by Mekar Andaryani Pradipta
Saya pernah merasa tidak cantik. Dan saya sedih karena saya tahu saya sedang tidak cantik. Bukan karena jerawat, atau rambut, kulit dan kuku saya sedang dalam kondisi tidak baik. Saya merasa saya tidak cantik karena saya sedang tidak sabar, suka ngomel dan marah-marah.
Biasanya para wanita akan menyalahkan masa PMS. Tapi alasan itu tidak tepat, tubuh kita, termasuk hormon, seharusnya bisa kita kuasai. Kalau saya sedang tidak sabar, suka ngomel dan marah-marah, itu bukan saja perkara hormon, tapi itu berarti roh saya sedang dalam kondisi yang tidak seharusnya.
Yes, beauty is about spirit. What kind of spirit? Saint Peter told me the secret.
Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.
(I Petrus 3:3-4)
Firman Tuhan katakan kecantikan kita tergantung pada kondisi roh kita. Dan roh yang cantik adalah roh yang lemah lembut dan tenteram.
Ayat inilah yang Tuhan taruh di hati saya setelah beberapa kejadian yang benar-benar bukan merupakan perilaku yang cantik.
Sebenarnya masalahnya sederhana. Saya sedang ada di sebuah event dan pulsa saya habis sementara saya harus mengontak beberapa orang. Saya menghubungi Ibu tapi nomornya tidak aktif. Akhirnya saya telpon Bapak dan marah-marah. Saya mulai ngomel-ngomel tentang Ibu, tentang HP-nya yang tidak aktif. Saya juga mulai ngomel-ngomel tentang betapa saya tidak bisa bekerja kalau tidak punya pulsa.
Hingga akhirnya Bapak pun tergopoh-gopoh mencari kios penjual pulsa. Tapi saat itu masih pagi. Belum ada kios pulsa yang buka.
Bapak menelpon saya dan bertanya apakah tidak apa-apa kalau pulsanya dikirim satu jam lagi.
And I don’t know what made me so mad, the fact was I shouted to my Dad, “Ya udahlah, ngga usah! Nanti aku beli sendiri!” Very unpolite and unproper.
Tapi aku bersyukur saat itu Bapak balas memarahiku. Dia bilang, “Bapak sudah putar-putar sampai hampir nabrak orang, kamu malah bilang ngga usah. Jadi anak kok nggak sabaran!”
Benar kata Bapak. Saya tidak sabar. Roh saya tidak lemah lembut. Roh saya tidak tenteram. Saya tidak cantik.
Ada lagi contoh lain, persoalannya sama simpelnya. Salah satu teman saya tidak membalas sms saya dengan segera. Well, saya cukup sering sms dia atau menyapanya di messenger, bahkan untuk sesuatu yang saya tahu itu tidak penting. Seharusnya saya bisa mengerti kalau mungkin dia sedang sibuk di kantornya, mungkin dia sedang di jalan atau mungkin dia sedang tidur. Seharusnya saya mengerti.
Tapi saya dan ketidaksabaran saya justru marah-marah dan mulai mengomel lagi. Saya menyalahkan dia. Saya mulai bicara dengan nada tinggi lagi.
Saya sungguh tidak cantik.
Saya tahu teman saya itu sebenarnya sudah cukup bersabar. Pada mulanya dia masih menjelaskan kenapa dia tidak bisa segera menanggapi sms-sms saya. Tapi ketika kejadian itu terulang lagi, saya masih juga tidak belajar. Akhirnya dia bicara dengan keras, seperti Bapak saya. Tapi bedanya, saya masih berkeras dengan argumen-argumen yang menyalahkan dia. Akhirnya, teman saya itu tidak pernah lagi membalas sms saya. Mungkin diamnya itu cuma sementara, untuk memberi efek jera, tapi itu cukup membuat saya berpikir.
Dan Allah mengingatkan saya pada I Petrus 3:3-4 tadi.
Dalam sebuah renungan yang saya baca, disebutkan bahwa roh yang lemah lembut dan tenteram adalah roh yang tidak kasar, tidak suka marah-marah, tidak berdebat dan tidak argumentatif.
Saya tahu saya punya masalah dengan perkataan. Saya tidak seperti wanita dalam Amsal 31 yang membuka mulutnya dengan hikmat dan pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya (Ams 31:26). Saya punya kecenderungan untuk menjadi sangat emosional yang terekspresikan dalam perkataan kasar, perdebatan dan bantahan.
Sebenarnya Tuhan sudah sering menegur saya agar saya lebih bijak dalam perkataan. Selama bertahun-tahun ini saya bergumul dengan dosa yang satu itu. Saya bahkan punya sebuah notes kecil yang di dalamnya berisi kumpulan ayat tentang perkataan. Salah satunya ayat yang saya tulis adalah dari Amsal 21:9, “Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.”
See?
Betapa ngerinya kalau suami saya nanti tidak betah di rumah karena kebiasaan saya mengomel dan memancing perdebatan. Apa jadinya rumah tangga saya nanti? Mengerikan sekali.
Ok, you can say, saya sekarang toh belum punya suami, don’t be too serious. Tapi bagaimanapun, karakter tidak dibangun dalam sekejap. Karakter yang saya kembangkan sekarang, pada saat saya single, itulah yang akan dibawa saat saya berumah tangga. Pernikahan adalah masa menuai segala sesuatu yang kita tabur saat kita masih lajang.
Sampai saat ini, saya masih belajar untuk punya roh yang lemah lembut dan tenteram. Langkah pertama yang dulu saya lakukan adalah menahan diri untuk banyak bicara. Dalam bahasa Inggris, “roh yang tenteram” dikatakan sebagai “quiet spirit”, roh yang sunyi, diam.
Seperti yang saya baca di Amsal 10:19, "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." dan Yakobus 1:19-20, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.”
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^