Monday, March 25, 2019

Yohana: Pelayan di Balik Layar


by Tabita Davinia Utomo

Pernah membayangkan bagaimana kehidupan di lingkungan istana presiden atau para petinggi negara lainnya? Tentunya berbeda dari kehidupan yang ada di luar lingkungan tersebut. Bayangkan, sehari-hari kita bisa bertemu dengan orang-orang yang biasa disorot oleh media massa. Wah, aku bisa terkenal nih kalau ikutan nampang waktu ada wawancara Presiden! Mungkin pikiran seperti ini akan terlintas di benak kita.

Nah, kali ini, kita akan belajar bersama dari salah satu murid Yesus yang memiliki kehidupan serupa. Iya, ada lho. Dia adalah seorang istri dari pejabat pada masa pemerintahan Herodes Antipas. Namanya Yohana, istri Khuza yang juga adalah bendahara raja (Lukas 8:1-3).

Nama Yohana memang tidak disebut sesering nama para murid Yesus lainnya. Salah satu alasannya adalah para perempuan di masa itu memiliki kedudukan lebih rendah dari laki-laki. Mereka dianggap kelas dua—sebuah ketidakadilan yang pasti akan diperjuangkan oleh kaum emansipasi masa kini. Meski demikian, baik Yohana maupun beberapa perempuan lainnya bersedia melayani Yesus dengan apa yang mereka miliki.

Tapi ups, bukankah Yohana adalah istri dari bendahara Herodes, raja pada masa itu? Seharusnya dia tahu akan keinginan Herodes yang sangat ingin bertemu Yesus—agar dapat melihat mujizat-Nya. Hidup di lingkungan istana juga berarti di tengah atmosfir hangat isu-isu seputar kerajaan, termasuk tentang Yesus-yang-dikira-adalah-Yohanes Pembaptis-yang-bangkit-setelah-dipenggal (Markus 6:26). Apa jadinya kalau seisi kerajaan tahu bahwa Yohana adalah pengikut Yesus, Seseorang yang dicurigai akan melakukan kudeta pada pemerintahan Romawi dan telah membuat para ahli Taurat marah pada-Nya? Nyawa Yohana jadi taruhannya.

Tapi lebih dari itu, ada satu pertanyaan penting dari wanita ini:

Apakah Yohana tidak memberitahu Khuza, suaminya, bahwa dia adalah murid Yesus?

Tidak ada yang tahu, karena Alkitab hanya menjelaskan tentang Yohana dalam tiga pasal di Injil Lukas. Meski demikian, kita bisa belajar sesuatu yang luar biasa darinya, “Mereka (Yohana, Susana, dan perempuan lainnya) melayani rombongan itu (rombongan Yesus) dengan kekayaan mereka.” (Lukas 8:3). 

Saat menulis artikel ini, saya jadi berpikir tentang apa yang Yesus pikirkan mengenai Yohana dan para perempuan lain yang melayani-Nya. Saya percaya bahwa Yesus mengapresiasi mereka. Namun lebih dari itu, saya belajar sesuatu yang (mungkin) mulai dilupakan oleh orang percaya saat ini:

Kita bisa melayani Tuhan melalui apapun yang kita miliki.

Kata “apapun” di sini tidak hanya terbatas pada waktu (atau daya), melainkan juga melalui dana dan doa. Let’s say these 3D (doa, daya, dan dana) as “things we need to serve God”. Sebagai contoh, sebuah lembaga misi tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ada orang yang tergerak untuk terjun langsung di lapangan, dukungan doa dari sesama orang percaya, dan donasi yang mengalir pada lembaga tersebut.

Ironisnya, kalau ada yang tidak mau melayani, kita sering mendengar nyinyiran seperti ini:

“Wah, pasti dia nganggep percuma buat pelayanan di tempat kecil kayak gini.” – padahal dia terus berdoa agar keluarganya menjadi orang percaya seperti dirinya.

“Ih, kok dia nggak mau ikutan blablabla (baca: wadah pelayanan), sih? Nyesel deh, ngajakkin dia.” – padahal dia baru merawat orangtuanya yang baru saja masuk rumah sakit.

“Ck, punya duit banyak tapi nggak mau nyumbang ke gereja. Gimana, sih? Jadi orang berpunya, kok pelit!” – padahal dia terjun langsung ke ladang misi sekaligus memberikan bantuan logistik di sana.

… dan pasti ada banyak nyinyiran yang bisa tertuang di sini, yang menggambarkan bahwa mereka yang tidak terlibat dalam pelayanan adalah orang-orang yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk memuliakan Tuhan, kaum individualis nan egois. Tanpa sadar kita jadi menghakimi dan mengganggap mereka remeh, bukan?

***

Mungkin para murid Yesus lainnya juga sempat nyinyir saat melihat ada perempuan yang “hanya” melayani Sang Guru dengan kekayaan mereka. “Pengecut nih, mereka! Pantas jadi kaum kelas dua!” Padahal tanpa disadari, para perempuan (termasuk Yohana) inilah yang berada di balik layar pelayanan Yesus. Saya merasa bahwa Dia ingin mengajarkan para murid-Nya bahwa Tuhan dapat mencukupkan apapun yang mereka butuhkan, sekalipun itu dari orang “kelas dua”. Sebuah pembelajaran yang menarik, namun yang sering kita lupakan, bukan?

Sebagai penutup, saya ingin menceritakan kisah mengenai Euna Lee, seorang wartawan asal Korea Selatan yang ditangkap saat dia sedang meliput di perbatasan Tiongkok dan Korea Utara. Dua dari sekian peristiwa yang mengubah pola pikirnya tentang “musuh” di Korea Utara adalah ketika ada tentara yang menyelimutinya dengan jaket saking dinginnya cuaca di sana, padahal saat itu interogasi sedang berlangsung. Ada pula seorang tentara yang memberinya telur rebus agar dia bisa tetap bertahan. Sebelum dipenjara, Euna selalu merasa bahwa Korea Utara akan selalu jadi musuh negaranya—termasuk semua orang di sana. Tapi setelah dia memperoleh kebaikan dari pihak musuhnya itu, Euna menyadari bahwa kemanusiaan akan selalu ada, sekalipun itu dari sekelompok orang yang ia anggap “kelas dua” dibandingkan dirinya.

Mungkin ini adalah saatnya bagi kita untuk lebih menghargai kehadiran orang-orang di balik layar pelayanan gereja maupun komunitas kita. Bukankah tubuh Kristus terdiri dari berbagai pelayanan, dan tidak dikotak-kotakkan oleh “kelas satu”, “kelas dua”, dan seterusnya—karena kita semua adalah sama di mata Tuhan?

1 comment:

Share Your Thoughts! ^^