Showing posts with label Forgiveness. Show all posts
Showing posts with label Forgiveness. Show all posts

Monday, January 18, 2021

Starting a New Day Without Fishing



by Tabita Davinia Utomo

“Kalau udah mengampuni, no more fishing.

Ketika mendengarkan kalimat tersebut dari seorang dosen konseling, saya jadi bertanya pada diri sendiri. “Loh, bukannya kita punya memori? Tujuan Tuhan kasih memori kan, biar kita belajar. Lah ini gimana kalo nggak sengaja inget kenangan buruk di masa lalu?”

Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah obrolan singkat, seorang teman membagikan ungkapan dari Pdt. Julianto Simanjuntak yang menegaskan perkataan dosen itu, “Mengampuni adalah ketika kita mampu mengingat tanpa merasa sakit lagi.”

Pearlians sering nggak habis pikir kan, kalau ada peristiwa-peristiwa yang berjalan beriringan dan menekankan satu poin yang sama? Seolah-olah Tuhan mengizinkannya terjadi lalu kita jadi cocoklogi. Hahaha. Itulah yang saya rasakan ketika di minggu-minggu terakhir perkuliahan semester tiga lalu, saat sebagian topiknya membahas tentang pengampunan—dan memang pada saat itu saya sedang bergumul dengan hal itu. Bagaimana bisa saya bersikap baik-baik saja, jika realita yang sedang dijalani membuat hidup ini semakin terlihat suram dan terpuruk? Bagaimana saya tetap bisa “tertawa tentang hari depan”, jika saya sering tergoda untuk “memancing” masa lalu saya dan ingin memproyeksikan kesalahan yang ada di sana pada siapa pun (termasuk diri sendiri)?

--**--

Tema mengenai pemulihan dan pengampunan sudah sangat sering (bahkan hampir selalu) dibahas di gereja maupun di komunitas-komunitas lainnya. Di Pearl sendiri ada banyak artikel tentang pengampunan. Jangankan dari sisi teologi, banyak orang yang juga membahasnya dari sisi psikologi. Bahkan mungkin ada Pearlians yang pernah mendengar istilah self-healing. Tapi, tapi... kenapa kita masih aja susah buat mengampuni? “Mau sih, buat mengampuni. Kan, pengampunan adalah awal dari pemulihan. Cuma kok, berat banget yaa buat dilakuin. Sedih aku tu...” *sigh

Tenang, Pearlians! Kalau ada yang berpikir demikian, kamu tidak sendirian—karena saya juga begitu hehe... Yuk, kita kulik sedikit kenapa pengampunan itu sulit untuk dilakukan—walaupun secara teori kita sudah paham betul bahwa Tuhan pun ingin agar kita saling mengampuni.

1. Kita kan, manusia berdosa
Dosa membuat kita tidak bisa menilai dengan objektif kebenaran, dan gagal dalam memahami kasih Allah yang tercurah bagi kita, orang-orang berdosa. Akibatnya, tidak ada setitik pun keinginan untuk mengampuni orang lain—atau justru membuat kita self-pity karena merasa terikat untuk selamanya dalam masa lalu yang kelam. Walaupun natur dosa ini sudah ditaklukkan melalui Yesus Kristus, tapi kita kan, masih hidup di dunia yang tercemar ini, Pearlians. Iya, Dia menguduskan umat pilihan-Nya, tapi ingat: pengudusan itu—seringkali—menyakitkan. Salah satu proses tersebut diwujudkan melalui “training” pengampunan.

Seorang teman yang kembali ke asrama setelah berkuliah dari rumah (dan mengalami ups-and-downs selama tinggal bersama keluarganya) pernah berkata, “Di rumah itu kayak di purgatory (api penyucian).” Yes, sebagai manusia berdosa, kita—secara tidak sadar—sudah terlena dengan “kenyamanan” yang semu di dunia fana ini. Kita membenci perubahan yang menguduskan itu, sehingga kita memilih untuk merasionalisasi (atau memproyeksikan) luka maupun trauma yang ada.

Rasionalisasi itu contohnya seperti ini:

“Nggak apa-apa. Kan, abis putus, aku jadi lebih deket sama Tuhan.”
(padahal di balik ungkapan ini, ada hati yang masih mendendam pada mantannya yang sudah menikah dengan orang lain, yang dipacarinya satu minggu setelah mereka putus.)

“Kan, aku juga orang berdosa. Ya udahlah nggak apa-apa, toh suamiku juga lahir dalam keluarga yang disfungsional. Emang ini salib yang harus aku pikul...”
(sebuah ungkapan yang tercetus dari seorang istri yang mengalami KDRT, namun sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mengampuni suaminya dengan sungguh-sungguh.)

Kalau proyeksi kemarahan? Hmm… contohnya banyak banget. Ada yang karena tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya sejak kecil, dia jadi orang yang agresif-destruktif agar diperhatikan orang lain. Ada juga orang yang karena pernah dilecehkan/diperkosa sebelumnya (baik secara fisik, verbal, maupun seksual), dia jadi tidak mau berelasi dengan lawan jenis. Ada juga orang yang terlihat sangat aktif dalam pekerjaan dan pelayanan, tapi sebenarnya dia sedang melampiaskan kemarahannya terhadap pasangan yang berselingkuh. Oke deh, mungkin contoh pertama itu “buah” dari kemarahan yang terpendam dan tidak tersalurkan sebagaimana mestinya.

2. Firman Tuhan dianggap klise
Rasanya orang-orang yang ada di Alkitab itu terlalu suci untuk dijadikan panutan, ya? Padahal mereka juga orang-orang berdosa. Salah satu contohnya adalah Daud, yang menulis Mazmur 23 dan Mazmur 103. Konteks pergumulan kita dengan Daud mungkin tidak 100% sama, tapi setidaknya dua mazmur itu menggambarkan betapa bahagianya orang yang hidupnya bersandar penuh kepada Allah, dan dengan sadar menerima pengampunan-Nya serta tidak take it for granted. Masalahnya adalah... proses yang kita jalani tidak akan bisa berbuah secara instan, tapi kita justru menginginkannya demikian. Padahal Daud juga melalui proses pengudusan itu—dan dia melaluinya dengan jatuh-bangun. Lha wong dia manusia berdosa kayak kitaaa...

3. Kita aja belum mengampuni dan berdamai dengan diri sendiri
Matius 22:39 berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tindakan kasih yang dimaksud ini bukan hanya tentang memberikan hadiah atau melayani satu sama lain. It talks deeper, termasuk tentang pengampunan dan penerimaan. Pertanyaannya, kalau kita belum menginternalisasi dua hal dari Allah tersebut secara sadar, bagaimana kita bisa meneruskannya pada orang lain? Ibarat wadah yang bocor, lama-kelamaan kita akan jadi cepat lelah untuk menerapkannya pada mereka—apalagi kalau yang kita lakukan tidak bergayung sambut.

4. Memori itu melekat
Kalau boleh jujur, rasanya mengingat memori buruk jauh lebih cepat connect-nya daripada memori yang manis. Kenapa? Karena natur kita sebagai orang berdosa memang seperti itu: literally tidak ada satupun hal baik yang berkenan bagi Allah. Memori kita—meskipun sudah mencoba untuk dihapus—tapi tetap saja ada satu atau dua stimulus yang bisa membuat kita teringat pada luka-luka di masa lalu. Jadi kalau ada orang yang bilang agar kita melupakan trauma maupun hal-hal yang melukai kita, sorry to say: kita nggak akan pernah bisa melupakannya. Kalaupun “berhasil”, sebenarnya kita sedang menekan kenangan-kenangan itu ke unconsciousness kita (lihat gambar). Jika tidak segera dibereskan, hal-hal terpendam itu akan dimanifestasikan melalui pikiran, perkataan, dan tindakan kita. It will get worse if we ignore that pain.



Lalu bagaimana kita harus menyikapi luka-luka itu?

1. Berikan waktu bagi diri (dan orang lain) untuk berduka

Salah satu alasan kenapa kita cenderung memendam luka adalah karena tidak ada ruang yang tersedia untuk berduka. Apalagi bagi orang-orang yang dianggap teladan (misalnya hamba Tuhan), ada stigma yang menekankan bahwa mereka tidak boleh menangis jika ada
anggota keluarganya yang meninggal (sekalipun itu pasangan hidupnya!)

Seorang dosen saya pernah bercerita ada pendeta yang kehilangan pasangannya, dan saat upacara berlangsung, dia mendengar ada orang yang berkata, “Loh kan, situ pendeta. Kok, nangis!? Harus kuat, dong!” Saya lupa seperti apa (dan kapan) persisnya kejadiannya, tapi yang jelas beliau tidak diizinkan untuk menunjukkan kerapuhannya “hanya” karena statusnya sebagai hamba Tuhan. Barulah setelah konseling dengan dosen tersebut, pendeta itu bisa mengeluarkan tangisan dan semua unek-unek terpendamnya.

Tuhan tidak melarang kita untuk berduka. Malahan, dalam Mazmur 34:19 dikatakan, “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” It’s okay to not be okay. Tuhan menghargai kejujuran ungkapan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan segala bentuk emosi lainnya yang kita sedang alami. 

Well, jika tidak ada seorangpun yang bersedia menyediakan hati dan telinga bagi Pearlians untuk berduka, saya sangat suggest untuk konseling (sebagian counseling center bisa dilihat di sini). Melalui empati dan reflective listening yang dilakukan konselor, we will be helped to realize what we feel and think. Tapi selalu ingat yaa, apapun kondisi kita, Tuhan selalu bisa menghadirkan diri-Nya melalui berbagai cara yang unik—asalkan kita siap menerima intervensi dari-Nya dan taat pada setiap proses yang Dia berikan. Jangan lupa untuk siap-siap bangkit dari keterpurukan dan menyongsong masa depan yang penuh pengharapan bersama Tuhan :)


2. No more fishing

Sebagai manusia, kita sering ingin menyalahkan orang lain atas semua pengalaman buruk di masa lalu (apalagi kalau memang terbukti mereka berandil besar di situ). Tapi tidak jarang juga kita justru menyalahkan diri sendiri yang salah mengambil keputusan, bahkan mengasihani diri sendiri. Oke, berduka itu boleh, tapi mengasihani diri menunjukkan bahwa kita masih suka “memancing” masa lalu dan mengikatkan diri padanya. Pertanyaannya, bagaimana pemulihan bisa terjadi kalau kita masih mengingat DENGAN SENGAJA hal-hal buruk di sana dan blaming others (and ourselves)?


3. Let go and let God

Tidak ada seorang pun yang bisa mengampuni dengan kekuatannya sendiri. Kalaupun ada, fondasi pengampunannya belum tentu kasih Tuhan (agape love). Padahal, kekuatan pengampunan sesungguhnya hanya bersumber dari kasih agape Allah. Paulus menulis, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang tergadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:31-32) Aneh kan, kalau orang-orang yang (katanya) percaya kepada Yesus Kristus justru lebih sulit mengampuni dibandingkan mereka yang bukan orang percaya? Tapi memang di situ poinnya: semakin sulit sebuah pengampunan diberikan, semakin besar kesadaran kita (seharusnya) untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, dan membiarkan-Nya bertindak. Proses melepaskan masa lalu memang sulit, karena itu kita perlu secara bertahap untuk mengampuni. Then how? Berikut salah satu penerapan praktis yang bisa dilatih oleh Pearlians:

a. Uncover your anger

Alasan kenapa kita marah dan belum bisa mengampuni ini harus ditulis satu per satu secara spesifik dan sangat terperinci. Dari situ, kita bisa memahami betapa sulitnya pengampunan karena ada sangat banyak sudut dan segi dari hal-hal yang tidak bisa kita pahami. Pertama, seleksi dulu lalu tuliskan poin-poinnya secara umum. Setelah itu, pilihlah poin apa yang akan “dikerjakan” terlebih dulu dan tuliskan secara rinci. Kenapa harus diseleksi seperti ini? Karena pasti akan ada poin-poin yang overlap. Capek kan, kalau cuma muter-muter di situ doang? Lukanya sembuh nggak, bosen iya.

b. Make a decision with God

Ambil salah satu poin yang paling berat, agar beban di hati kita bisa terangkat cukup banyak. Entah sepertiga, seperempat, bahkan setengahnya. Walaupun prosesnya penuh air mata, tapi tahap ini—jika terlalui—akan sangat melegakan. Itulah sebabnya kenapa kita tidak bisa melakukannya seorang diri; once again, I suggest you to ask a help from a counselor! Kenapa kok saya menekankannya berulang kali; atau kenapa nggak cukup hanya dengan minta tolong ke teman? Karena tanpa tenaga profesional, semangat kita bisa hilang kapan saja—bahkan jadi kolaps. Iya, support system is a must—tapi ada kalanya mereka juga jenuh kalau luka kita tidak kunjung pulih (belum lagi kalau kitanya memang pada dasarnya tidak mau mengampuni, tapi hanya cari pembelaan). Apalagi decision with God ini tidak bisa hanya dilakukan satu kali untuk selamanya; it takes time and needs to be done again and again.

c. Working stage

Misalnya kita sudah memiliki 10 poin yang terdaftar pada tahap pertama. Nah, kalau sudah ada poin yang dikerjakan dan cukup tuntas, ambil poin yang lain. Demikian seterusnya sampai poin-poin itu semakin berkurang. Anehnya, kecenderungan reborn love untuk muncul itu sangat bisa terjadi.

d. Reborn love

Reborn love yang dimaksud berasal dari kita ke orang yang sedang kita perjuangkan untuk diampuni, bukan dari dianya ke kita. Kadang-kadang yang bersangkutan bisa saja sudah meninggal terlebih dulu. Namun jika dia masih hidup, reborn love ini akan mulai bisa tumbuh. Tetap ingat untuk selalu berserah kepada Tuhan dan mengizinkan-Nya bekerja sesuai kehendak-Nya, ya. Siapa tahu proses pengampunan ini bukan hanya memulihkan satu orang saja (yaitu kita), tapi bahkan seluruh keluarga maupun sistem relasi yang rusak antara kita dengan orang lain.


Tahun-tahun sebelumnya mungkin adalah the worst year(s) ever karena ada banyak luka yang belum terselesaikan. But it’s okay, adalah lebih baik kita menyadari bahwa luka-luka ini harus dibereskan dan mensyukuri kehadiran Tuhan di masa-masa sulit ini. Jika seandainya ada masa-masa yang membuat kita sulit untuk bersabar pada proses yang terbentang, kiranya ungkapan dari Adel Bestavros ini menguatkan kita:

“Patience with others is love. Patience with self is hope. Patience with God is faith.” 
— Adel Bestavros 

“Pengampunan itu harus terjadi dulu, baru lukanya disembuhkan. Itu bedanya orang percaya dari yang bukan orang percaya. Kalau kamu udah mengampuni, Tuhanlah yang memampukanmu untuk melihat orang itu dari perspektif yang baru.”
— Ibu Esther Susabda


Catatan penulis:
Sebagai pelengkap artikel ini, Pearlians bisa menyimak sebagian kisah di atas di sini dan di sini :)
By the way, saya juga merekomendasikan surat Filemon untuk bacaan tambahan hehe...

Monday, January 11, 2021

What Would Jesus Do?




by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
(1 Yohanes 2:6)

Slogan WWJD mungkin tidak terlalu sering terdengar sekarang seperti pada tahun 2000 awal. Kepanjangan dari WWJD adalah ‘What Would Jesus Do?’, sebuah pertanyaan singkat yang sebaiknya ditanyakan pada diri sendiri sebelum mengambil keputusan atau tindakan apa yang akan dilakukan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir antara melakukan sesuatu atau tidak, seperti apa yang akan Yesus lakukan jika dia berada di posisi kita. Jika kita tidak melakukan seperti yang akan Dia lakukan, jangan-jangan kita tidak mengenal Yesus dengan baik sehingga tidak meneladani Yesus dalam kehidupan kita. Well, pada akhirnya memang kita harus mengenal Dia secara pribadi untuk bisa melakukan seperti yang Yesus lakukan.

"Bayangkan suatu hari Yesus bangun dari tidurnya dan menjalani hidup kita yang sekarang, adakah yang berbeda dari hidup kita?"

Demikian pertanyaan seorang Kakak saat membawa kami dalam perenungan pada persekutuan doa yang aku ikuti di UKM Kristen bertahun-tahun lalu.

Aku ingat kami merenungkan pertanyaan tersebut dan sharing, kira-kira bagaimana Yesus akan menjalani hidup kami. Aku membayangkan jika Yesus akan bangun pagi-pagi sekali, saat teduh, bersih-bersih rumah (Yesus gak mungkin males saat teduh lah ya, hihihi), lalu Ia akan menyiapkan sarapan, duduk sarapan bersama eyangku-mengobrol tentang banyak hal-mendengarkan eyang menceritakan tentang apapun, lalu Ia berangkat kuliah naik motor dengan santai tanpa ngebut sambil ngobrol dengan BapaNya atau bernyanyi-nyanyi - tersenyum melihat mereka yang ngebut. Yesus tidak akan telat tiba di kampus, Ia membantu kawan yang belum mengerjakan tugas - bukan memberi contekan, sesekali Ia bercanda dengan kawan-kawannya-tentunya bukan lelucon kotor yang dikeluarkannya, tidak pula gosip, tapi tanpa begitupun Ia mampu membuat orang lain tertawa, sense of humour Nya terbaik, dst. Yesus menjadi diriku dalam versi terbaik.

Membayangkan Yesus menjalani kehidupanku sangatlah menarik, membayangkan Dia berbicara, kuliah, ikut ujian, pelayanan, dll. Aktivitasnya kurang lebih apa yang aku lakukan TAPI minus DOSA pastiiii... plus hubungan mesra dengan Bapa Surgawi. Saat kita memberikan Yesus tempat istimewa dalam hati dan hidup kita, Dia akan melakukan berbagai hal dengan caraNya, dan PASTI, hidup kita akan berbeda. Aku yang sekarang (memiliki Yesus) akan berbeda dengan aku yang sebelumnya. Tentu saja, yang memimpin adalah Yesus di dalamku, biar Yesus saja yang semakin bertambah dan aku yang semakin berkurang. Kira-kira demikianlah seharusnya hidup kita saat kita telah menerimaNya sebagai Juruselamat kita. KehadiranNya nyata nampak dalam hidup kita. ”Tapi ini sulit, aku gak bisa Tuhan, jeritku dalam hati, kenapa Tuhan tidak membiarkanku seperti ini saja?”

“Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” 
- Max Lucado
Beberapa waktu kemudian aku mendapat kesempatan membaca sebuah buku yang di dalamnya bertuliskan seperti ini : Bagaimana, kalau Yesus menjadi anda untuk satu hari? Max Lucado dalam bukunya ini, Just Like Jesus, mengatakan bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus harus dimulai dari memiliki hati seperti hati-Nya dan hal itu dimulai dengan pembentukan hati oleh Roh Kudus. Kita perlu belajar memiliki hati seperti hatiNya. Ia menjabarkan ciri hati Kristus yang harus dimiliki oleh umat-Nya, yaitu hati yang mengampuni, penuh belas kasihan, mau mendengar, hati yang haus akan Tuhan, haus beribadah, terfokus pada Allah, jujur, murni, penuh pengharapan, bersukacita, dan tabah. Berikut ini beberapa ciri hati Yesus yang harus kita miliki:


HATI YANG MENGAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”
(Kolose 3:13)

Mengampuni memang sulit tapi Yesus melakukannya, mari kita pandang Yesus yang telah memberikan teladan pengampunan terlebih dahulu terhadap kita. Ingat malam dimana Dia membasuh semua kaki murid-muridNya? Yesus bukannya tidak tahu kalau di antara murid-muridnya akan mengkhianati dan menyangkalNya tapi nyatanya Dia tetap membasuh kaki mereka. Dia memberikan anugerahNya kepada mereka yang tidak pantas diampuni TERLEBIH DAHULU. Dia menawarkan kasih dan pengampunanNya tanpa diminta dan memberikannya cuma-cuma. Kupikir, apa yang kita alami tidak lebih menyakitkan dari yang Dia alami, tapi Dia tetap mengampuni yang menyakitiNya. Inilah yang harus kita teladani


HATI YANG MENDENGAR

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.” 
(Yakobus 1:22-23)

Yesus dalam khotbahNya berkali-kali mengatakan : Siapa bertelinga hendaklah Ia mendengar. Seperti yang Yesus mendengar BapaNya dan taat, kita sangat perlu dengar-dengaran dengan Firman dan kehendak Allah di hidup kita. Bagaimana cara mendengarkan Tuhan? Dimulai dengan Alkitab yang terbuka dan membiarkan Dia berbicara melalui firmanNya yang berisi kehendak dan isi hatiNya, seperti yang Yesus lakukan. Lalu, lakukan! Semudah sekaligus sesulit itu. 


HATI YANG JUJUR

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” 
(Efesus 4:25)

Pernahkah mendapati Yesus berdusta? Sepanjang hidupnya selama 33 tahun kehidupan Yesus di muka bumi, tak ada cerita tentang kebohonganNya sekalipun keadaan Yesus sangat mendesak. Bagaimana dengan kita? Terkadang kita menambah atau mengurangi kebenaran, berbohong demi kebaikan, berdusta untuk melindungi diri kita, dll, apapun itu namanya, tetap saja kita tidak jujur. Bahkan kita menyampaikan hanya setengah kebenaran dan berkata kita telah jujur. Kita perlu meneladani hati Yesus yang jujur, yang tidak ada dusta 


HATI YANG MURNI

“sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” 
(Markus 7:21-22)

Hati manusia dipenuhi dengan segala kejahatan, hal-hal terburuk yang ingin dilakukan. Berbeda dengan hati Yesus yang murni. Setiap hari hatiNya dimurnikan oleh firman Tuhan dan Ia menjaga hatiNya sungguh-sungguh supaya tidak ditumbuhi benih yang jahat. Mudah bagi Yesus untuk merasa sombong karena kuasa yang dimilikiNya, tetapi nyataNya Ia mengakui dan menyadari karya Allah di dalamNya dan memuliakan Allah. Yesus memilih apa yang ingin Dia rasakan dengan selektif sehingga tindakanNya juga selektif. Perbuatan dan perkataan kita adalah cermin dari hati kita.


HATI YANG PENUH PENGHARAPAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
(Roma 12:12)

Yesus berkata bahwa segala sengsara yang harus dialamiNya telah dinubuatkan. Dia melihat tujuan dalam penderitaanNya sebagai pemenuhan rencana besar Allah. Dia tidak membiarkan diriNya mengasihani diriNya atau mengutuki keadaan. Dia tetap berharap pada BapaNya dan meminta namun dengan rendah hati menginginkan kehendak BapaNya yang terjadi karena Ia tahu rancangan Allah adalah yang terbaik.

Kita perlu berlatih agar memiliki hati seperti hatiNya. Allah ingin agar kita menempatkan Kristus sebagai TELADAN atas seluruh hidup kita (Roma 8:28-29). Dia mau kita menjadi serupa dengan gambaran anakNya, lewat segala sesuatu yang kita alami. Melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, Dia ingin membentuk hati kita menjadi serupa dengan Kristus.

Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu menanyakan pertanyaan penting ini:

Apakah ini membuatku makin SERUPA dengan Kristus?

Monday, September 21, 2020

Mengampuni Karena Diampuni


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: MATIUS 18:21-35 (Perumpamaan tentang pengampunan)

Bertahun-tahun yang lalu, aku sangat membenci seseorang. Sulit rasanya mengampuni apa yang dia lakukan. Aku tahu aku akan lebih tenang kalau mengampuni, tapi rasanya gak sanggup. Tuhan ingatkan, “AKU sudah mengampuni kamu, Meg, perbuatlah yang sama baginya.” Tapi aku berdalih, “TUHAN, aku gak mau dia merasa menang setelah apa yang diperbuatnya padaku.” Sampai akhirnya seseorang menegurku, “Meg, ini bukan masalah menang atau kalah. Kamu mau taat ato gak sih? Katanya mau taat…”

Lalu, ayat-ayat yang berbunyi tentang pengampunan melintas di kepalaku. 1 Korintus 13:5 berkata "kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain", dan TIDAK MENGAMPUNI berarti MENYIMPAN KESALAHAN ORANG LAIN.

Tapi Tuhan, aku tidak mengasihi orang ini setelah apa yang diperbuatnya kepadaku. Buat apa mengasihi orang seperti dia? Aku tidak bisa mengampuni dia. Aku membayangkan TUHAN berkata, “Lalu buat apa aku mengasihi kamu?”

"Karena jika kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tapi jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."
(Matius 6:14,15)

"Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah dalam Kristus telah mengampuni kamu."
(Efesus 4:32)

Aku memikirkan bagaimana perasaan KRISTUS waktu Ia harus mengampuni dan mati buat orang sepertiku. Sedangkan aku, hanya disuruh mengampuni, belum disuruh mati buat orang itu saja terasa berat. Kok Kristus mau ya? 

Lalu, lagi-lagi, dengan sabar-Nya Dia berkata, “Meg, ini bukan tentang dia, ini tentang AKU berurusan denganmu sekarang. Segala sesuatu bukan tentang kamu atau dia, segala sesuatu adalah tentang AKU.”

Aku tertunduk dan kehilangan kata-kata. Rasanya hati masih sulit mengampuni, padahal sudah tahu kebenaran firman Tuhan. Aku masih mengeraskan hati.

Pada akhirnya, aku baru bisa mengampuni sepenuhnya saat membaca dan merenungkan bacaan Perumpamaan tentang pengampunan. Perumpamaan ini indah sekali karena dua hal:

Tuhan terlebih dahulu mengampuniku. 

Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.
(Matius 18:27)

Sang Raja tahu kalau hambanya tidak sanggup membayar hutangnya, demikian juga Tuhan tahu kalau aku tidak sanggup menanggung dosa-dosaku. Dia tidak harus mengampuniku tetapi Dia berbelas kasihan lalu membebaskanku dan menghapus segala kesalahanku. Dia tidak memperhitungkan kesalahanku. Sang Raja memberikan teladan kepada hambanya bagimana mengampuni. Sama dengan Tuhan. Dia tidak memintaku mengampuni tanpa Dia memberikan teladan kepadaku.

Pengampunan yang telah kuterima dari Tuhan terlebih besar dari kesalahan yang dibuat orang lain kepadaku. 

Raja dalam perumpamaan tersebut membebaskan hambanya dari hutang sebanyak sepuluh ribu talenta, tetapi si hamba ini mempermasalahkan hutang kawannnya yang ‘hanya’ seratus dinar. Menurut kamus Alkitab, 1 talenta sama dengan 6.000 dinar, sedangkan 10.000 talenta sama dengan 60.000.000 dinar.

Bandingkan, hamba tersebut punya hutang 60 juta dinar dan dibebaskan dari segala hutangnya tapi dia tidak sanggup merelakan hutang kawannya padanya yang hanya 100 dinar. Keterlaluan sekali hamba ini. Lah, bagaimana denganku yang sulit mengampuni orang lain, padahal kesalahanku yang begitu banyak telah diampuni Tuhan. Aku juga keterlaluan. Jadi, jika Tuhan telah mengampuni dosa-dosaku yang begitu banyak, kenapa aku mempermasalahkan kesalahan kecil yang dibuat orang lain padaku. 

Mengampuni itu sulit. Gak mudah. Tapi bukan berarti gak bisa. Caranya? Dengan menerima pengampunan Kristus. Gak ada jalan lain. Saat aku sadar kalau aku sangat berdosa. Saat aku ingat betapa banyaknya kesalahanku dan gak ada yang bisa kulakukan untuk menebusnya. Aku teringat anugerah pengampunan-Nya yang besar telah diberikan kepadaku. Aku sadar, Tuhan begitu baik mau mengampuniku. Dia tidak harus mengampuniku tapi Dia mau mengampuni. Saat menyadari anugerah yang kuterima begitu besar, aku dimampukan mengampuni dia yang menyakitiku. Di kemudian hari, saat ada orang yang menyakitiku, aku bisa mengampuni dia karena aku tahu aku sudah diampuni dari dosa dan kesalahan yang jauh lebih besar daripada kesalahan yang dia lakukan padaku. 

Kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki. Jika pengampunan terasa sangat sulit diberikan, mungkin karena kita belum menyadari betapa besar anugerah pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan.

Saturday, December 8, 2018

A New Day of Spring


by Sarah Eliana

Batsyeba. Siapa yang gak pernah dengar tentang Batsyeba? Batsyeba yg katanya begitu cantik sampai-sampai raja Daud pun tergoda. Batsyeba yg udah bersuami tapi tidak berani (atau tidak mau?) berkata tidak ketika raja Daud mengundangnya ke istana. Adulteress! Begitu kata banyak orang. Aku sendiri gak berani menghakimi, karena sebagai seorang istri sedikit banyak aku bisa mengerti juga kenapa dia tidak berani berkata tidak kepada Raja Daud. Mungkin dia diancam “Kalo gak datang, awas!!!” Mungkin juga dia berpikir, ”Raja Daud kan atasan suamiku, dan suamiku lagi di medan perang. Mungkin raja Daud mau kasih tau sesuatu yang penting tentang suamiku? Apakah suamiku terluka?” Mungkin! Mungkin aja dia menerima undangan raja Daud dengan pikiran suaminya terluka atau bahkan terbunuh di medan perang sehingga raja Daud merasa berita itu harus disampaikan secara pribadi oleh sang raja. Mungkin juga sama seperti kebanyakan kita, orang Asia, dia merasa, “Ah, gak enak kalo gak dateng… Udah diundang.” Perhaps pride got the better of her: “GILE!!! Diundang ama raja!! Siapa yg berani bilang tidak? Siapa orang yang begitu bodoh sampai menolak undangan sang raja?” Mungkin juga dia berpikir seperti itu. Maybe she was lonely, and an invitation from the handsome king sounds innocent enough. Only God and Bathseba herself know why she went to the palace, and later slept with the king.

Tapi yg pasti, kita semua tau lanjutan ceritanya. Batsyeba hamil, dan Daud membunuh Uria agar bisa menikahi Batsyeba. Setelah mereka menikah, datanglah Nabi Natan menegur Daud. JEDER!!! Daud, oh Daud, dirimu sudah melakukan apa yg salah! Dan saat itu juga Daud menyadari kalo kesalahan dan dosanya itu bukan hanya terhadap Uria, tapi juga terhadap Allah. Jadi, ia pun bertobat. Semuanya beres, kan? Ya kan? Ternyata tidak, karena anak Batsyeba dan raja Daud yang baru lahir akhirnya meninggal. 

Most of us stop right here. Kita sering dengar kotbah tentang Daud dan Batsyeba, dan biasanya kotbahnya diakhiri dengan “ada hukuman atas dosa,” Betul gak? Dan biasanya pula, kalo kotbahnya tentang pernikahan, kita akan diwanti-wanti untuk menghormati janji nikah kita, dan ayat yg biasa dikutip adalah Matius 1:6 yang berkata:

“Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.”
(Matius 1:6)

Ayat ini menunjukkan bahwa biarpun Batsyeba sudah menikah dengan Daud, Tuhan tetap menganggapnya sebagai istri Uria. Betulkah? I must disagree. Why? Well, let’s read 2 Samuel 12:24,

Kemudian Daud menghibur hati Batsyeba istrinya, lalu tidur bersamanya. Batsyeba melahirkan seorang putra yang dinamakan Salomo oleh Daud. TUHAN mengasihi anak itu.
(2 Samuel 12:24)

Daud menghibur Batsyeba, istrinya. Nah, di sini jelas ditulis kalo Batsyeba sudah dianggap sebagai istri Daud oleh Tuhan. Bahkan Tuhan memberikan mereka seorang anak yang kemudian menjadi raja yang luar biasa. Ya, gw setuju bahwa kita selalu harus menerima konsekuensi dari dosa kita. But it is equally important that we don’t just stop there karena di dalam Tuhan ada kasih karunia. Kalau kita mau dan siap mengakui dosa kita, meminta ampun, dan TIDAK mengulangi dosa itu, Tuhan pun siap mengampuni and He is more than ready to give us a fresh new start.

Banyak dari kita yang bergumul dengan masa lalu kita, yang punya hal-hal yang kita sembunyikan dari orang lain dan hanya Tuhan dan kita yang tau. Kalau memang kita orangnya, ketahuilah hal ini: Tuhan sangat bersedia mengampuni kita kalau kita mau datang kepada salib-Nya, mengaku dosa kita, dan berjalan menurut pimpinan Tuhan mulai saat ini. Lihat Daud dan Batsyeba! Raja Daud, saking takutnya kalo dosanya akan ketauan, bahkan sampe tega membunuh salah satu prajurit terbaiknya sendiri! Dan ya, dia menerima hukuman atas dosanya:

Setelah itu pulanglah Natan ke rumahnya. Putera Daud yang dilahirkan oleh Batsyeba janda Uria, jatuh sakit dengan kehendak TUHAN.
(2 Samuel 12:15)

Sakit atas kehendak Tuhan! Kalo bahasa Inggrisnya lebih serem lagi: The Lord struck the child, and he was very sick.” Kedengarannya ngeri banget ya. Tapi ternyata bukan hanya anak Daud yang “dihajar” oleh Tuhan; ada orang lain yang mengalami hal yang sama:

Yet it was the will of the Lord to bruise Him; He has put Him to grief and made Him sick.
(Isaiah 53:10)

Yup! Tuhan Yesus! He pressed Himself on that cross to die for us because He loves us so! Sekarang, lihatlah! Lihat ke salib Tuhan Yesus, lihat Dia yang mati disalib karena dosa kita. Anugerah Tuhan tersedia buat kita, dan karena itu kita bisa memulai lembaran yang baru dalam hidup. Gak peduli besar kecilnya dosamu, Tuhan bisa mengampuni kamu. Sebenernya, gak ada “dosa besar” atau “dosa kecil”! Dosa adalah dosa—pemberontakan terhadap Allah. Kalaupun dosamu remeh seperti berbohong pada orang tua, tetap saja itu dosa dan Yesus harus membayarnya dengan nyawa-Nya di salib. Kalau kamu membunuh orang lain, Yesus mati untuk dosa itu juga! Nothing is too small or too big for our God, and He is so ready to forgive you, and so soo soooo ready to lead you in a new path where there are abundance blessings for you! 

Back to Batsyeba. Dia seorang wanita yang berhubungan seks dengan orang yang bukan suaminya. Dia bahkan menikah dengan pembunuh suaminya. Sekarang lihat ke dalam diri kita sendiri: Kita sama seperti Batsyeba! Kita “berhubungan seks” dengan pria lain ketika kita memandang mereka dengan hawa nafsu. Kita membiarkan pria lain “membunuh” suami kita ketika kita membanding-bandingkan dia dengan mereka. Oh dear Lord, forgive us our sins! Tapi jangan berhenti di situ. Lihat Batsyeba: kehidupannya dengan raja Daud diberkati Tuhan; bahkan dia melahirkan seorang raja yang besar. Kok bisa? Semua itu karena mereka bertobat dan ikut pimpinan Tuhan setelah mereka bertobat. Dan bukan hanya itu! Dari keturunan Daud dan Batsyeba, lahir seorang Raja Sejati, Raja segala raja: Yesus Kristus! Lihatlah betapa besarnya pengharapan dan pengampunan yang Tuhan berikan, sehingga semua orang berdosa bisa membuka lembaran baru dalam hidup mereka bersama Dia!

Siapa yang sudah baca Amsal 31? Kalo belom, baca deh. Kalo baca ini, gileeee… Gw langsung ngerasa gimana gitu. I want to be a woman like that. Gw selalu pikir ini tulisan yg ditulis oleh raja Salomo. Haha... *gak membaca ayat 1 dengan benar* Baru-baru ini gw baca ayat 1 dengan benar, and gw betul-betul shock: 

"Inilah perkataan Lemuel, raja Masa, yang diajarkan ibunya kepadanya."
(Amsal 31:1)

Ajaran ibu Raja Lemuel! Doennggg… So this passage is truly “dari wanita untuk wanita”!!! HUEBAT! Gw sempet nyari-nyari, siapa sih Raja Lemuel. Nobody knows for sure, tapi ada beberapa ahli Alkitab yg bilang kalo Lemuel adalah nama lain Raja Salomo. Well, we don’t know if it’s true. Tapi bayangkan kalo ini betul, berarti Amsal 31 itu adalah ajaran dari Batsyeba untuk Salomo!!! HAH?!?!?! Hebat kan? Dari wanita yg tidur dengan pria yg bukan suaminya (selingkuhan yang bahkan akhirnya membunuh suaminya) menjadi wanita yg begitu hebatnya! Bangun pagi-pagi buta, sibuk sampe tengah malam, tapi masih bisa mempercantik diri untuk suaminya. WOW! Gw aja kalo cuman sibuk dikit udah lupa dah, buat dandan cakep-cakep untuk suami… -.-' Dan kalo emang bagian ini adalah bagian yg diajarkan oleh Batsyeba untuk Salomo, do you know what I see? I see a life changed by God! I see a heart shaped by the Lord. Batsyeba gak mungkin bisa berubah seperti itu kalo gak ada campur tangan Tuhan.

So, ladies, you know who you are. Kalau kamu single dan berpikir, “Mungkinkah Tuhan mengampuni semua yang pernah saya lakukan? Mungkinkah saya punya keluarga yang memuliakan Tuhan?” Jawabannya: Tentu saja! Kalau kamu sudah menikah dan pernah berdosa terhadap Tuhan dan suamimu, dan kamu berpikir, mungkinkah semuanya bisa pulih kembali, jawabannya: Ya! Tapi kamu harus bersedia berjalan bersama Tuhan, menuruti pimpinan Tuhan dan memberikan kendali penuh atas hidupmu, pikiranmu, perbuatanmu, dan perkataanmu kepada Dia.

Baca lagi Matius 1:6, “Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.” Dalam 2 Samuel 12 sudah jelas sekali bahwa Batsyeba sudah menjadi isteri sah Daud, tetapi kenapa di ayat ini masih disebut “isteri Uria”? Well, bahasa Inggrisnya mungkin lebih jelas: 

"King David the father of Solomon, whose mother had been the wife of Uriah."
(Matthew 1:6)

“Who had been the wife of Uriah.” Batsyeba dulunya istri Uria sebelum jadi istri Daud. Tapi, then, kita jadi bertanya-tanya, kenapa nama Uria harus disebut? Menurut gw, Tuhan mau tunjukin bahwa Yesus, Raja kita yang sempurna itu punya nenek moyang yang adalah manusia biasa, berbuat dosa, banyak kesalahan; dan Dia lahir untuk orang-orang seperti mereka, seperti kita, so that we all can have a new start, a new life in Him! And that, my friend, is grace! 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
(Yohanes 3:16)

Saturday, March 3, 2018

Saluran


by Glory Ekasari

Semua kita (termasuk yang nulis) pasti pernah mengalami kesulitan mengampuni orang. Entah itu karena baju kesayangan yang dipinjam adik ketumpahan kecap, atau karena dikhianati oleh pasangan. Pengampunan itu salah satu hal yang lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Kita maunya menahan pengampunan dan sebisa mungkin “menghukum” orang yang bersalah pada kita dengan cara menolak mengampuni mereka. Tapi bagaimana bila kita sungguh-sungguh ingin mengampuni?


Ada satu metafor yang sering dipakai dalam Alkitab untuk menjelaskan seperti apa kehadiran Tuhan dalam hidup kita, yaitu air; secara khusus sumber mata air atau sungai yang mengalir. Nah, bagi kita yang hidup di Indonesia, yang 2/3 wilayah negaranya adalah laut, yang dikit-dikit ketemu sungai, bahkan sering kebanjiran, metafor ini mungkin tidak banyak bermakna. Tapi bila kita menempatkan diri pada posisi orang-orang di Timur Tengah (tempat di mana naskah Alkitab ditulis), yaitu mereka yang tinggal di daerah kering dan kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada sungai, “mata air” atau “sungai” adalah suatu metafor yang sangat hidup.


Saya ingat ketika belajar sejarah peradaban kuno waktu sekolah dulu, nama peradabannya selalu seperti ini: “Peradaban Sungai Indus”, “Peradaban Sungai Nil,” “Peradaban Sungai Efrat,” “Peradaban Sungai Yang Tse”semuanya mengandung kata “sungai”. Di Mesir, misalnya, dulu kehidupan berpusat di sepanjang aliran sungai Nil. Setiap tahun sungai itu meluap, dan endapan lumpur banjirnya membuat tanah di sekitarnya subur. Karena orang-orang kuno sangat bergantung pada pertanian, mereka berkumpul di sekitar tanah endapan sungai yang subur itu. Begitu pentingnya sungai dan mata air bagi mereka.

Lalu bagaimana dengan daerah yang tidak kebagian sungai? Hampir sama dengan sekarang, pemerintah akan membuat waduk. Mereka lalu membuat saluran air dari mata air terdekat ke waduk tersebut, supaya air selalu tersedia. Salah satu raja yang membuat saluran seperti ini adalah Hizkia, raja Yehuda. Sekitar tahun 701 SM Hizkia membuat saluran dari sumber mata air Gihon ke Yerusalem, tepatnya ke kolam Siloam, untuk mengantisipasi krisis air yang bisa terjadi sewaktu-waktu karena saat itu bangsa Asyur sedang menyerang Yerusalem.

Oke, sekian pelajaran geografi dan sejarahnya. Ehm.

Apa yang bisa kita pelajari dari semua itu?

Pertama-tama kita harus menyadari satu hal penting: sebagaimana air/sungai/mata air selalu diasosiasikan dengan Tuhan sendiri, dan dengan firman Tuhan (sebagaimana dalam Mazmur 1), dan dengan Roh Kudus (Yohanes 7), kita harus sadar bahwa posisi kita ini bukan sebagai sumber. Kita tidak seperti Tuhan yang tidak terbatas, yang self-sufficient, yang tidak akan pernah kehabisan sekalipun Dia membagi-bagikan dengan murah hati. Sejak manusia jatuh dalam dosa, kita bahkan mati; secara rohani, dan sebentar lagi, secara jasmani juga. Ini membuat hati manusia seperti kolam yang keruh, yang banyak jentik-jentik nyamuknya, berlumut, dan jadi sumber penyakit. Makin lama air di kolam itu makin habis dan akhirnya kering sama sekali. Tetapi Tuhan berbeda dengan kita. Dia adalah sumber segala karakter ilahi, sebagaimana mata air adalah sumber air. Tidak ada orang yang bisa berkata, “Aku adalah kasih,”paling banter, “Aku memiliki kasih”; tapi Alkitab tanpa ragu-ragu berkata, “Allah adalah kasih.” Kasih-Nya bukan hanya begitu luas, tapi juga tidak akan habis.

Dari sumber inilah pertama-tama kita sendiri harus minum. Kita perlu mengenal Dia secara pribadi, memiliki mata air itu di dalam hati kita. Kita perlu mengalami pengampunan-Nya, pembaharuan oleh Roh-Nya, sehingga kita menjadi manusia baru. Manusia baru, menurut firman Tuhan, adalah orang-orang yang menerima benih ilahi; mereka menjadi “keturunan-keturunan Allah” yang memiliki sifat-sifat Allah, termasuk kasih. Dan di dalam kasih, ada pengampunan. Pengampunan itu tidak bersumber dari penyesalan atau bahkan pertobatan orang yang bersalah kepada kita, tetapi dari Allah sendiri, yang hidup di dalam kita.

Sebagaimana raja Hizkia membuat saluran dari mata air Gihon ke Yerusalem, demikian pula kita membuat saluran dari Tuhan ke orang lainmelalui diri kita. Kita tidak perlu memikirkan dari mana airnya, karena sudah tersedia dari Sumbernya, yaitu Tuhan sendiri. Tidak perlu lagi kita berkata, “Aku tidak bisa mengampuni!” Tuhan tidak minta kita membuat air sendiri kok. Kita cukup berkata, “Tuhan, biar kasih-Mu mengalir kepada orang itu melalui aku.”

Selain itu, ada satu prinsip sederhana dalam fisika praktis yang muncul dalam benak saya: air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bila kita mau dipakai Tuhan untuk mengalirkan kasih-Nyatermasuk pengampunan, kita harus punya hubungan yang baik dengan Tuhan (yaitu “menempel” ke tempat yang tinggi), dan merendahkan diri, yaitu mengakui bahwa kita juga orang berdosa yang butuh pengampunan Tuhan, sama saja dengan orang yang menyakiti kita (yaitu “menempel” ke tempat yang rendah). Bila posisi kita senantiasa seperti itu: hubungan yang baik dengan Tuhan dan kerendahan hati untuk memberkati orang lain, ke manapun kita diarahkan, kita akan selalu mengalirkan kehidupan bagi orang lain.

Banyak anak Tuhan merasa tertekan karena tidak bisa melakukan firman Tuhan, termasuk mengampuni. Mari kita ingat kembali: kita ini bukan sumberkita hanya saluran. Hari ini mintalah Tuhan mengalirkan kasih-Nya melalui kita, dan besok lagi, dan besok lagi, karena Sumber yang mengalir melalui kita itu tidak akan habis mengalir sampai pada hidup yang kekal.

Wednesday, October 11, 2017

Belajar Berkata Maaf


by Grace Suryani 

Waks... Aneh banget sih, minta maaf aja kok perlu belajar. Yang natural aja deh ... mengalir aja deeehh. Toh yang penting udeh bilang, "Maaf". Selesai toh? 

Well, ini lah salah satu masalah dari bangsa kita. Kita ini bangsa 'pemaaf' tapi sangking 'pemaaf'nya, jadi tidak pernah belajar dari kesalahannya. Itulah sebabnya, permintaan maaf kita sering kali cuman jadi basa-basi semata-mata. En akhirnya, tidak ada luka yang benar-benar disembuhkan dan hubungan yang dibereskan. 

Ada beberapa hal yang perlu dipelajari ketika minta maaf.

1. Posisi ketika minta maaf :p 
Adik saya yang paling kecil, tuna runggu (tapi jangan salah dd gue ganteng loh!! :p kayak artis korea hahaha) Trus karena dia juga sudah mulai gede, pernah gue tanya ama dia, "Kamu nanti pengen punya istri orang normal atau orang tuna runggu?" 

Mulanya dia angkat bahu en ngga mau jawab. Tapi trus dia bilang kira-kira begini, "Kata temen-temen yang sudah menikah, kalo sama anak tuna runggu lebih enak. Karena kalo berantem kalo minta maaf, pasti tepuk bahunya baru bilang, 'Aku minta maaf ya'. Kalo sama orang normal ngga usah begitu." 

Guys, anak-anak tuna runggu di Indo biasanya belajar membaca bibir bukan pake bahasa isyarat. Jadinya kalo ngomong mesti berhadap-hadapan. en mereka harus saling menatap baru bisa ngerti, org satunya ngomong apa. Waktu kita ngobrol itu gue belon married. So gue ngga gitu ngerti apa hubungannya berhadap2an dengan minta maaf dengan pernikahan yang lebih baik!?!?! 

But setelah gue married, gue baru ngerti. Seringkali sebagai orang 'normal', gue ngga minta maap dengan proper. Alias cuman sambil lalu doank, sambil memalingkan muka, kadang sambil nyapu bilang, "Maap ya." Selesai! Gue dah minta maaf toh?!!? Toh Tepen bisa denger. Gue kan ngga perlu berhadap-hadapan. BUT THAT'S WRONG!!! Itu sama sekali ngga menyelesaikan masalah. 

Karena gue bisa banget bilang, "Maap ya" hanya untuk : 
1. Basa-basi 
2. Biar masalah cepet 'selesai'
3. Biar gue bisa ngelanjutin kerjaan gue yg tertunda. 

Untungnya biasanya permintaan maap seperti itu selalu DITOLAK sama Tepen :p Dia selalu mau, kalo kita bertengkar, kita duduk bersebalahan, liat-liatan, en baru ngomong masalahnya apa. 

You know what, ketika begitu, duduk sebelah-sebelahan en saling ngeliat, kalo akhirnya kata "Maap ya" keluar itu jauh lebih tulus en bener-bener dari hati. waktu itulah gue inget kata-kata Yahya, dd gue. Iya ya, bener. Kalo mau minta maaf mesti menyentuh dulu, mesti liat wajahnya dulu, ketika akhirnya kata maap itu keluar, itu bener-bener minta maap dan bukan sambil lalu. Coz ketika loe berhadapan muka dengan muka en loe masih sebel ama org itu, loe bakal susah banget untuk bilang, “Maap ya” 

2. Jangan hanya katakan, “MAAP YA” 
Kita berdua saat teduh dengan buku saat teduh utk pasangan. Yang menarik adalah ketika 1 hari yang dibahas adalah forgiveness. Penulis buku itu, David Ferguson menulis begini,
“I’ve discovered that saying ‘I was Wrong’ is much better than ‘I am sorry’. Saying the word wrong conveys more personal responsibility, remorse and repentance. The word confess means “to agree with God that what I’ve been doing is wrong.”
(Saya baru menemukan bahwa mengatakan, “Aku salah” lebih baik daripada “Maafkan aku”. Mengatakan kata “SALAH” artinya mengakui tanggung jawab pribadi, penyesalan dan pertobatan. Kata mengakui artinya setuju dengan Tuhan bahwa apa yang saya lakukan itu salah.) 
Wow... dalem kan. Selama ini kita cuman berhenti di kata, “Maap ya,” tapi kita ngga berani maju lebih lanjut dengan memikul tanggung jawab. “Gue salah.” Gue en Tepen malah biasanya dilanjutkan... “Maap, hun, aku salah. Tadi aku ngga semestinya bicara kasar sama kamu. Aku salah karena aku banting pintu. Aku salah karena aku ngga menghargai kamu.” 

Bilang begitu... BERAT BGT... tapi itu menyembuhkan. Itu menyembuhkan Tepen krn dia tau bahwa gue tau apa yang menyebabkan dia sedih. En itu menyembuhkan gue, krn gue jadi sadar di bagian mana gue salah!!

3. Selangkah lebih lanjut. Lanjutkan dengan. “Will you forgive me?” 
Setelah kita ngaku salah dan salahnya dimana , selanjutkan kita mestinya tanya, “Will you forgive me?” 

Masih dari buku yang sama,
Next, I must ask the question. “Will you forgive me?” this brings closure to the issue. The vulnerability is takes for me to ask this question demonstrates my humility and it also challenges Teresa with her decision to forgive.  
(selanjutnya, saya harus bertanya “Maukah kamu memaafkan aku?,” ini membawa penutupan pada masalah. )
En... gue susah menerjemahkan kalimat berikutnya hahaha. Pokoknya intinya, ketika kita mengatakan itu, itu membuat kita jadi keliatan ‘mudah diserang’ en itu menunjukkan kerendah hatian kita en sekaligus juga menantang Teresa untuk memaafkan. 

Ini mungkin kalimat yang HAMPIR TIDAK PERNAH KELUAR ketika kita minta maaf. :p Karena tanpa sadar kita berpikir, “Kalo gue dah minta maaf, maka loe HARUS memaafkan gue. Kan gue dah minta maaf. Loe mau apalagi?” 

But itu salah guys. Ketika kita berpikir begitu, kita juga ngga tulus... Kita harus merendahkan diri kita, mengakui bahwa kita salah, en memohon kesediaan orang yang kita sakiti untuk memaafkan kita. Itu baru bener-bener minta maap. 

BERAT?? Banget. Tapi itu menyembuhkan. Berkali-kali dalam konflik gue dan Tepen, ketika kita minta maaf dengan posisi yang tepat, mengakui kesalahan kita en selanjutnya memohon supaya Tepen memaafkan gue or vice versa, ketika akhirnya kita keluar, we’re done. Kita udeh selesai. Ngga ada lagi rasa amarah yang dipendam. Ngga ada lagi rasa sakit yang diungkit. 

Ini berat tapi itu menyembuhkan. Wanna try? 

(sumber: The One Year Devotions for Couples. David & Teresa Ferguson)

Friday, July 7, 2017

God, I hurt



by Sarah Eliana

Ladies,
Hari ini aku mau share puisi yang sangat meaningful ini. Semoga teman–teman diberkati :)

GOD, I HURT
-Author Unknown-

I said, "God, I hurt."
And God said, "I know."
I said, "God, I cry a lot."
And God said, "That's why I gave you tears."

I said, "God, I'm depressed."
And God said, "That's why I gave you sunshine."

I said, "God, life is so hard."
God said, "That's why I gave you loved ones."
I said, "God, my loved one died."
And God said, "So did mine."

I said, "God, it is such a loss."
And God said, "I saw mine nailed to a cross."
I said, “But God, your loved one lives."
And God said, "So does yours."

I said, "God, where are they now?"
And God said, "Mine is on My right side,"
And yours is in the light."

I said, "God it hurts"
And God said, "I know."


Berkatalah Yesus ... "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat,
Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku,
karena Aku lemah lembut dan rendah hati
dan jiwamu akan mendapat ketenangan sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan
Matius 11 : 28 - 30

Wednesday, July 5, 2017

The Samaritan Woman


by Sarah Eliana

Ladies, 
Ingatkah kalian pada wanita Samaria di Yohanes 4 :1-38? Let's refresh :) 

Wanita Samaria ini sedang mengambil air di sumur. Pada saat yang sama, Tuhan Yesus sedang berada di sumur itu juga. Ia kehausan dan minta air dari wanita Samaria ini. Wanita ini kaget, karena semua orang tahu siapa dia. She is a sinner. Punya suami 5, dan saat itu lagi hidup bareng ama cowok yang bukan suaminya. Orang-orang ngejauhin dia, tapi ini siapa? Kok berani-beraninya minta air dari dia?

Tuhan Yesus bilang, "I know you" (Aku mengenalmu). Jesus told her about herself. Beberapa menit bersama Yesus merubah hidup wanita ini. Ia menemukan kemurahan Tuhan. His grace, mercy, forgiveness, and salvation! Dia yang dijauhi semua orang, yang dianggap kotor, akhirnya menemukan pengampunan dari Sang Pencipta! Too good to be true? No!

Mungkin kita pikir, “Surely dosa cewek itu gak sebanyak dosa gw”, “Surely cewek itu gak sekotor gw!”, “Gw udah ngelakuin banyak hal yang jauh lebih najis daripada apa yang dilakukan cewek Samaria ini.”, “Gw udah ngelakuin banyak hal yang gak bisa diampuni.” But... guess what?! Yesus dapat dan mau mengampunimu!! Kemurahan-Nya melimpah untukmu! Ia mati menjadi penggantimu di kayu salib. Ketika engkau datang pada-Nya dan meminta-Nya untuk masuk ke dalam hatimu, engkau pun diampuni! Engkau bersih dari segala dosa! If you think it's not true, try Him! Berdoalah sekarang dengan hati yang tulus. Katakan pada-Nya engkau mau menerima pengampunan dari-Nya. Ketahuilah... saat ini juga engkau telah diampuni! Dia mengenalmu! Dia tahu pikiranmu yang terdalam. Ia tahu mimpi–mimpi dan cita–citamu. Ia tahu jumlah rambut di kepalamu! Ia tahu apa yang telah engkau lakukan di masa lalu...

Namun dengan senang hati, Dia membuka lengan-Nya jika engkau mau datang menghampiriNya. He sees what you will become: seorang wanita Allah yang bersih, warga negara Surga! Isn't that just simply amazing? So... what are you waiting for? Accept His grace and mercy before it's too late!

Here, listen to this song... listen to His heart. (Liriknya di bawah videonya yach =))


Verse 1:
The ones you love, they let you down
And I want you to know that I’m sorry
The choices that they made were wrong
You were caught in the middle and I’m sorry

So when the anger and the pain
Get the best of you
I know it seems like you're all alone
But I am feeling it too

Chorus:
'Cuz you're my little girl
You're the one that I created
No one in this world could ever be like you
When you're cryin' in the night
All you need to do is call me
I’ll be there for you
'Cuz you're my little girl

Verse 2:
When you're lookin’ in the mirror
I hope you're likin' what you see
Because no matter what you're feelin'
You're perfect to me

Because I see you as a child
Blameless in my sight
Just spend some time with me
And I'll make everything alright

(Back to Chorus)

Bridge:
I know you don't deserve what you've been through
I know it doesn't seem fair
I know that there are times you think you're alone
But you've got to know that I will be there, be there

(Back to Chorus)

Monday, July 3, 2017

Displaying God's Goodness through Forgiving Others



by Sarah Eliana

Forgiving. Memaafkan. Mengampuni. Easier said than done. Siapa yang gak pernah dikecewakan orang lain? Siapa yang gak pernah marah sama orang lain? I'm sure semua kita pernah ngalamin. Kita semua pernah disakiti, pernah dikecewakan, dan kita juga pernah memaafkan orang, tapi kita juga pasti pernah gak memaafkan orang lain. Betul, kan?

Memaafkan adalah pilihan. Memaafkan itu komitmen. Kita pasti pernah, deh, ngomong, "Gw gak bisa deh maafin dia. Kesalahannya terlalu besar. Gw terlalu disakiti". Tapi sebenernya, if you dig deeper, omongan itu lebih betul berbunyi begini, "Gw gak MAU maafin dia karena MENURUT GW kesalahannya terlalu besar". Dapatkah kita memaafkan? YES! Maukah kita memaafkan? Kadang–kadang, tapi terkadang kita ogah memaafkan. 

Hendaklah kalian baik hati dan berbelaskasihan seorang terhadap yang lain, dan saling mengampuni sama seperti Allah pun mengampuni kalian melalui Kristus.
Efesus 4 : 32

Mengampuni itu perintah dari Tuhan. Tuhan gak pernah bilang "ampuni kalo kesalahannya kecil" atau "ampuni kalo kamu gak terlalu disakiti". Ada unconditional love, ada juga unconditional forgiveness!! Tuhan cuman bilang "ampuni sama seperti Allah mengampuni melalui Kristus". Menurutku, kata-kata ini sangat luar biasa. Kenapa? Karena sebesar-besarnya kesalahan orang lain kepada kita, kesalahan itu tidaklah lebih besar daripada kesakitan yang kita lakukan terhadap Tuhan. Melalui ayat ini, Tuhan berkata "ampunilah mereka karena engkau, seorang pendosa, pun telah diampuni".

Tapi toh, biarpun Tuhan udah ampuni kita, biarpun kita udah merasakan kasih karunia Tuhan, tetap aja rasanya susah sekali mau menjulurkan kasih karunia itu ke orang lain. Ya, kan? Aku tahu karena aku juga sering begitu. Dan kalo udah berpikir demikian, kuingat lagi omongan Tuhan Yesus dengan Petrus di Matius 18 : 21 - 22

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus:

"Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?"

Yesus berkata kepadanya:

"Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.

Tujuh puluh kali tujuh kali. Dulu waktu masih di sekolah minggu, aku pikir maafin orang cuman perlu 490 kali! hehehe... Jadi waktu adikku lagi rese, aku itungin udah berapa kali aku maafin dia. BWAHAHAHAHAHAHA -.-" 

Aku punya pengalaman pernah disakiti orang... suaaakkiiiiittt sekali. Maunya sih, marah terus. Tapi pada akhirnya aku harus mengampuni dia karena mengampuni adalah perintah Tuhan. Ditambah lagi, aku gak mau bertumbuh jadi orang yang penuh kepahitan.

Nah, masalahnya adalah walaupun aku udah mengambil keputusan untuk mengampuni orang itu, rasa marah, sakit, dan kecewa itu gak hilang begitu aja. Ada saatnya aku teringat lagi kesalahannya, dan aku marah lagi. Dan pada saat itu, aku harus berdoa lagi, dan maafin dia lagi. Dan kurasa, itulah salah satu maksud Tuhan Yesus. Forgiveness is a process. Ada saatnya kita bisa maafin orang, dan langsung gak teringat–ingat lagi kesalahan itu. Tapi ada juga saatnya kesalahan itu teringat-ingat lagi. Dan saat itulah kita harus ingat perkataan Tuhan Yesus "...tujuh puluh kali tujuh kali".

Walaupun orang itu melakukan kesalahan hanya satu kali, tapi kita yang harus memutuskan untuk mengampuni lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai pada akhirnya kita bisa memaafkan dan gak mengingat-ingat lagi. Tujuh puluh kali tujuh kali. Unfailing forgiveness. Di saat seperti inilah komitmen kita untuk memaafkan diuji. Apakah kita betul - betul mau memaafkan? Kalo betul mau memaafkan, ya kita harus terus memaafkan. Stay committed to forgive! Gimana denganku sekarang? Well, setelah 12 tahun, akhirnya aku bisa katakan bahwa aku telah memaafkan orang itu dan tidak mengingat-ingat lagi kesalahannya :) 

Memaafkan itu gak gampang. Susaaaahhh banget, dan prosesnya kadang-kadang panjaaaannggg. Tapi, waktu kita memilih dan terus komit untuk memaafkan maka kita akan bertumbuh di dalam Kristus. Kita gak bisa memaafkan tanpa pertolongan dan kasih setia dari Tuhan. First of all, kita mengampuni karena ada kasih Tuhan dalam diri kita dan dengan memaafkan orang lain, we are displaying God's goodness. Walaupun memaafkan itu perintah, tapi Tuhan gak akan tinggalkan kita begitu aja. Just like He authors our faith, He too will help us to forgive. He will walk by our side, and hold our hands as we walk down the path of forgiving others. Dan waktu kita rasa kita maju dua langkah and mundur tiga langkah, He continues to nudge us, even carry us on His shoulders. Waktu kita ngerasa capek dalam memaafkan orang lain, ada kekuatan baru dari Tuhan:

Orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN
mendapat kekuatan baru
mereka seumpama rajawali yang naik terbang
dengan kekuatan sayapnya
mereka berlari dan tidak menjadi lesu,
mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.
Yesaya 40 : 31

So... keep at it. Stay committed. =)