by Glory Ekasari
Selama saya jadi orang Kristen, peringatan kenaikan Tuhan Yesus ke surga biasanya kalah pamor dengan kematian dan kebangkitan-Nya, apalagi dibanding kelahiran-Nya. Padahal peristiwa ini sangat penting – saya tidak melebih-lebihkan.
Rencana Allah tidak selesai dengan kebangkitan Yesus. Rencana-Nya berlanjut dengan kenaikan Yesus, lalu kedatangan-Nya kembali ke dunia, dan seterusnya sampai pemerintahan kekal oleh Tuhan Yesus di seluruh dunia. Perjanjian Baru tidak berhenti di empat kitab pertama, tetapi sampai kitab Wahyu.
Ratusan tahun sebelum Yesus lahir, Daniel mendapat penglihatan yang dahsyat. Penglihatan ini dicatat dalam Daniel 7, dan highlight dari penglihatan Daniel adalah ayat 13-14, tentang Anak Manusia.
Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.
(Daniel 7:13-14)
Dua ayat ini sangat sarat makna, orang bisa bikin skripsi dari situ (serius lho). Dari sinilah asalnya gelar Anak Manusia yang dikenakan Yesus pada diri-Nya sendiri.
Ketika Yesus menyebut diri-Nya Anak Manusia di hadapan Mahkamah Yahudi, imam besar sangat marah dan Mahkamah langsung menjatuhi-Nya hukuman mati (Markus 1:62-64). Mengapa? Karena mereka tahu bahwa dengan menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Allah. Bagi orang Yahudi, ini berarti Yesus menghujat Allah.
Kapan Yesus, sebagai Anak Manusia, menerima segala kekuasaan dan kemuliaan di surga? Petrus memberikan jawaban:
“Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah.”
(Kisah Para Rasul 2:33)
Ayatnya kelihatannya simpel banget ya, sampai kita menyadari bahwa “di mana” memegang peranan penting untuk memecahkan misteri ini.
Posisi “kanan” dalam budaya Timur Tengah (termasuk dalam Alkitab) memiliki makna penting. Ketika kita membaca kalimat seperti, “Si A duduk di sebelah kanan raja Nebukadnezar,” misalnya, ini berarti A ikut memerintah sebagai raja bersama Nebukadnezar. Biasanya posisi “duduk di sebelah kanan raja” ini adalah untuk putera mahkota yang kelak akan menggantikan raja itu.
Demikian pula Yesus! Ketika dikatakan, “Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah,” itu berarti Dia diangkat menjadi Raja oleh Allah, didudukkan di sebelah kanan Allah, memerintah bersama Allah. Inilah yang terjadi dalam Daniel 7:13-14 tadi: Yesus menerima kemuliaan dari Bapa, dan kuasa untuk memerintah atas bangsa-bangsa. Di mana ini terjadi? Di surga. Kapan ini terjadi? Ketika Yesus naik ke surga!
Sekarang kita mengerti, mengapa kenaikan Yesus ke surga sangat penting. Dia harus naik ke surga, untuk menerima kemuliaan dan kuasa sebagai Raja atas segala raja, dan memerintah atas dunia ini bersama Bapa-Nya.
Apa yang menjadi dasar sehingga Yesus layak menerima kemuliaan dan kuasa? Tentu saja Dia memang adalah Allah. Tapi ‘kan Dia juga manusia, seperti kita? Untuk mendapat jawaban, kita beralih ke tulisan Paulus.
“Kristus Yesus . . . telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!”
(Filipi 2:6-11)
Yesus layak menerima kemuliaan dan kuasa, karena itu semua memang milik-Nya sebelum Dia datang ke dunia sebagai manusia. Tetapi lebih dari itu, Dia membuat diri-Nya layak karena “dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati.” Alkitab berkali-kali menulis bahwa Allah mengasihani orang yang rendah hati dan akan mengangkat dia. Yang Yesus lakukan ini adalah kerendahan hati yang ultimate. Dia “mengosongkan diri”. Tidak ada manusia yang mau melakukan hal seperti itu, tapi itulah yang dilakukan Yesus.
Jadi, karena Dia telah merendahkan diri-Nya sampai mati, bahkan mati secara hina di kayu salib, maka Allah sangat meninggikan Dia. Bahkan Nama-Nya menjadi Nama di atas segala nama; seperti nama kaisar Romawi yang dicetak di uang, dipatri di cap surat-surat resmi, dsb. Asal ada nama kaisar, semua orang tunduk. Kehormatan dan kuasa yang diberikan kepada Nama Yesus jauh melebihi kaisar.
Pertanyaan terakhir adalah mengapa Yesus harus mengambil rupa sebagai manusia, begitu merendahkan diri, untuk menerima kemuliaan yang memang milik-Nya? Ada satu lagu yang sangat bagus dan menyentuh, yang liriknya berbunyi demikian:
Mengapa Yesus turun dari sorga,
masuk dunia gelap penuh cela?
Berdoa dan bergumul dalam taman,
cawan pahit pun diterima-Nya.
Mengapa Yesus menderita didera,
dan mahkota duri pun dipakai-Nya?
Mengapa Yesus mati bagi saya?
Kasih-Nya, ya, karena kasih-Nya.
Yang Yesus lakukan adalah menebus manusia. Menebus ini bukan hanya membayar hutang dosa kita dengan darah-Nya. Yesus, atas nama semua manusia yang percaya kepada-Nya, menerima kemuliaan dan kuasa sebagai Anak Manusia. Dia mengangkat kita, dari budak dosa, menjadi anak-anak Allah yang menjadi ahli waris bersama Dia. Semua ini bolak-balik dijelaskan oleh rasul Paulus, karena dia mengerti betapa berharganya apa yang Yesus lakukan bagi kita.
Tahukah teman-teman bahwa ketika Yesus menjadi manusia, tubuh-Nya itu Ia bawa selama-lamanya bersama-Nya? Dia tidak akan pernah melepaskan tubuh itu lagi. Sebesar itulah kasih-Nya bagi kita, sampai Dia bersedia berbagi keadaan sebagai manusia dengan kita, sampai selama-lamanya. Karena Yesus adalah manusia, Dia bisa mengerti keadaan kita ketika di dunia. Dan karena Yesus adalah manusia, kita yang manusia akan mengalami juga semua yang Dia alami: kebangkitan, kenaikan, dan kemuliaan kekal.
Sementara itu, dalam hidup ini, kita mengalami banyak masalah. Orang-orang percaya mengalami pergumulan seperti orang lain: penyakit, masalah ekonomi, masalah keluarga, dll. Sepertinya Yesus entah di mana, dan kehadiran-Nya tidak terasa. Apa yang harus kita lakukan dalam keadaan seperti itu?
Orang Kristen, by definition, adalah orang-orang yang hidup oleh iman. Kita percaya pada kebenaran, walaupun seringkali kebenaran itu nampaknya bertentangan dengan fakta. Bukan berarti kita percaya buta, tapi kita percaya bahwa ada tangan Tuhan yang tidak terlihat, yang sedang bekerja. Kita percaya bahwa Tuhan Yesus bertakhta di surga, bahwa Dia memegang kendali, dan bahwa Dia menjamin hidup kita.
Pengharapan yang seperti itulah yang membuat Stefanus berani menghadapi kematian:
Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.”
(Kisah Para Rasul 7:55-56)
Dia melihat Yesus yang telah naik ke surga, yang memegang pemerintahan atas segala sesuatu. Batu-batu besar yang dipegang orang-orang Yahudi di depan matanya tidak lagi menakutkan waktu dia melihat Yesus bertakhta dalam kemuliaan.
Begitu juga dengan Paulus. Menghadapi kematiannya yang sudah di depan mata, Paulus menulis kepada Timotius:
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.
(2 Timotius 4:8)
Mengapa Paulus begitu berani dan kuat? Karena dia mengharapkan kedatangan Tuhan Yesus, yang akan memberinya upah atas kesetiaannya. Paulus tahu bahwa Yesus berkuasa, Dia memerintah, dan hari kedatangan Sang Raja akan segera tiba.
Seandainya Yesus tidak naik ke surga, berarti Dia tidak bertakhta, dan kita tidak bisa berharap pada Tuhan yang memegang kendali atas segala situasi, sepanjang segala masa. Injil yang dipercaya Stefanus dan Paulus bukan Injil yang membuat orang merasa nyaman dengan diri sendiri, atau Injil yang melulu tentang berkat, atau sekedar penghiburan emosional. Yang mereka percayai adalah Injil Yesus Kristus, yang telah menerima pemerintahan atas seluruh ciptaan dan yang akan datang kembali untuk membela umat-Nya dan menghukum musuh-Nya, yang begitu mengasihi kita sampai Dia memperhatikan rambut kita yang jatuh ke tanah dan bersedia menjadi manusia demi kita. Itulah Injil yang mereka percaya; itulah kebenaran, yang layak diperjuangkan sekalipun dengan tetesan darah.
Bersama dengan kenaikan Yesus ke surga, kita memiliki jaminan dan pengharapan. Jaminan, karena Yesus berkuasa atas segala sesuatu; tidak peduli seburuk apapun situasinya di mata kita. Pengharapan, karena Yesus akan datang kembali untuk menyempurnakan keselamatan kita di dalam Dia. Karena Dia telah naik ke surga, Dia bisa berkata kepada kita, “Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku.” (Yohanes 14:3)
Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.
(Filipi 3:20)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^