kamu berdosa karena menyia-nyiakan hidup dari Tuhan. Mereka mengatakan kamu nyaris masuk neraka. Mereka tidak tahu kamu melakukannya karena tekanan keluarga dan pergaulan. Mereka tidak tahu kamu sudah bertahun-tahun ada di bawah pengawasan ahli jiwa. Kamu sudah berjuang tapi kamu tetap saja disalahkan.

Bisa jadi saat ini,

kamu merasa dosamu di masa lalu terlalu besar, sehingga bahkan ketika bertahun-tahun sudah berlalu, orang-orang di sekelilingmu belum melupakannya. Kamu berjalan dengan kepala menunduk karena penghakiman. Kamu sudah mempertanggungjawabkan dosamu, tapi label “pendosa” masih saja ditempelkan kepadamu.

Bagaimanapun keadaanmu, kamu punya kabar baik.

Seperti Tuhan yang tidak menyalahkan Hawa, Dia juga tidak menyalahkanmu. Tentu ada konsekuensi yang diberikan-Nya atas dosamu, tapi Dia juga akan membalut lukamu dan memulihkan hidupmu. Saat tidak ada seorangpun yang membelamu, bahkan orang-orang terdekatmu, Yesus yang menjadi Pembelamu.

Seperti Allah yang tidak meninggalkan Hawa bahkan setelah ia berdosa, Allah juga tidak meninggalkanmu. Dia memberikan janji masa depan yang penuh harapan. Maukah kamu menjadi seperti Hawa yang bangkit kembali dengan pertolongan Tuhan?

Monday, April 8, 2019

Febe: Bulan yang Memancarkan Kasih


by Tabita Davinia Utomo

Semakin mempelajari Alkitab, saya menemukan semakin banyak perempuan yang berperan besar dalam penyebaran Injil mula-mula. Salah satu di antaranya adalah Febe. Dalam suratnya, Paulus menceritakan tentang perempuan ini pada jemaat di Roma:

Aku meminta perhatianmu terhadap Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea, supaya kamu menyambut dia dalam Tuhan, sebagaimana seharusnya bagi orang-orang kudus, dan berikanlah kepadanya bantuan bila diperlukannya. Sebab ia sendiri telah memberikan bantuan kepada banyak orang, juga kepadaku sendiri.
(Roma 16:1-2 TB)

Nama “Febe” berarti ”pure” atau “radiant as moon”. Hm, kehadiran Febe seperti bulan yang memancarkan sinarnya dengan kemurnian hati… Wah, such a beautiful name, ya!

Walaupun hanya dicatat dalam dua ayat, namun Paulus menganggap Febe sebagai rekan kerja yang luar biasa. Hm, memangnya apa yang dilakukan Febe ya, sampai-sampai Paulus mendorong jemaat untuk menerimanya? Ini dia: 
1) Sebagai DIAKEN
Zaman dulu, tidak banyak perempuan yang dapat memiliki jabatan dalam jemaat mula-mula. Namun Febe dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai Diaken di Kengkrea dengan baik. Ini terbukti ketika dia “dikirim” dari Kengkrea untuk menyampaikan surat dari Paulus pada jemaat di Roma. Paulus memahami bahwa bisa jadi Febe merasa takut kalau ada penolakan dari jemaat, apalagi dari mereka yang masih menganggap perempuan sebagai “kaum kelas dua”, walaupun dia adalah seorang Diaken jemaat. Karena itu, Paulus mendorong jemaat agar bersedia menerima Febe dengan tangan terbuka—apalagi karena Febe telah menolong banyak orang, termasuk pada rasul terbesar itu.

2) Sebagai SAUDARI SEIMAN
Tanpa disadari, kadang-kadang kita mengabaikan pentingnya dukungan bagi para hamba Tuhan. Padahal, mereka juga sama-sama rapuh seperti kita (ya jelas. Semua orang kan, berdosa). Itu sebabnya Paulus menyatakan testimony-nya tentang Febe, saudarinya dalam Kristus. Secara tidak langsung, surat tersebut juga menunjukkan bahwa Paulus mendukung Febe dalam memberitakan Injil. 

3) Sebagai SUPPORT SYSTEM 
Salah satu ciri-ciri support system yang baik adalah memiliki tingkat prososial yang tinggi. Hal ini terbukti ada dalam diri Febe. Paulus menyatakan bahwa Febe bukanlah orang yang egois. Dia bahkan memberikan banyak bantuan bagi orang lain, termasuk dirinya. Bayangkan kalau ada pelayan Tuhan yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tidak mau tahu tentang pergumulan yang dialami jemaat. Kehidupannya tidak akan memberikan kesaksian nyata atas kehadiran Tuhan dalam hidupnya.

***

Nah, setelah mengenal tentang Febe lebih dekat lagi, mari kita berefleksi tentang kehidupan kita saat ini: 
  • Sebagai anak-anak Tuhan, apakah kita sudah mengerjakan tanggung jawab yang Tuhan berikan dengan baik? Tanggung jawab disini maksudnya dalam hal apapun. Tidak hanya dibatasi oleh keanggotaan jemaat maupun latar belakang pekerjaan. 
  • Apakah kita sudah menjadi saudari seiman yang saling mendukung dalam komunitas maupun secara pribadi? 
  • Apakah kita sudah menjadi berkat melalui kehidupan dalam pertobatan? 
Saya harus mengakui bahwa saya belum dapat menjawab “ya” pada tiga pertanyaan di atas. Masih ada jatuh-bangunnya. Tapi, uhmm… bukankah itu yang namanya dinamika iman? Saya yakin bahwa Febe pun mengalami naik-turunnya perjalanan iman. Tapi tidak berhenti di situ, Febe pasti dikuatkan melalui dukungan saudara-saudari seimannya, sehingga dia dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin jemaat dengan baik. Yaa, karena Roh Kudus dapat menguatkan kita melalui siapapun dengan cara-Nya, kan? Pertanyaannya, apakah kita mau dan bersedia taat untuk mendukung orang-orang yang membutuhkan dengan apa yang bisa kita lakukan? Atau jangan-jangan, kita lebih memilih bersikap “sebodo amat” dengan pergumulan yang dihadapi oleh suami, anak, teman, kolega, atau siapapun yang kita jumpai dalam kehidupan masing-masing?

Saya memilih untuk meneladani Febe, yang bersedia memberikan hidupnya untuk menyinari orang-orang di sekitarnya dengan kasih Tuhan. Apapun risiko yang harus dijalani, saya mau taat. Bagaimana dengan Anda?

Monday, April 1, 2019

Lidia: Pebisnis Wanita yang Menyerahkan Hidupnya bagi Kristus


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Kali ini kita akan mengenal lebih dekat seorang businesswoman yang terkenal di zamannya. Dialah Lidia, seorang penjual kain ungu dari Tiatira. Tidak dicantumkan di Alkitab apakah dia menikah atau tidak. Kita tidak tahu seberapa besar kota Tiatira namun nama Lidia sangat terkenal—hingga keterangan itu yang disematkan oleh penulis Kisah Para Rasul (selengkapnya bisa dibaca di Kisah Para Rasul 16:1-40).

Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: "Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku." Ia mendesak sampai kami menerimanya. (Kisah Para Rasul 16:14-15)

Walaupun namanya hanya disebutkan beberapa kali di dalam Alkitab, namun ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Lidia:

1) LIDIA MENDENGARKAN DAN MEMPERHATIKAN PENGAJARAN PAULUS 
Hayoo… Siapa pembaca di sini yang (ngakunya) saking sibuk sampai nggak sempat mendengarkan dan memperhatikan Firman Tuhan?
Boro-boro buat merenungkan firman Tuhan Meg, baca Alkitab aja bisa gak sempat. Gimana sempat, bangun pagi dah harus siap-siap buat ngantor, sibuk urusan kantor, macet di jalan, pulang dah tepar, mana sempat lagi baca Alkitab booo!? Belum lagi kalau dah bersuami dan beranak, mana sempat lagi baca Alkitab, hidup sudah diabdikan penuh buat melayani keluarga, Meg!! 
Jangankan baca Alkitab tiap hari, bisa ke Gereja seminggu sekali buat dengar firman Tuhan aja dah sujud syukur, lhoo… Rempong banget ngurus bayi dan suami. Apalagi noh, kalau berkeluarga tapi juga kerja kantoran. Mana mungkin ada waktu buat baca Alkitab, Meg! 
Lidia? Eike sama dia kagak sama, oi! Lidia mah perempuan zaman dulu yang gak ada kerjaan kaliii... Beda dong sama eike, eike kan wanita karirrrr….
Ehmm… Maaf, kalau boleh aku mengingatkan, Lidia seorang penjual kain ungu looo… Dia nggak nganggur, wong dia seorang pedagang. Tapi waktu ditemui Paulus, Lidia sedang berada di tempat ibadah Yahudi. Lidia bukan bergosip di sana, bukan nongkrong nggak jelas. Lidia sedang beribadah. Lidia memberikan waktunya untuk mendengarkan firman Tuhan yang disampaikan Paulus bersama perempuan-perempuan lain. Jadi, kalau Lidia yang pedagang aja punya waktu untuk firman Tuhan bersama teman-temannya mosok kita gak punya waktu? 

Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.
(2 Timotius 3:15-1)

Kita pasti punya waktu untuk melakukan sesuatu yang kita anggap penting. Tiap hari masih makan, kan? Iya lah ya... Kalau nggak makan, kita bisa meninggal. Nah, sama seperti makanan untuk tubuh jasmani kita, kerohanian kita pun bisa mati kalau kita nggak baca dan menghidupi firman Tuhan!

“Trus gimana caranya aku bisa bertumbuh dan komitmen buat baca firman Tuhan, Meg?”

Seenggaknya ada dua hal yang bisa kita lakukan:

A) Berkomitmen untuk selalu mendengarkan dan merenungkan firman Tuhan

Tetapkan waktu terbaik (entah pagi, malam, dll) untuk membaca Alkitab setiap hari—dan mulailah hari ini (jadi jangan ditunda-tunda, ya)! Berdoalah dan minta Tuhan bicara melalui firman-Nya. Perhatikan dan renungkan dengan saksama apa yang dibaca. Kalau kata Ci Lia Stoltzfus, baca maupun mendengarkan firman Tuhan itu seperti bercermin. Kita harus merefleksikan diri kita dengan firman yang dibaca. Kalau ada bagian hidup kita yang dikoreksi oleh firman Tuhan, maka di situlah kita harus berubah. 

B) Membutuhkan komunitas yang concern terhadap hal firman Allah

Alangkah baiknya jika ada partner yang sama-sama berjuang untuk merenungkan firman Tuhan bersama. Kenapa? Karena ada semangat yang beda waktu kita tahu ada partner yang juga mengejar pertumbuhan rohani. Selain itu, kita dapat saling mendukung, mengingatkan, dan menegur saat ada yang melanggar komitmennya.

2) LIDIA BERIBADAH KEPADA ALLAH
Bagaimana penulis Kisah Para Rasul tahu Lidia beribadah kepada Allah? Hm, mungkin karena dia melihat aktivitas Lidia di tempat ibadah Yahudi bersama teman-teman perempuannya. Bisa jadi karena dia melihat bagaimana Lidia menjalankan bisnisnya (melalui kejujuran, keramahan, “neraca yang adil” (Amsal 11:1), dan mendasarkannya pada hukum-hukum Allah). Mungkin juga karena sang penulis melihat ketaatan Lidia pada Perintah Allah. Kita tidak tahu persis, tapi yang jelas dia tahu Lidia beribadah kepada Allah.

Bagaimana dengan kita? Bagaimana orang tahu kalau kita beribadah kepada Allah?

A) Saat kita mengasihi 

Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku , yaitu jikalau kamu saling mengasihi.
(Yohanes 13:35)

Apakah kasih Kristus nyata dalam diri kita? Apakah kita membuat orang lain merasa dikasihi? Setiap tindakan yang kita lakukan karena mengasihi dan untuk mengasihi orang lain sebagaimana Kristus telah mengasihi. 

B) Saat hidup kita berbuah 

Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal. 
(Matius 12:33)

Buah seperti apa yang kita hasilkan? Setidaknya ada tiga jenis buah yang kita hasilkan; yaitu buah karakter (Galatia 5:22-23), buah jiwa (orang-orang yang hidupnya mengenal Kristus melalui pelayanan kita) dan buah pelayanan (pelayanan yang kita lakukan di dalam tubuh Kristus sesuai karunia dan talenta yang Allah berikan). 

3) LIDIA BERMURAH HATI MEMBERIKAN TUMPANGAN
Dari Kisah Para Rasul 16:1-40, kita bisa melihat bagaimana Lidia “memaksa” Paulus dkk untuk menumpang di rumahnya. Setelah menyerahkan hidupnya pada Kristus, Lidia bermurah hati melayani Paulus dkk. Wah… Padahal, memberikan tumpangan bagi orang lain bukanlah perkara yang mudah, lho. Siapa pun yang pernah menerima orang lain menginap di rumahnya tahu betapa merepotkannya hal ini. Kita dituntut melayani orang yang menumpang di rumah kita, menyiapkan makanannya, menyiapkan kamar, dan menyiapkan berbagai hal yang diperlukannya sehari-hari! Duh, pasti riweh banget kan?

Walaupun tawaran Lidia (sebenarnya) merepotkan dirinya sendiri, tapi dia menawarkan apa yang ada padanya dengan sukarela. Tawaran ini sebenarnya menunjukkan kepekaan Lidia terhadap kebutuhan saudara seimannya. Paulus dkk. adalah pendatang di kota tersebut, dan pastinya tawaran Lidia sebenarnya merupakan jawaban dari kebutuhan mereka. Bahkan tercatat kalau Lidia “memaksa”, tawarannya bukan basa-basi—tapi benar-benar merupakan bukti dari ketulusan hatinya. 


--**--


Omong-omong soal hospitality, aku pernah menulis di Majalah Pearl edisi 25 tentang beberapa cara untuk membuka rumah dan hati kita bagi orang lain sebagai gaya hidup; yaitu:
1) Mengambil inisiatif 
Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
(Roma 12:10)

Berinisiatif berarti membuka pintu bahkan sebelum orang lain mengetuk, memberikan undangan terucapkan maupun tidak terucapkan bagi orang lain untuk masuk ke dalam rumah dan hati kita—tanpa kita tahu apakah undangan tersebut akan bersambut atau tidak. Undangan tersebut dapat berupa senyuman dan anggukan, menolong orang lain tanpa diminta, dan berbagai hal kecil yang menunjukkan kita bersedia menawarkan keramahan. Bahkan pembicaraan sederhana dengan seseorang dapat menunjukkan kepedulian kita. Menawarkan makanan yang kita miliki untuk seseorang yang tidak kita kenal pun dapat menjadi cara untuk membuka perbincangan, hal yang mungkin tidak pernah kita sadari sebelumnya.

Saat kita memiliki inisiatif memulai percakapan dengan orang lain, kita sedang mengetuk hatinya dan kita dapat mulai bertamu menawarkan kasih dan keramahan Kristus kepadanya. Mulailah tersenyum lebih dahulu kepada orang lain. Mulailah menanyakan kabar seseorang bukan sekedar basa-basi, tapi dengan kesungguhan. Mulailah tertarik pada kehidupan seseorang dan menaruh perhatian. Mulailah berinisiatif!

2) Memiliki hati yang tulus 
Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik ataupun dengan orang yang melakukan kejahatan, yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan.
(Mazmur 28:3)

Ladies, sadar atau tidak, kita bisa bermurah hati dalam kepalsuan, lho. Kita bisa mengucapkan perkataan yang ramah tanpa ketulusan. Yang lebih gawat, kita juga selalu bisa berpura-pura mengundang orang lain memasuki hidup kita melalui perkataan, namun jika kita tidak dengan tulus melakukannya… Waduh, hati-hati! Orang lain bisa merasakan ketidaktulusan kita! Bagaimana kita bisa menawarkan kasih Kristus bagi orang lain, jika mereka merasakan kita tidak benar-benar peduli dan hanya berpura-pura saja?

3) Peduli terhadap kebutuhan orang lain 
Penduduk pulau itu sangat ramah terhadap kami. Mereka menyalakan api besar dan mengajak kami semua ke situ karena telah mulai hujan dan hawanya dingin.
(Kisah Para Rasul 28:2)

Tanggapan kita terhadap kebutuhan orang lain sudah jelas menunjukkan keramahan dan kasih yang nyata. Ketika kita memilih bertindak melampaui segala perkataan, perlahan tapi pasti, ini akan membuka hati mereka bagi kita. Siapa sih yang tidak akan mau membuka hatinya pada orang yang sudah jelas peduli padanya, gak cuma omong doang?

4) Menjadi orang yang mudah didekati 
Kalau mau menjadi orang yang mudah didekati, kita harus meneladani Yesus yang sudah jelas ramah dan mudah didekati. Semua orang dari berbagai kalangan dapat berada di dekatnya. Tidak peduli anak kecil atau orang dewasa, tidak peduli apa pekerjaannya (baik nelayan, pelacur, pemungut cukai, raja, sampai para pembesar), Dia dapat didekati dengan mudah oleh (hampir) semua orang. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah membatasi pergaulannya, Dia memilih bergaul dengan semua orang. Dampaknya, kebanyakan orang menyukai-Nya (minus haters-Nya haha) \(“,)/


Apa yang Yesus teladankan pada kita dalam poin ini? 

A) Tidak membeda-bedakan orang. Semua sama di mata-Nya 

Saat para murid Yesus menghalangi anak kecil yang ingin datang pada-Nya, Dia justru membuka tangan dan hatinya lebar-lebar bagi anak kecil tersebut—bahkan Dia memberkati mereka (Markus 10:13-16). Jelas kan, kalau Yesus mudah didekati?

Seandainya Yesus itu orang yang kaku, jarang senyum, dan sebodo amat, kemungkinan besar anak-anak itu malah takut mendekati Dia. Kenyataannya nggak, tuh. Yesus menyukai semua orang yang mau datang pada-Nya; besar atau kecil, tua atau muda, dan dari latar belakang apapun. Yesus mengasihi mereka semua orang tanpa memandang rupa. Dengan leluasa, Dia berbaur dengan banyak orang, berjalan bersama mereka, mengajar mereka, makan bersama mereka, menyembuhkan, dan menguatkan mereka. 

B) Tidak menghakimi orang lain 

Saat orang lain mencemooh seorang wanita yang berzinah, Ia mengulurkan tangannya dan menerimanya (Lukas 7:36-50). Jika kita bersikap menghakimi orang lain, ini akan menghalangi kita untuk mendekati dan didekati oleh orang lain. Karena tidak ada orang yang merasa nyaman berada di sekeliling orang yang suka menghakimi orang lain. Orang lain tidak akan mau membuka hatinya pada seseorang yang punya kecenderungan suka menghakimi orang lain. Orang-orang yang dibebani perasaan bersalah perlu merasa leluasa untuk menghampiri orang-orang yang dapat membantu mereka memulihkan hubungan dengan Allah! 

C) Lemah lembut dan rendah hati 

Kelemahlembutan dan kerendahan hati Yesus membuat orang lain betah berada di dekat-Nya. Ya iya lah! Siapa yang tahan berlama-lama ada di dekat orang yang kasar dan sombong!? -.-“ Sebaliknya, Yesus justru menunjukkan kelemahlembutan, bukanlah kelemahan. Tapi, ladies, kita membutuhkan kekuatan untuk memperlakukan orang lain dengan lemah lembut setiap saat. Oleh karenanya, kita perlu berdoa kepada-Nya untuk senantiasa menguatkan kita dalam bersikap lemah lembut dan rendah hati (Matius 11:28-29).

Monday, March 25, 2019

Yohana: Pelayan di Balik Layar


by Tabita Davinia Utomo

Pernah membayangkan bagaimana kehidupan di lingkungan istana presiden atau para petinggi negara lainnya? Tentunya berbeda dari kehidupan yang ada di luar lingkungan tersebut. Bayangkan, sehari-hari kita bisa bertemu dengan orang-orang yang biasa disorot oleh media massa. Wah, aku bisa terkenal nih kalau ikutan nampang waktu ada wawancara Presiden! Mungkin pikiran seperti ini akan terlintas di benak kita.

Nah, kali ini, kita akan belajar bersama dari salah satu murid Yesus yang memiliki kehidupan serupa. Iya, ada lho. Dia adalah seorang istri dari pejabat pada masa pemerintahan Herodes Antipas. Namanya Yohana, istri Khuza yang juga adalah bendahara raja (Lukas 8:1-3).

Nama Yohana memang tidak disebut sesering nama para murid Yesus lainnya. Salah satu alasannya adalah para perempuan di masa itu memiliki kedudukan lebih rendah dari laki-laki. Mereka dianggap kelas dua—sebuah ketidakadilan yang pasti akan diperjuangkan oleh kaum emansipasi masa kini. Meski demikian, baik Yohana maupun beberapa perempuan lainnya bersedia melayani Yesus dengan apa yang mereka miliki.

Tapi ups, bukankah Yohana adalah istri dari bendahara Herodes, raja pada masa itu? Seharusnya dia tahu akan keinginan Herodes yang sangat ingin bertemu Yesus—agar dapat melihat mujizat-Nya. Hidup di lingkungan istana juga berarti di tengah atmosfir hangat isu-isu seputar kerajaan, termasuk tentang Yesus-yang-dikira-adalah-Yohanes Pembaptis-yang-bangkit-setelah-dipenggal (Markus 6:26). Apa jadinya kalau seisi kerajaan tahu bahwa Yohana adalah pengikut Yesus, Seseorang yang dicurigai akan melakukan kudeta pada pemerintahan Romawi dan telah membuat para ahli Taurat marah pada-Nya? Nyawa Yohana jadi taruhannya.

Tapi lebih dari itu, ada satu pertanyaan penting dari wanita ini:

Apakah Yohana tidak memberitahu Khuza, suaminya, bahwa dia adalah murid Yesus?

Tidak ada yang tahu, karena Alkitab hanya menjelaskan tentang Yohana dalam tiga pasal di Injil Lukas. Meski demikian, kita bisa belajar sesuatu yang luar biasa darinya, “Mereka (Yohana, Susana, dan perempuan lainnya) melayani rombongan itu (rombongan Yesus) dengan kekayaan mereka.” (Lukas 8:3). 

Saat menulis artikel ini, saya jadi berpikir tentang apa yang Yesus pikirkan mengenai Yohana dan para perempuan lain yang melayani-Nya. Saya percaya bahwa Yesus mengapresiasi mereka. Namun lebih dari itu, saya belajar sesuatu yang (mungkin) mulai dilupakan oleh orang percaya saat ini:

Kita bisa melayani Tuhan melalui apapun yang kita miliki.

Kata “apapun” di sini tidak hanya terbatas pada waktu (atau daya), melainkan juga melalui dana dan doa. Let’s say these 3D (doa, daya, dan dana) as “things we need to serve God”. Sebagai contoh, sebuah lembaga misi tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ada orang yang tergerak untuk terjun langsung di lapangan, dukungan doa dari sesama orang percaya, dan donasi yang mengalir pada lembaga tersebut.

Ironisnya, kalau ada yang tidak mau melayani, kita sering mendengar nyinyiran seperti ini:

“Wah, pasti dia nganggep percuma buat pelayanan di tempat kecil kayak gini.” – padahal dia terus berdoa agar keluarganya menjadi orang percaya seperti dirinya.

“Ih, kok dia nggak mau ikutan blablabla (baca: wadah pelayanan), sih? Nyesel deh, ngajakkin dia.” – padahal dia baru merawat orangtuanya yang baru saja masuk rumah sakit.

“Ck, punya duit banyak tapi nggak mau nyumbang ke gereja. Gimana, sih? Jadi orang berpunya, kok pelit!” – padahal dia terjun langsung ke ladang misi sekaligus memberikan bantuan logistik di sana.

… dan pasti ada banyak nyinyiran yang bisa tertuang di sini, yang menggambarkan bahwa mereka yang tidak terlibat dalam pelayanan adalah orang-orang yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk memuliakan Tuhan, kaum individualis nan egois. Tanpa sadar kita jadi menghakimi dan mengganggap mereka remeh, bukan?

***

Mungkin para murid Yesus lainnya juga sempat nyinyir saat melihat ada perempuan yang “hanya” melayani Sang Guru dengan kekayaan mereka. “Pengecut nih, mereka! Pantas jadi kaum kelas dua!” Padahal tanpa disadari, para perempuan (termasuk Yohana) inilah yang berada di balik layar pelayanan Yesus. Saya merasa bahwa Dia ingin mengajarkan para murid-Nya bahwa Tuhan dapat mencukupkan apapun yang mereka butuhkan, sekalipun itu dari orang “kelas dua”. Sebuah pembelajaran yang menarik, namun yang sering kita lupakan, bukan?

Sebagai penutup, saya ingin menceritakan kisah mengenai Euna Lee, seorang wartawan asal Korea Selatan yang ditangkap saat dia sedang meliput di perbatasan Tiongkok dan Korea Utara. Dua dari sekian peristiwa yang mengubah pola pikirnya tentang “musuh” di Korea Utara adalah ketika ada tentara yang menyelimutinya dengan jaket saking dinginnya cuaca di sana, padahal saat itu interogasi sedang berlangsung. Ada pula seorang tentara yang memberinya telur rebus agar dia bisa tetap bertahan. Sebelum dipenjara, Euna selalu merasa bahwa Korea Utara akan selalu jadi musuh negaranya—termasuk semua orang di sana. Tapi setelah dia memperoleh kebaikan dari pihak musuhnya itu, Euna menyadari bahwa kemanusiaan akan selalu ada, sekalipun itu dari sekelompok orang yang ia anggap “kelas dua” dibandingkan dirinya.

Mungkin ini adalah saatnya bagi kita untuk lebih menghargai kehadiran orang-orang di balik layar pelayanan gereja maupun komunitas kita. Bukankah tubuh Kristus terdiri dari berbagai pelayanan, dan tidak dikotak-kotakkan oleh “kelas satu”, “kelas dua”, dan seterusnya—karena kita semua adalah sama di mata Tuhan?

Monday, March 18, 2019

Gomer: Ironi Kasih Ilahi




by Glory Ekasari 

“Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya, dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal Tuhan.” 
(Hosea 3:18-19)

Lebih dari sekedar seorang istri yang tidak setia, Gomer adalah gambaran rohani mengenai “betapa kita tidak dapat mengasihi Tuhan dengan kekuatan kita sendiri.”

Hosea tentunya seorang hamba Tuhan yang saleh. Namun dengan seizin Tuhan, perkataan nubuatan dan pernikahannya yang disfungsional menjadi profetik. Ketika istrinya menjual diri menjadi pelacur, Hosea diperintahkan membelinya kembali dari tangan germo (!!) dengan harga seorang budak (Hosea 3:2). Tuhan memberikan perintah yang jelas pada Hosea, “Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti Tuhan juga mencintai orang Israel.” (Hosea 3:1). Nama ketiga anak mereka menjadi tanda betapa pahitnya pernikahan yang diwarnai ketidaksetiaan itu; yaitu Yizreel (artinya “Tuhan menyebarkan” atau “Tuhan mencerai-beraikan”), Lo-Ruhama (artinya “tidak dikasihi”), dan Lo-Ami (artinya “bukan umat-Ku”). 

Kita tidak perlu berlama-lama bergosip tentang Gomer, karena sudah jelas kejahatan yang dia lakukan sangat besar. Tapi karena kisah ini ditulis dalam Firman Tuhan (bahkan sejak berabad-abad lalu), maka kisahnya juga ditulis untuk kita yang hidup di zaman sekarang. Kita percaya bahwa Firman Tuhan akan menyelidiki hati kita dan menampakkan rahasia-rahasia terdalam, tapi siapkah kita menerima apa yang akan Dia singkapkan? 

// SEBUAH PERJANJIAN YANG DILANGGAR
Allah memakai ikatan perjanjian nikah antara suami dengan istri sebagai gambaran perjanjian Allah dengan umat-Nya. Itulah kenapa kita tidak boleh main-main dengan perjanjian itu, Pearlians. Kata “tidak boleh main-main” di sini berarti jangan buru-buru ambil komitmen sebelum dipertimbangkan baik-baik, dan jangan berpikir sekalipun untuk membubarkan perjanjian yang sudah diikat. 

Namanya perjanjian, tentu ada unsur-unsur yang harus dipatuhi. Seorang suami berjanji mengasihi istrinya, berusaha yang terbaik untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, memimpin keluarga, dsb. Istri juga berjanji menghormati suaminya, mengasuh keluarga mereka, dsb. Tidak hanya itu, kesetiaan adalah kewajiban bagi keduanya yang telah diikat dengan janji di hadapan Allah dan manusia. 

Demikian juga perjanjian Allah dengan umat-Nya (alias bangsa Israel) melibatkan hal-hal yang harus dipenuhi kedua belah pihak. Allah berjanji memelihara kehidupan bangsa Israel, dan mereka berjanji mengikuti hukum-hukum Allah. Keduanya harus setia pada perjanjian yang mereka ikat itu, dan seperti yang kita tahu… Allah memang tidak pernah melanggar janji-Nya. 

Tapi bagaimana dengan umat Israel? 

Ternyata mereka tidak setia sejak awal. Setelah Allah memenuhi janji-Nya untuk membawa mereka masuk ke dalam tanah perjanjian, mereka serta merta melanggar hukum-hukum Allah dan mulai menyembah ilah-ilah asing. Hosea pun berkata, 

“Sejak hari Gibea engkau telah berdosa, hai Israel.” 
(Hosea 10:9)

Kisah mengerikan yang terjadi di Gibea dapat dibaca dalam Hakim-Hakim 19, yang menunjukkan betapa cepatnya mereka melupakan Hukum Allah setelah kematian Yosua. Padahal sebelumnya, Yosua telah menyaksikan bagaimana Israel berjanji di hadapan Tuhan bahwa mereka akan tetap setia kepada-Nya. Namun kemudian, sejarah Israel justru diwarnai pertumpahan darah dan kekejaman. Belum cukup di situ, mereka menambah “daftar dosa” dengan penyembahan berhala yang tidak terkendali. Salah satu sesembahan Israel adalah dewa orang Moab, Baal-Peor, yang meminta korban manusia: 

“Tetapi mereka itu telah pergi kepada Baal-Peor dan telah membaktikan diri kepada dewa keaiban, sehingga mereka menjadi kejijikan sama seperti apa yang mereka cintai itu.” 
(Hosea 9:10) 

Akibatnya jelas: seluruh bangsa itu rusak parah, tidak ada bedanya dengan seorang istri yang berzinah berkali-kali, sampai anak bungsunya diberi nama Lo-Ami karena tidak diketahui siapa ayahnya. 

// PEMBAHARUAN PERJANJIAN
Kalau nabi Hosea bernubuat pada kerajaan Israel di Utara, maka nabi Yeremia bernubuat pada kerajaan Yehuda di Selatan. Keduanya berbuat kejahatan yang sama, dan mengalami nasib yang sama pada akhirnya. Meski demikian, melalui kedua nabi itu, Tuhan menubuatkan masa depan yang indah: akan ada pembaharuan perjanjian. 

Namun bagaimana perjanjian itu akan diperbaharui bila umat Tuhan terus-menerus tidak setia? Jawabannya terletak pada perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan pada Allah yang berubah—Dia justru tetap Allah yang baik, panjang sabar, berlimpah kasih setia. Nah, Perjanjian Lama menunjukkan apa yang terjadi ketika orang berusaha taat kepada Tuhan dengan usahanya sendiri; sementara Perjanjian Baru menjabarkan tentang orang-orang yang mengalami apa yang dijanjikan Tuhan dalam Firman-Nya : 

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru dan roh yang baru di dalam batinmu, dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu, dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.” 
(Yehezkiel 36:26-27)

Ayat di atas menyatakan bahwa Tuhan menebus kita dari hidup yang berdosa dan mengalami keterpisahan dari Allah. Tidak hanya itu, Dia juga mengampuni, mencintai kita, dan mengubah hati kita dari dalam oleh kuasa Roh-Nya. Dengan demikian, kita bukan lagi Gomer yang rusak dan tidak setia, melainkan kita diubah-Nya mempelai wanita yang kudus dan layak bagi Raja segala raja. 

“Lho, kok semuanya Tuhan yang mengerjakan?” 

Ya, karena dengan usaha kita sendiri maka kita, manusia yang berdosa, hanya akan berputar-putar dalam dosa kita. Melalui karya agung-Nya, kita disadarkan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dimuliakan dalam segala sesuatu. Sejarah Israel yang panjang membuktikan bahwa manusia tidak bisa setia kepada Allah. Kitapun tidak ada bedanya dengan Israel, kalau bukan Roh Kudus yang bekerja di dalam hidup kita. Lagipula, kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita pun bukan karena kehebatan kita, melainkan hanya karena kasih karunia. 

“Lalu mengapa Tuhan mau mengasihi saya, padahal saya orang berdosa yang terus berontak terhadap Dia?” 

Karena itu adalah kehendak-Nya. See, it is His pleasure to love you. Seperti Hosea yang mau mencintai istrinya (bukannya membuang), yang Tuhan mau bukan membuang kita yang tidak setia ini—tetapi menunjukkan kasih-Nya yang memulihkan kita. Melalui pertolongan Roh Kudus, pada akhirnya kita akan sepakat dengan Paulus yang berkata,

“Terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Kristus.”
(Efesus 1:6)

// GOMER ADALAH KITA
Last but not least, setiap orang yang mau jujur di hadapan Allah akan melihat dirinya di dalam Gomer, istri Hosea yang tidak setia. Kasih Allah sungguh ironis (for the lack of better word): Dia menciptakan kita, menebus kita dengan pengorbanan-Nya di salib, membaharui hidup kita, dan pada waktunya, memuliakan kita. Dia sendiri melakukan semuanya itu untuk kita. Kisah cinta yang ajaib ini dirangkum dengan tragis namun indah, dalam tulisan nabi Hosea, yang namanya, fittingly, berarti: keselamatan. Sudahkah kita bersyukur untuk anugerah terbesar-Nya itu?

Monday, March 11, 2019

Hagar: Wanita yang Didengar Allah


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: Kejadian 16: 1-16; Kejadian 21:8-21

Hagar adalah seorang wanita Mesir yang menjadi budak bagi Abraham dan Sara ketika mereka meninggalkan negeri itu. Meninggalkan tanah kelahiran bukan hal yang mudah bagi seorang wanita, apalagi untuk menjadi budak bagi orang dari bangsa lain. Hagar tentunya bukan budak biasa karena Sara kemudian memberikannya kepada Abraham, menjadi istri Abraham dan melahirkan anak baginya. Sebagai budak, Hagar tidak dapat menolak. Hagar sendirian, tidak punya hak, tidak dapat melawan, tidak berdaya, dan tidak memiliki siapa-siapa untuk membelanya. 

Bayangkan kita berada di posisi Hagar, mungkin bukan sebagai budak, tapi dalam posisi merasa sendirian, tak berdaya, dan tak ada yang membela. Pastinya pernah ya. Di saat seperti ini kita perlu mengingat, ada Tuhan yang membela kita. Ada sebuah janji Tuhan yang sangat indah dan dapat kita perkatakan saat kita sedang merasa seperti Hagar:

Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."
(Ibrani 13:5b)

Tidak peduli apa yang kita lihat atau rasakan, firman Tuhan berkata demikian: Allah tidak pernah membiarkan kita dan meninggalkan kita! Jangan biarkan hidup diisi dengan perasaan disingkirkan, tetapi imani apa yang dikatakan firman Tuhan. Apa yang sudah dijanjikan Allah pasti akan digenapi-Nya. Namun, kita harus yakin bahwa kita berpegang pada firman Allah yang sesungguhnya saat kita menunggu janji-Nya. Iman kita bukan berdasarkan perasaan. Iman kita seharusnya berdasarkan firman Tuhan. Dengan demikian, kita memperoleh jaminan bahwa Allah akan melakukan atau memberikan apa yang dijanjikan-Nya. Iman hanya berdampak apabila berlandaskan firman Tuhan.

***

Awalnya, Hagar adalah pihak yang tak bersalah. Penderitaan Hagar bermula ketika kehamilan justru membuat Ia memandang rendah Sara yang mandul. Alih-alih bersyukur atas anugerah yang diterimanya, Hagar justru jatuh dalam dosa kesombongan. Ia lupa, bahwa sebagai budak, Sara adalah majikan yang punya kuasa atas dia dan harus ia hormati. Ketika Sara kemudian bertindak tegas, ia memilih melarikan diri. Dalam pelariannya, Hagar berjumpa dengan malaikat Tuhan yang menghiburnya dan memberikan janji Allah. 

Walaupun Hagar melakukan kesalahan, kita menyaksikan bagaimana Allah sungguh memperhatikan hidupnya. Bahkan saat ia melarikan diri dalam keadaan hamil karena ditindas majikannya, Allah memberikan berkat khusus baginya melalui malaikat-Nya yang menunjukkan bahwa Allah mengenal Hagar secara pribadi dan memberikan tuntunan bagi Hagar untuk kembali pada Sara. Yang lebih luar biasa, ada janji yang dinyatakan Allah baginya :

Lagi kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: "Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya." Selanjutnya kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: "Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.
(Kejadian 16:10-11)

Janji tersebut sekaligus merupakan penghiburan bagi Hagar. Saat Hagar kembali pada Sara, janji itu akan memberikan pengharapan baginya. Kalau dipikir, luar biasa cara Tuhan menyatakan diriNya kepada Hagar yang belum percaya kepada-Nya. Ingat, Hagar adalah keturunan Mesir yang mungkin hanya mengetahui tentang Tuhan dari Sara dan Abraham. Dia belum mengenal Allah secara pribadi tapi Allah berkenan menyatakan diri-Nya. Allah yang disembah oleh tuan dan nyonya-nya ternyata memperhatikan dia yang seorang budak. Allah yang memedulikan Abraham, Sara dan Hagar juga peduli pada setiap kita. Allah kita adalah Allah yang mengerti dan peduli. Jika kita tidak merasakan kepedulian-Nya, mungkin karena kita hanya fokus pada masalah yang kita hadapi. Padahal, dalam badai yang kita hadapi, ada Allah yang sanggup menenangkan badai. 

***

Hagar taat pada Tuhan dan kembali kepada Sara, meskipun pada akhirnya diusir oleh Abraham atas permintaan Sara. Menyedihkan sekali. Namun, sekali lagi Allah menunjukkan kepedulian-Nya. Saat Hagar putus asa akan nasibnya dan anaknya, Allah mendengar seruan dan tangisnya. Allah tidak melupakannya! 

Allah mendengar suara anak itu, lalu Malaikat Allah berseru dari langit kepada Hagar, kata-Nya kepadanya: "Apakah yang engkau susahkan, Hagar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring.
(Kejadian 21:16-17)

Ayat ini benar-benar mengingatkan bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu Hagar dan kita susahkan. Saat kita merasa susah hati atas keadaan kita, sebenarnya kita sedang meragukan kepedulian Allah. Kita lupa kalau Allah sanggup memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (Filipi 4:19).

***

Hagar telah menerima penghiburan dan janji Tuhan. Hagar adalah saksi kalau Allah sungguh mendengar dan peduli pada kita. Walaupun Hagar tidak selalu benar di hadapan Allah namun Allah tidak pernah berhenti menunjukkan kesetiaan-Nya. Allah tidak hanya menyertai Hagar, tapi juga Ismael, hingga ia dewasa (Kejadian 25:16). Allah benar-benar memenuhi janji-Nya pada Hagar! Ketidaksetiaan Hagar dan Ismael tidak membatalkan janji-Nya. Dia pernah berkata akan membuat Ismael menjadi bangsa yang besar dan Ia setia pada janji-Nya itu. 

Hagar mengingatkan kita untuk tidak kuatir dalam menjalani hidup ini karena masa depan sungguh ada dan harapan kita tidak akan hilang (Amsal 23:18). Allah selalu memegang janji-Nya. Dapatkah kita tetap hidup dalam ketaatan dan takut akan Dia?

Monday, March 4, 2019

Janji Nikah Istri Ayub


by Sarah Eliana

Kalau kita baca kisah Ayub, sosok istri Ayub termasuk mungkin paling bikin kita kepikiran. Kenapa istri Ayub? Well, aku mikirin, si iblis kan dikasih ijin sama Tuhan untuk mencobai Ayub, semua boleh dihancurkan, kecuali nyawa si Ayub. Nah, si iblis betul-betul hancurin semua kepunyaan Ayub; dia bangkrut, anak-anak pun meninggal semua. Tapi, di pasal kedua ada sedikit perbincangan antara Ayub dan istrinya. Lho? Jadi, istri si Ayub gak dibunuh juga sama si iblis? Aku jadi mikir, kenapa gak? Nanggung toh? Pembantu-pembantu udah dibunuh, anak-anak dibunuh semua. Ngapain istrinya dibiarin hidup? Padahal, di pasal 2:6, Tuhan bilang begini,

Maka berkatalah TUHAN kepada Si Penggoda,
"Baiklah, lakukanlah apa saja dengan dia, asal jangan kaubunuh dia."
(Ayub 2:6)

Asal jangan kau bunuh dia… berarti sepanjang nyawa Ayub gak diotak-atik, si iblis punya ijin untuk melakukan apa saja yang dia mau, ya kan? Termasuk membunuh istri Ayub, ya kan? 

Banyak juga sih yang beranggapan kalo istri Ayub ini dibiarkan hidup karena iblis tau imannya gak sekenceng iman Ayub. Ibilis tahu kalau pada akhirnya dia akan mempengaruhi Ayub agar menjauhi Tuhan. Memang benar, seperti bisa kita lihat di pasal 2:9,

Istrinya berkata kepadanya,
"Mana bisa engkau masih tetap setia kepada Tuhan? Ayo, kutukilah Dia, lalu matilah!"
(Ayub 2:9)

Deng... deng... deng... udah nyuruh suaminya kutuk Tuhan, disuruh mati pula. *parah*

Tapi... Kalo dipikir-pikir lagi, si istrinya ini hanya sekali lho ngomong begitu. Yang ujung-ujungnya membuat hidup Ayub menderita itu teman-temannya. Istrinya gak disebut-sebut lagi. Bahkan, Alkitab mencatat saat Tuhan marah sama tiga teman Ayub, tapi tidak ada cerita Tuhan marah pada istri Ayub. Padahal, waktu Sarah menyuruh Abraham tidur dengan Hagar, budaknya, agar mendapatkan anak, Tuhan menegur Sarah. 

Nah, balik lagi ke istri Ayub, mungkin ada sebabnya dia gak dibunuh juga oleh si iblis. Inget gak waktu penciptaan Hawa, Adam ngomong gini:

"Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.
Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."

Tulang dari tulangku, daging dari dagingku. One flesh! Suami istri itu one flesh! Apa hubungannya ama istri Ayub? Tentu saja dia jelas-jelas one flesh dengan Ayub, dan iblis mengerti itu! Iblis tau gimana Tuhan sangat menghargai, menghormati, bahkan menjunjung tinggi hal ini, sehingga dia gak berani mengutak-atik hidup istri Ayub, karena membunuh istri Ayub sama aja dengan membunuh Ayub. Simply because they are one flesh!

Waktu menemukan hal ini, duh, aku merasa ditampar. Iblis aja ngerti gimana Tuhan sangat menghargai dan menghormati pernikahan. What about me? Aku kadang justru lupa! Betapa seringnya aku berpikir bahwa keluarga iparku adalah keluarga suamiku saja. Buktinya, aku masih sering bilang "your mom" atau "your niece". Akhirnya lewat Firman Tuhan tentang Ayub & istrinya, Abraham & Sarah, Adam & Hawa, aku diingatkan lagi oleh Tuhan tentang menghormati dan menghargai kesatuan dengan suami. 

Lalu, selama ini kita sering denger khotbah kalo istri Ayub tuh gak beriman. Kasarnya, dia istri tak berguna! Tapi, setelah aku baca-baca lagi, aku jadi mikir. Aku coba menempatkan diri di posisi istrinya Ayub. 

Bayangkan, Ayub kehilangan hal-hal berharga yang dia miliki. Iya, memang Ayub menderita, tapi pernah gak sih kita sadar kalo gak cuman Ayub yg kehilangan semua itu? Istrinya juga kehilangan harta karena apa yang menjadi kepunyaan suami adalah juga kepunyaan sang istri, dan sebaliknya. Intinya, Ayub dan istrinya sama-sama kehilangan harta. Mereka sama-sama bangkrut! 

Bayangkan juga waktu anak-anak Ayub meninggal. Apakah anak-anak itu hanya punya satu orang tua, yaitu Ayub? Gak kan? Anak-anak itu ya anak-anak istri Ayub juga. Can you imagine being a mother having to bury ALL of your children? Semua anak meninggal pada waktu yang bersamaan! Pikirkan lagi, di jaman itu, masalah mengurus dan membesarkan anak adalah urusan istri. Jadi, bisa dibayangkan kalau anak-anak itu lebih dekat pada ibunya dibanding dengan Ayub. Lagipula, cewek cenderung lebih emosional. Aku rasa dalam hal ini, istri Ayub lebih heart-broken dibanding suaminya. 

Tidak hanya itu, bayangkan bagaimana rasanya punya suami yang kena penyakit gak jelas, sampai-sampai dia harus menggaruk tubuhnya pakai potongan kaca dan duduk di onggokan abu. Duhhhhh.... Istri-istri, can you imagine seeing your husband like that??? Aku ngebayanginnya aja langsung berasa ngilu di hati. Tau gak sih... waktu orang terdekat kita yg sakit, kadang kita merasa lebih putus asa. Istri Ayub ini harus ngelihat Ayub yang menderita, bahkan wajahnya hancur banget sampai gak dikenali oleh teman-teman deketnya sendiri. Ya ampunnnnn... Kebayang gak gimana perasaan istri Ayub? 

Tapi istri Ayub adalah perempuan hebat. Apa itu? SHE STAYED! Suami bangkrut? Anak-anak meninggal? Suami sakit gak jelas sampe wajahnya gak karuan? Siapa yang punya cukup kekuatan untuk tetap setia dan tetap ‘be there for her husband’? She did! She respected her wedding vows - for better or worse, for rich or poor, in health or sickness! 

Memang istri Ayub ini bilang ke Ayub "CURSE God and die!!!", tapi lucunya, di pasal 42, waktu Tuhan ngomelin teman-teman Ayub, si istrinya ini gak disebut-sebut lho. Lebih hebat lagi, si Ayub kan akhirnya kaya lagi, punya anak lagi dan kata Firman Tuhan, tiga anak cewek Ayub itu luar biasa cantiknya. Di pasal 42 ini gak dibilang tuh kalo si Ayub nikah lagi, yang berarti bisa diartikan kalau Ayub dapat anak-anak ini dari istrinya! 

Aku jadi inget omongan beberapa teman. Mereka bilang, Tuhan tuh sangat amat mengerti kalo kita marah atau kecewa. Dia Tuhan yang gak bisa dibohongin. Biarpun muka kita penuh senyum, tapi toh Tuhan tahu apa isi hati kita. Jadi percuma juga kalo kita berdoa ngomong "God, I'm fine!" padahal sebenernya tidak. Justru, Tuhan pengen kita mau jujur sama Dia, mau curhat sama Dia, tanpa takut Tuhan akan menghakimi kita. He is very understanding. Tuhan kita sangat "manusiawi" dan mengerti kemanusiaan kita. Aren't we lucky to have such a wonderfully loving and understanding God?? 

Kalo dalam kasus istri Ayub ini, aku rasa pada akhirnya dia diberkati Tuhan bukan hanya karena Ayub yg beriman sama Tuhan, tapi juga karena istrinya yang walaupun marah-marah waktu ada masalah, tapi tetap memilih untuk menghormati pernikahan mereka, dan bertahan di sisi Ayub meskipun di tengah penderitaan. Walaupun kata-katanya salah, pada akhirnya istri Ayub gak ninggalin Ayub. Siapa yang akan bilang dia bodoh kalo dia ninggalin Ayub? Bisa jadi orang-orang malah bilang dia bodoh karena bertahan sama Ayub kan? Pada masa sulit itu, dia juga masih melayani Ayub. Kalau budak-budaknya aja gak mau dekat-dekat Ayub lagi, siapa yang masak buat Ayub kalo bukan istrinya? Waktu teman-teman Ayub menghakimi Ayub, istri Ayub masih tetap bersama suaminya. Inilah yang Tuhan perhitungkan - a heart that chooses to serve, to suffer together, and to sacrifice. Tuhan sangat menjunjung tinggi janji & komitmen pernikahan, karena itu Ia juga menghargai dan menghormati orang2 yg berani berkorban dan menderita untuk menghormati janji nikah mereka.

Seandainya kita bisa lebih seperti istri Ayub, yang betul-betul menghargai dan menghormati janji nikah kita, yang menerima suami saat dia kaya atau miskin, saat dia ganteng ataupun tidak, waktu dia lagi romantis atau lagi super cuek, waktu dia sering bilang "honey, you are so pretty" atau waktu dia langsung nyari makanan di atas meja saat pulang kantor tanpa nengok ke arah kita sama sekali.

Give us strength, Lord, to be like Job's wife who chose to respect her wedding vows, and stayed by her husband's side even when he was sick, ugly, and bankrupt - all at the same time!