Monday, October 7, 2019

Marta: Wanita Biasa Dengan Iman Yang Luar Biasa


by Glory Ekasari

Bagi saya, sangat disayangkan bahwa Marta hanya terkenal sebagai “saudarinya Maria, yang sibuk sekali melayani Tuhan sampai tidak sempat mendengarkan Tuhan”, karena sebenarnya wanita ini luar biasa. Dia tidak sering disebutkan dalam Injil, namun ketika muncul cerita tentang dia, selalu ada sesuatu yang bisa kita pelajari.

Cerita tentang Marta ada di dua tempat: Lukas 10 dan Yohanes 11. Dari dua kisah itu, kita bisa melihat, orang seperti apakah Marta ini.

Dalam kisah yang pertama, dikatakan bahwa Marta “menerima Yesus di dalam rumahnya” (Lukas 10:38). Marta membuka pintu rumahnya bagi Yesus dan murid-murid-Nya, yang sedang dalam perjalanan. Kalau Yesus membawa hanya rasul-rasul-Nya saja, maka ada tiga belas orang dewasa yang kelelahan setelah perjalanan, kemungkinan besar lapar, dan perlu ruang untuk istirahat.

(Marta) mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
(Lukas 10:39-42)

Kita mungkin mencela Marta karena kerepotannya. Tapi mari pikirkan, bukankah Marta menjadi tuan rumah yang baik? Bukankah Marta melakukan apa yang semestinya? Mengapa Tuhan Yesus menegur dia, dan “membela” Maria?

Ini adalah penyakit banyak wanita: kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara. Sebenarnya wanita punya naluri untuk menata dan merawat, hanya saja kadang kita tidak tahu kapan harus merasa cukup. Marta, dengan pembawaannya yang dominan dan teliti, frustasi karena begitu banyak hal yang harus diurus dan hal-hal tidak berjalan sesuai keinginannya. Ketika dia melihat Maria tidak membantu dan malah ngobrol dengan tamu-tamu mereka, Marta menjadi jengkel. Bukankah kita juga sering menjadi marah atau jengkel saat melihat orang lain tidak terbeban untuk ikut mengerjakan apa yang sedang kita kerjakan (dengan repotnya)? Kejengkelan Marta sangat manusiawi. Tuhan Yesus, memahami bahwa niat Marta baik, dan Ia menegurnya dengan lembut.

Dua hal yang Tuhan katakan tentang Marta. Pertama, dia kuatir. Dia kuatir tamu-tamunya akan kekurangan ini itu: kurang nyaman, kurang makanan, dsb. Mirip dengan kita ketika kita menguatirkan apa kata orang, apa jadinya bila tidak ada kita, apa bisa anak kita melakukan segala sesuatu sendiri, dsb. Kekuatiran ini membawa kepada hal yang kedua: Marta menyusahkan diri dengan banyak perkara. Ia sibuk ke sana-sini, mengurus ini itu, hal-hal yang sebenarnya bahkan tidak diminta oleh para tamunya. Ah, ini sih ibu-ibu banget: merepotkan diri dengan banyak perkara, lalu akhirnya capek sendiri, dan jengkel pada semua orang.

“Hanya satu yang perlu,” kata Tuhan Yesus. Seringkali kita, seperti Marta, repot dengan banyak perkara sampai kita mengabaikan yang terpenting. Ketika kita hendak bertemu Tuhan, yang terpenting bukanlah pakaian kita, atau make up kita, atau AC gereja, atau volume speaker, atau kursi yang berderet rapi. Yang terpenting adalah hati yang siap berjumpa dengan Yesus. Ketika suami pulang ke rumah, dia tidak akan menginspeksi kebersihan tiap kamar, anak-anak sudah rapi atau belum, bahkan banyak suami tidak pusing ada makanan atau tidak (tinggal pesan online, say); yang dia inginkan adalah bertemu dan ngobrol dengan isterinya. Ketika saya masih kecil, saat saya pulang dari sekolah, saya tidak peduli apakah rumah berantakan atau tidak, ada makan siang atau tidak; saya hanya ingin bertemu mama.

Tanpa kita sadari, kita merepotkan diri dengan banyak perkara sampai kita lupa bahwa yang dicari oleh Tuhan, yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita, bukan apa yang kita sediakan bagi mereka, tetapi diri kita sendiri. Saya yakin, ketika Tuhan Yesus mampir lagi ke rumah Marta, ia tahu bahwa Yesus ingin bertemu dengannya, bukan menikmati fasilitas di rumahnya.

Kisah kedua tentang Marta ada dalam Yohanes 11 tentang Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Waktu membaca kisah ini, dan apa yang Marta katakan kepada Yesus, saya sangat terkesan. Marta dan Maria sudah mengirim kabar kepada Yesus bahwa Lazarus sakit parah, tetapi Yesus tidak kunjung datang sampai akhirnya Lazarus meninggal. Padahal saya yakin Marta dan Maria memanggil Yesus karena mereka tahu Yesus bisa menyembuhkan Lazarus. Seandainya saya jadi mereka, mungkin saat Yesus datang, saya akan menolak menemui Dia karena jengkel dan sedih. Tapi apa yang dikatakan Marta ketika Yesus datang?

Maka kata Marta kepada Yesus: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.”
(Yohanes 11:21-22)

Marta tidak kecewa dan menolak Yesus. Dia dengan tegas menyatakan bahwa dia tetap percaya Yesus adalah Yang Datang Dari Allah. Yesus berkata kepada Marta, “Saudaramu akan bangkit,” dan Marta menjawab, “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.” Dari kalimat itu, kita mengetahui mengapa Marta tidak tenggelam dalam kesedihan: ia tahu bahwa ada kebangkitan orang mati di akhir zaman. Pengharapan ini membawa kekuatan baginya.

Yesus melanjutkan, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” Apa jawab kita seandainya kita yang ditanya hal ini? Mana mungkin seseorang tidak mati selama-lamanya hanya dengan percaya kepada Yesus, seorang rabi Israel? Sulit dipercaya, bukan? Tapi Marta menjawab tanpa ragu, “Ya, Tuhan, aku percaya bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.”

Jawaban yang luar biasa! Seorang wanita, orang biasa, tidak hanya mengerti tentang kebangkitan orang mati di akhir zaman, tetapi juga percaya bahwa Yesus sanggup membangkitkan orang mati - tanpa perlu melihat buktinya! Namun yang tidak disangka oleh Marta, dia akan segera melihat bahwa Yesus sungguh adalah yang berkuasa membangkitkan orang mati. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya: Yesus membangkitkan Lazarus, yang sudah mati selama empat hari. Marta tidak hanya berjumpa secara pribadi dan melihat kuasa Anak Allah, namun juga mendapatkan saudaranya kembali!

Apa respon kita terhadap Tuhan ketika Dia tidak menolong kita pada waktu yang kita harapkan, ketika Dia tidak memenuhi keinginan kita, atau ketika Dia membiarkan kita mengalami sesuatu yang menyakitkan? Masihkah kita, seperti Marta, berkata dengan tegas, “Tuhan, sekarang pun aku percaya”? Apakah kita fokus pada hidup yang di dunia ini saja, atau apakah kita, seperti Marta, punya pengharapan akan pemulihan kekal di masa depan? Marta menjadi teladan bagi kita untuk tidak kecewa kepada Tuhan, karena pada akhirnya, Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu, hidup di dunia ini, dan hidup yang akan datang. Yesus sendiri menegaskan kepada Marta, “Jikalau engkau percaya, engkau akan melihat kemuliaan Allah” (Yohanes 11:40).

Marta adalah wanita seperti kita. Sama-sama rempong, sama-sama banyak kuatir, sama-sama mau mengurus segala sesuatu, dan akhirnya capek sendiri. Dalam hal itu dia harus belajar untuk mengerti apa yang terpenting: memberikan dirinya bagi Tuhan. Tetapi Marta juga menjadi teladan bagi kita dalam imannya yang tidak tergoyahkan, karena ia menaruh pengharapannya di tempat yang benar. Biarlah iman Marta juga menjadi iman kita.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^