Thursday, August 6, 2015

Marriage is a Verb, Not a Noun!

by Indri Kristanti  |  Majalah Pearl #03

Setiap wanita single pasti pernah memimpikan sebuah pernikahan yang indah seperti di dongeng-dongeng masa kecil, di mana suatu hari dia bertemu dengan pangeran kuda putihnya dan pangeran tersebut menikahinya, kemudian ... Happily ever after. Nah di dongeng kan gak pernah diceritakan bagaimana kelanjutan pernikahan putri dan pangeran tersebut. Makanya gak heran wanita single ingin segera menikah, supaya segera hidup bahagia selamanya, berpikir bahwa setelah menikah hidup akan lebih enak, lebih terjamin, bebas dari masalah keluarga, dan seterusnya.

Memang gak salah 100% sih impian tersebut, tapi... Ada yang perlu para single ketahui bahwa sebuah pernikahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal dari kehidupan yang baru. Kalau ada teman menikah kita selalu menulis, “selamat menempuh hidup baru.” saat menulis dulu, terus terang saya belum tahu benar maksudnya, saya nulis kalimat tersebut karena kebiasaan aja hehehe ... Setelah saya menikah baru benar-benar tahu maksud dari ucapan tersebut. Ternyata memang pernikahan itu adalah sebuah lembaran kehidupan yang baru yang berbeda dengan masa single.

Pernikahan tidak hanya dibangun atas dasar cinta, “pokoknya saya sudah cinta mati sama dia, saya gak bisa hidup tanpa dia apalagi dia baik banget sama saya.” pernikahan juga memerlukan pengorbanan dan mematikan ego masing-masing.

Tujuan Tuhan menciptakan pernikahan adalah untuk pria dan wanita saling melengkapi, saling menguatkan dan saling membangun supaya masing-masing menjadi serupa dengan Tuhan Yesus. Menikah tidak sekedar kebutuhan biologis dan supaya kita tidak kesepian tetapi menikah mempunyai tujuan yang mulia yaitu membentuk keluarga ilahi di mana orang lain bisa melihat ada Tuhan Yesus di dalam keluarga kita.

Marriage is a verb, not a noun! (pernikahan merupakan kata kerja, bukan kata benda!) jadi tidak hanya berakhir di pesta pernikahan kemudian semua beres dan kita tinggal duduk diam menikmati buahnya. No..no..no... Sebuah pernikahan itu harus dijalani dan diperbarui terus-menerus. Bisa dibayangkan seperti ini. Contohnya saya menikah usia 31 tahun. Kalau Tuhan kasih saya anugerah bisa hidup sampai 80 tahun, nah itu berarti saya harus hidup bersama dengan orang yang sama (suami) selama minimal 50 tahun. Wow!! 50 tahun sodari-sodari! Hehehe... Bukan waktu yang sebentar bukan?

Seperti yang dimuat di edisi yang lalu, pernikahan tidak sekedar menyatukan dua insan tapi juga dua keluarga. Dua keluarga yang pasti mempunyai kebiasaan dan ‘adat’ yang berbeda. Nah, biasanya
perbedaan-perbedaan itu baru terlihat setelah kita memasuki pernikahan yang sebenarnya. Sewaktu saya dan suami menikah, kami memakai ayat 1 Kor. 13: 4-7

"Kasih itu sabar,kasih itu murah hati,
ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Kasih adalah fondasi untuk membangun sebuah rumah tangga/pernikahan, karena kasih itu adalah sifat Allah sendiri. Kasih yang benar memiliki 13 sifat, yaitu: sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, rendah hati, sopan, tidak egois/menang sendiri, bukan pemarah, bukan pendendam,
membela yang benar, dipercaya menyimpan rahasia, optimis dan sabar menanggung segala sesuatu (tahan menderita).

Memang lebih mudah untuk mengasihi orang yang tidak dekat dengan kita, dan jauh yang lebih sulit
untuk mengasihi orang yang sangat dekat dengan kita, di mana tiap hari pasti kita melihat wajahnya
dan berinteraksi dengannya. Tidak heran saat sudah tidak ada kasih, banyak pasangan suami istri
saling menyerang dengan perkataan dan perbuatan mereka, bahkan untuk berkata, “Maaf” pun sangat sulit, yang ada justru dendam kesumat.

Everyday is a brand new day
Cerita sedikit pengalaman saya saat memasuki pernikahan (maklum masih penganten baru jadi masih fresh rasanya hahaha). Saya dan suami dari kota yang berbeda, saya dari Semarang dan suami dari Kudus (note: saya anggap itu ‘kota kecil’ hehehe). Saat single, saya bisa saja bangun jam berapapun (biarpun saya bangun gak sampe jam 10 sih..), tidur sampai tengah malam atau lembur sampai pagi juga gak masalah, karena tanggung jawabnya hanya kerjaan dan urusan rumah sendiri. Kemudian saya menikahi seorang pria yang hidupnya sangat teratur, tidur pukul 8 malam, bangun pagi sekali pukul 4–5 pagi dan jam 6 pagi sudah buka toko. Sebenarnya saya sudah gak kaget dengan kebiasaan suami, karena di saat pertemanan (saya gak sebut ‘pacaran’) suami sering cerita aktivitasnya
sehari-hari termasuk kebiasaan bangun dan tidurnya.

Tapi namanya perubahan tetap saja pasti awalnya aneh dan butuh penyesuaian. Apalagi merubah pola yang sudah berpuluh-puluh tahun berjalan pasti butuh perjuangan kan? Saya bisa saja kalau pagi masih enak-enakan tidur, tidak perlu menyediakan sarapan, cuekin suami yang berangkat kerja tapi apakah seperti itu istri cara melayani suami? Saya lebih memilih untuk praktek kasih di mana saya tidak mementingkan ego saya dengan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan suami. Setiap pagi saya berusaha bangun dengan semangat dan senyum sukacita sambil mengatakan, “selamat pagi.” demikian juga suami, kalau dia terbangun lebih dulu dia langsung berbisik “selamat pagi.” untuk saya, kata-kata tersebut juga menjadi sebuah penyemangat di pagi hari.

Itu hanya sedikit contoh praktis mempraktekkan kasih. Setiap hari, seumur hidup kita pasti akan dihadapkan dengan ujian kasih. Contoh lain: suami sudah janji akan pulang pukul sekian, tapi ternyata dia mendadak ada janji dengan orang lain sehingga pulangnya lebih malam.
Sebagai istri bisa saja kita langsung komplain dan sms, “katanya mau pulang jam sekian, tapi kenapa sampai jam segini belum nyampe rumah?” ingat... Sms itu gak ada intonasinya, jadi seringkali menurut istri itu sebagai wujud perhatian sama suami, tapi suami menangkapnya si istri gak percaya sama suami. Akhirnya dari hal sepele muncul konflik. Saat mengalami hal seperti itu, para istri bisa memilih untuk bersabar dan menunggu sampai suami di rumah dan suami pasti akan menceritakan kegiatannya.

Jangan pernah ragu-ragu dan jemu untuk praktek kasih terhadap suami, karena kasih yang diperbarui terus-menerus akan membentuk ikatan keluarga yang kuat. Saat nantinya Tuhan tambahkan anggota keluarga (anak), anak juga melihat dan belajar bagaimana cara ortunya mengasihi, sehingga secara tidak langsung anak belajar praktek kasih. Melalui kasih yang kita kerjakan, di situ orang lain bisa melihat ada Tuhan di dalam hidup kita, dan tentunya nama Tuhanlah yang dimuliakan.

Saat single saya pernah berpikir kalau sudah menikah pasti tidak bisa sebebas masa single. Setiap pergi harus laporan dan minta ijin suami, kalau memutuskan sesuatu harus diskusi dengan suami. Saya juga sempat bayangkan nantinya kalau sudah menikah harus kehilangan teman dan pelayanan saya di Semarang. Ternyata.... setelah saya menikah kekuatiran saya tidak terbukti. Sebaliknya, suami
justru banyak memberi support dan masukan untuk pribadi saya. Memang sebagai istri, sudah kewajiban saya harus diskusikan lebih dahulu kegiatan saya dengan suami karena suami pasti juga tidak ingin istri terlalu capek apalagi saya harus setir sendiri bolak balik Semarang–Kudus.

Setelah menikah saya juga berusaha mengisi hidup baru saya dengan aktivitas yang baru. Saya mulai belajar memasak, hal yang jarang sekali saya lakukan saat saya masih single. Banyak teman yang gak percaya saat saya masuk dapur karena saat single saya masuk dapur hanya untuk masak air, mie instan dan telor hehehe... Saya belajar dengan browsing resep-resep di net dan tanya ke mama
saya. Awal belajar masak karena saya pribadi bosan dengan makanan Kudus yang itu-itu saja, sedangkan di Semarang begitu banyak pilihan kuliner. Sama sekali tidak ada tuntutan dari suami untuk saya memasak, apalagi suami saya termasuk pria yang makannya ‘gampangan’ jadi gak pernah rewel masalah menu.

Setelah saya mulai aktivitas baru saya, sungguh di luar dugaan ternyata suami puas dengan masakan saya, dan tiap hari dia pasti tanya “Hari ini masak apa, yang?” Dan tidak jarang saat makan suami bilang, “Kalau masakan di rumah enak, kan gak perlu jajan di luar.” Hasilnya.. saya tambah semangat belajar masak. Dan karena memasak itu jauh lebih murah daripada membeli masakan, jadi otomatis bisa menabung untuk hal lainnya. Selain itu hasil masakan masih bisa dibagi ke mertua dan ipar. Dengan membagi masakan, secara tidak langsung saya praktek kasih yang murah hati.

Seperti itulah contoh dalam keluarga kecil kami, hal yang kelihatannya bagi kita
mungkin kecil dan sepele ternyata bisa jadi berkat untuk suami dan orang lain. Yang
pasti jangan pernah menyerah untuk mempraktekan kasih tiap hari, karena kasih tidak
berkesudahan.

Berikut ini tips-tips pernikahan langgeng bagi yang akan menikah, baru menikah
maupun sudah lama menikah : Peganglah pernikahan sebagai sebuah komitmen dan covenant (perjanjian). Tempel kata-kata janji nikah yang pernah diucapkan sewaktu pemberkatan di tempat yang Anda dan pasangan mudah lihat. Jadi setiap saat ingat bahwa itu adalah sebuah komitmen dan perjanjian Anda dengan Tuhan.

Kasih sebagai pengikat
Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yoh. 4:19 ). Kasih adalah sifat Allah sendiri, dengan praktek kasih barulah kasih Tuhan dinyatakan dalam kehidupan. Jangan mengharapkan balasan saat kita belajar mengasihi, karena kasih itu bicara soal bertepuk sebelah tangan. Kita tetap mengasihi walaupun... meskipun... (Contoh: tetap mengasihi suami walaupun perut suami sudah tidak six pack :p).

Saling percaya dan terbuka antara suami istri
Dari awal pernikahan bangunlah kejujuran untuk terbuka dan saling percaya satu sama lain. Dengan demikian ikatan tersebut tidak mudah dihancurkan oleh konflik, gosip, dan masalah yang menimpa.

Jangan pendam kemarahan
Sebelum tidur bereskan dahulu konflik dengan suami, jangan tidur dengan membawa kemarahan. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” (Efesus 4:26). Kemarahan yang dibiarkan berhari-hari tidak akan berkurang justru menambah masalah tambah ruwet.

Bangun terus doa bersama, komunikasi dan kasih mesra
Doa akan memperkuat sebuah pernikahan, karena dengan doa kita berarti menghadirkan Tuhan sebagai orang ketiga. Selalu sediakan waktu untuk berkomunikasi, misalnya saat akan tidur atau bangun tidur, ngobrolah dengan pasangan. Terutama bagi yang sudah punya anak, pasti sebagian besar waktu akan tersita untuk anak, namun demikian tetap sediakan waktu berdua saja. Tidak ada kata tua untuk melakukan sesuatu yang romantis untuk menjaga kasih mesra, contoh: berikan kado suami saat berulang tahun, bergandengan tangan walaupun sudah usia 50 tahun lebih, dan seterusnya.

Tips tersebut saya bagikan bukan karena pernikahan saya sudah perfect, tapi tips-tips itu juga saya praktekkan untuk memperkuat pernikahan saya.

Pernikahan bukanlah merupakan akhir segalanya tapi awal dari kehidupan baru di mana melalui pasangan kita, kita semakin diproses dan diasah untuk menjadi serupa gambaran Allah. Nikmatilah setiap proses yang Tuhan sediakan lewat kehidupan pernikahan kita. Saat kita taat dan mau diproses. Tuhan akan sediakan keluarga ilahi dan nama Tuhan juga dimuliakan. Soo... Never give up!

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^