Friday, August 31, 2018

Jesus Plus




by Glory Ekasari

“Hai orang-orang Galatia yang bodoh!” 

Kalimat itu galak sekali kedengarannya ya. Itulah yang dikatakan Paulus, yang jengkel karena jemaat Galatia begitu gampang dikibuli dengan injil palsu. Ada pengajar-pengajar yang datang ke Galatia, seakan-akan mereka mengajarkan sesuatu yang baru, pewahyuan yang baru, padahal yang mereka ajarkan itu adalah ajaran sesat. 

Mereka tidak berkata, “Gak usah ikut Yesus lagi!” Oh no, gak segamblang itu. Mereka masih memakai nama Yesus, masih menyebut diri Kristen. Mereka hanya memberikan tambahan. “Iman kepada Yesus itu bagus,” kata mereka, “tapi tentu hal-hal ini tidak boleh kita abaikan.” Lalu mereka mulai membuat daftar hal-hal apa yang mereka maksud. 
  • Harus berbahasa roh. 
  • Harus membuat barang/bangunan dengan bentuk tertentu, dan bila tidak, maka “Tuhan tidak berkenan.” 
  • Harus memelihara tanggal-tanggal tertentu (semakin “Yahudi” nama harinya, semakin joss). 
  • Harus teguh berpegang pada ajaran pendeta tertentu. 
  • Harus mengikuti aturan tambahan ini itu tentang ibadah. 
Nah, kalau mengikuti itu semua maka kamu jadi lebih rohani dari orang lain. Mereka semua duniawi! Kalau mereka tidak ikut ajaran kita, maka hancurlah hidup mereka. 

Paulus geleng-geleng kepala. “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain,” katanya, “yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus” (Galatia 1:6-7). Dengan kata lain, “Apa kamu gak tau isi Injil? Kenapa begitu gampang disesatkan?” 

Injil berarti kabar baik. Orang yang menerima kabar baik itu menerima kemerdekaan; beban perbudakan yang selama ini menghimpit dia dilepaskan, dan dia dibebaskan. Di dalam Kristus ada kemerdekaan, dan kita hanya bisa connect kepada Kristus lewat satu jalan yang ditentukan-Nya sendiri, yaitu iman. Justru karena perbuatan baik tidak cukup, dan ketaatan pada Hukum tidak cukup, maka kita hanya punya satu jalan terakhir: merendahkan diri dengan memohon belas kasihan kepada Tuhan. Inilah yang namanya iman: percaya penuh, bukan pada apa yang sudah kita lakukan untuk Tuhan, tetapi akan apa yang sudah Tuhan lakukan untuk kita. 

Lha bagaimana kalau kita lalu diajari bahwa iman itu tidak cukup? Bahwa Tuhan menuntut kita berbahasa roh, harus terima urapan tertentu dulu, harus berbuat ini dan itu dulu, harus ikut pendeta ini atau itu dulu, baru kita bisa selamat? Itu namanya bukan Injil lagi, karena itu bukan lagi kabar baik. Itu adalah kabar buruk! 

Inilah yang membuat Paulus marah. Ada orang-orang yang memutarbalikkan Injil, dan membuatnya menjadi beban baru bagi orang-orang yang dengan tulus mencari keselamatan. Dengan keras ia berkata, “...sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia!” (Galatia 1:8). Apa yang seharusnya merupakan anugerah Allah, malah diubah menjadi beban yang tidak tertanggungkan. 

Saya sering menyebut injil palsu semacam itu sebagai ajaran Jesus plus. Yesus, plus perbuatan baik supaya diselamatkan. Yesus, plus bahasa roh. Yesus, plus minyak urapan. Yesus, plus adat Yahudi (seperti yang dialami jemaat Galatia). Dst, Yesus di-plus-kan dengan berbagai macam hal sesuai ajaran mereka yang menyesatkan. Kalau kita perhatikan, ada ciri-ciri dari ajaran semacam ini:

1. Ketuhanan Yesus diminimalisir. Lama-lama, bisa juga malah dihilangkan.
Kekristenan sejati berpusat pada Yesus Kristus. Semua yang kita ikuti berasal dari dia. Nah kalau Yesus terlalu dominan (sebagaimana mestinya), di mana tempat buat “plus”-nya itu? Akhirnya peran Yesus harus dikurangi supaya ada tempat bagi tambahan ajaran yang beraneka ragam. Yesus juga salah satu pengajar paling keras dalam Alkitab (sebagai gambaran, orang yang paling banyak berbicara tentang neraka di Alkitab adalah Yesus), dan seringkali pemikiran para pengajar sesat tidak cocok dengan Yesus. Karena itu Yesus dikecilkan dalam pengajaran mereka. 

2. Pengkultusan individu selain Yesus.
Selalu ada tokoh yang menjadi saingan Yesus; “mesias lanjutan” atau nabi lanjutan atau orang yang diberi wahyu khusus. Merekalah yang harus didengarkan. Biasanya akan ada kitab/set pengajaran tambahan. Kembali ke nomor satu di atas, memang kalau mereka tidak mengecilkan keutamaan dan ketuhanan Kristus, mereka tidak punya tempat bagi individu lain yang diagung-agungkan ini. 

3. Banyak bagian dari ajarannya yang bergantung pada hal-hal lahiriah.
Kekristenan sejati itu inside out - ketika terjadi perubahan roh dan karakter di dalam maka yang di luar ikut berubah. Sebagai contoh, orang yang tadinya pemarah dan pendendam, setelah lahir baru menjadi orang yang sabar dan pemaaf. Apa yang terjadi di dalam dia (lahir baru) terwujud dalam perbuatannya kepada orang lain (sabar dan memaafkan). Tetapi ajaran sesat itu outside in; maka yang diatur-atur adalah cara berpakaian, makanan, hari-hari raya, dsb hal-hal yang sifatnya jasmaniah, menjadi syarat yang akan mempengaruhi kerohanian mereka. Ini adalah ajaran orang Farisi, bukan ajaran Yesus. 

Lalu bagaimana agar kita tidak terjebak dalam Jesus plus? Tidak ada cara lain, kita harus mengenal Injil yang sejati, Yesus yang sejati, sesuai yang ditulis dalam Alkitab. 

Saya pernah mendengar pengalaman orang yang pergi ke Eropa dengan tas branded palsu. Sesampainya di bandara di Eropa, ada seorang petugas yang segera minta orang ybs mengeluarkan isi tasnya, lalu tas branded palsunya itu disita dan digunting! Mengapa demikian? Karena mereka tidak mau barang palsu, counterfeit, masuk ke negara mereka; itu merugikan industri barang mewah mereka. Tapi bagaimana mereka tahu yang mana yang palsu? Sederhana: mereka kenal yang asli; mereka tahu ciri-cirinya di luar kepala. Sekali melihat, mereka langsung bisa menilai barang itu asli atau palsu. 

Apakah kita mengenal Yesus? Apakah kita mengerti apa yang membuat kita diselamatkan? Jangan-jangan selama ini kita masih saja berpikir bahwa orang harus banyak berbuat baik, hormat leluhur, dll, supaya bisa selamat? Jangan sampai kita jadi sasaran empuk para penyesat. Mari kenali Yesus yang sejati, yang ditulis dalam Alkitab. Kenali yang asli, dan kita tidak akan tertipu dengan yang palsu.

Wednesday, August 29, 2018

Susanna Wesley



by Glory Ekasari 

Mungkin tidak ada wanita yang lebih “biasa” dibanding Susanna Wesley, tapi dia bisa jadi adalah salah satu wanita yang paling terkenal dalam sejarah kekristenan. Dari dialah anak-anaknya belajar mengenal Tuhan, sehingga dua dari anak-anaknya, Charles dan John Wesley, dipakai Tuhan dengan luar biasa. John Wesley, putera bungsu Susanna, bersaksi, “Saya belajar tentang Tuhan dari ibu saya, lebih daripada dari semua teolog di Inggris.” Seperti apa wanita yang begitu luar biasa itu? Apakah dia seorang pengkhotbah yang luar biasa, atau seorang profesor yang berprestasi, atau orang kaya yang mampu membayar biaya studi anak-anaknya setinggi-tingginya? 

Susanna Annesley lahir pada tahun 1669 dalam keluarga hamba Tuhan. Ia sangat cerdas, dan seorang yang mencintai Tuhan sejak masa mudanya. Ia banyak membaca buku-buku teologi dan mempelajari Alkitab. Kebiasaan itu ia teruskan sampai setelah menikah dan mempunyai anak. 

Tahun 1688 Susanna menikah dengan Samuel Wesley, seorang pelayan Tuhan. Samuel adalah orang yang cerdas dan disiplin, tetapi ia tidak berhasil secara finansial. Keluarga mereka hidup pas-pasan, bahkan Samuel pernah dua kali masuk penjara karena tidak bisa membayar hutang. Mereka juga mengalami kebakaran rumah dua kali; dalam kebakaran kedua, John, anak mereka, hampir menjadi korban. Samuel dan Susanna memiliki 19 orang anak, 9 di antaranya meninggal ketika masih bayi. Sebagai sesama wanita dan ibu, kita bisa membayangkan betapa kerasnya hidup Susanna; hamil dan melahirkan 19 kali, kehilangan anak 9 kali, mengurus 10 orang anak, dan itu semua dalam keadaan finansial yang buruk, bahkan mengalami malapetaka kebakaran dua kali. 

Hubungan Susanna dan suaminya juga tidak senantiasa adem ayem. Pernah terjadi perselisihan yang cukup parah, yang membuat Samuel sampai meninggalkan Susanna dan anak-anak mereka selama setahun lebih. Dalam keadaan seperti itu, Susanna tidak menjadi pahit dan memutuskan hubungan dengan suaminya. Mereka tetap berkirim surat, dan sekali waktu Susanna menulis: 
Saya ini seorang wanita, yang juga adalah ibu dalam keluarga yang besar. Dan sekalipun tanggung jawab utama atas jiwa-jiwa dalam keluarga kita ada di pundakmu, sekarang ini ketika kamu lama pergi, saya terpaksa memandang setiap jiwa (yaitu anak) yang kamu tinggalkan bersama saya sebagai talenta yang dipercayakan kepada saya. Saya bukan pria, saya juga bukan hamba Tuhan, tetapi saya merasa harus melakukan lebih dari yang sudah saya lakukan selama ini. Saya putuskan untuk mulai dengan anak-anak saya sendiri, dan ini yang saya lakukan: saya menyediakan waktu semampu saya setiap malam untuk mengobrol dengan anak-anak, satu demi satu. Senin dengan Molly, Selasa dengan Hetty, Rabu dengan Nancy, Kamis dengan Jacky, Jumat dengan Patty, Sabtu dengan Charles. 

Dalam keadaan dimana wanita lain mungkin meratap dan hancur lebur, Susanna tetap teguh. Semua yang mengurus rumah tangga tahu bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak ada habisnya, apalagi dengan 10 anak! Tetapi anak-anak Susanna tahu bahwa ada jam tertentu dalam sehari dimana ibu mereka tidak bisa diganggu, karena ia bersekutu dengan Tuhan. Susanna juga sempat-sempatnya membuat jurnal pribadi yang berisi tafsiran firman Tuhan yang ia pelajari tiap hari. Di kemudian hari, ketika Charles Wesley mulai mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan, ia mencari tahu apa makna dari semua pengalamannya itu dan menulis surat kepada orang yang dia tahu pasti memiliki jawaban: ibunya. 

Semua anaknya homeschooling sejak usia 5 tahun. Susanna-lah yang mengajar mereka baca tulis, sampai bahasa Latin dan Yunani. Ia adalah sumber pengajaran bagi anak-anaknya. Tidak hanya itu. Ketika Susanna merasa anak-anaknya tidak mendapat makanan rohani yang cukup dari khotbah di gereja pada Minggu pagi, ia mengumpulkan mereka lagi pada Minggu siang untuk mendengarkan firman Tuhan. Lama-lama semakin banyak yang ikut “kebaktian” yang diadakan Susanna ini, bahkan sampai 200 orang. 

Nama Susanna Wesley menjadi identik dengan ketangguhan dan kesetiaan seorang wanita. Susan Pellowe, penulis biografi Susanna Wesley, menulis demikian: 

“... Sekalipun dia tidak pernah berkhotbah atau menerbitkan buku atau mendirikan gereja, dia dikenal sebagai Ibu Gerakan Metodis. Mengapa? Karena dua dari anak-anaknya, John Wesley dan Charles Wesley, sebagai anak - sadar atau tidak, menerapkan teladan dan pengajaran dan suasana dari rumah tempat mereka berasal.” 

Wanita punya kekuatan yang tidak nampak, yang bernama pengaruh. Seorang ibu yang baik mempengaruhi anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang baik. Seorang isteri yang baik membuat suaminya maju tanpa beban pikiran. Saya rasa orang paling beruntung dalam cerita di atas adalah Samuel Wesley. Dia mendapatkan isteri yang lebih berharga dibanding permata! 

Ketika saya mempelajari kisah hidup Susanna Wesley, saya jadi malu hati. Kesulitan saya tidak ada seujung kukunya, tapi seringkali saya begitu cepat menjadi lemah. Susanna Wesley, sebaliknya, mengambil kekuatan dari mata air yang tidak pernah kering; ia disiplin dalam persekutuan dengan Tuhan, sumber kekuatannya. Wanita yang tidak nelangsa saat ditinggalkan suami dengan anak yang masih kecil-kecil (saat itu John belum lahir), bahkan memandang anak-anaknya bukan sebagai beban melainkan sebagai talenta yang harus dikembangkan, pasti bukan wanita biasa. Ini adalah a woman of strength, a woman of valor. 

Kekuatan yang memampukan Susanna Wesley untuk menang dalam hidupnya, tersedia juga bagi kita. Bukan hanya dia, kitapun dapat menjadi women of valor dengan pertolongan Roh Kudus. 

-

Referensi: 

Monday, August 27, 2018

Being A Trustworthy Woman


by Leticia Seviraneta 

“When there is no trust, there is no relationship.” 

Setiap hubungan yang kita bina memiliki satu fondasi yang sama: rasa percaya satu sama lain. Baik di dalam hubungan dengan Tuhan, lingkungan keluarga, pernikahan, gereja, pekerjaan, dsb, rasa percaya yang terjalin antar individu di dalamnya akan sangat menentukan kualitas dari hubungan tersebut. Namun banyak yang tidak menyadari seberapa pentingnya rasa percaya ini sampai saat mereka kehilangan rasa percaya tersebut dari orang lain. Banyak yang menganggap rasa percaya itu sebagai sesuatu yang biasa saja dan take it for granted. Mereka tidak menjaga kepercayaan yang diberikan dan menghancurkannya. Bila rasa percaya hancur—ibarat sebuah fondasi yang rapuh, akan mengakibatkan hubungan menjadi retak, renggang, dan bahkan terputus sama sekali. 

Hubungan kita dengan Tuhan pun dimulai dengan adanya rasa percaya. Tuhan banyak memberikan perintah kepada manusia untuk percaya kepada-Nya. 

Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.
(Amsal 3:5-6) 

Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN.
(Mazmur 9:11) 

Adanya rasa percaya menjadi awal dari suatu hubungan. Rasa percaya itu sendiri timbul dari pengenalan akan seseorang, yang meyakinkan kita bahwa seseorang memiliki kualitas yang telah teruji dan menjadikannya layak dipercaya (trustworthy). Trustworthy secara sederhana memiliki arti layak dipercaya (worthy of trust), dapat diandalkan, jujur atau senantiasa berkata kebenaran. Kita sangat dapat mempercayai Tuhan karena apa yang seluruh Alkitab nyatakan tentang semua karakter dan perbuatan-Nya. Tuhan telah teruji bahwa ia tidak dapat berbohong dan selalu berkata benar, ia selalu setia dalam menepati janji-Nya, ia tidak pernah terlambat dalam melakukan pekerjaan-Nya, selalu berada bersama kita dan tidak pernah meninggalkan, sangat dapat diandalkan di saat kita berada dalam kesusahan, tempat perlindungan yang teguh, dan masih banyak lagi. 

"Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?"
(Bilangan 23:19) 

Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”
(Ibrani 13:5-6) 

"Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti."
(Mazmur 46:2) 

Tuhan senantiasa memberikan teladan bahwa Ia adalah Pribadi yang layak dipercaya. Kita sebagai anak-anak-Nya pun memiliki tujuan untuk merefleksikan kualitas trustworthy itu di mana pun kita berada. Untuk dapat membangun hubungan yang kuat, kita perlu menjadi pribadi yang layak dipercaya. Dan untuk menjadi orang yang layak dipercaya, kita perlu membuktikan dengan keseluruhan hidup kita bahwa kita dapat diandalkan. Hal ini berarti kita perlu membuang sifat dan kebiasaan kita yang menyulitkan orang untuk percaya kepada kita. 

Lalu hal-hal apa sajakah yang dapat kita lakukan untuk dapat menjadi wanita yang layak dipercaya? 
// Konsisten antara perkataan dan perbuatan 
"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu."
(1 Timotius 4:12) 

Tuhan kita layak dipercaya karena setiap perkataan dan perbuatan-Nya akan selaras dan tidak pernah bertentangan. Apa yang Tuhan perkatakan, pasti Tuhan akan lakukan. Kita dapat menyebutnya konsistensi seperti ini dengan nama integritas. Sangat disayangkan, banyak anak Tuhan yang hidupnya tidak selaras dengan perkataannya. Mereka mengakui dengan mulut bahwa mereka percaya kepada Tuhan, namun hidupnya masih memelihara kebiasaan yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Mereka berjanji kepada sesama, namun tidak menepatinya. Mereka berkata suatu hal, namun yang mereka maksudkan sesungguhnya bukan itu (ehem... Ladies! Hehe). 

Belum lama ini saya mengadakan acara bridal shower untuk salah satu teman baik saya. Saya merencanakannya jauh-jauh hari dan menghubungi teman-teman yang akan diundang dahulu untuk memastikan bahwa di tanggal tersebut mereka dapat datang. Saya pun sampai mengubah tanggal acara agar beberapa dapat datang ke acara tersebut. Namun pada akhirnya, orang-orang yang membuat saya mengubah tanggal acara tersebut (dan sebelumnya mengatakan bisa datang) malah membatalkan kehadirannya. Akibatnya, jumlah orang yang datang sedikit sementara biaya dekorasi sudah dibayarkan per jumlah orang yang seharusnya hadir. Orang yang hadir jadi menanggung biaya dekor lebih mahal dari yang seharusnya. 

Banyak yang menganggap membatalkan janji adalah sesuatu yang sepele dan dapat dimaklumi. Namun hal ini sudah menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya dalam perkataannya. Ketika ia mengiyakan untuk hadir di suatu acara namun tidak menepatinya (kecuali untuk hal yang benar-benar tidak terduga dan sangat penting), hal ini akan mengurangi level kepercayaan di dalam hubungan tersebut. Baru saya dengar dari teman saya yang lain, “Kalau janji ketemuan sama si A memang harus siap-siap dia cancel last minute. Orangnya memang begitu plin-plan.” Duh, seandainya saya tahu tentang sifatnya itu sebelum membuat rencana yang melibatkan dia! 

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”
(Matius 5:37) 

Jangan anggap ringan setiap janji yang kita buat; jangan sampai kita ternyata tidak bisa menepatinya. Tuhan juga tidak pernah sembarangan membuat janji. Hal ini berarti kita perlu lebih disiplin dalam mengatur schedule dan waktu kita untuk memastikan apakah kita sungguh dapat memenuhi janji tersebut, sebelum mengiyakan suatu undangan. 

Hal ini juga berlaku dalam segi ketepatan waktu. Orang Indonesia terkenal suka ngaret. Bila berjanji untuk bertemu pukul 12.00, maka kita perlu memperkirakan dengan jelas dan memperhitungkan faktor kemacetan dsb untuk dapat memastikan kita datang tepat waktu. Seorang yang senantiasa menepati janji dan tepat waktu adalah jelas menjadi orang yang layak dipercaya. 

// Tidak berbohong dan selalu berkata jujur
"Jangan berbohong satu sama lain, sebab hidup yang lama dengan segala sifatnya sudah kalian lepaskan. Kalian sekarang sudah diberi hidup yang baru. Kalian adalah manusia baru, yang sedang diperbarui terus-menerus oleh Penciptanya, yaitu Allah, menurut rupa-Nya sendiri. Maksudnya ialah supaya kalian mengenal Allah dengan sempurna."
(Kol 3:9-10, BIS) 

Berbohong bisa jadi merupakan dosa pertama kita sejak balita. Seorang balita tidak perlu diajarkan untuk berbohong; dia dapat berbohong dengan sendirinya ketika ia melanggar perintah orang tuanya dan mau menyelamatkan diri. Berbohong bisa jadi merupakan langkah refleks kita untuk melindungi kita dari situasi yang tidak mengenakkan. Saking mudahnya untuk berbohong, kita terkadang menganggapnya sebagai “dosa ringan” dan cenderung bersikap kompromistis terhadapnya. “Ah sekali-kali gak apa-apa.” “Ini white lie, berbohong untuk kebaikan. Tuhan pasti mengerti.” Namun di mata Tuhan tidak ada dosa berat maupun dosa ringan, tidak ada dosa besar maupun kecil. Dosa adalah dosa—titik. 

"Ada tujuh perkara yang dibenci TUHAN dan tak dapat dibiarkan-Nya: Sikap yang sombong, mulut yang berbohong, tangan yang membunuh orang tak bersalah, otak yang merencanakan hal-hal jahat, kaki yang bergegas menuju kejahatan, saksi yang terus-terusan berdusta, dan orang yang menimbulkan permusuhan di antara teman."
(Amsal 6:16, BIS) 

Berbohong merupakan dosa yang dibenci Tuhan dan tidak dapat dibiarkan-Nya. Sekali seseorang berbohong, kecenderungannya adalah ia harus berbohong lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Ibarat bola salju yang bergelinding makin lama menjadi makin besar, kebohongan ‘kecil’ lama-lama menjadi kebiasaan berbohong yang menjadikan kita seorang pembohong. Tidak ada yang mau memberikan kepercayaan kepada seorang pembohong bukan? 

Kita sebagai manusia sangat benci bila dibohongi. Pernah ditipu oleh orang yang berdagang? Si penjual meyakinkan bahwa yang ia jual asli, namun ternyata palsu. Si penjual meyakinkan bahwa barangnya made in Japan, tahunya made in China. Si penjual meyakinkan makanan yang ia jual tidak memakai pengawet, tahunya malah pakai pewarna atau pengawet dan kita memberikan makanan itu kepada anak kita yang masih kecil. Apakah kita masih mau membeli di pedagang tersebut? Sudah pasti tidak. Jadi untuk menjadi wanita yang layak dipercayai, buang jauh-jauh kebiasaan “sekali-kali berbohong”. Jangan berbohong dan selalu berkata benar. 

// Tidak bergosip dan menyimpan rahasia dengan baik 
“A perverse person stirs up conflict, and a gossip separates close friends.” 
(Proverbs 16:28, NIV) 

Ketika teman kita mempercayakan rahasianya kepada kita, jagalah dengan baik sebagaimana kita menjaga rahasia kita juga. Kita perlu mengendalikan mulut kita untuk tidak terlalu banyak berbicara yang tidak perlu. Gosip pada dasarnya adalah memperbincangkan orang lain dengan merujuk jelas kepada nama-nama dan kejadiannya. Hal ini biasanya hanya dari satu sudut pandang dan tidak teruji kebenarannya. Banyak kasus di pertemanan khususnya pertemanan sesama wanita yang menjadi renggang karena salah satu mendengarkan orang lain tentang temannya tersebut. Apa yang dikatakan Salomo dalam Amsal ini sungguh benar bahwa gosip memisahkan sahabat karib. Ia merusak rasa percaya dan hubungan tersebut akhirnya. Gosip juga merupakan salah satu dosa yang Tuhan benci (Amsal 6:16) karena menimbulkan pemusuhan di antara teman. 

// Tidak malas dan mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal 
Di dalam Amsal 31, dideskripsikan karakter dan kualitas seorang wanita bijak. Salah satunya adalah ia rajin dalam mengerjakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya. Hasil pekerjaannya excellent dan membuat suaminya dapat menaruh percaya penuh kepada dirinya. 

"Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan."
(Amsal 31:11) 

Baik di dalam rumah, gereja, maupun di lingkungan kerja, kita akan menjadi seorang wanita yang layak dipercaya ketika kita rajin dan tidak setengah-setengah dalam mengerjakan segala sesuatu. Kembali ke poin satu, perkataan dan perbuatan kita harus selaras. Dunia melihat Yesus di dalam diri kita melalui pekerjaan-pekerjaan kita. 

"Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
(Kol 3:22-23) 

Saya datang dari latar belakang keluarga non-Kristen. Saya tahu bahwa papi saya sulit untuk percaya kepada Kristus karena terlalu banyak melihat orang Kristen yang rajin ke gereja namun hidupnya tidak mencerminkan Kristus sama sekali. Itulah mengapa saya yakin betul bahwa sangatlah penting hidup kita selaras dengan Firman Tuhan dan setiap perkataan yang kita katakan. Dengan menjadi seorang yang layak dipercaya, kita menjadi saksi Kristus yang efektif, bukannya menjadi batu sandungan. You can do this, ladies! 

Friday, August 24, 2018

Trustworthy



by Lia Stoltzfus 

Bulan ini kita membahas tentang karakter trustworthy yang artinya “dapat dipercaya”, honest, dan truthful. Pasal yang muncul dalam hati saya adalah Mazmur 15. Banyak sekali yang kita bisa pelajari tentang trustworthiness dalam pasal ini. 
Mazmur Daud.
TUHAN, siapa yang boleh menumpang  dalam kemah-Mu?
Siapa yang boleh diam di gunung-Mu  yang kudus?
Yaitu dia yang berlaku tidak bercela,
yang melakukan apa yang adil
dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya,
yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya,
yang tidak berbuat jahat terhadap temannya
dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya;
yang memandang hina orang yang tersingkir,
tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN;
yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi;
yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba
dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah.
Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya. 
Trustworthiness sangat berkaitan dengan integritas, yaitu keselarasan hati, pikiran dan perbuatan. Dengan menjaga integritas (menjaga kebersihan hati nurani) kita akan menjadi orang yang dapat dipercaya/diandalkan. Berintegritas berarti we are true to God, to ourselves and to others. 

Kalau kita baca ayat-ayat di Mazmur 15, timbul pertanyaan, “Apa ada orang yang seperti itu? Apa saya bisa seperti itu?” 
  • Tidak bercela, melakukan apa yang adil, dan mengatakan kebenaran. 
  • Tidak menyebarkan fitnah, tidak berbuat jahat, dan tidak menimpakan cela pada orang lain. 
  • Tidak memandang hina orang lain dan berpegang pada sumpah walaupun rugi. 
  • Tidak memanfaatkan orang lain untuk mendapat keuntungan (meminjamkan uang dengan bunga atau menerima suap). 
Saya percaya bahwa kalau Tuhan memberi perintah, itu bukanlah perintah yang impossible untuk dijalani. Saya pun sebagai orang tua gak bakal kasih perintah ke anak saya untuk melakukan sesuatu yang saya tau pasti anak-anak saya are not capable to do it. Saya juga percaya yang Tuhan mau dari kita adalah hati yang bersedia taat dengan segera, bukan taat dengan sempurna. Tuhan tau kita manusia, masih daging, kita bisa jatuh, kita bisa buat salah, kita bisa ambil keputusan yang gak benar atau gak sesuai dengan firman. Tapi ketika kita diingatkan oleh hati nurani, atau ditegur oleh saudara seiman atau otoritas, apakah kita punya kerinduan untuk berubah dan membersihkan hati nurani kita? 

Yuk kita lihat bagaimana cara praktis belajar mempraktekkan hidup dalam integritas supaya kita bisa jadi orang yang trustworthy. 

1. Tidak bercela, melakukan apa yang adil, dan mengatakan kebenaran. 
Apa itu adil? 

Adil itu kira-kira seperti ini: saya bekerja pada jam kerja, memberikan kepada perusahaan apa yang jadi hak mereka, mengurus urusan kantor, mengutamakan pekerjaan saya daripada kepentingan pribadi, menunda kesenangan saya (chatting, main game, browsing resep makanan bayi, balas e-mail teman, belanja online, main medsos, dsb) dan memprioritaskan pekerjaan saya. 

Adil itu kalau saya memberikan disiplin yang sama pada anak, tidak memberikan perlakuan berbeda karena saya mungkin lebih dekat dengan si A daripada si B. 

Adil itu kalau saya memberi perlakukan dan kesempatan yang sama pada semua murid saya tanpa membeda-bedakan mereka. 

Apa itu mengatakan kebenaran? 

Menurut Matius 5:37, mengatakan kebenaran berarti jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Bukan hanya itu, tapi juga tidak berusaha menyembunyikan fakta atau hanya mengatakan half-truth. 

Susah gak untuk selalu bersikap adil dan mengatakan kebenaran? “Perintah-Nya itu tidak berat (1 Yohanes 5:3),” alias tidak susah. Ada amin? Tidak berat, kalau itu sudah jadi habit. Nah gimana kalo sebaliknya? Kita punya habit berbohong. Kelihatannya ini ‘bohong kecil’ yang gak berbahaya. Kita harus ingat lagi: salah satu bentuk integritas adalah not only being true to God and others, but also being true to yourself. 

Kadang kita suka ngga enakan kalau ditawari makan, lalu biasanya kita menolak dengan bilang, “Engga usah, terima kasih. Saya sudah kenyang, sudah makan tadi di rumah.” Padahal mah perut kruyuk-kruyuk kelaperan. Nah jangan pikir bohong yang model begitu ‘biasa aja’, ‘gak ngerugiin’. Ingat, integrity means wholeness, kesatuan hati, pikiran, dan perbuatan. Kita harus belajar untuk berkata yang benar. Kalau emang merasa sungkan untuk makan di rumah orang, bilang aja, “Ga apa-apa tante, nanti saya makan di rumah aja.” Jangan bilang, “Gak laper,” atau, “Sudah kenyang.” 

Gimana kalo sudah terlanjur ngomong sesuatu yang gak benar... Atau ngomong fakta yang berlebihan? Contohnya, kamu cerita ke teman kamu, “Si A bilang ke aku klo dia blablabla, bliblibli, blublublu...” padahal si A hanya bilang “blablabla dan bliblibli.” Pas kamu lagi ngomong, alarm di hati berbunyi, “Ehhh, itu tidak benar loh...” Saat itu juga, kita harus ralat, “Eh sorry, tadi aku ngomong berlebihan... Sebenernya si A gak ngomong blublublu sih.” Malu gak? Malu pastinya, tapi dengan belajar ngakuin kesalahan, dengan cepat meralat dan berkata yang benar, kita sedang belajar memelihara hati nurani kita bersih. Tanpa kita bersedia meralat, kebiasaan buruk menambah-nambahkan sesuatu/ berkata berlebihan tidak akan hilang. Kita harus belajar memperkatakan kebenaran. 

2. Tidak menyebarkan fitnah, tidak berbuat jahat, dan tidak menimpakan cela pada orang lain. 
Ini artinya kita tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap orang lain. Amsal berkata, “Memikirkan kebodohan (Amsal 24:9) dan merencanakan kejahatan (Amsal 24:8) mendatangkan dosa.” Ayo siapa yang sering kayak gini? “Awas yah kamu, WA ku gak dibalas, nanti giliran kamu nyari aku, aku juga diem aja no respond!” “Oh, jadi kamu begitu. Oke, saya juga bisa lebih sadis dari itu!” Hal seperti ini harus dibuang, meski baru timbul dalam pikiran. Berdoalah, berseru kepada Tuhan, “Tuhan, ampuni saya. Saya terluka dengan perkataannya dan saya jadi banyak mikir yang jelek dan mikir gimana caranya balas dendam. Tuhan, tolong saya... Pulihkan hati saya supaya saya gak berbuat jahat dengan merencanakan sesuatu yang Tuhan tidak berkenan.” Ini namanya orang benar. Bisa aja sepersekian detik dia salah; bisa aja dia ambil keputusan gak benar; tapi pas sadar atau ditegur, dia mau rendah hati dan bertobat. 

3. Tidak memandang hina orang lain dan berpegang pada sumpah walaupun rugi. 
Memandang hina artinya meremehkan dan menganggap orang lain tidak/kurang berharga. Akarnya adalah kesombongan, menganggap diri lebih baik dari orang lain, sehingga orang lain harus ikut keinginan saya, dengerin pendapat saya, dan hormati saya. Orang seperti ini tidak bisa tinggal dan diam di gunung kudus Tuhan karena sikap hatinya yang angkuh. Yuk sama-sama bertobat kalau keangkuhan ini masih ada dalam hati kita. 

Memegang janji walaupun rugi maksudnya menjadi orang yang bisa dipercaya: sekali berjanji pasti akan menepati sekalipun untuk menepatinya orang tersebut harus kehilangan banyak hal/menderita kerugian. Komitmen untuk setia pada janji sangat besar dampaknya. Orang akan kenal kamu sebagai seorang yang setia, yang dapat diandalkan, yang dapat dipercaya. Sekali kamu ngomong, “Ya, saya akan lakukan,” kamu berkomitmen untk mengerahkan segala daya melakukan apa yang telah kamu janjikan. Misalnya dalam dunia usaha. Setelah deal harga, ternyata ada salah hitung biaya produksi; sehingga ketika dihitung ulang, ternyata tidak membawa keuntungan. Kesalahan ada di pihak penjual; tapi waktu itu kita sudah deal dengan pembeli, termasuk masalah harga. Orang yang trustworthy akan berpegang pada janji, dia akan mengerjakan hal tersebut sesuai dengan kesepakatan, bukan dengan sungut-sungut dan terpaksa tapi karena menyadari bahwa ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia sepakati. 

4. Tidak memanfaatkan orang lain untuk mendapat keuntungan pribadi. 
Tidak berusaha ambil untung dari orang lain ini bukan masalah jualan/dagang ya. Tentunya kalau kita berdagang, kita mau mendapat keuntungan sewajarnya. Mengambil untung dari orang lain yang dibicarakan di sini artinya terus berpikir, “Apa nih, yang saya bisa dapat dari kamu?” Bisa juga mengambil untung dari kesusahan/penderitaan orang lain. Misalnya ada orang yang sangat butuh uang, dan kamu bersedia meminjamkan dengan bunga yang tinggi. Nah, ini tidak boleh. Demikian pula dengan menerima suap. Mulai dari hal yang kecil, misal orang minta tolong kepada kita, “Tolong dibantu [sesuatu yang tidak jujur] deh, nanti gue traktir lu makanan.” 

Ini semua dekat dengan hidup kita sehari-hari, dan kita perlu sungguh-sungguh menjaga diri supaya menjadi orang yang trustworthy. Trust takes years to earn, but only a few seconds to lose. Mari kita belajar membangun karakter ini dengan terus menjaga integritas hidup kita. Apa yang kita katakan, itu pula yang kita lakukan. Apa yang kita ajarkan, itu pula yang kita perbuat. Menghidupi apa yang kita kotbahkan, dan mengkotbahkan apa yang kita hidupi. Your faithfulness in small things matters to God; those very things are the ones that make a difference. 

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. 
Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar."
(Lukas 6:10)

Wednesday, August 22, 2018

Search My Heart, O Lord


by Leticia Seviraneta

“Above all else, guard your heart, for it is the wellspring of life.”
(Proverbs 4:23 / NIV)

Kita mungkin sering mendengar pengajaran mengenai menjaga hati, seperti beberapa bulan ini kita sudah belajar bagaimana musuh sering menyerang hati serta pikiran kita dan betapa pentingnya kita untuk memakai perlengkapan perang rohani. Ya, hati dan pikiran kita adalah medan perang di mana kita dapat dengan mudah terlena memikirkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Raja Salomo menuliskan nasihat yang sarat dengan kebenaran di Amsal 4:23 yaitu “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Di dalam terjemahan Alkitab Yang Terbuka ayat tersebut berbunyi: “Di atas segala-galanya hati-hatilah terhadap yang kaupikirkan karena pikiranmu mengendalikan hidupmu.” Wow... betapa dahsyat peranan hati dan pikiran kita bukan? Melalui hikmat Salomo, Tuhan berkata bahwa hati kita adalah sumber dari kehidupan. Apa yang ada di dalam hati kita sangat berperan penting menentukan arah hidup kita. Nah, bila hati dan pikiran kita biarkan melalang buana ke tempat yang tidak seharusnya, hidup kita pun berarti akan “nyasar” dari tujuan yang Tuhan sediakan bagi kita.

Berbeda dengan pengajaran dunia yang bahkan sering ada di lirik-lirik lagu seperti “Follow your heart”, Alkitab justru mengajarkan kita untuk tidak mempercayai hati kita atau istilahnya: “Don’t follow your heart!” Mengapa demikian? Karena di dalam kitab Yeremia, Tuhan mendeskripsikan betapa liciknya hati manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Hati kita tidak lagi dapat diandalkan untuk menjadi penentu arah kehidupan kita.

“Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan perbuatannya.”
(Yeremia 17:9-10)

Hati kita sudah terkontaminasi dengan dosa, tidak lagi dapat diandalkan untuk menentukan mana yang sesuai kehendak Tuhan mana yang tidak. Oleh karenanya, kita harus kembali mengandalkan Tuhan untuk senantiasa menguji hati kita, menunjukkan area-area mana saja yang perlu dibersihkan, supaya kita dapat melihat kembali dengan jernih kehendak-Nya.

Hati dan pikiran yang tidak benar (asumsi) juga bisa menjadi awal penyebab hubungan kita dengan sesama dapat dengan mudah retak. Ketika teman kita memberikan hadiah ulang tahun yang ‘murah’ kita dapat dengan mudah berpikir, “Ah betapa dia ga menganggap aku. Aku aja berikan dia kado yang mahal...” atau “Hiks pelitnya... masak kasih kado barang beginian?” Atau ketika dalam pelayanan teman kita yang baru saja join malah diangkat jadi pemimpin grup kita dapat berpikir, “Mengapa dia yang dipilih? Bukankah aku sudah lebih lama melayani dan lebih berpengalaman?” Hayo... Pernahkah teman-teman berpikir hal yang serupa? Skenario pertama yang tentang hadiah itu adalah pengalaman pribadiku sendiri. Aku merasa nyesek karena aku merasa berkorban lumayan besar memberikan kado untuk temanku itu, namun ia membalas hadiahku dengan sesuatu yang ia tidak pakai ketika ulang tahunku. Cukup lama aku bergumul di dalam hati dan pikiranku, semua yang negatif pokoknya menari-nari di dalamnya. Namun di situ aku ditegur Tuhan, Ia menunjukkan bahwa motivasiku ketika memberi itu berarti tidak tulus karena aku mengharapkan imbalan yang setimpal. Saat itu aku sadar hatiku tidak dalam kondisi baik, namun kesadaran saja pun belum cukup untuk mengembalikan hatiku sehat seperti semula. Dibutuhkan perjuangan dan waktu yang cukup lama untuk terus menggantikan pikiran-pikiran semacam itu dengan kebenaran.

The heart of the problem is the problem of the heart. Bila kita mau jujur, letak kunci dari permasalahan kita dalam hal relationship baik dengan Tuhan maupun sesama biasanya adalah masalah di dalam hati kita sendiri. Bila hati yang dijaga dengan baik oleh Firman Tuhan memancarkan kehidupan, maka sebaliknya bila hati tidak kita jaga dengan baik akan memancarkan “kematian”. Bau “kematian” itu yang akhirnya kita bawa dalam setiap relationship yang kita jalin hingga membuat hubungan menjadi retak, kemudian renggang, lalu pada akhirnya terputus sama sekali (mati). Bukan berarti juga pasti kita melakukan kesalahan, untuk beberapa kasus mungkin teman kita yang hati dan pikirannya kurang benar. Tapi menghadapi teman kita yang hatinya kurang benar, hati kita juga bisa terpengaruh tidak benar jika tidak dijaga. Yang bisa kita kendalikan adalah hati dan pikiran kita sendiri karenanya kita perlu terus jujur dan terbuka lalu meminta Tuhan untuk menguji hati kita. Atau dengan kata lain, kita sendiri membutuhkan yang namanya “heart check-up” secara rutin.

Daud yang diberi julukan “a man after God’s own heart” pun meminta heart check-up kepada Tuhan. Ia mengatakan,

“Search me, O God, and know my heart; test me and know my anxious heart; test me and know my anxious thoughts. See if there is any offensive way in me, and lead me in the way everlasting.” (Psalm 139:23-24)

Kata “search” yang dipakai dalam ayat ini dalam bahasa Ibrani adalah “chaqar” yang berarti to examine thoroughly, menyelidiki dengan seksama. Jadi Daud seperti memberikan dirinya secara terbuka dan meminta Tuhan untuk dengan bebas menyelidikinya dengan seksama, membuka hatinya serta mengenal seluruh pikirannya yang terselubung. Lalu kata “offensive way” dalam bahasa Ibrani memakai kata “otseb” yang dapat berarti pain, sorrow, idol. Daud bahkan meminta Tuhan untuk mengecek apakah ada rasa sakit, kesedihan, atau berhala dalam hatinya? Wow... di sini kita bisa melihat betapa rendah hatinya Daud karena ia benar-benar se-transparan itu di hadapan Tuhan dan mengakui betapa tidak sempurnanya ia. 

Seorang dokter dapat lebih mungkin menyembuhkan pasien yang sadar dirinya sakit dan memiliki keinginan untuk sembuh dibandingkan pasien yang tidak mau mengakui dirinya sakit, demikian juga halnya dengan Tuhan kita. Tentu saja Tuhan mau bekerja dalam hidup kita, dengan senang hati Tuhan mau menyelaraskan hati dan pikiran kita sesuai rencana-Nya. Namun dibutuhkan kerendahan hati dan transparansi dari pihak kita untuk memungkinkan Tuhan mengerjakan bagian-Nya juga. Tuhan memandang yang di dalam jauh lebih penting dari pada yang terlihat di luar.

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1 Samuel 16:7)

Jangan sampai kita lose focus, sibuk menjaga penampilan di luar namun keadaan hati yang jauh lebih penting justru terbengkalai.

Nah, sekarang bila kita sudah menyadari betapa pentingnya menjaga serta meminta Tuhan mengecek hati dan pikiran kita senantiasa, bagaimana kah caranya untuk dapat terbebas dari pikiran dan asumsi berlebihan tersebut? Paulus menuliskan,

“Don’t copy the behavior and customs of this world, but let God transform you into a new person by changing the way you think. Then you will learn to know God’s will for you, which is good and pleasing and perfect.”
(Romans 12:2 / NLT)

Dalam terjemahan lain Paulus menggunakan istilah “renewing of your mind”. Pikiran kita harus senantiasa diperbaharui, kebiasaan berpikir yang lama harus kita gantikan dengan yang baru. Apakah pola pikir yang baru itu?

“...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.”
(Filipi 4:8-9)

Bila pikiran kita seumpama gelas yang berisi air keruh, cara untuk membuatnya bersih kembali adalah dengan membuang seluruh air keruh tersebut dan mengisinya kembali dengan air jernih. Namun pada praktiknya, mustahil kita dapat menghapus semua pikiran negatif dalam sekejap seperti mengkosongkan air keruh tersebut. Jadi yang dapat kita lakukan adalah terus mengisi gelas tersebut dengan air bersih, sehingga air keruh itu perlahan namun pasti akan tergantikan dengan air baru. Proses renewing our mind sama halnya dengan menggantikan air keruh tersebut dengan air bersih, kita perlu ‘menimpa’ pikiran-pikiran yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dengan yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, penuh kebajikan, patut dipuji tersebut. Jadi ketika ada pikiran yang menari di pikiran kita, kita dapat langsung tanyakan kepada diri kita sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini mulia? Apakah ini adil? Apakah ini suci? Apakah ini manis? Apakah ini sedap didengar? Apakah ini sebuah kebajikan? Apakah ini patut dipuji? Bila jawabannya tidak, maka kita dapat menanyakan kembali kepada diri kita sendiri, “Apa yang Tuhan ingin aku pikirkan tentang itu? Apa kata Firman Tuhan dalam situasi ini?” Kita harus membuat sebuah tujuan untuk memakai kacamata Tuhan dalam melihat segala sesuatu. Belajar untuk melihat dari sudut pandang Tuhan dan bukan sudut pandang kita saja, apalagi membiarkan hidup kita dikendalikan oleh apa yang hati kita rasakan (hati itu menipu teman-teman, ingat don’t just follow your heart!) Tapi bukan berarti kita menjadi seorang yang naif. Yesus dapat menjaga pikiran-Nya senantiasa selaras dengan kehendak Tuhan, namun Yesus tidak naif.

“Dan sementara Ia di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya. Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.”
(Yohanes 2:23-25)

Yesus mengetahui hati manusia tidak stabil, karenanya ia tidak mempercayakan hati-Nya kepada mereka. Sama halnya dengan kita, kita harus mengatur ekspektasi kita terhadap sesama. Kita perlu melihat setiap individu di bawah terang kasih Tuhan, namun di saat yang bersamaan kita juga perlu mengingat bahwa setiap manusia rentan jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, ketika seseorang tidak memenuhi standar yang kita harapkan, kita tidak mudah kecewa. Bila kita tidak mudah kecewa, kita tidak membuka ruang untuk mengundang rasa sakit hati, tersinggung, maupun kepahitan dalam hidup kita.

Kita sering percaya dengan kebohongan yang mengatakan bahwa pikiran berada di luar kendali kita. “Pikiran ini selalu muncul setiap kali dia melakukan itu. I can’t help it!” Karena menganggap pikiran berada di luar kendali kita maka kita sering membiarkannya lepas tidak terkendali begitu saja. Ketika teman-teman sekarang membaca artikel ini, aku ingin meyakinkan bahwa pikiran sangat dapat kita kendalikan. Namun butuh ketekunan dan kedisiplinan. It takes time to train our mind, but that doesn’t mean it’s impossible. Bila Tuhan memberikan suatu perintah, ia memastikan juga perintah tersebut dapat dilaksanakan. Sama halnya bila kita punya hewan peliharaan seperti anjing, perintah yang kita berikan adalah “Sit!”,“Stand!”, atau “Run!” Kita tidak akan memberikan perintah “Fly!” kepada seekor anjing karena kita tahu itu tidak mungkin untuk dilakukan. Di dalam Kolose 3:2 dalam terjemahan NIV dikatakan, “Set your mind on things above, not on earthly things.” Dalam bahasa Indonesia tertulis, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Jadi pikiran jelas dapat kita kendalikan teman-teman ☺ No excuse.

Yuk, kita sama-sama meminta Tuhan menyelidiki hati dan pikiran kita. Biarlah kita terbuka di hadapan Tuhan supaya Tuhan dapat menolong kita untuk menggantikan setiap pikiran kita yang tidak benar menjadi selaras dengan kehendak Tuhan. With God, yes we can defeat all negative thoughts and replace it with Godly thoughts!

“To change your life, you must change the way you think.”- Rick Warren

Monday, August 20, 2018

Save His Money


by Stephanie Gunawan 

Nyiapin wedding tuh seru, heboh, dan menantang! 

Waktu awal persiapan, kami bikin budgeting. Kami punya target maksimum pengeluaran buat hari H, katakanlah sejumlah Rp X. Dari X itu, kami coba anggarkan: sekian buat makanan, sekian buat kue pengantin, sekian buat jas, gaun, baju orang tua, gedung, dll. 

Anyway, ternyata saya punya hati yang rada gak bener. Saya punya pemikiran gini. Misalnya, saya dan Mr. K udah budgetin untuk kue pengantin seharga 4 juta; saya mikirnya: “OKE! Saya akan cari model kue yang harganya 4 juta. Ngapain cari kue yang harga 1 juta kalau kita udah alokasiin dana 4 juta untuk kue? Toh perlengkapan yang lain juga masih bisa dibeli sesuai dengan jumlah yang kita anggarkan. Baiklaaahh!!” 

Sampe suatu ketika, saya punya keinginan-keinginan yang semakin “luar biasa”. Hahaha. Saya merasa sumber awalnya ada beberapa, tapi yang cukup berpengaruh adalah hasil browsing di internet. Dari melihat di website spesialis wedding, sampai liatin foto temen-temen yang udah ngadain wedding, semuanya bikin saya mupeng! Saya liatin dekorasinya, foto pre-wednya, kuenya, bajunya... Aaarrhhh, mau kaya gitu! Mau kaya gini! 

Mr. K ajak ngomong saya, “Fani, kalau keinginan kamu kaya gini, kita bisa over budget.” Ah, betul juga. Tapi saya masih berpikir, “Kan masih dalam budget... Kayanya gak apa-apa... Bisa lah...” Tapi tetep, Mr. K dengan tegas namun lembut (ciieehh, emang Mr. K paling bisa begitu! I am so lucky.) menjelaskan, lebih baik kami usaha agar tidak terlalu muluk-muluk. 

Saya cerita ke ci Diana yang pimpin Ensemble Galilea (anyway, namanya sekarang uda Galilea Orchestra lho) tentang hal ini. Tetapi dia bilang, “Fani, cici merasa,—sorry yah sebelumnya—kamu ada roh serakah.” Jederr!!! Cici melanjutkan, “Kalau kamu udah budget-in 4 juta buat kue, bukan berarti kamu mesti pake 4 juta kan. Kalau emang ada kue yang oke dan harganya 3,5 juta, itu kan lebih baik. Kamu bisa simpen 500 ribunya dan pake buat kepentingan yang lain.” 

Saya masih berontak dan berpikir, “Kan kepentingan yang lain juga udah ada budget-nya. Apa salahnya pakai semuanya?” Tapi jawaban yang muncul dari mulut saya adalah, “Hm... Mungkin aku pengen begitu karena dari kecil aku merasa gak pernah dapet apa-apa. Jadi sekarang kalau saya mau dikasih kue harga segitu, why should I not receive that?” I don’t know why I always believed that lie, padahal sebenernya ada banyak hal yang bisa saya syukuri. 

Ci Diana bilang, “Gimana kalau kamu melihat masa kecil kamu sebagai bentuk latihan untuk kamu berhemat? Daripada menyalahkan orang tua kamu yang gak kasih kamu macem-macem barang, kamu seharusnya bersyukur udah diajarin ortu kamu untuk hanya beli apa yang perlu dan penting. Dan sekarang, kamu bisa praktekkan kebiasaan baik itu.” 

Pembicaraan itu membuat saya berpikir. Entah gimana, saya teringat Amsal 31:12. 

"Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya."
(Amsal 31:12)

Ia berbuat baik kepada suaminya... 
Ia berbuat baik kepada suaminya...
Sekali lagi, ia berbuat baik kepada suaminya...
Hmmm...

Ngabisin duit suami termasuk perbuatan jahat yah? Padahal dia carinya cape-cape. Seringkali kalo ketemu, dia juga lelah dan bawa cerita kalau di toko begini-begitu. Kemudian... Uang yang dia cari dengan susah payah malah saya pakai sembarangan buat beli sesuatu yang terlalu mahal. Padahal mungkin gak usah semahal itu, juga udah dapet barangnya. 

Yeah, I think so. Saya rasa, memanfaatkan penghasilan suami untuk keperluan—atau lebih tepatnya keinginan—saya sampai berlebihan, termasuk perbuatan jahat. Oh, no!! Masa saya jadi istri yang jahat? Gak mau dooonkk... Kan mau jadi wanita seperti dalam Amsal 31. Masa’ malah ngabisin duit suami seenaknya?? 

Hmm... saya mesti pinter pakai uang dia. Pinter ngaturnya juga. Gimana caranya yah? Mungkin saya akan mulai dari stop minta barang yang mahal-mahal. Kebutuhan sekunder, seperti: upgrade ini, upgrade itu, gak usah deh. Utamakan kebutuhan primer dulu aja. Kalau memang mau ada tambahan dekorasi yang manis-manis, coba cari di Youtube ide-ide kreatif gimana bikin ini itu. Be creative, save his money, save his pride. Itu PENTING!! :) Dan yang gak kalah penting: Be grateful! Saya akan belajar mencukupkan diri dengan provision yang disediakan suami and be grateful. :) Ya iya lah bersyukur. Apa sih yang gak bisa disyukuri? Ada yang memilih saya untuk jadi istrinya lhooo! KYAA!!! KYAA!!! *euphoria jejingkrakan* Senang sekaliiiii... Hihihihihi... XD 

Well, itulah salah satu pelajaran yang saya dapat dari masa persiapan ini. Ternyata jadi seorang istri harus belajar mengelola duit suami. Sekarang Mr. K masih cami (calon suami), tapi ntar kan beneran jadi suami (Amin!). Jadi gak ada salahnya kalau dari masa persiapan ini saya mulai belajar mengelola keuangan dengan baik. Nantinya, udah gak ada “uang dia” atau “uang saya”, yang ada cuma uang kami. So, sama sekali gak ada ruginya saya belajar dari sekarang. \(^.^)/

Friday, August 17, 2018

Penyelamat Bangsa


by Glory Ekasari 

Masih segar dalam ingatan saya ketika masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Dua pasangan calon (paslon—orang Indonesia mah semua ada singkatannya) yang bertarung, Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla, punya pengikut yang sama-sama die hard, yang sangat bersemangat membela pasangan yang mereka unggulkan. Antusiasme luar biasa itu (orang tua saya sampai bilang, “Belum pernah rakyat Indonesia sampai melek politik seperti ini!”) ternyata ada eksesnya juga: kampanye hitam dari kedua belah pihak. Namanya juga kampanye hitam, dengan cara-cara yang licik dan bahkan memanfaatkan dusta, akhirnya pasti menimbulkan permusuhan. Saya menjadi saksi perang status di media sosial, sesama teman saling menyerang dan menghina karena beda pandangan politik, dan akhirnya fenomena unfriend pun terjadi. 

Kenapa jadi seperti itu? Karena pendukung masing-masing pihak percaya bahwa paslon yang mereka dukung akan menyelamatkan bangsa ini. Saya pribadi sih tidak merasa kondisi Indonesia parah-banget-hampir-bangkrut-dan-bubar, tapi saya juga punya harapan bahwa paslon yang saya pilih ketika itu akan membawa Indonesia maju, jadi negara yang mampu bersaing secara global. Dan saya merasa paslon sebelah juga jadi salah satu ancaman bagi keselamatan Indonesia! Mungkin waktu itu saya juga berpotensi jadi die hard supporter paslon yang saya dukung. Untung ga sampai jadi keyboard warrior dan bermusuhan dengan orang lain. 

Nah, dua orang capres tahun 2014 bertemu lagi head-to-head dalam Pemilu 2019, hanya beda cawapres. Hari pengumuman cawapres yang lalu bagi saya menjadi penanda dimulainya keseruan menjelang Pilpres 2019. Ketika cawapres kedua belah pihak diumumkan, saya melihat reaksi kekecewaan dari kedua kubu. “Kok dia sih?” “Dia mah ga beres kerjanya.” “Itu mana bisa kerja?” dan yang paling parah, “Ah, males milih jadinya... Golput aja!” 

Sekali lagi, mengapa timbul reaksi demikian? Saya rasa sama saja penyebabnya: pendukung kedua capres berharap bahwa capres yang mereka dukung akan menjadi penyelamat bagi Indonesia. 

Saya tiba-tiba ingat sebuah kejadian dalam Alkitab, yang akan saya bahas dalam artikel ini. 

Bangsa Israel kala itu berada dalam kondisi yang berbeda dengan bangsa kita sekarang. Kita merdeka, mereka dijajah. Mereka ada di bawah pemerintahan bangsa Persia, dengan raja Ahasyweros (Xerxes I) di takhta. Secara kebetulan, raja Ahasyweros sebelumnya telah mencari ratu pengganti ratunya yang diceraikan karena tidak menuruti perintah raja. Dan secara kebetulan, Ester (atau Hadasah), seorang wanita Yahudi, dipilih raja menjadi ratu yang baru. Setelah itu terjadi konflik antara Mordekhai, paman Ester, dengan Haman, seorang pembesar raja Ahasyweros. Mordekhai, Ester, dan semua orang Yahudi yang tinggal di benteng Susan sepakat untuk berpuasa dan berdoa agar Ester bisa menghadap raja dan menyampaikan permasalahan ini. Singkat cerita, raja Ahasyweros mengabulkan permohonan Ester agar bangsanya diselamatkan, dan menghukum mati Haman. 

Cerita ini ditulis dalam kitab Ester. Dan sekalipun dalam kitab Ester kita tidak menemukan nama Allah disebut satu kalipun, semua pembacanya akan setuju bahwa apa yang terjadi dalam kitab itu menunjukkan pemeliharaan Allah yang luar biasa atas umat-Nya. Orang Yahudi sebelumnya sudah dua kali mengalami holocaust: oleh bangsa Asyur dan bangsa Babel. Mereka hampir mengalami holocaust berikutnya oleh bangsa Persia, tetapi tangan Tuhan yang tidak kelihatan melindungi mereka dari kepunahan. 

Kalau ditanya, siapa yang menyelamatkan bangsa Yahudi? Jawabannya bukan Ester, bukan juga Mordekhai, atau bahkan raja Ahasyweros. Setiap kali hari raya Purim dirayakan di Israel sampai hari ini, mereka tidak memuja orang-orang itu, tetapi memuji Tuhan yang telah menyelamatkan bangsa mereka. Penyelamat Israel yang sejati adalah Allah Yang Mahakuasa. 

Demikian juga, penyelamat Indonesia yang sejati adalah Tuhan yang kita sembah, Yang Mahakuasa. 

Kedua paslon, semua anggota legislatif, semua jajaran pemerintahan, adalah manusia. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan negara ini; mereka hanya bisa memanfaatkan pengalaman dan keahlian mereka untuk bekerja bagi negara. Tapi faktor penentunya ada di tangan Tuhan. Atas kehendak Tuhan, dalam sehari, keputusan untuk membantai semua orang Yahudi berubah jadi keputusan yang menguntungkan mereka. Atas kehendak Tuhan juga Indonesia akan maju atau mundur; bukan atas kehendak manusia. 

Jangan sampai kita terlalu memandang orang-orang yang hanya menjadi alatnya Tuhan untuk memimpin negara, sampai kita kehilangan sound judgment dan kecewa, putus asa, marah, atau mendukung dengan membabi buta. Jangan sampai kita seperti murid Yesus yang berkata, “Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak (Yesus mati)” (Lukas 24:21). Mereka tidak bisa melihat karya Tuhan karena mereka mengharapkan Yesus menjadi raja duniawi, bukan Raja segala raja! 

Kita adalah umat Tuhan, kita percaya pada Tuhan yang, sekalipun tidak kelihatan, berkuasa mengendalikan bangsa-bangsa, termasuk bangsa kita. Pak Jokowi dan pak Prabowo adalah orang-orang yang berpengaruh, tetapi mereka bukan Tuhan; mereka manusia biasa seperti kita yang dipakai Tuhan untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Mari kita menentukan pilihan sesuai pertimbangan kita, tapi ketahuilah dengan pasti bahwa hasil akhir dan nasib negara ini tidak berada di tangan mereka, namun di tangan Tuhan, Juruselamat Indonesia yang sebenarnya.

Wednesday, August 15, 2018

Speaking Gracious Words


by Glory Ekasari

Sudah jadi rahasia umum bahwa wanita lebih hobi ngomong dibanding pria. Wanita memang cenderung mengekspresikan diri lewat kata-kata; jadi ngga mengherankan kalau kita melihat sekelompok tante-tante ngerumpi dengan begitu serunya – tapi tentu mengherankan kalau yang ngerumpi itu om-om. Wanita itu, kalau sedang senang, bawaannya cerita. Kalau sedih, maunya curhat (ga beda juga sama cerita). Kalau lagi marah, ngomel panjang lebar. Kalau lagi ngga ada teman bicara, rasanya kesepiaaan banget. 

Tema artikel ini adalah gracious words, atau secara lepas bisa diterjemahkan “kata-kata yang membangun”. Bagi kita, kaum wanita yang suka bertutur kata, tema ini adalah refleksi yang penting. “Apakah kata-kata saya membangun?” adalah pertanyaan yang harus terus-menerus kita tanyakan pada diri sendiri. Sesekali salah bicara itu wajar; tapi kalau banyakan salahnya dibanding benernya, itu berarti ada yang ngga beres. Kalau mayoritas kata-kata kita tidak berguna (contoh: ngomongin orang, mengucapkan makian, membicarakan diri sendiri mulu, dsb), ini waktunya kita berubah. Mengapa harus berubah? Karena kita anak-anak Allah; pikiran, perbuatan, dan perkataan kita adalah persembahan yang hidup bagi Allah (Roma 12:1). Masa Tuhan diberi persembahan yang cacat, yang penuh cela? Selayaknyalah kita memberi Tuhan persembahan terbaik lewat kata-kata kita. 


// “Mengapa kata-kata saya tidak membangun?” 

Demikianlah pertanyaan yang saya ajukan pada diri sendiri lalu. Pembaca bertahun-tahun mungkin memikirkan hal yang sama. “Kenapa ya, saya suka ngomongin orang?” “Kenapa saya sering berkata-kata kasar?” Pembaca mungkin pernah mendengar sebuah pameo yang berbunyi, “Hurt people will hurt others.” Orang yang terluka cenderung melukai orang lain. Ini adalah contoh penyebab tindakan negatif manusia. Kita secara naluriah memanifestasikan apa yang ada di dalam kita dalam bentuk perbuatan. Bila yang ada di dalam kita baik dan sehat, tindakan dan perkataan kita juga baik dan sehat. Demikian pula sebaliknya, bila kita “sakit” di dalam, hal itu juga nampak dari perkataan dan perbuatan kita. 

Tuhan Yesus menyatakannya dengan kalimat yang lebih jelas: 

“Yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat.”
(Matius 12:34-35)

Jadi bila kita menyadari kata-kata kita tidak membangun, ungracious, menyakiti orang lain, kita wajib bertanya pada diri sendiri, “Apa yang ada di dalam saya?” Jangan-jangan yang ada di dalam saya adalah: 
  • Rasa minder 
  • Rasa tidak aman atau insecure
  • Iri hati 
  • Dendam atau sakit hati
  • Trauma karena pengalaman tertentu 
  • Hati yang keras dan menolak bertobat dari dosa 
Apapun yang ada di dalam kita, yang kita tahu tidak sesuai kehendak Tuhan, harus kita bereskan. Seumpama penyakit, ditembak langsung ke akarnya. Bila kita hanya berniat mengubah kata-kata tanpa menyembuhkan apa yang ada di dalam, itu sama saja dengan minum obat turun panas untuk penderita demam berdarah; itu hanya meringankan gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Dengan kata lain: mubazir, karena gejala itu akan kembali lagi selama penyakitnya masih ada. 

Kalau hati kita penuh dengan kasih, kita cenderung maklum pada kekurangan orang lain dan mengharapkan yang baik untuk dia, dan itu terwujud dari kata-kata kita. 

Kalau hati kita penuh luka, secara tidak sadar kita ingin orang lain ikut merasakan sakit yang kita alami, jadi kita menyakiti dia lewat perkataan kita. Kalau hati kita penuh damai sejahtera, dikritik pun kita bisa legawa. Tapi kalau kita insecure, kita akan membela diri habis-habisan dan balik menyerang orang yang mengkritik kita. 


// Belajar dari tokoh-tokoh Alkitab 

Salah satu contoh yang mentereng tentang orang yang gracious dalam berkata-kata adalah Yusuf. Orang lain mungkin dendam dan super sakit hati bila dijual sebagai budak oleh kakak-kakaknya dan menyalahkan mereka atas penderitaan selama belasan tahun. Tapi lihat apa kata Yusuf kepada saudara- saudaranya ketika mereka sujud ketakutan di hadapannya: 

“Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” Demikianlah ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya. 
(Kejadian 50:19-21)

Selama bertahun-tahun ia menanggung penderitaan, kita bisa berasumsi Yusuf sempat sakit hati pada kakak-kakaknya; tapi seiring berjalannya waktu, ia jadi bersahabat dengan Tuhan dan hidup untuk melayani Dia. Kedewasaan imannya bisa kita lihat saat dia menolak berselingkuh dengan isteri bosnya. Hubungannya dengan Tuhan membangun imannya dan menyembuhkan hatinya. 

Contoh lain dalam Firman Tuhan adalah Rut. Pembaca mungkin berpikir, emangnya Rut ngomong apa? Tepat sekali! Rut memang sedikit bicara, bahkan dalam kitab yang menyandang namanya. Tapi ketika dia bicara, kata-katanya tidak sembarangan. Seperti Yusuf, yang melatarbelakangi karakter Rut yang mengesankan ini adalah pengenalannya akan Allah. Ketika Naomi menyuruh Rut pulang ke rumah orang tuanya, jawaban wanita muda itu adalah: 

“Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; dimana engkau mati, aku pun mati di sana, dan disanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain daripada maut!” 
(Rut 1:16-17)

Dia memilih mengembara di negeri orang bersama mertuanya dibanding pulang ke rumah orang tuanya. Mengapa? Karena Rut sudah mengadopsi iman sang mertua, dan ia tidak mau kembali lagi ke kehidupan lamanya. Bagi Naomi, yang sedang berduka, betapa menghiburkan jawaban Rut ini. 

Setelah sampai di tanah Betlehem, kita bisa memperhatikan apa yang tidak dilakukan Rut: ia tidak mengeluh, ia tidak meratapi nasibnya, ia tidak membicarakan penderitaannya dengan orang lain. Dia bekerja dengan tekun untuk menyambung kehidupannya dan mertuanya. Ini contoh orang asing yang karakternya bahkan lebih baik dibanding orang Israel sendiri. 

Contoh terakhir adalah Stefanus. Sebagai martir pertama dalam Kisah Para Rasul, dia hanya diceritakan sebentar saja dalam Alkitab. Tapi kata-kata terakhir yang diucapkannya bisa dibilang lebih dari gracious. Saya akan memberinya ranking impressive. Bagaimana tidak, dia meneladani Tuhan Yesus dengan kata-kata yang hampir sama: 

Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia. 
(Kisah Para Rasul 7:60)

Di tengah lemparan batu orang-orang yang membencinya, permintaan terakhir Stefanus kepada Tuhan adalah supaya Ia mengampuni orang-orang yang membunuhnya. Kata-kata ini tidak dibuat-buat – konon orang yang sedang sekarat akan berkata jujur. Lagi-lagi, seperti Yusuf dan Rut, yang membuat Stefanus bisa bertindak sedemikian mulia adalah Tuhan yang ada di dalam dirinya. Ketika bejana hidupnya dipecahkan, harta yang berlimpah-limpah – Kristus yang ada di dalam dirinya, menjadi kelihatan bagi semua orang. 

Satu-satunya cara agar perkataan kita menjadi gracious words adalah dengan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan. Tuhan sanggup mencabut apapun yang tidak baik yang ada dalam hati kita dan menyembuhkannya dengan sempurna. Prosesnya tidak terjadi dalam satu-dua hari, tapi bila kita tekun berdoa dan membaca Firman Tuhan, perlahan tapi pasti hati kita berubah. Dan bila hati kita berubah, perkataan dan perbuatan kita juga akan berubah. 

Dulu saya terkenal sering menyakiti orang lain dengan perkataan saya. Usut punya usut, di dalam hati saya merasa tidak cukup baik sebagai manusia; saya selalu merasa kurang dan harus membuktikan diri. Saya merendahkan dan menyakiti orang lain dengan kata-kata saya untuk memenuhi kebutuhan dalam hati itu. Tapi ketika saya mulai hidup bersama Tuhan, Dia membentuk dan mendidik saya dengan Firman-Nya. Beberapa tahun kemudian, seorang teman berkata tentang saya, “Setiap kali aku ngobrol sama kamu, I get something. Your words are full with wisdom. Saya hanya bisa terharu mengingat seperti apa saya dahulu dan betapa drastis Tuhan telah mengubah saya. Dan bila Dia bisa mengubah saya, Dia bisa mengubah siapa saja. 


// Bagaimana Caranya? 

"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya."
(Yehezkiel 36:26-27) 

Amin bagi janji Tuhan. 

Monday, August 13, 2018

Selingkuh, Saya?!? Ga Mungkin Lah Ya...


by Grace Suryani Halim

Dulu sebelum saya married, kalau denger kata selingkuh pikiran pertama saya adalah, "Ah gue mah ga mungkin... Ga bakal lah suka sama cowok lain kalau sudah menikah! Janji suci!" Setelah menikah, heemmm ternyata tidak segampang yang saya pikirkan. 

Menikah ternyata tidak membuat cowok-cowok ganteng di luar sana berubah menjadi buruk rupa. Menikah juga tidak otomatis membuat cowok-cowok di luar sana jadi tidak menarik lagi. Cilakanya, kadang yang terjadi justru sebaliknya. Karena setiap hari bertemu dengan suami kita di rumah yang 4L (Loe Lagi Loe Lagi), bisa membuat kita menjadi kebal terhadap kelebihan suami kita. Suami sayang istri, sudah seharusnya loh. Suami bekerja keras, yah memang sudah kodratnya! Kelebihan suami kita anggap sudah sewajarnya/seharusnya/semestinya, kekurangan suami kita highlight, bold, italic dan diperbesar! Alhasil, suami kita jadi keliatan tidak semenarik cowok-cowok di luar sana. 

Lalu bagaimana? Bagaimana kita sebagai para istri yang takut akan Tuhan menyikapi hal ini? 
1. Pencobaan-Pencobaan Biasa 
Ketika kita mendapati diri kita tertarik/kagum pada orang lain yang bukan pasangan kita, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah tetap tenang. Itu pencobaan BIASA. Maksudnya?!?!!?! Tertarik sama cowok lain kok bisa pencobaan biasa?!?!!? 

Well, ketika ada istri-istri yang curhat kepada saya soal ini, biasanya banyak yang shock, kaget dan berpikir, "Kok bisa-bisanya gue begini!??!!?" Sekalipun rasa shock itu wajar tapi terus menerus terkaget-kaget/menyalahkan diri itu sama sekali tidak bermanfaat. 

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
(1 Kor 10:13)

Rasul Paulus mengatakan, kunci pertama untuk menang dari pencobaan adalah sadar, bahwa pencobaan yang kita alami itu pencobaan yang biasa! Artinya biasa di sini adalah, tidak melebihi kekuatan manusia, kamu bukan satu-satunya orang yang pernah mengalami ini dan Tuhan akan memberikan jalan keluar kepadamu! 

Dalam pencobaan ini, percayalah gals, you're not alone. Ada banyak istri-istri yang takut akan Tuhan, aktif pelayanan, cinta Tuhan yang juga pernah mengalami tertarik dengan pria lain. Awalnya saya ga percaya. Tapi ternyata... Ga sedikit memang. Bener banget yang Tuhan Yesus katakan bahwa kita harus berdoa dan berjaga-jaga karena daging kita itu lemah. 

Ketika kita terus-menerus berkubang dalam perasaan shock, kaget, tak percaya, kok bisa-bisanya gue begini!??! Kita justru memberi peluang kepada iblis untuk terus menerus 'mengipasi' kita. 

2. Jangan sombong 
Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!
(1 Korintus 10:12)

Kesombongan adalah langkah pertama menuju kebinasaan. Pikiran yang sombong akan menuju kekalahan.
(Amsal 16:18)

Ketika kita merasa ada perasaan-perasaan yang tidak sewajarnya terhadap orang lain, maka lebih baik kita mengakuinya. Jangan sekali-sekali berpikir, "Ah gue mah ga mungkin selingkuh!!! Kita ga ada apa-apa kok!!" Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dengan kesombongan. Jangan mengira bahwa kita teguh berdiri, pasti selalu setia, tidak mungkin bisa digoda, tidak bakal jatuh ke dalam perzinahan. Hati-hati... Iblis itu ga cuman duduk nongkrong tunggu bola. TIDAK! Iblis itu BERJALAN BERKELILING seperti singa yang mengaum mencari orang yang dapat ditelannya (1 Pet 5:8).

Lalu apa yang harus kita lakukan? 

Martin Luther pernah mengatakan, "Kita tidak bisa mencegah burung terbang di atas kepala kita, tapi kita bisa mencegah burung membuat sarang di atas kepala kita." 

Rasa kagum mungkin bisa datang dengan tiba-tiba, sama seperti burung yang terbang di atas kepala kita. Susah ditebak. Tapi sebenarnya tidak penting untuk tahu burung itu asalnya dari mana. Yang lebih penting adalah mencegah burung itu (rasa kagum) membuat sarang di atas kepala dan hati kita. Artinya, kita bisa dan harus mencegah perasaan kagum/tertarik itu untuk membuat 'sarang' dan berkuasa di atas hati kita. 

3. Allah Setia 
Ingatlah selalu bahwa Allah itu setia! Dia menunjukkan kasih setia-Nya dengan memberikan jalan keluar sehingga kita bisa menanggungnya. Artinya dalam setiap pencobaan, Tuhan sudah dan pasti menyediakan jalan keluar. Namun masalahnya kadang, kita ga mau ambil jalan keluar yang Tuhan sediakan. Ketika Roh Kudus memberikan hint-hint dengan perasaan ga enak, ga sreg, ga nyaman, kita berusaha membenarkan perbuatan kita dengan alasan, "Ah, cuman begini doank", "Ah ga bakal ada apa-apa", "Kita kan harus menolong orang yang lagi dalam kesusahan", "Kasian dia, ga ada yang dengerin. Kalau sehabis curhat, gue suka doain dia kok." 

Gals, jika Roh Kudus memberi hint-hint, taatlah. Itu jalan keluar yang Allah sediakan. 

Beberapa tips yang mungkin bisa dilakukan:
1. Cerita dengan Pasangan
Ketika saya mendapati diri saya merasa kagum dengan laki-laki lain selain suami saya, maka hal pertama yang saya lakukan setelah berdoa adalah cerita dengan suami saya. Cerita apa? Yah jujur terus terang mengatakan kalau saya kok merasa kagum dengan si blablabla. Kebiasaan saya memang setelah menikah jika ada laki-laki yang curhat soal pribadi, pasti saya cerita ke suami. Nah kalau saya merasa kagum dengan seseorang, maka ketika saya ketemu dengan orang itu, pulangnya saya pasti cerita dengan detail. Ketemu di mana, ngobrol apa saja. Suami saya sih ketawa-ketawa saja. Tapi bagi saya, itu menjadi semacem pagar. Jadi saya memperhatikan betul apa yang saya obrolkan dengan orang itu, karena saya tau sehabis ini saya akan cerita semua sama suami saya. Satu hal yang biasanya selalu saya katakan kepada suami saya adalah, "Saya bisa ga cerita ini sama kamu. Tapi saya memilih untuk cerita karena saya tidak ingin buka celah dalam pernikahan kita." 

Sebelum bercerita kepada suami, ada baiknya kita berdoa terlebih dahulu. Minta hikmat dari Tuhan dan tanya kepada Tuhan kapan harus cerita. Minta juga supaya Tuhan yang menyiapkan hati suami kita dan menjaga emosinya. 

2. Evaluasi dan Doakan Hubungan Pernikahan Anda 
Biasanya, perasaan kagum terhadap orang lain muncul ketika kualitas pernikahan kita sedang kurang baik. Entah karena sama-sama sibuk, atau suami sering tugas keluar kota, atau mungkin ada masalah yang belum terselesaikan. Karena itu, penting juga untuk berhenti sejenak dan berbicara dengan pasangan kita mengenai pernikahan kita. 

Selain itu haruslah kita mendoakan pernikahan kita. Doakan supaya hubungan kita dan suami semakin mesra, semakin saling mengerti, saling percaya, dapat bekerja sama dengan baik. 

3. Ingat Kelebihan-Kelebihan Suami
Tulis dan sengaja ingat-ingat kelebihan suami kita. Lalu puji suami kita atas kelebihan-kelebihannya. Ketika tiba-tiba teringat akan kebaikkan/kelebihan laki-laki lain, langsung ingat bahkan ucapkan kelebihan suami kita. 

4. Lakukan Hal yang Tuhan Perintahkan untuk Dilakukan
Dan yang terakhir, jika kita merasa Tuhan meminta kita untuk melakukan sesuatu, sekalipun itu mungkin keliatan drastis (tidak membalas sms/message, block orang tersebut dari FB/Whatsapp, bahkan ada seorang teman saya yang sampai memutuskan untuk pindah tempat kerja). Ketika kita mengambil langkah drastis, mungkin akan ada suara-suara sumbang yang berkata, "Ih ga perlu lah sampe segitunya," tapi jika memang itu yang Tuhan minta anda lakukan, TAATLAH. Karena di mata Tuhan, pernikahan adalah gambaran hubungan Yesus dengan gereja-Nya. Ketika Yesus berjuang untuk mempelai-Nya, Gereja, Ia juga mengambil langkah yang drastis, turun ke dunia sebagai bayi dan mati di kayu salib.

Hubungan suami istri, selalu layak untuk diperjuangkan. Selamat berjuang.

Friday, August 10, 2018

Pleasing God or People?


by Poppy Noviana

Saya adalah anak pertama dari sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Papa, Mama dan seorang adik. Sejak mengalami krisis moneter, keluarga kami merasakan terjadinya perubahan dari segi finansial. Keadaan semakin sulit ketika saya dan keluarga harus menerima kenyataan bahwa Papa di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Hal ini menjadi pukulan besar sekaligus ancaman bagi kami sekeluarga. Masa depan kami sepertinya akan suram. Masih teringat jelas waktu itu saya sedang dalam masa-masa menyelesaikan pendidikan SMP dan mau memasuki tingkat SMU, sehingga sangat banyak biaya yang dibutuhkan untuk biaya daftar ulang dan keperluan lainnya. Sulit rasanya, ditambah lagi posisi sebagai anak sulung yang dituntut untuk bertanggung jawab terhadap keluarga. Puji Tuhan, semua hal sulit yang saya alami merupakan cara Tuhan untuk membentuk karakter dan kedewasaan mental saya. 

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman yang saya alami dalam peran saya sebagai seorang siswa di sekolah, seorang sahabat di dalam pergaulan, seorang karyawan di kantor dan seorang pelayan di gereja, untuk dapat menyenangkan Tuhan dalam setiap peran yang saya lakukan. 


// Menjadi seorang Siswa untuk Menyenangkan Tuhan

Saya sudah mengenal Tuhan sejak kecil. Puji Tuhan saya terlahir di tengah keluarga yang sudah percaya Tuhan. Tetapi ketika saya diperhadapkan pada situasi keuangan yang sulit, hubungan dengan Tuhan menjadi hal yang berbeda buat saya. Saat itu kehidupan saya sebagai seorang kristiani hanyalah sebagai rutinitas. Saya pergi ke gereja dan memiliki kehidupan rohani yang biasa-biasa saja dan tidak bertumbuh, apalagi berbuah. Kesulitan hidup membuat saya merasa tidak sanggup dan menyerah untuk tetap bertahan, sehingga semakin hari hanya Tuhan saja yang dapat saya andalkan dalam setiap pergumulan yang ada.

Pada saat mau memasuki SMU, akhirnya saya bergumul keras karena cita-cita saya untuk masuk sekolah negeri unggulan menjadi harapan yang tidak tercapai. Papa saya lebih mendukung agar saya masuk SMK dengan tujuan bisa langsung bekerja. Menyenangkan sih buat saya secara pribadi, setidaknya saya masih didukung untuk melanjutkan pendidikan. Tapi, tetap saja itu bukan cita-cita yang saya harapkan, dan tuntutan untuk segera bekerja membuat saya jadi tertekan.

Mulai memasuki semester pertama di SMK, saya merasakan bahwa semua yang saya lakukan hanya sekedar untuk menyenangkan Papa. Tidak sama sekali saya lakukan dengan serius, sampai akhirnya saya memperoleh peringkat ke 32 dari 34 siswa. Rasanya malu dan minder jadinya, tetapi rencana Tuhan memang rancangan damai sejahtera, Dia menguatkan saya melalui sebuah kegiatan ekstrakurikuler cheerleaders yang akhirnya saya ikuti, karena hobby saya sejak kecil adalah menari.

Sesuatu yang sangat berharga bagi saya dalam melalui masa itu dan mengubahkan saya adalah ayat-ayat dari kitab Amsal yang mengajar dan menegur dengan tegas. Beberapa ayat yang menjadi kekuatan, dari Amsal 6:6-8 dan 1Timotius 4:12.

“Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.”
(Amsal 6:6-8)

“Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” 
(1Timotius 4:12)

Dua peristiwa yang membuat ayat-ayat di atas sangat berharga adalah ayat ini mampu menguatkan saya di saat prestasi saya di kelas hancur akibat motivasi yang salah saat memutuskan untuk masuk SMK. Situasinya adalah ketika persiapan untuk UAN (Ujian Akhir Nasional). Prestasi yang buruk membuat teman-teman sekelas meremehkan saya. Mereka juga tidak sungkan untuk memberitahu saya kunci jawaban untuk digunakan sebagai contekan di kelas saat ujian berlangsung. Ada yang mencari bocoran jawaban dan membagikannya, dan ada juga yang berbagi melalui SMS berantai. Tapi melalui situasi ini saya mengambil keputusan untuk belajar tekun. Setiap jam istirahat, saya luangkan waktu untuk membaca kembali pelajaran yang baru dijelaskan oleh guru di kelas.

Selain itu, saya mulai membangun hubungan yang serius dengan Tuhan melalui saat teduh pagi dan renungan malam. Meskipun pada saat itu saya masih bolong-bolong untuk renungan, tapi sungguh motivasi yang salah itu semakin hari semakin bergeser dan akhirnya berubah menjadi sebuah tekad yang utuh. Tekad tersebut adalah keinginan untuk menjadi teladan di tengah-tengah kondisi yang mudah membuat saya kompromi dengan dosa penipuan (menyontek). Bagi saya menyontek adalah menipu diri sendiri, karena bukan hasil upaya keras dari dalam diri melainkan hasil karya orang lain yang dijiplak.

Pada saat itu saya diremehkan dengan opini-opini yang menyudutkan. Bahkan saya dianggap bukanlah seorang siswa yang berpengaruh, karena dari kalangan agama Kristen (minoritas) dan buruk dalam prestasi. Tapi hasil akhir-lah yang membuktikan. Saya mendapat peringkat ke-4 dan lulus dengan predikat sangat baik. Sungguh nyata didikan Tuhan bagi anak yang tidak menolak-Nya dan tidak bosan atas peringatan-Nya.

“Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang Papa kepada anak yang disayangi.” 
(Amsal 3:11-12)

Yang kedua, adalah ketika saya menjadi seorang anggota cheerleaders di sekolah. Saya merasa sangat malas sebenarnya untuk pergi ke sekolah. Sempat terpikir untuk berhenti saja, tapi dari situ saya berusaha memotivasi diri dengan membeli buku If High School is a Game, dengan maksud untuk merubah mindset, namun hal itu hanya sedikit membantu dan tidak bertahan lama. Akhirnya ketika saya bergumul kepada Tuhan tentang apa yang harus saya lakukan, saya menemukan jawaban, yaitu keputusan untuk masuk keanggotaan cheers. Tuhan mulai membangun karakter rajin dalam diri saya melalui kegiatan ini, karena setiap anggota dituntut untuk berlatih 3 kali seminggu dan selama 4 jam. Belum lagi pemanasan, bentakan keras dari senior dan pegel-pegel seluruh badan karena gerakan-gerakan senam lantai yang tidak mudah.

Melalui ayat Amsal tadi saya diajarkan oleh Tuhan, bahwa semut aja bisa mengatur dirinya, bisa memiliki strategi untuk bertahan hidup menghadapi perubahan musim. Apalagi saya yang diberikan akal budi untuk berpikir dan talenta untuk menari oleh Tuhan, kenapa saya tidak maksimalkan potensi selagi masih muda. Akhirnya menyabet piala demi piala pun kami lakukan, kekompakan tim dan strategi untuk menjaga semangat untuk sekolah saya peroleh seperti halnya semut.

Dari kedua peristiwa yang saya sebutkan di atas, saya mangalami suatu terobosan, didikan Tuhan dan kuasa-Nya bekerja di saat saya mengalami kesulitan hidup. Kesaksian ini adalah rasa syukur, atas apa yang Tuhan izinkan terjadi bagi saya. Terobosan besar dalam diri saya dan pola pikir yang mau berjuang, semuanya bisa saya lakukan karena motivasi untuk menyenangkan Tuhan dalam peran sebagai seorang siswa.

Jadi, terimalah didikan Tuhan dalam diri kalian, jangan menolak dan bosan. Karena Tuhan adalah sumber hikmat dan pengetahuan, sehingga suatu terobosan bisa terjadi dalam diri kita jika kita ada di dalam Dia. Janji Tuhan adalah ya dan amin, oleh karena itu, ingatlah firman Tuhan yang berkata, 

“Dengan bermalas-malas takkan tercapai yang diidamkan; dengan bekerja keras orang mendapat kekayaan.”
(Amsal 12:27 / BIS)

Hal yang menghalangi kita untuk berhasil adalah kemalasan dari dalam diri sendiri.


// Menjadi seorang Sahabat untuk Menyenangkan Tuhan

Saya tertarik untuk membahas peran seorang sahabat di sini, karena menjadi seorang sahabat tidak sama seperti seorang teman. Bagi saya, teman itu sebatas hanya "say hello" dan interaksi singkat saat bertemu saja, tidak ada jalinan hubungan yang intim (intim di sini adalah hubungan dekat yang saling mendukung dan percaya satu sama lain). Sedangkan sahabat adalah seseorang yang sangat dekat dan saling membangun rasa percaya, terbuka, dan mendukung dalam suka dan duka.

Talking about pleasing God or pleasing people, seringkali pergaulan yang terlalu bebas membuat kita kompromi dengan dosa. Hal ini diawali dari pengaruh buruk yang merusak kebiasaan baik seseorang, padahal Tuhan yang merupakan Sahabat sejati kita melarang hal itu.

Menarik bagi saya untuk menceritakan mengenai peran sebagai seorang sahabat. Peristiwa ini terjadi saat saya berulang tahun ke-17 dan saya mengundang beberapa sahabat untuk datang. Saat itu saya berkenalan dengan seseorang yang akhirnya menjadi sahabat saya sampai saat ini. Dia adalah seorang wanita yang lebih dewasa dari saya, dan seorang yang aktif dalam pelayanan. Namun yang menyedihkan bagi saya adalah saat saya mengetahui bahwa sahabat saya ini menjalin hubungan gelap dengan seorang pria yang sudah menikah. Sulit bagi saya sebagai sahabatnya untuk menerima hal ini. Apapun yang saya katakan tidak pernah didengar dan berarti baginya. 

Pada satu ketika, saat saya janjian dengan dia untuk suatu acara ibadah, kami bertemu dan memiliki waktu bersama untuk bersekutu. Setelah acara selesai, dia mengatakan bahwa dia akan pergi untuk menemui pria itu sehingga dia tidak ikut pulang bersama dengan saya. Saat sampai di rumah dia berpesan pada saya melalui BBM, jika orangtuanya bertanya maka jawab saja kalau kita sedang jalan-jalan. Mungkin hal ini sederhana, tapi bagi saya awal dari kompromi dengan dosa adalah ketika saya menyetujui usulannya untuk membohongi orangtuanya. Saya menolak untuk berbohong, namun dia memohon untuk sekali ini aja. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap tidak berbohong. Sederhana sih, tapi saya berusaha untuk waspada dan tidak kompromi dengan dosa kebohongan, karena Tuhan mengajarkan untuk berkata yang benar.

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” 
(Matius 5:37)

Firman Tuhan yang berkuasa seperti pedang bermata dua, sungguh mampu menunjukkan hal-hal yang benar bagi saya untuk bersikap. Karena saya percaya janji Tuhan, ketika kita melakukan perintah-Nya maka Tuhan akan berkenan.

“Jika engkau baik-baik mendengarkan suara Tuhan, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu hari ini, maka Tuhan, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi.” 
(Ulangan 28:1)


// Menjadi seorang Pekerja yang Menyenangkan Tuhan

Nah, kali ini lebih ke arah peran sebagai seorang pekerja. Saya percaya bahwa kita bisa menyenangkan Tuhan juga lewat cara kerja kita di kantor. Selain menjadi seorang pekerja yang tidak pernah telat masuk kantor, seorang pekerja yang menyenangkan Tuhan adalah saat ia bisa menjadi terang dan garam di tengah-tengah lingkungan di mana ia ditempatkan. Mengapa demikian? Karena saya merasakan, bahwa bukan hanya atasan, tapi rekan sekerja, bahkan bawahan juga ikut ambil andil dalam menilai kita. Jadi jika kita bisa menjadi terang dan garam di lingkungan kerja kita, betapa disenangkannya hati Tuhan. Anak-Nya dinilai oleh semua orang dan dapat membawa dampak positif bagi lingkungan sekitarnya serta menjadi teladan bagi pekerja yang lain.

Selama 3½ tahun saya menjalani pendidikan di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saat saya lulus dan mulai mengenal dunia kerja, ternyata banyak hal yang dapat membuat saya jatuh dalam dosa. Peristiwa yang saya alami adalah saat saya ditunjuk sebagai seorang tim pendukung untuk mempersiapkan data-data yang akan digunakan untuk audit. Tiba-tiba atasan saya mengutarakan bahwa nilai perolehan audit internal yang dilakukan oleh perusahaan harus diubah. Hal ini menjadi suatu kegelisahan tersendiri bagi saya, apakah saya harus mempertaruhkan reputasi saya di mata Tuhan sebagai seorang yang mau berusaha untuk jujur... Pilihannya, mau kompromi dengan dosa atau tidak?

Awalnya saya menolak, namun saat itu atasan saya mengemukakan alasan-alasannya dan tentu ini adalah hal sulit bagi saya. Akhirnya dalam hitungan jam saya mengambil keputusan untuk mengubah isi nilai di dalamnya, dengan catatan disertai data-data pendukung. Namun tidak dapat dipungkiri peristiwa seperti ini membuat saya merasa bersalah selama beberapa waktu lamanya. Saya memohon pengampunan dan hikmat dari pada-Nya agar saya dimampukan berpikir dengan bijaksana terhadap kebenaran yang sesungguhnya, sehingga dapat saya sikapi tanpa kompromi dan tegas, sekalipun tetap ada resiko. Tapi saya percaya melalui masalah ini, Tuhan memberi jalan bagi saya untuk berbahagia karena janji-Nya.

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan surga.“ 
(Matius 5:10)


// Menjadi seorang Pelayan yang Menyenangkan Tuhan

Suatu pagi, di hari Minggu pada bulan Oktober tahun 2010, waktu itu saya sedang dalam masa-masa penyusunan skripsi untuk mendapat gelar sarjana. Masih teringat jelas, pada hari itu dibuka lowongan untuk menjadi seorang guru sekolah minggu di gereja kami. Keinginan untuk menjadi seorang guru sekolah minggu adalah keinginan yang sudah lama saya pendam, namun itu tidak menjadi target saya di tahun 2010. Saya bergumul kepada Tuhan atas panggilan yang saya rasakan dan akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti program pelatihannya. Saat itu saya rasa merupakan waktu yang sangat tepat karena sudah tidak banyak kegiatan di kampus yang perlu saya hadiri. Kurang lebih selama 3 bulan saya mengikuti program pembelajaran dan puji Tuhan akhirnya saya dipercaya untuk memimpin pujian dan menjadi wakil wali kelas untuk anak kelas 5 dan 6 SD. Hal ini bisa saya lakukan karena pertolongan Tuhan yang meneguhkan panggilan yang saya rasakan.

Sebuah ayat yang menjadi pegangan yang selalu mengisi pikiran saya saat menjalani keputusan yang saya buat tersebut:

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28)

Setelah menjadi seorang pelayan Tuhan selama kurang lebih 2 tahun, tentu banyak suka duka yang saya rasakan. Seringkali karena pelayanan ini bersifat non profit, maka banyak orang yang melalaikannya. Satu peristiwa yang saya alami, saat ada seorang pelayan sekolah minggu yang lupa atas tanggung jawabnya, padahal anak-anak sudah datang untuk beribadah. Akhirnya saya yang tidak dijadwalkan harus menggantikannya, padahal saya belum melakukan persiapan. Yang menyedihkan adalah saat saya menanyakan kepada salah satu anak didik saya. Apa kesan dan pesan kamu selama berada di sekolah minggu? Dan saya kaget mendengar ungkapan yang disampaikan. Intinya mereka merasa banyak guru yang tidak siap dan sepertinya tidak serius untuk mengajar mereka. Hal ini menjadi suatu teguran keras. Saya merasa itu adalah saya dan saya akui saat menggantikan pelayan Tuhan lain yang tidak hadir, saya tidak memiliki persiapan apapun. Sedih sih, membayangkan kekecewaan anak-anak terhadap saya dan teman-teman yang juga melayani sebagai guru sekolah minggu. Tapi ini merupakan konsekuensi yang harus kami terima sebagai seorang pelayan dan guru yang mau total dalam melaksanakan perannya. 

Dari peristiwa di atas, saya belajar untuk siaga. Mungkin mangkir dari pelayanan atau kurang persiapan tidak akan membuat saya dihukum di depan kelas atau dimarahi oleh pendeta, tapi dengan berlaku demikian saya merasa telah mengecewakan hati Tuhan dan tidak menghargai anugerah yang diberikan-Nya untuk melayani. Oleh sebab itu, saat ini saya mulai untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik dan tidak lalai dalam jadwal yang telah dipercayakan, karena ketika saya siap, anak-anak pun akan merasakannya. So, jika ditunjuk lagi untuk menggantikan maka saya akan lebih siap kapanpun dibutuhkan.

Jadi, saya ingin mengajak para pembaca untuk bisa berani mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, dan semakin giat membaca, merenungkan, dan melakukan firman-Nya, agar kita dapat yakin dalam melangkah saat menjalani peran apapun di dalam kehidupan sehari-hari. Keputusan untuk menjalani hidup sesuai dengan firman Tuhan sangat berguna, baik untuk pengambilan keputusan bagi masa depan, dan untuk lingkungan sekitar kita. Untuk itu, jadilah anak Tuhan yang membawa pengaruh positif di manapun kita ditempatkan, dan tidak mudah dipengaruhi oleh hal–hal negatif. 

“Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal didalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” 
(Yohanes 15 :10)

Ayat di atas dengan jelas memberi teladan bagi kita. Sebab Tuhan lebih dulu memberi teladan kepada kita dengan menuruti perintah Bapa tanpa kompromi pada apapun.

Mari kawan jadilah sahabat Allah, agar kita dilayakkan untuk tinggal dalam kasih-Nya!

“Kamu adalah sahabat-Ku, Jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”
(Yohanes 15:14)