Monday, January 25, 2021

Hidup dalam Anugerah dan Kekudusan




by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan : Lukas 18:9-14 (Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai)

Saat membicarakan anugerah, orang Kristen umumnya akan mengingat anugerah terbesar yang telah mereka terima di dalam hidupnya. Anugerah apakah itu? Ya, benar. Anugerah keselamatan. Penebusan Kristus adalah anugerah terbesar dalam hidup orang percaya karena sebenarnya kita tidak layak menerimanya, dosa dan pelanggaran kita terlalu besar. Hanya melalui penebusan Kristus kita layak diselamatkan. Krsistus telah mati supaya kita hidup bagi Dia. Bagaimana seharusnya kita hidup setelah menerima anugerah keselamatan dari-Nya?

“Sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” 
(1 Petrus 1:16 / TB)

“Sebab sudah tersurat: Hendaklah kamu kudus, karena Aku kudus.”
(1 Petrus 1:16 / TL 1954)

Hidup bagi Dia berarti hidup kudus sebagaimana Kristus telah hidup.

Allah ingin kita mengejar kekudusan. Tetapi mengejar kekudusan harus diiringi pemahaman yang semakin mendalam akan anugerah Allah, jika tidak kita akan menjadi ahli Taurat dan orang Farisi yang hanya melakukan kewajiban dan aturan agamawi. Sayangnya, berita anugerah ini hanya dikhotbahkan saat masa pra-Paskah padahal kita membutuhkan khotbah Injil setiap hari, karena kita membutuhkan anugerah-Nya setiap saat. Kita juga perlu memeriksa diri terus menerus supaya tidak menjadi ahli Taurat atau orang Farisi yang “mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”. Memeriksa diri memang tidak nyaman, bahkan menyakitkan, tapi perlu dilakukan. Proses memeriksa diri ini yang akan membuat kita menyadari bahwa “saya membutuhkan anugerah Allah seumur hidup saya”.

Pada bacaan kali ini kita akan melihat dua tokoh dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus : Pemungut cukai dan orang Farisi. Dua tokoh ini dapat menggambarkan dua sikap ekstrim orang Kristen jika kita tidak berhati-hati :

1. Orang Farisi menggambarkan orang Kristen yang puas terhadap hidup kekristenannya dan merasa dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Kita dapat menjadi seperti orang Farisi ini jika kita berpikir sudah melakukan segala yang yang benar bila dibandingkan dengan orang di sekeliling kita. Ia membenarkan dirinya karena perbuatannya.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
(Lukas 18:11-12)

Orang Farisi ini melakukan disiplin rohani, taat pada Taurat dan melayani. Orang Kristen banyak yang seperti orang Farisi ini. Membandingkan dirinya dengan orang lain lalu merasa apa yang dilakukannya yang telah membuatnya layak di hadapan Allah, lupa bahwa yang membenarkannya adalah karya Yesus di kayu salib. Perasaan membenarkan diri ini akan selalu ada saat kita membandingkan diri dengan orang lain. Dosa yang kita lakukan tidak ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Kecenderungan menghakimi orang lain di dalam pikiran pun adalah dosa, tapi apakah kita menyadarinya? Kebanyakan nggak. Biasanya baru disadari setelah terucap. Tanpa sadar kita sudah menjadi seperti orang Farisi ini. Tuhan ingin kita sadar bahwa dosa adalah dosa. Dosa bisa saja berwujud kesulitan kita mengampuni, ketidaktaatan, cepat marah, tidak sabar, semangat menghakimi, ketidakjujuran dan masih banyak lagi. Semua yang mendukakan Allah adalah dosa. Sayang sekali kita sering membenarkan dosa ‘ringan’ sendiri dan menghakimi orang lain seperti orang Farisi. 

2. Pemungut cukai menggambarkan orang Kristen yang merasa bersalah karena selalu jatuh dalam dosa. Ada sebagian besar orang Kristen yang selalu terikat pada dosa-dosanya, kegagalannya untuk hidup kudus, dan ketidaktaatan.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
(Lukas 18:13)

Ya, kita memang orang berdosa seperti si pemungut cukai ini, namun kita tidak boleh melupakan kalau saat menerima penebusan Kristus kita adalah ciptaan baru di dalam Kristus yang telah dimampukan melawan kuasa dosa. Ketika hati nurani kita terusik karena dosa, penting bagi kita tetap mengingat bahwa sekalipun dosa kita tidak terampuni, keadilan Allah sudah terwujud melalui pengorbanan Kristus, hukuman sudah dijalani sepenuhnya oleh-Nya. Kita dapat hidup dengan kesadaran bahwa anugerah Allah melalui Yesus tersedia bagi kita setiap hari. Yang menguduskan kita bukan sekedar rasa sedih atau duka karena dosa, atau pertobatan kita, atau hukuman bagi diri sendiri. Yang menguduskan kita adalah pendamaian karena darah Kristus sudah tertumpah bagi kita. 

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
(1 Yohanes 1:9)

Semudah sekaligus sesulit itu, mempercayai bahwa hanya pengakuan dosa cukup untuk membuat Allah mengampuni kita, bukankah terkadang kita meragukannya? Seringkali hati nurani menghakimi dengan lebih kejam, tapi ya, itu cukup bagi Allah. 

Bagian lain yang indah adalah: kematian Kristus tidak hanya memberikan kita anugerah keselamatan, kita tidak hanya bebas dari hukuman dosa tetapi juga dari pemerintahan dosa di dalam hidup kita. Mungkin ada di antara kita yang masih bergumul dalam dosa dan tidak percaya, tapi ini benar. Dosa tidak berkuasa lagi atas kita dan kita dimampukan berkata tidak terhadap dosa karena anugerah-Nya.

“Jika demikian, apa yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?”
(Roma 6:1-2)

“Kita telah mati bagi dosa” berarti disadari atau tidak kematian ini sudah terjadi melalui persekutuan dengan Kristus. Kristus mewakili kita telah mati bagi dosa, sehingga kita kemudian sama dengan-Nya, hidup bagi Allah. Dosa tidak berkuasa lagi atas kita, kita telah berpindah dari kegelapan ke dalam kerajaan Allah. Persekutuan dengan Kristus memampukan kita berkata tidak terhadap dosa sebagaimana Ia juga berkata tidak terhadap dosa. Jadi, hidup kudus selalu didasarkan atas anugerah yang telah kita terima, bukan pekerjaan kita semata.

Setiap hari anugerah Allah, yakni kemurahan-Nya diberikan kepada kita. Setiap pilihan yang kita ambil, salah atau benar tidak pernah mengurangi anugerah-Nya. Hanya saja, melalui pilihan ini kita menentukan apakah hidup saya akan semakin menyerupai Kristus atau tidak. Menghentikan kebiasaan berbuat dosa dan melakukan kebiasaan yang kudus dimulai dengan menaati Allah setiap hari. Maukah kita menerima anugerah-Nya dan hidup dalam kekudusan hari ini?

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^