by Tabita Davinia Utomo
Ketika masih kecil, setiap kali pergi ke sebuah tempat, saya suka sekali mencari tahu apa saja yang ada di sana. Ketika keluarga kami bepergian, Nenek bahkan pernah menyarankan agar Mama mengikat saya dengan semacam tali laso. Tentu saja agar saya tidak pergi sesukanya sendiri, meskipun waktu itu saya masih berusia 2,5 tahun.
Bagi saya, banyak hal yang ingin saya eksplor di tempat baru, tapi belum tentu orang tua saya mengijinkan atau mau menemani ke sana. Kalau begitu, bukankah pilihannya pergi diam-diam sendirian?
Sebagai anak-anak Tuhan, kita juga sering melakukan hal yang sama. Kita merasa ingin melihat “dunia luar”, meskipun resikonya adalah jauh dari Allah, Bapa kita. Kita menganggap “berpetualang” itu baik untuk kita, tapi ternyata belum tentu demikian. Setelah itu, kita ragu untuk bertobat karena kita menganggap diri kita sudah terlalu kotor. Bisa dibilang, “Karena udah rusak, jadi bablasin aja sekalian.” Benar atau tidaknya pemikiran tersebut akan terjawab melalui perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Sebelum membaca artikel ini lebih lanjut, Pearlians dapat membaca artikel Ci Benita mengenai domba yang hilang untuk memperoleh gambaran tentang siapa saja yang mendengarkan pengajaran Yesus ini.
Pada jaman Yesus, ada dua kelompok besar di masyarakat yang sangat bertolak belakang. Siapa lagi kalau bukan orang Farisi dan ahli Taurat vs. pemungut cukai dan orang berdosa. Lewat perumpamaan anak yang hilang, Yesus menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sama-sama berdosa di hadapan Allah. Kenapa bisa begitu?
1. Anak bungsu menggambarkan mereka yang memang berniat meninggalkan ayahnya.
Apa tandanya? Pertama, anak bungsu meminta hak waris sementara ayahnya belum meninggal. Ini sesuatu yang bisa dibilang sangat kurang ajar. Bagaimana bisa ada seorang anak yang tega meminta haknya, bahkan sebelum orang tuanya meninggal? Tapi inilah yang dilakukan sang anak bungsu itu.
Setelah mendapat warisannya, Anak Bungsu menjual harta warisan itu. Mungkin harta yang dia dapat adalah investasi keluarga seperti ternak, emas, atau tanah. Supaya dia punya fresh money, harta itu harus dijual. Mungkin pula Anak Bungsu benar-benar ingin putus hubungan dengan ayahnya. Jika warisannya tidak dijual, bisa jadi Anak Bungsu masih perlu menitipkan ternak atau tanah yang dia terima pada ayahnya. Jika tidak dijual, “koneksi” dengan ayahnya masih diperlukan.
Setelah mendapatkan uangnya, Anak Bungsu itu bahkan pergi “ke negeri yang jauh”. Tidak dijelaskan kemana persisnya, tapi Yesus menggunakan frase ini untuk menegaskan bahwa Anak Bungsu tidak lagi ingin bertemu dengan ayahnya. Bahkan setelah bencana kelaparan melanda di sana (dan membuatnya melarat), anak itu justru memilih jadi penjaga babi—pekerjaan yang sangat najis karena orang Yahudi mengharamkan babi.
Tapi walaupun sudah pergi sejauh mungkin, Anak Bungsu tetap mengingat ayahnya. Ia ingat bagaimana ayahnya memperlakukan hamba-hambanya dengan layak, tidak seperti bagaimana dia diperlakukan saat menjadi penjaga babi. Merindukan kasih ayahnya Anak Bungsu memutuskan pulang. Ia mendapat sambutan hangat dan penerimaan dari ayahnya.
2. Anak Sulung tidak sepenuhnya mengenal ayahnya—yang ternyata sangat berhati lembut dan penuh kasih— juga tidak mengasihi adiknya sendiri.
Setelah melihat adiknya disambut dengan meriah, Anak Sulung protes kepada ayahnya. Dia merasa tidak dikasihi seperti adiknya. Padahal, ayahnya juga mengasihi Anak Sulung dengan kasih yang sama. Anak Sulung beranggapan bahwa dia harus bekerja keras untuk membuat ayahnya senang dan menghargainya, sementara adiknya—yang mempermalukan mereka—memperoleh sambutan yang seharusnya ia terima. “Ini tidak adil!” demikian kira-kira ungkapan yang menggambarkan kekesalannya.
Dari perumpamaan di atas, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, tidak ada seorangpun yang benar di hadapan Allah (Roma 3:10), literally. Hanya karena anugerah-Nya kita digerakkan untuk bertobat dan melakukan apa yang Allah kehendaki. Ketika kita memahami hal ini, mungkin ada beberapa pertanyaan yang bisa kita renungkan bersama:
“Apa aku merasa kehilangan arah hidupku?”“Apakah aku memang sudah mengenal Allah dengan sungguh-sungguh?”“Apakah aku masih sering menganggap diriku lebih layak memperoleh berkat Tuhan dibandingkan orang lain—yang (mungkin) hidupnya tidak lebih baik dariku?”“Apakah aku merasa bahwa Tuhan mengekangku, meskipun Alkitab menunjukkan apa yang dilakukan dan diberikan-Nya adalah untuk kebaikanku?”
Kiranya masa pandemi ini menolong kita untuk berefleksi seberapa jauh kita mengenal Allah sebagai satu-satunya Pribadi yang setia menunggu kita pulang ke dalam pelukan-Nya.
NB: Pearlians dapat berefleksi juga melalui artikel ini.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^