Friday, June 10, 2016

Celengan Berbagi dan Pohon Harapan

by Tabita Davinia


Saya mempunyai seorang teman kuliah yang jiwa sosialnya sangat tinggi. Saya nggak habis pikir, kenapa dia mau berbagi dengan anak-anak yang tidak sebahagia anak lainnya. Awalnya saya sempat berpikir, “Buang-buang waktu aja”. Tapi ternyata, WOW. Dia bisa menggerakkan banyak orang untuk berbagi lewat komunitas yang dia bentuk tahun lalu. Komunitas itu bernama Celengan Berbagi, dan sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia. Whoa!
Teman saya ini non-Kristen, namun saya sangat terinspirasi oleh dirinya maupun komunitas yang dibentuknya. Bahkan komunitas  ini didukung oleh teman-teman seangkatan saya—banyak di antara mereka yang tergabung dalam Celengan Berbagi. Mereka telah mengadakan berbagai kegiatan seperti menyumbang untuk berbagi nasi bungkus kepada kaum papa, seragam anak-anak di sekolah dasar di kota-kota lain, dan gerakan mengajar di sekolah maupun rumah ibadah mereka.

--**--

Setiap Natal, ada pohon tanpa daun yang diletakkan di halaman gereja saya. Pohon itu adalah pohon harapan, sebuah pohon yang di setiap rantingnya “memiliki” harapan dari anak-anak panti asuhan maupun dari yayasan Kristen lainnya. Dengan adanya pohon ini, diharapkan anggota jemaat mau memberikan hadiah Natal kepada anak-anak itu. Dan tanggapan jemaat pun positif, sehingga sejak beberapa tahun yang lalu selalu ada Pohon Harapan ini.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk mulai mengikuti kegiatan ini tahun lalu. Saya menyisihkan sebagain uang saku bulanan saya untuk membelikan hadiah Natal bagi anak yang saya pilih—tentunya yang sesuai dengan kemampuan saya hehe. Rasanya gembira sekali saat bisa memberikan sesuatu kepada orang lain di hari yang istimewa itu :)

--**--

Apakah memberikan sesuatu itu harus menunggu timing yang istimewa? Hm, saya rasa tidak—walaupun saat itu saya memang memberikan hadiah pada seorang anak panti asuhan saat hari Natal. Kita bisa memberikan apa yang orang lain butuhkan kapanpun dia membutuhkannya, dan saat kita memang bisa memberikannya. Kalau memang tidak bisa memberikan apapun, ya jangan memaksakan diri—apalagi kalau untuk dianggap orang yang (sok) dermawan. Kalau pun Tuhan meminta kita untuk memberikan apa yang orang lain butuhkan, Dia pasti akan mencukupkan kebutuhan kita juga :)

Ingatkah kalian tentang janda di Sarfat, yang ditemui Elisa? Janda itu hanya mempunyai persediaan makanan terakhir bagi dirinya dan anaknya. “Setelah kami memakannya, kami akan mati”, kata janda itu saat Elisa memintanya membuat roti dari persediaan mereka itu. Tapi Elisa berkata, “Buatlah dulu roti itu untukku, lalu buatlah roti untukmu dan anakmu. Tuhan akan mencukupkan persediaan makananmu sampai hujan turun lagi” (kurang lebih begitu kata-katanya). Janda itu pun menurut, dan Tuhan pun menepati janji-Nya. The widow and her child wouldn’t be starving anymore.

Dari dua kegiatan yang telah saya ceritakan itu, saya belajar bahwa berbagi itu bukan soal materi maupun soal aku-ingin-dianggap-dermawan-dan-suka-berbagi. Tapi soal hati yang tulus dan rindu untuk berbagi dengan orang lain. Dengan hati yang seperti itu, kita pun akan dimampukan Roh Kudus untuk berbagi, walaupun keadaannya tidak memungkinkan :)

Lagipula, berbagi bukan hanya soal hadiah atau barang. Berbagi pun juga bisa dalam hal lain. Misalnya, kita mau mendengarkan orang lain yang sedang curhat ke kita tanpa mengalihkan perhatian kita dari mereka. Kita juga bisa berbagi lewat tenaga kita—contohnya dengan menjadi guru sekolah minggu.

Tuhan Yesus pun telah memberikan teladan-Nya bagi kita dalam hal berbagi. Pertanyaannya adalah... maukah kita juga melakukan hal yang sama seperti-Nya? :) haruskah berbagi dengan terpaksa? Hm, kurasa tidak :) bagaimana denganmu?

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^