Friday, July 22, 2016

Ketika Aku Marah

by Tabita Davinia

Siapapun pasti pernah marah. Entah karena keinginan yang nggak dibolehin sama ortu, melihat pasangan sedang jalan sama lawan jenis (apalagi kalau si pengamat itu orang yang posesif), kerjaan semakin menumpuk, teman kita berbohong... dan masih ada segudang alasan kenapa kita marah. Benar, kan?

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita meluapkan kemarahan itu? Apakah kita akan meluapkannya dengan membanting pintu, menggebrak meja, mengumpat-umpat (atau mungkin memelesetkan kata-kata kasar), diam seharian, mogok makan, atau menghilang dari peredaran sosial (baca: nggak nongol di mana-mana)? Dan apakah Tuhan berkenan dengan semuanya itu? Kita tahu jawabannya.

Bayangkan kalau Tuhan Yesus menjadi marah kepada orang-orang yang mengolok-olok-Nya saat Dia disalibkan. Mungkin Dia akan memerintahkan malaikat-malaikat untuk membebaskan-Nya, lalu membunuh setiap orang yang mengejek-Nya. But He didn’t. Sebaliknya, Tuhan Yesus justru berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Sikap seperti inilah yang harus kita teladani. Daripada mengumpat-umpat tentang orang yang membuat kita kesal, lebih baik kita cooling down dengan mendoakannya. Sulit? Ya! Tapi dengan melepaskan pengampunan, kita pun akan jadi merasa tenang.

Bahkan Paulus, dalam Galatia 5:22—23, menuliskan tentang salah satu unsur dari buah Roh yang harus kita miliki, yaitu penguasaan diri. Ya, sebagai anak-anak Tuhan, kita seharusnya lebih bisa mengontrol kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu malah mengundang si jahat untuk menjatuhkan kita.

Di dalam suratnya yang lain, Paulus juga mengatakan agar “... hendaklah amarahmu padam sebelum matahari terbenam”. Menurutku, dia sebenarnya ingin mengatakan agar kita tidak terus-menerus menyimpan kemarahan kita. Bayangkan kita merasa sangat kesal dengan seseorang, lalu kita mendiamkannya seharian. Tentu lama-kelamaan rasanya jadi nggak enak. Dia mungkin merasa nggak ada yang harus diselesaikan, tapi kita malah “dihukum” kemarahan kita sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat marah kepada sahabatku karena sebuah masalah (aku lupa apa masalahnya haha). Tapi gara-gara masalah itu, aku jadi kesal sendiri, lalu melemparkan boneka pemberiannya. Ternyata, sahabatku juga ikutan marah dan memukul lantai kamarnya. Hm, kesannya jadi seperti sinetron, ya. Tapi begitulah. Walaupun aku telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kami, tapi saat itu aku seolah-olah mengabaikan-Nya. Aku nggak tahu apa yang Dia pikirkan saat aku menangis setelah melempar bonekaku. Mungkin Dia berpikir, “Duh, bukannya Aku pernah mengajarimu bagaimana harus menguasai perasaanmu? Dan bukannya kamu yang dikendalikan olehnya?”. Setelah menangis, aku mencoba untuk menata perasaanku, lalu melakukan rekonsiliasi dengan sahabatku. And thanks God, the problem had been solved :)

Salahkah kita marah? Selama ada alasan yang jelas, sebenarnya tidak apa-apa kalau kita marah. Tapi akan lebih baik kalau kita segera menyelesaikan pemicu kemarahan kita itu. Berdamai dengan masalah akan membuat hatimu jadi lega :) Ingat, walaupun kita telah diselamatkan dari hukuman kekal (alias maut), tapi kita akan tetap bergumul melawan dosa seumur hidup kita. Termasuk dalam hal kemarahan. Hendaklah kita terus meminta pertolongan Roh Kudus agar kita dimampukan untuk menguasai diri dari kemarahan yang menyala-nyala itu, dan agar Dia senantiasa menjagai kita dari si jahat yang akan terus mencari celah untuk menggoyahkan kita.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^