Thursday, April 28, 2016

Telur atau Kentang

by Glory Ekasari

Beberapa pembaca pasti pernah dengar tentang kasus telur dan kentang. Telur yang awalnya encer, kalau direbus, jadi keras. Sebaliknya, kentang yang tadinya keras, bila direbus jadi lembut. Metafor ini sering dipakai untuk menjelaskan dua macam orang. Tipe pertama adalah tipe telur: orang yang malah jadi keras hatinya setelah melewati masalah. Tipe kedua adalah tipe kentang: orang yang jadi lembut hatinya setelah melewati masalah.
PicMonkey Collage

Dalam hidup pengikut Kristus, kadang kita berbuat salah dan – seperti sewajarnya anak yang berbuat salah – mendapat disiplin dari Tuhan. Kalau orang tua di dunia aja tau bahwa anak harus didisiplin supaya setelah besar dia jadi orang yang baik, apalagi Tuhan. Jadi pendisiplinan terhadap anak yang bersalah adalah hal yang biasa dilakukan Tuhan. Alkitab kita mencatat orang-orang yang mengalami pendisiplinan dari Tuhan, tapi dengan respon yang berbeda-beda. Yang pertama adalah golongan telur, dan yang kedua adalah golongan kentang.

Semakin keras setelah didisiplin

Tokoh pertama yang termasuk golongan ini adalah Saul. Raja pertama Israel yang tinggi dan gagah ini (demikianlah disebut di Alkitab) mengalami pendisiplinan keras dari Tuhan ketika dia tidak menaati perintah Tuhan saat mengalahkan bangsa Amalek. Kesalahan Saul bukan penyimpangan moral, tapi Tuhan marah karena ini bukan pertama kalinya Saul seenaknya menjalankan perintah Tuhan. Dia menganggap penyimpangan itu bukan masalah besar.

Hukuman Tuhan atas Saul fatal: Tuhan mencopot dia dari jabatan raja. Secara de jure, Saul memang masih raja Israel, tapi Tuhan menarik Roh-Nya atas Saul dan dia jadi seperti raja bingung. Tapi bahkan setelah Tuhan menjatuhkan hukuman, Saul tidak memohon pengampunan dan tetap berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai raja. Ketika Tuhan memilih Daud untuk menggantikan dia, Saul berusaha mati-matian untuk membunuh Daud dan mempertahankan takhtanya. Usaha yang sia-sia, karena toh akhirnya Saul mati bunuh diri saat kekalahan pada orang Filistin sudah di depan mata.
Tokoh kedua – yang ternyata juga punya hubungan juga dengan Daud – adalah Salomo. Memulai pemerintahan sebagai raja yang diurapi Tuhan dengan kekayaan dan hikmat yang tersohor sampai ke Afrika, Salomo mengakhirnya dengan buruk. Ia ikut menyembah dewa-dewi para isterinya (yang jumlahnya ratusan) dan dengan demikian berkhianat kepada Tuhan yang telah memilihnya menjadi raja.

Hukuman Tuhan bagi Salomo adalah bahwa setelah ia mati, kerajaannya akan koyak menjadi dua bagian. Tuhan bahkan dengan tegas berkata bahwa Ia tidak memberi seluruh takhta Israel pada orang lain karena mempertimbangkan kesetiaan Daud, ayah Salomo – yang berarti tentunya Tuhan marah sekali pada Salomo. Tapi sekalipun demikian keras ditegur, Salomo tidak bertobat dan mohon pengampunan Tuhan; justru dia jadi marah dan berusaha membunuh Yerobeam, yang dinubuatkan akan menjadi raja sebagian besar suku Israel. Ironis sekali bahwa akhirnya justru anak Salomo sendiri yang mengambil keputusan bodoh yang menyebabkan Israel pecah menjadi dua kerajaan.

Bah, malah galakan dia.

Bah, malah galakan dia.
Kedua orang itu tidak menjadi lembut hati saat mereka didisiplin oleh Tuhan; sebaliknya, hati mereka semakin keras. Banyak orang seperti ini: gara-gara kesalahan mereka sendiri, mereka kena masalah; tapi setelah itu malah mereka marah-marah kepada Tuhan. Menurut mereka, Tuhan yang menyusahkan mereka, Tuhan yang bertanggung jawab atas masalah yang mereka hadapi, dan dengan segenap kemampuan mereka, mereka berusaha mencegah terjadinya kehendak Tuhan. Tentu saja sia-sia. Sampai matipun, Saul dan Salomo tidak bisa mencegah apa yang sudah Tuhan tentukan akan terjadi.

Semakin lembut setelah didisiplin

Mereka ini adalah orang-orang yang jadi rendah hati ketika menerima pendisiplinan dari Tuhan. Daftar orang-orang seperti ini tidak akan lengkap tanpa menyebutkan Daud. Bukan hanya sekali Daud dihajar oleh Tuhan karena berbuat kesalahan. Dan kesalahannya pun tidak biasa-biasa. Dia pernah berzinah dan membunuh, dan untuk itu Tuhan menghukum dia dengan mengambil anaknya yang baru lahir. Dia juga pernah menyombongkan diri atas banyaknya jumlah pasukannya; akibatnya, Tuhan menulahi orang Israel sehingga ribuan dari antara mereka tewas.

Tapi setiap kali Daud dihukum oleh Tuhan, ia serta merta merendahkan diri, memohon belas kasihan Tuhan, mengakui dosanya, dan menerima hukuman Tuhan dengan rendah hati. Dan Tuhan yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia itu selalu mengasihani dia. Bahkan Tuhan menyebutnya “Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku.”

Contoh yang kedua adalah Musa. Empat puluh tahun lamanya Musa memimpin orang Israel yang “tegar tengkuk” (bayangkan orang yang tengkuknya disabet pun tetap berkeras melakukan apa yang dia inginkan!) dan selalu menjadi sasaran keluhan dan rengekan mereka. Berkali-kali Musa memohon pada Tuhan agar jangan meluapkan murka-Nya atas orang Israel. Tidak heran Musa disebut “orang yang paling lembut hatinya di muka bumi.”

I'm sorry.

I’m sorry.
Tapi sekali waktu ketika Musa kehilangan kesabaran (katanya, kesabaran orang ada batasnya, ‘kan?), dia memukul ceruk batu dan bukannya berbicara pada ceruk itu sebagaimana yang diperintahkan Tuhan. Sepertinya bukan hal besar, ya? Tapi karena hal itu, Tuhan menghukum dia dan menyatakan bahwa dia tidak akan masuk ke tanah perjanjian. Apa?? Setelah 40 tahun mengurus bangsa yang begitu rewel di padang gurun?! Tapi herannya, Musa sama sekali tidak mengeluh. Dia sepertinya sadar apa yang membuat Tuhan marah dan menghukumnya. Menjelang kematiannya, Musa sempat “nego” Tuhan agar mengizinkan dia masuk ke tanah perjanjian, tapi sekali lagi Tuhan menolak. Dan Musa tidak rewel. Dia menaati keputusan Tuhan dan menemui ajalnya di gunung Nebo.

Jadi kita termasuk yang mana?

Alkitab suka menggambarkan Tuhan sebagai orang tua yang mengasihi kita. Kalau kita, anak-anak-Nya, berbuat salah, Dia akan mendisiplin kita – sebagaimana orang tua yang baik mendisiplin anaknya. Bagaimana respon kita setelah didisiplin, itu tanggung jawab kita. Banyak orang menyalahkan “didikan orang tua yang terlalu keras” waktu mereka kecil, yang “membuat” mereka jadi orang yang tidak baik saat mereka dewasa. Tapi ada juga yang berterima kasih karena orang tua mereka mendidik mereka dengan keras saat mereka muda, sehingga ketika mereka besar mereka menjadi orang yang bertanggung jawab.

Nah! Kita pilih sekarang, apakah kita mau semakin lembut setelah didisiplin, seperti Daud, Musa, dan pahlawan-pahlawan iman lainnya, atau kita mau mutung di tengah jalan seperti Saul dkk? Pilihan ada di tangan kita.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^