by Yunie Sutanto
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
(Matius 7:1)
Yesus memberikan larangan tegas pada perilaku yang satu ini: menghakimi. Kata menghakimi berasal dari kata Yunani “krino” yang berarti menilai, mengritik, atau menentukan benar dan salah.
Orang yang melakukan penghakiman, memosisikan dirinya ke dalam kelas yang lebih tinggi dibanding orang yang dihakimi. Saat kita menghakimi orang lain, kita menempatkan diri kita lebih superior dari orang tersebut. Kita menjadi pihak berwenang yang memutuskan dan menilai, seperti hakim yang memang bertugas memutuskan perkara dan menyatakan vonis kepada terdakwa, berdasarkan hukum dan peraturan perundangan. Sikap meninggikan diri seperti inilah yang tidak dikenan Tuhan Yesus.
Firman Tuhan berkali-kali memberikan peringatan tentang penghakiman. Ada beberapa alasan yang bisa kita simpulkan mengapa Tuhan melarang kita menghakimi. Yuk, kita gali lagi apa kata-Nya.
Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya. Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
(Yakobus 4:11-12)
1. MENGHAKIMI = MEMFITNAH
Dalam suratnya, Rasul Yakobus menyamakan menghakimi dengan memfitnah. Sering sekali kita menilai seseorang hanya dengan dugaan, atau fakta-fakta yang tidak menyeluruh. Akibatnya, penilaian kita yang belum tentu benar justru menjadi kebohongan yang menyebar. Inilah fitnah. Betapa berdosanya sikap menghakimi.
2. MENGHAKIMI BERARTI MEREBUT PEKERJAAN TUHAN
Rasul Yakobus juga menjelaskan bahwa Allah melarang kita menghakimi, karena itu bukan tugas kita. Ketika kita menghakimi, kita sedang merebut pekerjaan Allah sebagai satu-satunya Pembuat hukum dan Hakim. Dengan kata lain, kita sedang bertindak sebagai Tuhan. Padahal, siapakah kita? Hanya sesama umat manusia.
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”
(Matius 7:1)
3. MENGHAKIMI ORANG LAIN MEMBAWA PENGHAKIMAN BAGI DIRI SENDIRI
Versi IBIS dari Matius 7:1 mengatakan ”Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi oleh Allah.” Ini sangat mengerikan bukan? Saat kita menghakimi orang lain, saat itu pulalah diri kita terbuka untuk dihakimi oleh Allah. Saat tangan kita melempar batu untuk menghukum orang lain, saat itulah Roh Kudus ingatkan tentang banyaknya batu- batu yang juga layak untuk dilemparkan terhadap kita. Ukuran yang kita pakai untuk mengukur hidup orang lain akan diukurkan kepada kita oleh Allah. Tuhan Yesus pun mengajarkan dalam doa Bapa Kami bahwa kesalahan kita akan diampuni oleh Tuhan seperti kita mengampuni kesalahan orang lain terhadap kita.
4. KITA TIDAK BISA MENGHAKIMI DENGAN ADIL
Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.
(Yohanes 7:24)
Penghakiman yang adil hanya mungkin ketika kita tahu semua fakta. Hanya Tuhan Yesus yang bisa melihat yang tidak nampak, yakni isi hati dan motivasi seseorang. Dengan keterbatasan manusia, kita seringkali subjektif dalam menilai orang lain hanya berdasarkan apa yang tampak saja. Kita tidak bisa melihat “the big picture and the whole story”.
Misalnya, saat saya menganggap orang lain sombong dan tak sopan hanya karena yang bersangkutan tidak membalas sapaan saya berpapasan, saya sudah menghakiminya. Kenapa? Karena saya tidak pernah bertanya apa alasannya. Padahal, di kemudian hari baru saya tahu bahwa penglihatan orang itu sangat buruk dan pendengarannya pun kurang pada telinga kiri. Itulah yang membuatnya sering tidak melihat jika ada yang melambai dari kejauhan, juga tidak mendengar jika tidak disapa dari arah kanan. Betapa malunya saya sudah salah sangka dan justru bergosip tentang dia yang pada akhirnya menjadi fitnah.
Hindari hidup dengan asumsi dan penghakiman karena “keadilan versi kita” sangatlah terbatas. Ibarat kamera hitam putih yang tidak bisa merekam seluruh pigmen warna, sudut pandang kita sangatlah terbatas.
5. KITA JUGA MELAKUKAN DOSA, SEPERTI MANUSIA LAIN
Kita adalah juga manusia yang tidak sempurna. Kita punya sederetan kesalahan yang hanya oleh anugerah-Nya semata tertutupi dan diampuni. Ingat ketika orang Israel ingin melempar batu, Tuhan Yesus mengingatkan mereka bahwa mereka juga orang berdosa. Batu hanya boleh dilempar oleh orang-orang yang tidak punya dosa.
Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.
(Roma 2:1-3)
Kita semua berdosa, hanya dosanya saja yang berbeda. Satu orang mungkin bergumul dengan dosa karena mulutnya, yang lain dosa karena uang, lainnya lagi karena emosi. Saat satu jari menunjuk kepada orang lain, ingatlah selalu masih ada tiga jari yang menunjuk kepada diri sendiri.
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.
(Matius 7:2-5)
Ketika kita menghakimi orang lain tanpa mawas diri tentang kesalahan sendiri, Firman Tuhan menyebut kita sebagai orang munafik.
Lalu bagaimana agar kita tidak semudah itu menghakimi orang lain?
Kalau memang kita mendapati sesama kita melakukan kesalahan, Yesus ingin kita tidak kehilangan kasih, dengan cara menegurnya secara pribadi.
“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatnya kembali.”
(Matius 18:15)
Dengan memberikan teguran secara langsung, kita akan bisa melihat permasalahan langsung dari tangan pertama. Kita terhindar dari asumsi dan dugaan. Kita tidak sedang memfitnah. Tuhan juga ingin teguran kita diakhiri dengan nasihat agar sesama kita bertumbuh dan berubah, bukan sekedar menyalahkan orang lain.
Semua itu tidak akan mungkin jika kita tidak memiliki kerendahan hati dan kasih Allah. Kasih Allah menutupi pelanggaran, mengampuni tanpa batas dan memberi kesempatan untuk pertobatan. Sikap hati yang mengasihi sesungguhnya adalah lawan dari sikap hati menghakimi. Saat kita menghakimi orang lain, kita tidak punya ruang untuk mengasihi orang tersebut.
Semakin kita mengalami kasih Tuhan, kita akan semakin dimampukan melihat orang lain dari kacamata Tuhan. Let us choose love, not judgement!
Amen, manusia sombong, merasa superior dibandingkan yg lainnya. Padahal sesama manusia 😣 Tuhan yg tahu semuanya, dialah Hakim yang adil.
ReplyDeleteTrimss refleksinya... kalau kita menghakimi orang lain, sepertinya kita juga telah mengkritik pencipta-Nya ya...
ReplyDeleteLalu menjadi bahan perenungan juga ya... apakah dengan dikritik orang tersebut bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya? Kalau tujuan kita mau membantu orang tsb, apakah perlu dg kritik?