Monday, March 30, 2020

Tidak Dibiarkan-Nya Kehilangan Iman



by Tabita Davinia Utomo

Bulan lalu, kelas saya membahas tentang providencia ilahi (divine providence, atau pemeliharaan dan penyertaan Allah). Sebelum kelas selesai, saya sempat bertanya pada sang dosen, “Bagaimana jika ada orang percaya yang murtad? Apakah orang itu akan auto kehilangan providencia Allah?”

Kemudian beliau menjawab, “Yah… kita tidak tahu. Mungkin saja suatu saat nanti dia bertobat—bahkan di detik-detik akhir hidupnya. Tapi satu hal yang jelas, kalau dia benar-benar anak Tuhan, maka Tuhan tidak akan membiarkan dirinya kehilangan iman. Artinya, providencia ilahi itu tetap ada bersamanya karena Tuhan tetap mengintervensi hidupnya. Bukankah Petrus pun mengalami hal yang sama?”

Iya, ya. Mungkin kalau kita berada dalam posisi terdesak seperti Petrus, rasanya menyangkali Yesus, Guru yang fenomenal saat itu, adalah pilihan satu-satunya agar tetap bertahan hidup. Kalau tidak, kita bisa ditangkap—bahkan ikut dihukum mati bersama-Nya sebagai pemberontak!

Padahal sebelumnya, dengan berani dia berkata pada Yesus (mungkin sambil menunjuk ke arah para murid yang lain),

"Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak."
(Matius 26:33)

Pada kenyataannya, Petrus membuktikan perkataannya. Well, setidaknya hanya dia dan Yohanes yang berani mengikuti kepergian Yesus ke rumah Imam Besar Kayafas setelah Dia ditangkap (Yohanes 18:15-16). Tapi tiba-tiba, ada seorang hamba perempuan yang berujar,

“Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu."
(Markus 14:67)

Menyadari identitasnya yang ketahuan, Petruspun menyangkalnya,

“Aku tidak tahu dan tidak mengerti apa yang engkau maksud."
(Markus 14:68)

Namun ada orang lain yang juga mulai mencurigainya sebagai murid Yesus,

“Engkau juga seorang dari mereka!”
(Lukas 22:58a)

Lagi-lagi Petrus menjawab (mungkin sambil berusaha mengenyahkan semua memorinya bersama Sang Guru),

“Bukan, aku tidak!”
(Lukas 22:58b)

Kecurigaan orang-orang di sekitarnya semakin terbukti melalui gaya bahasa Petrus—mungkin logatnya yang khas sebagai orang Galilea. Merekapun berkata,

“Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu.”
(Matius 26:73)

Kali ini, Petrus tidak bisa berkutik lagi. Posisinya sudah terpojok. Akhirnya dia mengutuk dan bersumpah,

“Aku tidak kenal orang itu.”
(Matius 26:74a)

… dan ayampun berkokok pada saat itu juga.
(Matius 26:74b)

Berkokoknya ayam setelah tiga penyangkalan terhadap Yesus membuat Petrus teringat pada apa yang Sang Guru katakan kepadanya, tepatnya setelah Petrus berkata ingin menjadi “pahlawan” dengan menyerahkan nyawanya bagi-Nya,

“Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”
(Yohanes 13:38)

Tidak heran jika setelah itu, saat Yesus memandang Petrus (Lukas 22:61a), “ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.” (Lukas 22:62)

Jika saat ini kita mengatakan bahwa Petrus adalah salah satu rasul terbesar sepanjang sejarah Kekristenan, kita juga harus mengingat titik terendah kehidupannya saat menyangkal Yesus. Ya, salah satu murid pentolan di “STT Tuhan Yesus” selama tiga tahun siang dan malam (demikian penggambaran yang digunakan dosen saya yang lain) ini ternyata jugalah manusia yang rapuh… sama seperti kita.

“Tapi kenapa Tuhan masih mau memakai murid durhaka ini untuk melayani-Nya, bahkan mengadakan “percakapan khusus” seperti di Yohanes 21:15-19!?”

Sederhana saja: karena Tuhan memang ingin memakai Petrus untuk melayani-Nya, maka Dia tidak membiarkan murid-Nya ini kehilangan iman kepada-Nya.

Tuhan tahu persis dinamika iman Petrus, begitu pula Dia terhadap kita. Tuhan tahu bahwa sebagai manusia, kita mengalami naik-turunnya hidup—termasuk dalam pergumulan iman. Well, itu salah satu bukti kasih-Nya kepada kita, bukan? Jika demikian, kenapa kita masih gengsi untuk mengakui kerapuhan kita di hadapan-Nya?

“Kalo Dia memang mahatahu, kenapa kita harus repot-repot berdoa? Toh, Dia berdaulat untuk mengeksekusi kehendak-Nya tanpa kita harus bersusah payah bertanya!”

Apakah fungsi doa hanya sebatas bertanya kepada Tuhan dan memberitahu-Nya apa yang kita butuhkan? Tidak. Doa adalah sarana kita berelasi dengan Tuhan, sehingga apapun bisa kita curahkan kepada-Nya—sebagai bentuk ungkapan syukur atas keselamatan yang diberikan-Nya kepada kita. Artinya, meskipun Dia adalah Tuhan yang mahatahu, Dia tetap ingin kita membangun relasi dengan-Nya… termasuk saat iman kita justru sedang mempertanyakan kedaulatan-Nya. Plus, mungkin perkataan Ibu Inawaty Teddy ini bisa menjadi refleksi kita:

“Kedaulatan dan anugerah Allah tidak menghilangkan tanggung jawab manusia.”

Tidak apa-apa jika saat ini kita sedang merasa kehilangan arah.

Tidak apa-apa jika saat ini kita meragukan kehadiran Tuhan dalam hidup kita.

Mungkin keduanya Tuhan izinkan terjadi untuk menyadarkan kita bahwa rencana manusia tidak bisa menyamai rencana-Nya—yang tingginya tidak tergapai itu.

Mungkin ketika kita tidak sanggup lagi untuk melangkah,

Tuhan sedang menggunakan momen pause ini untuk membuat kita mengenal diri-Nya—yang selama ini tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

... karena providencia Allah tidak pernah membiarkan umat pilihan-Nya kehilangan iman.

Apakah kita termasuk di dalamnya?

I touch the sky when my knees hit the ground
– Hillsong

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^