Wednesday, May 27, 2015

Menyelidiki Hati

by Glory Ekasari

Kui adalah untuk melebur perak
dan perapian untuk melebur emas,
tetapi Tuhanlah yang menguji hati.
—Amsal 17:3

“Don’t say ‘I love you’ to a woman,” demikian aku baca di sebuah artikel dengan asumsi pembacanya adalah pria, “unless you mean it.”

But, we might as well ask, how do we know we mean it?

Tentunya kita pikir kitalah yang paling kenal diri kita sendiri, apa yang kita suka dan tidak suka, apa yang kita inginkan, apa yang kita harapkan. Tapi kita bisa terkaget-kaget sendiri ketika orang yang menguasai psikologi dan turunannya (grafologi, dll) “membaca” apa yang sebenarnya ada dalam pikiran kita melalui gestur, ekspresi wajah, tulisan tangan—hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan akan mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya.

Beberapa tahun lalu ada seorang teman yang bisa “baca” tanda tangan, dan aku iseng minta tanda tanganku ditelaah. Hal pertama yang dia bilang adalah, “Kamu… kalau mengerjakan sesuatu, sering ga selesai ya?”

Belum pernah aku sekaget itu waktu ada orang ngomong sesuatu tentang aku.

Respon pertama, denial. “Aku ga begitu,” pikirku. Tapi setelah direnungkan, dipikirkan, dan flashback ke masa lalu, ternyata… emang bener. (Pada waktu itu) aku memang cepat kehilangan minat pada apa yang sedang aku kerjakan, dan akhirnya ditinggal, atau diselesaikan setengah hati. Ya ampun, aku sendiri ga sadar kalau sifatku seperti itu.

Kita seringkali tidak tahu apa yang ada dalam hati kita sendiri. Untuk mengetahui apa yang ada di dalam hati, hati itu harus dibongkar, atau bahasa Alkitabnya “diselidiki”. Seperti perusahaan yang harus diaudit eksternal supaya objektif, hati kita pun perlu diselidiki oleh pihak luar, yang ahli masalah hati, yang mengenal hati manusia luar dalam.

Dan Amsal berkata, “pihak luar” itu adalah Tuhan. Bagaimana Tuhan menyelidiki hati? Dengan memberi kita kesempatan untuk membuat pilihan yang membuktikan kualitas hati kita. Kata Bang Napi, kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan. Demikian pula sebaliknya, orang yang hatinya berkualitas punya niat dan kesempatan untuk membuktikan kualitasnya.

Dalam keadaan ekonomi sangat terdesak, akankah kita mencuri?

Dalam keadaan sakit yang parah, akankah kita meninggalkan Tuhan untuk mencari jalan keluar lain?

Dalam keadaan duka yang mendalam, akankah kita tidak mau lagi melayani Tuhan?

Atau sebaliknya. Ketika ada kesempatan untuk memperkaya diri dengan cari celah di sana-sini, akankah kita korupsi? (Jangan cepet-cepet jawab, “Ga bakalan!”)

Ketika kita diberkati Tuhan lebih dari orang lain, akankah kita sombong?

Ketika harus memilih antara Yesus atau kemapanan hidup, yang mana yang kita pilih?

Tuhan sudah tahu apa yang ada dalam hati kita. Yang Dia lakukan melalui ujian hanyalah memberitahu kita apa yang sebenarnya ada dalam hati kita. Dalam keadaan biasa, kita bisa dengan enteng bilang kita mengasihi Tuhan. Tapi Tuhan perlu menunjukkan pada kita, seberapa jauh kita sungguh-sungguh mengasihi Dia. Waktu lagi hidup pas-pasan, banyak orang hidup dalam kerendahan hati dan setia melayani Tuhan; tapi begitu makin kaya, mereka ga punya lagi waktu untuk pelayanan. Selama belum punya anak, sepasang suami isteri rajin berdoa dan memohon pada Tuhan. Begitu punya anak, bye-bye Tuhan. Ketahuanlah apa yang sesungguhnya ada dalam hati kita. Seperti kata nabi Yeremia: “Betapa liciknya hati; lebih licik dari segala sesuatu.” A heart deceives even its owner.

Seperti perak dimurnikan di kui dan emas di perapian, demikianlah hati kita diselidiki oleh Tuhan. Karena kita seringkali sok tahu; padahal kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati kita. Waktu orang lain kehilangan orang yang terkasih, kita bilang, “Deepest condolences,” padahal our condolences are not the deepest at all karena kita tidak mengalami sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang sungguh ada dalam hati kita adalah melewati ujian yang Tuhan berikan. Itu juga satu-satunya cara untuk membuktikan kepada Tuhan bahwa kita sungguh-sungguh setia kepada Dia.

Jadi, kembali ke pertanyaan pertama: How do we know we truly love?

Jawabannya bukan dengan perasaan. Anak muda yang masih pacaran dan chatting 20 jam sehari mungkin yang paling sering bilang, “I love you.” Tapi sungguh, “I love you” yang tulus adalah yang berasal dari seorang isteri yang bertahun-tahun menemani suaminya yang kena stroke, atau seorang suami yang setia menemani isterinya berjuang melawan kanker, atau orang tua yang menunggu anak mereka bertobat dari gaya hidupnya yang rusak. That’s what’s really in the heart. And that is proven genuine, through the fire.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^