Monday, October 29, 2018

Sehati Sepikir dan Penundukan Diri


by Alphaomega Pulcherima Rambang

"Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!"
(Roma 12:16 / TB)

Sewaktu membaca kalimat ‘sehati sepikir dalam hidupmu bersama’, aku langsung memikirkan suamiku. Memang, sebenarnya konteks dan latar belakang ayat ini bukan membicarakan hubungan suami istri, tapi bagiku ayat ini menjadi rhema khusus untuk diaplikasikan dalam hubungan dengan suami. 

Selama tiga tahun menikah, aku tidak selalu sehati sepikir dengan suami. Sering sekali aku ingin suami mengerti isi hati dan pikiranku. Saat kami tidak sepemikiran, kadang aku menganggap pikiranku lebih baik. Padahal, dalam hidup kami bersama, seharusnya aku melakukan seperti ayat tadi. Memang aku merasa seharusnya suamiku juga mendapatkan rhema yang sama, supaya dia juga berusaha sehati sepikir denganku dan tidak merasa paling benar. Tapi, lagi-lagi aku ingat, Tuhan memerintahkan aku tunduk pada suamiku. 

Firman Tuhan berkata begini:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
(Efesus 4:22-23)

Masalahnya, bagaimana bisa tunduk saat aku tidak setuju dengan suami? Kalau pendapat suami bertentangan dengan Firman Tuhan, pasti lebih mudah meresponinya. Tapi bagaimana dengan perkara yang tidak spesifik disebutkan dalam Alkitab? Apakah harus tetap tunduk? 

Kalau sedang bingung seperti ini, ketiga hal yang disebutkan dalam Roma 12:16 menolongku memberi respon yang benar, yaitu berusaha sehati sepikir dalam hidup bersama, mengarahkan diri kepada perkara-perkara sederhana dan tidak menganggap diri sendiri pandai. 


// SEHATI SEPIKIR

Meskipun awalnya kami tidak mungkin sehati sepikir dalam segala hal, tentunya kami bisa berusaha mengerti isi hati dan pikiran pasangan. Aku belajar mendengarkan lebih dulu, banyak mendengar daripada berbicara, berempati supaya mengerti maksud suami, dan tidak ngotot harus dituruti. Lalu saat suami sudah memutuskan, aku tunduk. Aku harus sudah sehati sepikir dengannya waktu perkara sudah diputuskan. Aku harus melakukan keputusan tersebut dengan sukarela dan senang hati, bukan dengan sungut-sungut. Aku harus berdoa supaya keputusan ini mendatangkan berkat bagi kami, bukannya berharap keputusan suami terbukti salah dan pendapatku yang benar. Aku harus tetap bersikap manis ke suami dan respect apapun yang terjadi, bahkan saat tidak sependapat. Kalau pun keputusan suami salah, tidak boleh bersukacita atasnya dan berkata, "Tuh kan, benar kan yang kubilang?"

Saat kita tidak memiliki pertimbangan yang serupa memang menyulitkan. Tapi di situlah tantangannya: apakah kita bisa berkomunikasi dengan baik dengan suami. Menundukkan diri kepada suami kadang berarti menekan ego kita sendiri. Tapi semua itu adalah proses yang akan membentuk dan menguduskan karakter kita. Marriage life is sanctifying. 


// MENGARAHKAN DIRI PADA PERKARA YANG SEDERHANA

Saat konflik terjadi karena aku dan suami tidak sepemikiran, aku perlu fokus memikirkan perkara yang sederhana: kalau aku mengasihi suami, aku harus tunduk padanya. Adu otot leher tidak akan menghasilkan apa-apa. Berdebat dan bertengkar cuma menghasilkan perpecahan. Fokus pada hal sederhana, yakni mengasihi suami, yang juga berarti tunduk padanya.

Pernah suami menyuruhku melakukan sesuatu, disaat aku ingin melakukan hal lain. Di pikiranku, nanti-nanti kan bisa, kenapa harus sekarang? Mulutku sudah ingin sekali membantah, tapi aku menahan diri. Sudahlah, tunduk saja, toh aku tidak kehilangan apa-apa. Kelihatannya sederhana, tapi tidak mudah. Inilah yang dinamakan pursue peace in relationship. Sampai saat ini aku masih terus berlatih untuk bisa taat sama suami segera saat itu juga. Kalau sudah terasa berat, aku ingat kalau anak-anakku akan belajar taat dari orang tuanya. Aku harus jadi teladan.

Lalu, saat aku melakukan perintah suami dengan segera, ternyata aku juga sedang berlatih melakukan perintah Tuhan dengan segera. Bagaimana aku mau taat sama Tuhan yang gak terlihat kalau sama suami yang terlihat saja aku tidak bisa taat? Aslinya, aku egois, sering hitung-hitungan dengan suami. Untuk benar-benar taat aku perlu lebih banyak latihan. 


// TIDAK MENGANGGAP DIRI PANDAI

Sederhananya begini: Jangan "menggurui" saat bicara dengan suami. It can hurt his “pride". Sering sekali aku merasa lebih tahu, tapi aku belajar terus ingat kalau suamiku adalah kepala atas keluarga kami dan aku leher yang mendukung kepala tetap tegak. Aku tidak perlu memikirkan bagaimana caranya supaya pendapat dan pemikiranku diterima, tapi bagaimana supaya pemikiran dan pendapatku memperkaya suami dan dia bisa mengambil keputusan terbaik sesuai yang Tuhan mau.

Salah satu sahabat rohaniku, Ci Lia, pernah membagikan pemikiran mentornya yang bernama John. John berpendapat begini:
“Struktur gereja sebenarnya mirip dengan struktur keluarga. Pria memegang kepemimpinan sebagai pelindung dan penyedia, sementara wanita berada dibawah otoritas mereka. Keduanya berada dalam posisi yang berbeda tapi sama penting dan bernilai. Di rumah, istri boleh berbicara bebas namun tetap penuh penghormatan pada suami. Istri berhak tetap menjadi dirinya sendiri dan berpikir untuk dirinya. Jika suami dan istri berbeda pendapat dan tidak bisa sepakat, istri sebaiknya mengikuti keputusan suami karena bagaimanapun keteraturan tetap harus ada.”

Penundukan diri membutuhkan kerendahan hati. Tanpa hati yang rela dipimpin, tunduk menjadi sebuah keterpaksaan. Penundukan diri seorang istri, akan menolong suami bertumbuh dan berfungsi sebagaimana yang Tuhan inginkan yaitu menjadi kepala atas rumah tangga. 

Beberapa waktu yang lalu, aku menerima sebuah tantangan untuk berdoa setiap hari buat suami dan bilang terima kasih ke suami setiap hari. Pokoknya, aku harus menemukan setidaknya satu hal yang bisa disyukuri tentang dia. Apa saja, boleh berupa hal yang dia lakukan, atau karakternya yang disukai. Kalau tidak ada, maka istri harus melakukan sesuatu yang menunjukkan respek dan kasih ke suami. Tantangan ini memberikan aku banyak pengalaman berharga, khususnya tentang menjadi sehati sepikir dengan suami. 

Aku mengundang kalian mengalami sendiri hal tersebut. Kalian akan menemukan kalau suami yang kalian nikahi adalah pria yang luar biasa. Kalian juga akan terkejut melihat betapa banyak sebenarnya yang suami sudah lakukan dan kalian tidak menyadarinya. Kalian tidak akan menyangka kalau kalian bisa bersikap begitu manis kepada suami. Bayangkan betapa banyak yang Tuhan sanggup kerjakan di dalam kalian saat kalian, para istri, memutuskan untuk mendoakan suami setiap hari. Ada proses yang tidak mudah dijalani, tapi hasilnya sepadan dengan perjuangan yang dilakukan.

Friday, October 26, 2018

Tuhan & Samuel Kecil


by Grace Suryani Halim

Sate tadi pagi tentang Samuel yang dipanggil Tuhan 3 kali. Gue dah denger cerita itu dari sejak sekolah minggu kaliii... Tentang Samuel yang baru tidur malem-malem trus tiba-tiba dipanggil Tuhan. Nah tadi pagi pas gue baca bagian itu lagi, gue mendapat sesuatu yang baru.

"Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil: "Samuel! Samuel!", dan ia menjawab: "Ya, bapa." Lalu berlarilah ia kepada Eli, serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Tetapi Eli berkata: "Aku tidak memanggil; tidurlah kembali." Lalu pergilah ia tidur."
(1 Samuel 3:3-4)

Nah guys, siapa di antara kalian di sini yang punya anak, lalu kalau kalian panggil di siang bolong, dia langsung menjawab, "Ya ma" laluuuu berlari kepada kita sambil bilang, "Ma, tadi mama panggil aku?"

Errhhh... Rasanya anak zaman sekarang ngga begitu yak. :p Jangankan dipanggil malem-malem pas lagi bobo dengan pulas, dipanggil siang bolong aja, suka kagak nyahut. Kalopun nyahut mungkin bukan bilang, "Ma, tadi mama panggil aku?" tapi "BENTAAARRRRR MAAA!" >.< Diteriakin 10 kali mungkin baru dia nurut.

Nah samuel ini, dia dibangunkan Tuhan pas lagi TIDUR... Hayooohhh kita kalo baru tidur dibangunin aja susahnya setengah mati. Samuel ngga begitu. begitu dipanggil Tuhan langsung menjawab, "Ya Bapa" dan ia berlariiii kepada Eli. Luar biasa yak.

“Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi. Samuelpun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta berkata: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Tetapi Eli berkata: "Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali.
(1 Samuel 3:6)

Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Iapun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Lalu mengertilah Eli, bahwa Tuhanlah yang memanggil anak itu.”
(1 Samuel 3:8)

Tiga kali Tuhan memanggil Samuel, dan Samuel TETAP BANGUN dan TETAP DATANG kepada Eli dan TETAP bertanya "Ya bapa, bukankah bapa memanggil aku?"

Guys, kita bisa lihat bahwa Samuel ini, dia bener-bener taat. Ketaaatannya tidak dilihat setelah dia besar tapi dari sejak ia kecil. Ia tidak keberatan tidur malamnya diganggu. Dan ia tetap mau bangun ketika namanya dipanggil.

Gimana dengan anak-anak kita?
"Wah Grace. Anak zaman sekarang mah susaaaahhh. Boro-boro langsung dateng pas dipanggil. Kadang kudu harus tarik urat dulu!!"

Itu memang tantangan para ibu zaman sekarang guys. Bagaimana kita mendidik anak dari sedini mungkin untuk dia punya hati yang mau taat 100%. Heart that obeys, right away!, all the way, 100%. Gimana caranyaaa?? Nah ini gue belon bisa jawab. :p Krn gue belon punya pengalaman mendidik anak, but abis baca bagian itu, gue langsung punya beban untuk berdoa bagi anak-anak gue.

"Tuhan, tolong bantu aku untuk bisa mendidik anak-anakku dengan kepekaan yang luar biasa dan ketaatan total. Sehingga kalau Kau memanggil mereka seperti memanggil Samuel di malam hari, mereka bisa langsung bangun dan berkata, "Ya Bapa, apakah Bapa memanggilku?" I know this won't be easy, but this' NOT IMPOSSIBLE for You. Tuhan sudah buktikan ada HAMBAMU yang bisa seperti itu, en aku yakin Kau juga ingin anak-anakku seperti itu."

Tapi sehabis menyadari betapa luar biasanya ketaatan Samuel. Ternyata itu belon cukup. "Alamak Grace... gue kalo anak gue dipanggil SEKALI en langsung dateng ke gue aja gue udeh xie xie kamsia, menurut loe itu masih belon cukup?!?!"

Hehe. Coba baca ayat-ayat ini guys.

"Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli."
(1 Samuel 3:1)

Samuel dari kecil udeh jadi pelayan Tuhan. Bagus donks!! Apanya yang aneh?? Nah sekarang coba kalian liat ayat ini:

"Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya."
(1 Samuel 3:7)

ENG ING EEENNGGGG... Samuel yang dari kecil sudah menjadi Pelayan Tuhan, sudah melayani di bait suci bahkan ada kemungkinan TIDUR di ruang maha kudus (liat ayat ini Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah." Gue ngga berani bilang pasti, secara kalo melihat peraturan Israel sebenernya yang boleh masuk ke Ruang Maha Kudus itu cuman imam besar en cuman boleh setaon sekali. Tapi kok ini ada ditulis dia tidur di dalam bait suci Tuhan, tempat tabut Allah. So gue bilang ada kemungkinan...) Entah bener Samuel tidur di dalam Ruang Maha kudus atau tidak, yang pasti dia tidur di bait Allah. Tiap hari bergaul dengan imam-imam. Tapi ternyata dia... BELUM MENGENAL Tuhan.

Ckckckck. Dari sini gue belajar guys, yang paling penting buat anak-anak itu bukan sekedar dibawa ke sekolah minggu. Bukan sekedar biasa maen di gereja, bukan sekedar bergaul dengan anak-anak gereja. Bahkan bukan pelayanan dari kecil. Karena bisa aja org pelayanan di gereja tapi tidak mengenal Tuhan.

En kenapa dia belum mengenal Tuhan karena firman Tuhan belum pernah dinyatakan kepadanya. Versi NKJV nya:

"nor was the word of the LORD yet revealed to him"
(1 Samuel 3:7 / NKJV)

Firman Allah belum pernah dibukakan kepadanya. Ada penafsir yang bilang maksud dari ayat ini adalah Tuhan belum pernah bicara secara pribadi dengan Samuel. Ada lagi yang bilang bahwa Samuel belum pernah diajar tentang pribadi Tuhan. 

Lalu Tuhan jadi mengingatkan gue lewat ayat-ayat di atas. Ketaatan total itu penting. Tapi yang lebih penting dari itu adalah pengenalan pribadi akan Tuhan. Jadi gue menambah doa gue:

"Tuhan, tolong aku juga untuk bisa menyatakan firman-Mu kepada mereka sejak mereka kecil. dan siapkan mereka supaya pada waktu-Mu mereka boleh menerima dan mendengar suara Tuhan berbicara langsung kepada mereka. Sehingga mereka tidak hanya melayani-Mu tapi mereka juga mengenal-Mu."
Amen.

Wednesday, October 24, 2018

On Submission (Part 2)


by Natalia Setiadi 

Suatu hari, mobil kami mogok. Suami dan saya sama2 gak ngerti mesin. Tapi karena suami saya orang yang sangat bertanggung jawab, dia belajar untuk bisa ngatasin urusan mobil yang simpel2 di saat darurat. So, setelah diutak-atik ga berhasil, dia bawa accu mobil buat disetrum. Setelah kembali, ternyata mobil masih ga mau hidup.

Ga lama kemudian, suami panggil seorang montir ke rumah. Montir ini belum pernah saya liat sebelumnya. Ternyata suami saya dapet "nemu" di bengkel tempat setrum accu. Maka sebagai istri yang selalu punya pendapat sendiri (dan pendapatnya adalah yang paling bagus dan paling bener), dahi saya langsung berkerut dan saya langsung meringkik dalam hati, "WHATTT???!"

(Idih, gimana kalo ini bukan montir tapi penipu? Gimana kalo mobil bukannya bener malah tambah ancur? Gimana kalo gini gimana kalo gitu... -.-‘)

Untung beribu untung, beberapa hari sebelumnya saya baru ditabok Tuhan, ditegur dengan lumayan pedih dalam hal submission, sampe hati saya yang keras akhirnya bertobat. Dan bertekad untuk berubah. Untung juga tekadnya rada kuat, jadi keinget buat mempraktekkan usaha berubah ini begitu ada kesempatan.

So, saat hati saya meringkikkan protes tadi, mulut saya tetap MINGKEM. Dahi saya mungkin masih tetep mengerut tanpa bisa direm, tapi segitu udah lumayan lah ya... :P

Betapa susahnya untuk SUBMIT. Di dalam submission ada hal yang mendasar yang sering kali gak saya sadari juga, yaitu TRUST. If you can't submit to your husband or your other authorities, chances are you don't trust him/them. Keengganan kamu untuk tunduk mungkin berakar dari kurangnya kepercayaan kamu terhadap figur otoritas itu.

So, dengan merendah dan dengan malu saya ngaku nih, saya sering kurang percaya sama pertimbangan, penilaian, dan keputusan suami. Tentu aja saya punya banyak alasan buat membenarkan diri sendiri: "suami gak pengalaman soal ini", "suami sibuk, gak terbiasa untuk A, B, C" atau "urusan ini saya yang lebih ngerti kok" atau "boleh dong saya kasih masukan/saran buat suami?"

Ngasih masukan/saran kedengarannya bagus, iya gak sih? Masalahnya kita para perempuan seringnya KEBANYAKAN ngasih saran. Bahkan saran yang gak perlu, gak diminta, bahkan yang gak diinginkan. Satu-satunya kesempatan di mana kita sebagai istri WAJIB kudu harus kasih masukan dan saran adalah pada saat kita tahu dengan pasti dan jelas bahwa suami memutuskan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan firman Tuhan.

Hm... kayanya justru di saat beginian kita enggan kasih saran dan memilih mingkem ya -.-‘

Kenapa sih gak boleh kasih saran? Eh saya gak bilang ga boleh kasih saran loh ya. Yang saya bilang adalah, sebaiknya saran/masukan/ide/pendapat kita disimpan dulu, kecuali kalo diminta sama suami, atau kalo emang sikonnya kita lagi berdiskusi atau brainstorming tentang sesuatu. Tapi kalo “saran” atau kalimat yang udah di ujung lidah kita dan sangat gatallll buat dikeluarin itu berbentuk kritik atau protes atau komentar apalagi pernyataan yang ketus, alangkah baiknya kalo disimpan aja untuk seterusnya.

Dalam hal ini ini, beneran berlaku SILENCE IS GOLDEN alias DIAM ITU EMAS.

“Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.”
(Amsal 12:18)


Saya seriiiinngggg jatuh di sini. *tertunduk malu* Ada temen yang pernah bilang, saya ini tipe orang yang mikirnya kecepetan. Terutama kalo ngobrol atau ngomong, nah itu respon saya menjawab bisa cepet banget (katanya sih gitu, entah bener apa enggak). Makanya, baik disadari atau gak disadari, respon saya terhadap suami tuh keluarnya sering gak enak didengar. Kadang ketus, kadang mempertanyakan atau gak percaya, orang Jawa bilang maido. Kadang downright disrespectful alias gak sopan >_<

Daaaan yang lebih parahnya, anak saya juga mulai ikut-ikutan ngomong ke papanya kayak gaya saya ngomong. Huhuhu... :"(

Perlu saya sebutkan di sini, buat yang kenal sama my hubby, mungkin tau ya, orangnya heboh dan kadang mengutarakan hal-hal yang enggak lazim wkwkkwwk... Saya ngomong apa sih hehehe... Susah dideskripsiin nih, pokoknya jalan pikirannya tuh kadang anti mainstream gitu. Out of the box lah istilahnya. Dan kadang dia juga susah mengungkapkan yang ada di pikirannya supaya bisa ditangkep dengan baik sama pendengarnya. Makanya gampang muncul salah paham, atau menimbulkan respon yang “enggak lazim” (alias gak bener) juga dari saya. Hihihi...

Terlepas dari gimana watak, sifat serta kecenderungan kita dan pasangan, sebagai istri kita diminta untuk tunduk, termasuk malah terutama dalam ucapan. Karena ucapan kita bisa membangun, atau meruntuhkan suami. Membangun kepercayaan diri suami atau meruntuhkannya. Membangun atau bikin melempem hubby’s sense of leadership. Membangun kepercayaan kita sendiri terhadap suami, atau mengikisnya sampe habis.

“Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.”
(Amsal 14:1)

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”
(Efesus 4:29)

Jadi, jangan buru-buru ngeluh kalo suami dirasa kurang tegas, atau kok leadership-nya lemah, atau susah mengambil keputusan. Mungkinkah suami jadi takut salah karena komentar kita yang terlalu pedas? Bukan takut istri, cuma MALEESSSS denger omelan, males salah paham, males berdebat. Ujung-ujungnya suami males bikin keputusan, males mimpin, “Gimana kamu aja dah...” 

Jangan langsung ngiri kalo denger suaminya si A bisa minta pertimbangan istrinya, lalu dengan tegas penuh percaya diri mengambil keputusan yang baik. Jangan banding-bandingin suami kita sama suami si B yang leadership-nya bagus banget.

Coba deh mulai perhatiin sikap para istri dari pria-pria yang sukses mimpin keluarganya ini. Mungkin sikap dan omongan para istri ini bikin suami mereka mekar merekah cetar membahana?

“Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya.”
(Amsal 31:11-12)

“Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya.”
(Amsal 12:4)

“Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.”
(Amsal 31:23)

Sikap tunduk dan omongan positif para istri terpuji ini yang semestinya bikin kita ngiri, lalu kita teladani. Satu lagi PR yang gak kalah penting. Kalau udah berhasil menyortir omongan dan hanya mengeluarkan kalimat-kalimat yang tepat di saat yang tepat kepada suami, bolehlah kita berbangga, tapi perjuangan belum selesai.

Seandainya kemudian things go wrong, as they most certainly WILL one time or another, jangan bilang, “Tuh... kan... nyesel deh kemaren gue gak kasih saran... Gak bener noh blogger yang sok iye nyuruh2 saya mingkem!” :P atau “Duhhh, gimana sih kamu, Say... Makanya pake cara saya aja...” dan sejenisnya. Nyalahin saya sih boleh (soale saya gak bakal kerasa juga, xixixi...), tapi jangan nyalahin suami ya.

GIVE HIM ROOM TO ERR. Kasih ruang buat suami bikin salah. Suami manusia biasa kan? Makanya pasti ga luput dari kesalahan. (Yang suaminya bukan manusia boleh protes, heheheh...) Kasih kesempatan untuk suami belajar dari kesalahannya. Percaya deh, suami akan sangat menghargai kalo kita bisa dengan tulus bilang, “Gak papa, Hunny... Pemimpin juga manusia... I still TRUST you and want you to lead.

So, kalo kita berdoa buat suami dan mendoakan leadership-nya, perlu juga doa supaya kita diberi hikmat buat membangun dan mendukung suami melalui sikap dan omongan kita.

Yup, segitu aja deh sharing saya tentang (h)ajaran terbaru Tuhan buat saya tentang submission. Saya nulis postingan begini bukan mau sok-sok-an ngajarin. Justru ini lesson yang saya dapet dari kedodolan harian saya, saya tulis sebagai pengingat di kemudian hari (soale biasanya kedodolan saya ga bisa ilang dalam waktu singkat atau dengan 1 hajaran doang huekekek...), sekalian buat menghibur yang baca (siapa tau ada yang kelemahannya sama kayak saya :P), sukur-sukur kalo yang baca bisa dapet berkat...

Monday, October 22, 2018

On Submission (Part 1)


by Natalia Setiadi 

Salah satu perintah paling populer tapi paling SUSYEH buat para istri, terutama istri yang agak bedegong (= semau gue) seperti saya, adalah:

“Hai isteri-isteri, TUNDUKLAH kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”
(Kolose 3:18)


Tunduk itu apa sih? Kata Kamus Bahasa Indonesia (http://kamusbahasaindonesia.org), kata kerja TUNDUK bermakna:
1) Takluk; menyerah kalah
2) Patuh; menurut (perintah, aturan, dsb)

Kalo kata Encarta Dictionary, kata SUBMIT yang diterjemahkan jadi kata kerja TUNDUK dalam bahasa Indonesia punya makna:
1) Yield: to accept somebody else's authority or will, especially reluctantly or under pressure
2) Agree: to agree to undergo something
3) Defer: to defer to another's knowledge, judgment, or experience

Seorang wanita misionaris yang sangat saya hormati dan sudah menginspirasi buanyaakkk sekali orang pernah bilang, “Kalo kamu tidak pernah bergumul untuk tunduk kepada suamimu, mungkinkah itu artinya kamu belum benar-benar berusaha tunduk?”

JLEB. Daleeemmm…

Jujur, sebelom itu emang saya ga pernah mikirin soal tunduk sih huekekeke… setelah baca banyak tulisan soal submission, dan setelah saya mulai belajar untuk benar-benar tunduk kepada suami saya, barulah CELIK MATAKU… *.*

Kadang-kadang kalo abis gagal tunduk, dalam hati saya bersungut-sungut, “Kalo aja suamiku bisa lebih bae dalam memimpin, mungkin saya bisa lebih mudah tunduk…“

Atau “Hmmm… rasanya dalam hal X, Y, Z saya masih lebih ‘godly’ deh daripada suami, seandainya aja dia bisa lebih worth submitting under dalam hal-hal itu!”

Padahal sih walopun suami udah jadi pemimpin yang baik, udah godly dan bae dalam hal X, Y, Z, percaya deh pasti adaaaa aja hal-hal laen yang bisa saya jadiin alasan. Karena suami saya manusia biasa yang tidak sempurna. Dan karena dalam keengganan saya untuk tunduk, saya berusaha cari pembenaran diri (yang tidak benar ini).

Bukankah Alkitab ga pernah bilang, “Tunduklah kalau suamimu pemimpin yang baik, kalau dia kurang baik, tunduk saja sama tetangga…” dan bahkan ga ada tulisan “Tunduklah kalau suamimu orang percaya, kalo dia belum percaya ga usah lah yauw…”

Jadi? Seandainya pun suami belum percaya, kita TETAP DIPERINTAHKAN untuk tunduk!

Perintah yang sama ini diulangi di

“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”
(Efesus 5:22)

dipertegas di

“karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat”
(Efesus 5:23)

dan diulangi lagi dalam

“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.”
(1 Petrus 3:1)



Ada apa dengan TUNDUK? Kenapa sampe ditulis berulang-ulang? Biasanya apa yang pengen kita tekankan ke anak kita pasti sering kita ulang-ulang kan? Begitu juga soal submission ini. Diulangi berkali-kali karena memang penting, dan supaya yang baca bener-bener ngeh dan menyadari pentingnya. Saya sama sekali bukan expert soal Firman Tuhan, so ga berkompeten (banget) untuk mengulas panjang lebar dan dalam soal ayat-ayat tentang ketundukan ini, tapi di sini saya share aja berkat & pencerahan yang saya dapet secara pribadi ya…

Soal tunduk menurut saya berhubungan erat dengan tipe kepribadian masing-masing orang. Ada orang-orang yang emang senang dipimpin, jadi bisa tunduk dengan lebih mudah. Ada orang-orang yang emang “dari sononya” dominan, suka memimpin dan selalu punya pendapat sendiri, susah banget nerima pendapat orang lain atau nurut apa kata orang lain.

Tapi saya rasa semua ibu rumah tangga tuh udah ditempa oleh situasi dan kondisi, harus bisa mengatur rumah tangga, jadi udah terbiasa bikin banyak keputusan sehari-hari. “Hari ini masak apa ya? Hm... Ikan aja deh...” atau “Kayanya mau hujan, mendingan nyuci baju hari ini apa besok ya? Besok aja deh...” dst. Belom lagi kalo udah punya anak. Yang udah biasa ngurus baby pasti manggut-manggut tuh :) Soale dengan punya baby itu kita kudu bikin SEMUA keputusan buat si baby; kapan nyusu, kapan mandi, kapan mulai MPASI, mau kasih imunisasi apa aja, dst.

So, sejak bergelar “nyonya” apalagi “mama”, kita udah terkondisi untuk selalu punya pendapat atau keputusan tentang berbagai macam hal. Nah karena suami-suami tuh relatif lebih banyak di luar rumah, otomatis kita semakin “merajai” urusan rumah tangga, dan sampai titik tertentu memang begitulah seharusnya, kan kita ini helpmeet-nya suami, ya gak, ibu-ibu? :)

Tapi susahnya, dengan terbiasa jadi tukang ngatur gitu, makin lama kita makin tau dan makin mahir, dan makin MERASA LEBIH TAU dan MERASA LEBIH MAHIR, terutama soal anak. Karena kita seharian bareng anak, otomatis kita memang lebih tau jadwal rutinnya anak, apa yang boleh dimakan atau dilakukan sama anak, dan kapan waktunya. Sedangkan suami yang seharian di kantor mana tau anaknya setengah jam yang lalu makan apa?

So, yang sering kejadian adalah: begitu suami pulang dan nongolin muka di pintu depan, anak udah nodong dengan pertanyaan, “Papa, boleh ngga saya makan es krim sekarang?”

Karena papanya kangen dan ngga tega nolak atau udah cape ga berminat dibikin pusing lagi sama anak yang ngambek, bilang boleh.

Trus mulai deh istrinya ngomel, “Papa ini gimana sih, dia baru aja ngabisin es duren semangkok, masa sekarang boleh makan es krim lagi?”

Papa jawab dengan agak kesel, ”Yah, meneketehe atuh…”

Kalo istrinya jawab lagi jadi ribut deh… -.-‘

[Disclaimer: ini bukan peristiwa yang sebenarnya dan bukan pengalaman pribadi. Saya cuma ngarang. Beneran! :P]

Poinnya adalah bahwa perkara tunduk ini bener-bener nyerep banget deh di kehidupan sehari-hari, masuk di segala aspek kehidupan! Karena itu, sebenernya ada banyak kesempatan di mana kita bisa praktik atau minimal belajar seni tunduk kepada suami.

Kalo saya mah jangan dicontoh ya. Tunduk bagi saya SUSYEHNYA ajubileh deh… Saya mendingan markirin mobil di tempat sempit sambil diklaksonin orang daripada tunduk! -.-‘ Saya masih buaanyaaak banget gagalnya. 

Karena situasi mengharuskan saya mandiri, saya terbiasa untuk bikin keputusan sendiri tanpa konsultasi sama suami (yang memang ga setiap saat bisa jawab telepon semaunya). Untuk hal-hal besar atau ngga mendesak sih udah otomatis berunding dulu, tapi untuk hal-hal kecil yang kurang penting atau yang mendesak, saya cenderung ga sabar and buru-buru jalan tanpa minta pertimbangan suami. 

Saya sadar ini salah, dan saya berjanji sama diri sendiri untuk bertekun dalam usaha saya tunduk, tidak mengutuk diri sendiri kalau saya gagal atau jatuh, dan menjadikan pengalaman kegagalan yang buanyak itu sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Hasil brainstorming saya sama suami, dalam situasi-situasi yang mirip dengan kasus es krim di atas, kami sepakat untuk tidak langsung kasih jawaban kepada anak. Saya & suami harus komunikasi dulu, dan pada akhirnya harus suami yang kasih keputusan final kepada anak, boleh atau tidaknya. Suami DILARANG KERAS bilang, “Tanya aja sama mama…” karena itu bisa bikin anak berpikir bahwa mama-lah yang jadi pembuat keputusan akhir.

Tanya: Kalo saya orangnya dominan atau emang berwatak koleris gimana dong?

Jawab: Ya berubah lah! Gak ada cara lain :) Maksud saya bukan berubah watak kudu jadi lemah gemulai ya... Kalo begono mah ampe taon kuya juga gak bakal bisa kali, yang ada setreessss! 

Maksud saya berubah adalah minta Tuhan ubahkan sikap hati kita dan kuatkan tekad kita dan memampukan kita untuk tunduk. Karena perintah ini bukan cuma buat orang-orang yang berwatak flegmatis, tapi buat SEMUA istri. Minta Tuhan beri kita a gentle and quiet spirit, alias roh yang lemah lembut dan tenteram. Walopun koleris bukan berarti kita harus gahar en gak bisa lebih kaleman dikit kan?

Tanya: Kalo suaminya bener-bener ga OK (contoh ekstrim: masih berkubang dalam dosa seperti pemabuk, penjudi, pemarah, dll) gimana? 

Jawab: Yang kayak gini memang ujian buesarrr dalam hal ketundukan, dan saya sendiri ga punya wawasan tentang hal ini. Tapi saya percaya bahwa tugas kita para isteri adalah tetap MENGASIHI, TUNDUK, dan BERDOA buat suami, sedangkan MENGUBAH suami adalah bagiannya Tuhan. Just submit, love, and pray, and let God do His thing with your hubby. 

Dalam hal ini, 1 Petrus 3:1b bisa jadi janji yang menguatkan kita, “… Supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.” Bisa share Firman Tuhan secara verbal itu baik, tapi seandainya hal ini ga mungkin dilakukan, kelakuan juga BISA BERBICARA banyak. 

Tunduk itu dahsyat!

Submission is powerful!

Friday, October 19, 2018

On Submitting & Trusting


by Sarah Eliana 

Submission... Submission... Submission. Hal yg menyebalkan, bener gak? Jujur, untukku yang emang pada dasarnya punya sifat super bossy, submit ama suami itu hal yg super duper susah. Setiap hari, setiap waktu, aku harus selalu berdoa, minta Tuhan sendiri yg tegur kalo udah mau mulai bossy ama suami, dan ini seringgg banget lho. It’s an area that I continuously struggle with. Apalagi dulu kuliahnya di bisnis dan marketing, dimana emang kami diajarin utk memimpin. *gubraks* Jadi apa yg dulu aku pelajari, sekarang harus aku redam kalo lagi ama suami. 

Aku sering berpikir kalo submission itu ya termasuk menuruti apa kata suami, membiarkan dia membuat keputusan buat keluarga kami, dll.  Kalo kita denger kata submission, kita pasti udah langsung berpikir, “Ya, ya, aku udah tau kok. Pasti poin-poinnya sama dengan apa yg selama ini sering aku dengar.” Aku juga sering berpikir begitu. 

Beberapa hari lalu, aku baca message dari hamba Tuhan yg kukenal. Ia dan istrinya telah menikah selama lebih dari 50 tahun dan beberapa tahun lalu istrinya meninggal karena kanker. Jadi diceritakan bahwa ketika istrinya didiagnosa terkena kanker yg sangat ganas sekali, dokternya memberi pilihan: 
  1. Kemoterapi. Tapi memang ini gak akan menyembuhkan, cuma menambah waktu hidupnya beberapa minggu atau bulan aja. Dan biarpun ”memanjangkan” hidupnya untuk sementara, kemo ini akan menyebabkan sang istri sangat sangat menderita (beliau udah umur 70 tahun lebih, bayangkan kalau harus mengalami daya tahan tubuh drop, rambut rontok, muntah-muntah, pusing-pusing). 
  2. No treatment at all. Emang kalo pilih yang ini berarti kankernya akan menyebar dengan cepat sekali, tapi itu juga berarti bahwa sang istri gak akan menderita seperti kalo beliau pilih kemoterapi. 
Nah... Sang hamba Tuhan ini bercerita bahwa ketika diberi pilihan itu, sang istri berkata, “I want to do whatever my husband wants me to do (regarding the options).” 

Jleb. *suara pisau menancap di hati* Untuk kita wanita “modern”, mungkin kalo dihadapin pilihan kayak gini langsung mikir, “It’s my life. Jadi aku yg akan ambil keputusan apakah aku mau kemo atau gak.” Ya kan? Jujur sejujur-jujurnya, aku juga mungkin akan berpikir kayak gitu. Kan badanku, hidupku, pilihanku donk—iya kan? Tapi lewat kalimat sesederhana itu, aku diingetin Tuhan bahwa tunduk kepada suami itu lebih daripada hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan atau menuruti dia. Firman Tuhan berkata: 

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”
(Efesus 5:22)

Aku selalu berpikir bahwa tunduk kepada Tuhan artinya: biarpun aku gak suka dengan rencana Tuhan, aku harus tetep jalanin dengan hati senang. Aku diajar Tuhan, kalo tunduk ama suami seperti kepada Tuhan itu yach seperti aku believe AND trust Tuhan, aku juga harus believe AND trust my husband. Seperti isteri hamba Tuhan tadi. Walaupun aku yakin gak akan ada yg salahin beliau kalo beliau mau ambil keputusan sendiri tentang pengobatannya, she chose  to put herself under the authority of her husband and believed that he would make the best decision for her. She trusted  him, even with her life!! 

See, selama ini aku pikir aku harus tunduk kepada suami karena Tuhan perintahkan aku untuk berbuat demikian. Tapi lewat kalimat simple itu, Tuhan ajar aku bahwa tunduk kepada suami itu harus datang dari keinginanku sendiri. Aku belajar kalo tunduk pada suami bukan hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan dalam keluarga, but also trusting him regarding MY life, MY body, MY choices; AND trusting that GOD will work the best for me THROUGH my husband. Oh how difficult this is! I know! Kita pasti berpikir, ”Kenapa Tuhan gak langsung ngomong ke aku aja. Kenapa harus lewat suami aku?” Well, girls, that’s because our husband is the authority that God has put above us. Sama seperti bangsa Israel punya imam, keluarga kita juga punya “imam”, dan imam keluarga kita ya suami kita. Sama seperti bangsa Israel harus menuruti perkataan imam mereka, kita juga harus menuruti suami, dan percaya bahwa keputusannya berasal dari Tuhan. Susah kan? Kita melihat suami tiap hari, kita tau dia manusia biasa, kita tau semua kelemahannya. But that’s when submission goes to a whole other level and that’s when our trust is tested. Do we love him enough to trust him? Do we respect him enough to let him be the “priest” in our family? 

Do we trust our husband enough with our life? Keputusan tentang keluarga mungkin masih gampang untuk diserahkan kepada suami. Tapi kalo keputusannya udah berhubungan langsung dengan hidup kita? Badan kita? Do we trust him enough? We should. It comes with a price, sure. Sama seperti mempercayakan diri kepada Tuhan berarti membayar harga, percaya dan tunduk pada suami juga datang dengan segala macam pengorbanan dan harga. But guess what? It’s worth it. You know why? Because marriage is based on trust (and Jesus, of course). Kalo kita gak bisa percaya pada suami, waduhhh, kacau kan. Without trust there is no relationship. 

But what is trust? Apakah sekedar percaya bahwa suami kita gak akan macam-macam di belakang kita, gak akan godain cewek-cewek lain? Tidak. Of course, we trust him not to do those things behind our back, but trust goes beyond that. Trusting our husband means we allow ourselves to be vulnerable. Artinya kita memberitahu dia pikiran dan perasaan kita yang terdalam. Dan ini juga artinya “dua menjadi satu”—gak hanya sekedar menjadi satu tubuh melalui seks, tapi juga menjadi satu pikiran, satu hati. Gimana mau jadi satu kalo kita gak cukup percaya dia untuk membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam? Kata Firman Tuhan: 

”Apa yg disatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Matius 19:6)

Tau gak, setelah menikah, aku baru betul-betul sadar betapa dalamnya arti ayat ini. Gak hanya sekedar, “Eh udah nikah, jangan selingkuh ya,” tapi juga, “Kalau udah menikah, DON'T LET your pride divorce you.” Coba lihat berapa banyak pasangan yg cerai karena mereka tidak saling percaya, karena mereka gak betul-betul berusaha untuk menjadi satu kesatuan. 

Tapi selain itu, kita juga bisa lho, bercerai tanpa betul-betul bercerai. Pernah gak denger omongan, “Ih, hebat ya, udah tua masih mesra… Masih gandengan tangan.” Pasti pernah, atau bahkan kita sendiri pernah ngomong begitu. Kenapa hebat? Karena yg kita lihat di sekeliling kita adalah: pernikahan yang sudah berpuluh-puluh tahun biasanya udah gak mesra lagi, karena udah sibuk sama anak-anak, cucu-cucu, karir, dll. Udah tua, suami istri gak lagi keliatan kayak suami istri, lebih keliatan kayak roommates doank. Sedih gak sih? Kalo udah gitu, apa bedanya dengan cerai beneran? Gak ada kan? Memang masih tinggal di bawah satu atap yg sama, tapi gak ada lagi unity antara suami istri. Disinilah aku lihat betapa dalamnya arti ayat Matius 19:6 itu. Bercerai itu gak hanya sekedar karena orang ketiga, tapi juga karena diri kita sendiri: karena kita gak mau merendahkan diri dan percaya pada suami, karena kita gak berani ambil resiko to be vulnerable with our husband, karena kita gak mau membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam dengan dia (biarpun dengan alasan yg kedengerannya baik, seperti, ”Ah, dia sendiri lagi pusing, banyak pikiran. Kasian.”). 

Submission means trusting your husband, even with your life. Karena suami kita juga dapat perintah dari Tuhan untuk mencintai istrinya seperti Kristus mencintai jemaat. Kristus mati di atas kayu salib untuk jemaat-Nya. Our husband, too, will sacrifice his life for us, and we HAVE TO trust that he will do that for us. Submission means trusting that God will work the best for us through our husband. Submission means humbling yourself and be vulnerable. Submission means we share our deepest thoughts, desires and feelings with our husband, and TRUST him not to use it against us. It means trusting that we will be loved and accepted despite our weaknesses and shortcomings. Submission means we constantly humble ourselves, and put ourselves under the authority of our husband, who is the “priest” of the family. 

Wednesday, October 17, 2018

Galau Pranikah


by Natalia Setiadi

Berkaca dari pengalaman, biasanya ini nih yang ada di pikiran para calon penganten:

Galau.
Bimbang.
Takut salah melangkah.
Masih belum sreg, belum ‘yakin 100%’.
Senang dan excited sih, tapi... - banyaaaak banget tapinya, bener apa betul? ;) 
Apa sebaiknya ditunda aja ya?


Di film2, kita dicekokin drama yang serem2: ‘salah pilih suami/istri’, krn menikah pas dimabuk cinta, padahal cinta sejatinya ternyata sahabatnya sendiri (inget film Ayat-ayat Cinta? Atau Kuch Kuch Hota Hai?); atau ditinggal di altar karena pasangan mendadak batalin menikah (inget film Runaway Bride?); atau setelah menikah suami dan mertua baru keliatan belangnya, meneror dan menyiksa sambil morotin hartanya si istri (ini mah sinetron banget, maap saya ga ada referensi judulnya heheheh...)

Trus kalo denger cerita, tingkat perceraian meningkat, baik di kalangan orang biasa, public figure, tua atau muda, udah lama nikah atau baru nikah, bahkan di antara para pemuka agama sekalipun. Duh hati jadi miris dan ciut ga sih dengernya? 

Sebagai orang yang udah been there, done that alias udah pernah ngalamin bergumul dalam membuat keputusan menikah, saya bisa bilang bahwa: GA YAKIN 100% ITU WAJAR. Sangat wajar. Coz keputusan menikah adalah salah satu keputusan terbesarrr dalam hidup. So ga boleh salah dong… Saya malah ragu-ragu, apa bener ada orang yang 100% yakin bahwa keputusan menikah dgn calonnya adalah keputusan yang benar. 

Kenapa saya bilang ga yakin 100% itu wajar? Karena kita manusia ga tau masa depan. Dan kita manusia takut sama apa yang kita ngga tau. Itu udah sifat dasar. Kita takut & nervous pas hari pertama kerja, atau kalo harus masuk ke komunitas baru, sebagian besar karena kita ga tau bakal ngadepin apa. 

Meskipun ragu-ragu itu wajar, bukan berarti bisa diabaikan begitu aja, hayok maju terus pantang mundur, HAJAR BLEH! Sama sekali bukan. 

Kalo hubungan kalian dirasa belum mantep, atau belum ada restu dari keempat ortu, atau masih ada ganjelan /masalah besar (misalnya masalah agama, belum ada penghasilan tetap, beda visi misi, masih ada masalah keluarga atau hal-hal lain yang prinsip), adalah bijaksana utk bener2 mempertimbangkan kembali keputusan buat menikah. Bukan berarti kalo ada masalah2 di atas ga mungkin bisa menikah, tapi dengan masalah2 prinsip yang belom teratasi, bakal jauh lebih sulit ngejalanin pernikahan. 

Karena PERNIKAHAN TIDAK MENYELESAIKAN MASALAH. Pernikahan justru membawa masalah. 

LHO? Serem amat sih… 

Saya bukan nyumpahin, cuma mau meluruskan, karena banyak orang memutuskan menikah utk ‘menyelesaikan masalah’. Misalnya masalah ga direstui, terus nekad kawin dan nikah, jadi para ortu mau ga mau KUDU MAU merestui. Terpaksa. 

Ada juga yang memutuskan utk menikah supaya bebas dari keluarga asal yang terlalu mengekang.
Ada juga yang menikah utk dapetin bantuan finansial (kawin ama rentenir kaleeee…). 
Ada juga yang menikah utk menaikkan status atau menyembunyikan aib. 
Macem-macem dah.

Pernikahan memang bisa mengubah keadaan. Tapi biasanya tidak bisa menyelesaikan masalah. 

Yang udah merit mungkin tau ya, betapa susahnya menyatukan 2 hati, 2 pikiran, dan 2 kepala yang semuanya beda. Plus menyatukan 2 keluarga besar, keluarga asal suami & keluarga asal istri. Menyatukan kebiasaan2 yang beda. Pola pikir, nilai-nilai, dan segunduk beda-beda lainnya. Tahun-tahun pertama pernikahan biasanya menjadi masa2 adaptasi yang ‘seru’ :P Belom lagi kalo udah ada anak. Tambah ribet, dijamin! 

Lantas apa mendingan ngga usah nikah aja? Ya bukan gitu.

Yang saya mau bilang adalah, kalo udah ngelewatin PERSIAPAN YANG MATANG, you should brace yourself and go for it. Kuatkan hati dan jangan takut buat melangkah maju. 

// Persiapan yang matang kek gimana sih?

Wah bisa-bisa saya rempong kalo kudu me-review semua teori tentang persiapan pernikahan. 
So, saya bakal sebut intinya aja di tulisan ini, secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Proklamasi kali…):

1. Sudah sama2 berdoa dan dapetin jawaban doa bahwa Tuhan memang menghendaki kalian menikah.
Mungkin ini yang paling susah ya. Tau dari mana bahwa ini kehendak Tuhan? Feeling doang apa beneran Tuhan udah jawab? Ini akan butuh penjelasan di satu posting-an blog tersendiri :P

2. Udah melalui masa perkenalan yang cukup.
Cukup = 1-3 taon, idealnya, tapi ini menurut saya doang hehehe… Saya pernah denger and setuju banget sama perkataan yang bilang bahwa setelah 2 taon pacaran/courtship, saatnya membuat keputusan, apakah akan menikah atau putus. Karena kalo seudah 2 taon you still don’t have a clue if you two should tie the knot, this probably isn’t a healthy relationship, atau hubungan ini belum berhasil dibina dengan mantap, (atau mungkin juga kalian mulai pacaran terlalu dini, belom cukup umur utk mikirin nikah :P). Dan kalo udah lewat 2-3 taon, apalagi 5 taon dst, hubungan pacaran masih jalan tapi ganjelan prinsipil yang ada belom juga terselesaikan, akan semakin susah utk membuat keputusan berpisah. Karena keburu males utk start over with someone new (kudu mulai dari awal lagi: naksir2an, usaha pedekate, abisin waktu utk penjajakan, dst), atau udah males banget mikir ‘tanggung jawab kekeluargaan’ alias sungkan ama keluarga besar dan handai taulan yang udah telanjur kenal baik dgn pasangan kita. Nantinya setelah kamu start over dengan pasangan & relationship yang baru, biasanya akan lebih susah buat pasangan barumu ini utk ngerasa secure, karena ‘riwayatmu doeloe’ dengan mantan yang kelewat lama & udah dalem. Again, ini ga ada dasar yang kuat, cuman hasil pengamatan dan renungan pribadi doang ;)

3. Udah menyepakati prinsip-prinsip dasar untuk hidup bersama setelah menikah
(contoh: udah sepakat bahwa setelah merit/punya anak istri akan tetep kerja atau jadi ibu RT; akan tinggal terpisah atau gabung dengan keluarga asal; visi & misi 5-10 tahun ke depan; dan sejenisnya).

4. Kedua pasangan udah dewasa.
Artinya udah siap menjalani hidup dengan tanggung jawab sebagai orang dewasa: mampu menyelesaikan masalah secara dewasa (ga sedikit2 minta tolong ortu);

“Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
(Matius 19:5)

dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, istri/suaminya, dan kelak anak-anaknya.

5. Sadar bahwa hidup ini dinamis, tidak statis.
Segala sesuatu berubah (keadaan akan berubah, dan yup, suami/istri pun PASTI AKAN BERUBAH, baik fisik/mental/spiritual). Perubahan itu bisa ke arah yang lebih baik, bisa juga ke arah yang lebih buruk. Bersiaplah menyesuaikan diri dengan perubahan dan terus maju dengan optimis meskipun ada perubahan.

6. Komit untuk menjalani peran sebagai suami/istri sesuai “kodrat”nya 
“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”
(Efesus 5:25)

“Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”
(Kolose 3:18)

7. Ingatlah bahwa marriage is for a lifetime.
Once you enter it, there’s no way out, sampai maut memisahkan. Divorce might seem to be a choice, but seperti halnya menikah tidak menyelesaikan masalah, demikian juga bercerai tidak menyelesaikan masalah. Sesaat tampaknya seolah-olah perceraian akan menyelesaikan masalah/menghilangkan beban-beban tertentu. Tapi perceraian juga menabur banyak benih-benih dosa & masalah di kemudian hari.

“Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel”
(Maleakhi 2:16a)

Kalo entar mentok karena ada masalah mega dahsyat yang tak tertanggungkan lagi begimane dong?? Terus terang saya ga tau jawabannya, kudu nanya ke konselor or hamba Tuhan kali :P 

But satu hal yang pasti, we have a mighty God who will carry us and our marriage all the way through. Yang penting banget dari awal mindset kudu di-setting dulu, to NEVER CONSIDER DIVORCE AS A WAY OUT. Pikiran yang berbunyi “merit aja dululah, entar kalo ada masalah tinggal cerai” kudu DIHAPUS bersih2 dari pikiran kita. BIG NO NO. PAMALI. TABU. HARAM! 

8. Em… apa lagi ya? Belom kepikir, to be continued aja ya di tulisan selanjutnya tentang MARRIAGE :P

Biar mantep, saya anjurkan supaya para calon penganten baca sendiri buku-buku YANG WAJIB DIBACA selama membina hubungan dan sebelum menikah. Contohnya:

1. Lima Bahasa Kasih – Gary Chapman
2. Love for A Lifetime (saya lupa judul Indonya, kalo ga salah Cinta Kasih Seumur Hidup) – Dr. James Dobson

Banyak temen saya yang juga merekomendasikan buku-buku ini, tapi baru sebagian yang saya baca, so ga berani bilang wajib deh. But sebaiknya sih dibaca juga, buat “bekal”, siapa tau ada beberapa buku yang bisa ngejawab pertanyaan yang mengganjal di pikiran :)

1. Sacred Marriage – Gary Thomas
2. This Momentary Marriage – John Piper
3. Love Must Be Tough – Dr. James Dobson

Hidup penuh liku-liku (jadi lagu dangdut deh halaaah…), ga tau kapan nanjak, kapan turun, kapan belok kiri or belok kanan. Kaya naik roller coaster. Dalam kegelapan total :) Tapi selama kita naik roller coaster-nya bersama Tuhan, hidup berjalan bersama Tuhan, menikah di dalam Tuhan dan menjadikan Dia sebagai yang terutama dalam hidup pernikahan kita, we can trust Him. He will be there along the way. Pasang baik-baik sabuk pengamannya, merem kalo takut, and ENJOY THE RIDE! 

Ga ada jaminan bahwa di depan sana semua bakal indah terus. Bakal penuh pelangi dan bintang, ga ada hujan atau panas matahari. Bunga-bunga di mana-mana, ga ada ulatnya. Malah sebaliknya, yakinlah bahwa di depan sana pasti ada banyak tantangan. But we know He holds the future. Buang aja segala kuatir, taroh di bawah salib. Have faith that with Him, you & hubby/wife will make it through. Just walk together, by faith, not by sight.

Saya berdoa buat kalian semua yang akan memasuki pernikahan, semoga baca tulisan ini jadi dapet pencerahan (bukan tambahan kebimbangan wkwkwk… or kalo pun ada kebimbangan, semoga itu kebimbangan yang membangun ya). Kalo ngga dapet apa2 mah kasian deh lu, udah panjang2 baca sampe sakit mata :P

"Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam* terhadap yang lain; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, perbuatlah juga demikian. Di atas semuanya itu, kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan bersyukurlah."
(Kolose 3:13-15)


(* kata dendam ini dalam versi bahasa Inggrisnya adalah grievance, yang artinya a cause or reason for complaint, atau bahasa prokemnya GANJELAN alias UNEG-UNEG).

Monday, October 15, 2018

Suffering for a Better Future


by Poppy Noviana

Take this cup from Me.
(Mark 14:36) 

Perkataan ini bisa jadi sebuah ungkapan kegalauan hati tentang kehidupan. Sebuah respon yang sangat manusiawi. Namun, it was also the ultimate statement of surrender (the best part at all). Di mataku, tindakan Yesus untuk setia berjalan dalam penderitaan demi keselamatanku di masa depan itu romantissss tisss tisss... Bayangkan! Yesus berkorban nyawa demi cinta-Nya kepadaku. Sebagai Anak Allah, Yesus bisa saja menolak kehendak Bapa-Nya dalam melakukan karya keselamatan yang agung itu. Tapi di sisi lain, Yesus juga memikirkan umat-Nya terkasih (termasuk kita, ladies!) yang akan binasa jika Dia tidak mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Jadilah Dia berkata,

“…Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”
(Lukas 22:42)

Anyway, aku mau sharing tentang bagaimana Tuhan memrosesku menjadi seorang pribadi yang lembut dan murah hati dalam pengampunan. Proses ini adalah latihan bagiku untuk bersedia menderita demi masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Lah... maksudnya gimana? Silakan baca bagian berikut, ya! :) 


--**-- 


“For you have been given… the privilege of suffering for him.”
(Php 1:29 NLT) 

Setelah memperoleh renungan ini dari mentor grup retreat Pearl (yang diadakan tahun 2014 lalu), aku sempat kemalingan di kos yang terletak di Jakarta Selatan. Laptop dan speaker-ku dicuri. Yang bikin para penghuni kos lainnya heran adalah fakta di mana hanya aku satu-satunya “korban” atas peristiwa itu—padahal aku juga punya roommate dan barangnya tidak ada yang dicuri. Well, entah bagaimana caranya, tapi pencuri itu berhasil masuk ke kamarku yang tertutup rapat—bahkan meninggalkan bekas jejak sepatunya! Yang lebih parah lagi, peristiwa itu terjadi sehari setelah aku menyampaikan keberatanku untuk tetap tinggal di sana; hubungan yang tidak harmonis antara roommate-ku dengan asisten rumah tangga di kos serta caranya dalam menyimpan barang. Tapi waktu itu roommate-ku bersikeras bahwa tinggal di kos itu dengan biaya yang relatif murah plus banyaknya fasilitas adalah jauh lebih penting dibandingkan penyelesaian atas masalah dalam hubungannya dengan orang lain. 

Aku merasa tidak nyaman kalau sampai merusak hubunganku dengannya, karena aku ingin tetap mengedepankan prioritasku untuk tetap menjaga relasi yang baik dan harmonis dengan sesama (Matius 22:39). Jadi sampai aku kemalingan itu, aku memutuskan untuk tetap tinggal di sana, walaupun hati ini merasa tidak nyaman. Tapi “berkat” kejadian itu, aku kembali berani mengungkapkan keinginanku untuk pindah dan—puji Tuhan—roommate-ku menerima keputusanku. Plus, Tuhan juga memberiku kamar kos di bulan berikutnya di daerah yang strategis dengan biaya yang terjangkau dari seseorang yang pernah kutolong sebelumnya—sehingga aku bisa langsung masuk dan melanjutkan uang sewanya =) 

Ini kisahku mengenai sebuah rasa sakit karena kehilangan barang yang kuanggap berharga, tapi berubah menjadi sukacita yang cukup menakjubkan. Sebagai manusia, kita mengakui bahwa pada awalnya, perubahan itu terasa tidak mengenakkan. Benar, kan? Tapi kalau hal tersebut memang harus terjadi demi masa depan yang lebih baik, kenapa tidak? Masalahnya, kadang-kadang sesuatu yang kita pikirkan baik-baik saja sebenarnya adalah kondisi yang membuat kita stuck dan tidak bertumbuh... Kita cenderung ingin cari aman sendiri, merasa enggan untuk meninggalkan zona nyaman masing-masing. Pendek kata, kita enggan untuk menderita bagi Tuhan—sekalipun itu untuk kebaikan kita. Tapi sebagai anak Tuhan, bagaimana seharusnya kita menyikapi penderitaan itu? Dan apa kaitannya dengan Christian attributes yang sedang kita bahas sepanjang bulan Oktober ini? 


--**-- 


Bicara tentang suffering, aku teringat pada sebuah kisah mengenai seorang wanita yang berani melangkah untuk melindungi suaminya yang tidak pantas dibela. Yaps, dia adalah Abigail. Kisah singkatnya dituliskan dalam kitab 1 Samuel 25. Dia berani melangkah dalam ketidakpastian, bahkan berani untuk mengorbankan harga diri membela suaminya, Nabal, yang jahat dan sombong. Tampaknya, saat itu memang Tuhan menyertai Abigail sehingga ia mampu meluluhkan hati Daud sehingga menerima permintaannya. Dalam hal ini, Abigail telah menyelamatkan banyak kehidupan pengikut Nabal saat itu. Memang wanita ini sangat bijak dan layak memperoleh harapannya; namun tidak hanya itu, ternyata perbuatannya juga membuat kisahnya dituliskan dan kita bisa saksikan sampai hari ini—bahkan mungkin sampai anak cucu kita nanti. 

Abigail memperoleh kemenangan setelah bergumul dalam penderitaan atas perilaku suaminya yang bebal. Tidak lama setelah pertemuan Abigail dan Daud itu, Tuhan membela perkara Abigail dan memukul Nabal hingga mati. Kemudian, Daud mengambil Abigail menjadi istrinya. Ya, masa depan Abigail berada di dalam tangan Tuhan, tapi dia juga mengambil keputusan yang berisiko untuk merespon tantangan yang ada, berani berkorban, dan tidak cari aman sendiri. Tiga poin penting ini yang menjadi reminder bagiku untuk bertahan dalam penderitaan dan senantiasa berseru pada Tuhan—sampai Dia bertindak dengan cara-Nya. Aku percaya bahwa Dia mengasihiku sebagai putri-Nya, jadi aku juga harus mewarisi citra-Nya :) 


--**-- 


NB: “Lalu apa hubungan sharing-mu di atas dengan judul artikel ini, Pop?”

Nah, setelah aku memutuskan untuk pindah kos, ada seorang teman dari agama lain yang bertanya-tanya padaku, “Kok, kamu bisa sesabar itu? Kok bisa kamu kuat sekamar sama teman kamu yang karakternya seperti itu? Kalo gue sih, udah ribut pastinya.” Awal dari pertanyaan ini sebenarnya adalah awal dari sebuah keingintahuan seseorang atas value apa yang aku adopsi dalam keseharianku. Dari sini aku belajar, penderitaan yang Tuhan ijinkan membawa kita kepada kemuliaan di masa depan dan menjadi kesaksian bagi orang-orang. 

“I consider that the sufferings of this present time are not worthy to be compared with the glory which shall be revealed in us.”
(Romans 8:18 NKJV)

Friday, October 12, 2018

(Bukan) Memanipulasi Pasangan


by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Si Dina sama lho, kayak Adek”, kata suamiku beberapa waktu yang lalu. FYI, Dina tuh, sepupuku yang umurnya baru 4 tahun. Dia lucu dan cerewet banget. Dia suka nempel sama suamiku dan minta ditemani bermain.

“Sama kenapa, Bang?”

“Iyaaaa... Masak dia minta Abang pilih-pilih baju di game-nya, terus akhirnya, eh… dia malah milih pilihannya sendiri. Wanita di mana-mana sama ya, Dek. Gak besar atau kecil, sama aja.”

Aw. Aw. Aw. Aku tertawa, tapi juga merasa tersindir.


--**--


Astagaaaa… Jadi selama ini aku berbuat demikian dong, sama suamiku, sampai-sampai dia menyamakan Dina denganku—yang ternyata sering sok-sokan nanya pendapat suamiku lalu ujung-ujungnya pendapat sendiri yang dipake. Ngapain nanya kalau begitu, yah? Wanita ya, ada-ada aja. Mending dari awal buat pilihan sendiri aja, daripada nanya tapi gak mempertimbangkan jawaban suami dan membuat pilihan sendiri hehehe. Aku merasa bersalah. Harus bertobat dan berbalik dari jalan yang jahat nih :p Kalau hal ini terjadi sewaktu pacaran gak apa-apa kali ya. Kolose 3:18 kan, bilang gini:

Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
(Kolose 3:18)


Sebagai seorang istri, kalau kita gak nurut sama suami, ternyata itu bisa menyakiti hati suami lho, seolah-olah kita meragukan pemikiran dan keputusannya. Contohnya ini:

Ada suami istri jalan bareng ke pusat perbelanjaan. Istri mau beli keranjang sampah, lalu terjadilah percakapan begini:
Istri: Pap, keranjang sampahnya bagusan yang warna apa nih?
Suami: Yang biru aja Mam.
Istri: Kenapa?
Suami: Kenapa ya? Gak kenapa-napa sih, tapi papi suka yang biru.
Istri: Okeee... *ujung-ujungnya beli yang warna pink*
Suami: *pingsan*

Hahahaha, ini bukan percakapanku dan suamiku yaaaa :p Mana pernah kami manggil 'mami papi' gitu (LOL). Tapi kira-kira begitulah gambarannya. Kan bikin kesel ya? ^^' Kalau cuma sekali dua kali gak apa-apa. Kalau keseringan? Jangan salahkan suami kalau jawabannya TERSERAH :p

Sebaliknya, saat kita menaati suami—dalam segala hal—itu bisa membuat dia sangat senang. Di sinilah pentingnya bagi kita untuk BELAJAR TUNDUK PADA SUAMI, sekalipun untuk sesuatu yang sederhana. Alasannya karena firman Tuhan berkata demikian :) Dari ‘sindiran’ suamiku di awal tulisan ini, aku merasa dicubit dan diingatkan, “Noh Meg... dari hal kecil pun kamu harus belajar menghargai pendapat suamimu. Memang menyakiti kamu kah kalau memilih warna keranjang sesuai pilihan suami?” *eh, yang di atas tadi bukan aku kok, bukaaaannn... bukaannnn...^^’


Saat kita setia dalam perkara kecil maka kita akan setia dalam perkara yang lebih besar.

Yes. Amen. Aku masih percaya itu. Kalau perkara kecil saja aku tidak menghargai pendapat suami, bagaimana aku bisa menghargainya dalam perkara lain yang lebih besar? Gak bakal! Semakin banyak aku melatih diriku dalam penundukan-penundukan kecil, maka aku akan mudah tunduk dalam perkara lain yang lebih besar.

Aku mulai mencari ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang penundukan istri terhadap suami dan menemukan beberapa hal:

1. Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan. – Efesus 5:22 
Hai para istri (cieeee...), aku menulis ini juga untuk mengingatkan diri sendiri: 

Ketaatan pada suami merupakan ketaatan pada Tuhan, karena Tuhan memerintahkan kita melakukan itu!

Kalau kita gak bisa menemukan alasan untuk taat pada suami, lakukanlah itu untuk Tuhan. Karena Tuhan telah mengasihi kita dengan kasih yang sempurna, yuk kita meresponi kasih-Nya dengan tunduk pada suami.

2. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. – Efesus 5:24 
SEGALA SESUATU?

Gak salah ini ayat? Masak sih, SEGALA SESUATU?

Maksudnya, ketaatan gak hanya dipraktikkan saat kita ingin melakukannya, atau saat kita sepenuh hati setuju dengan suami kita, atau saat dia memperlakukan kita dengan kasih Kristus. Tapi dalam segala sesuatu! Alkitab gak bilang: taatlah KALAU… Taat ya taat. Titik. Kita bertanggung jawab pada Tuhan atas tindakan kita masing-masing, dan gak ada alasan untuk ketidaktaatan atas Firman-Nya. Tuhan membuat suami untuk memimpin; jadi istri harus membiarkan dia memimpin dan memperlakukannya seperti seharusnya seorang pemimpin diperlakukan. Suami memerlukan seseorang untuk menguatkan dia, menghargai dia, percaya padanya, dan menghormatinya. Dan itulah alasan Tuhan memberikannya istri! Dengan demikian, suami akan mampu menanggung lebih banyak kesulitan karena dia tahu ada seorang istri di rumah yang mengagumi dia, percaya, dan mendukungnya, apapun yang terjadi.

Bagaimana kalau suami kita bukan seorang Kristen yang taat?

Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.
(1 Petrus 3:1)

Tuhan bilang kalau ketaatan istri merupakan kunci memenangkan suami yang belum taat kepada Kristus. Bukan omelan istri. Bukan rongrongan istri. Istri gak perlu berkhotbah. Istri hanya diminta untuk tunduk pada suaminya dengan sukarela, sukacita, dan penuh kasih. Tuhan akan memakai penundukan seorang istri untuk memenangkan suaminya bagi Kristus.

Tapi bagaimana kalau suami meminta saya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Firman Tuhan?

Ini satu-satunya pengecualian yang bisa kita temukan terhadap kata “dalam segala sesuatu” di Efesus 5:24. Petrus berkata agar istri untuk tunduk pada suami yang belum percaya. Tapi Petrus saat ditegur karena memberitakan Kristus, dia juga pernah menjawab, "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (1 Petrus 5:29)

Istri gak boleh asal taat sama suami. Saat suami berbuat salah, istri wajib mendoakan dan mengingatkan suaminya untuk hidup benar sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Jadi pertama-tama, taat sama Tuhan, baru taat sama suami. Kalau suami meminta kita melakukan sesuatu yang bertentangan sama apa kata Tuhan, baru jangan diturutin, deh. Tapi baek-baek ya, ngomongnya. Jangan sampe ada piring terbang segala (emang UFO :p). Kalo kagak mah, nurut aja deh. Pasti sulit untuk tunduk, apalagi kalau istri selalu merasa paling benar. Karena itulah, kita perlu berlatih untuk berserah—dimulai dari hal kecil, dibiasakan dari hal yang sederhana. Belajar percaya bahwa Tuhan yang akan menuntun keputusan suami. 


Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
(Efesus 4:22-23)

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya bagiNya.
(Efesus 4:25)

Dulu kalo baca tiga ayat di atas, aku mikir, “Kenapa sih isteri disuruh tunduk sama suami, sedangkan suami disuruh mengasihi isteri. Sedemikian sulitnya kah buat istri menundukkan diri pada suaminya sampai harus ada ayat khusus gitu?” Tapi setelah sharing dengan seorang teman, akhirnya aku memperoleh pencerahan ^^’

- Kenapa suami diminta mengasihi istri?
- Kenapa istri diminta tunduk sama suami?

Sebenarnya, Allah menginginkan hubungan suami-istri yang ada di dunia ini menggambarkan hubungan Kristus dan jemaat. Saat orang lain melihat suami-istri Kristen, Allah rindu hubungan mereka mencerminkan hubungan antara Kristus sebagai Kepala dan jemaat sebagai mempelai-Nya. Suami yang mengasihi istrinya hingga rela berkorban merupakan gambaran bagaimana Allah telah menyerahkan semua yang dimiliki-Nya bagi jemaat; sementara istri yang tunduk kepada suaminya adalah gambaran jemaat yang mau menundukkan diri dan percaya pada pimpinan Sang Kepala (alias Kristus).

Adalah mudah bagi wanita untuk tunduk pada pria, waktu dia merasa dikasihi olehnya. Adalah mudah bagi pria untuk mengasihi hingga mengorbankan dirinya sewaktu istrinya tunduk dan percaya padanya.

Rumus yang gampang (secara teori) sebenarnya, ya...

Wahai para suami (yaa, Pearl juga boleh dibaca para pria, kok. Hahaha), jika engkau mau istrimu tunduk, kasihilah dia dengan cara yang dipahaminya. Buat dirinya merasa dikasihi dan voilaaaa... Engkau akan mendapatkan sikap hormat dan tunduk dari istri.

Wahai para istri, tunduklah pada suamimu. Dengarkan kata-katanya, hargai pendapatnya, hormati keputusannya, jangan suka berbantahan. Dan... Tiba-tiba suamimu akan bersikap manis.

So simple, isn’t it?

Tapi bukan cuma itu yang Tuhan mau. Logikanya udah bener, sih. Hati suami mana sih yang gak semakin mengasihi istrinya saat dia lihat istrinya mau tunduk padanya, menghargai pendapatnya, menghormati setiap keputusannya dan tidak suka berbantahan dengannya. Disadari gak disadari, sikap tunduk seorang wanita menunjukkan seberapa besar dia memercayai suaminya. Demikian pula sebaliknya: bagaimana istri gak tunduk dan menghormati suaminya, berkata manis dan taat waktu dia tahu suaminya begitu mengasihinya? Tentunya sang istri tunduk karena dia percaya suaminya sedemikian mengasihi dia sehingga keputusannya adalah yang terbaik dan didasari kasihnya kepada istri.

Tapi bagi Allah, hubungan suami-istri bukan hanya hubungan timbal balik (alias simbiosis mutualisme), di mana kalo sang suami mengasihi lalu istri tunduk, lalu bila sang suami gak mengasihi, sah-sah saja buat sang istri melawan. NOOOOO...!!!

Kita harus ingat: hubungan suami isteri adalah gambaran hubungan KRISTUS dan jemaat.

KRISTUS mengasihi jemaat-Nya tanpa syarat. Itu pula yang Tuhan mau dari para suami dan istri, Dia tidak ingin suami maupun istri MEMANIPULASI pasangannya dengan melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu, karena kalau itu yang terjadi… Pernikahan seperti ini bukanlah gambaran hubungan Kristus dan jemaat lagi.

Allah mau suami menjalankan perannya untuk mengasihi dan istri untuk tunduk dalam keadaan apapun juga, sepanjang gak bertentangan dengan Firman Tuhan. Gak bisa dipungkiri, pasti ada kalanya suami maupun istri gagal dalam menjalankan peran masing-masing. Iya lah, manusia bisa gagal. Memang bukan karena disengaja, tapi ada kalanya kita gagal.

Contoh:
Suami udah capek banget waktu pulang dari kantor, lalu ingin segera beristirahat dan gak bisa memberikan telinganya untuk sang istri, padahal istrinya merasa dikasihi waktu dirinya didengarkan. Istri yang kesal karena hubungannya dengan rekan kerjanya terganggu lalu pulang ke rumah dan menjadi ketus saat diminta suaminya melakukan sesuatu.


Pasti akan ditemui kegagalan-kegagalan seperti itu.

Tapi... ketika suami-istri tetap berkomitmen menjadikan hubungan mereka sebagai cerminan hubungan Kristus dan jemaat, mereka akan dimampukan untuk tetap bertahan dan tetap menjalankan peran mereka—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sekali lagi, bukan karena ingin memanipulasi pasangannya, tapi karena mereka menyadari hubungan mereka seharusnya mencerminkan kemuliaan Kristus. Kristus yang mengasihi jemaat tanpa syarat, dan jemaat yang tunduk kepada Sang Kepala Jemaat dan merasa aman dalam naungan kasih-Nya.

Wednesday, October 10, 2018

Help! I Married the Wrong Person!


by Natalia Setiadi

Hah serem amat ya judulnya?

Komentar para responden (ciehh...) ttg judul ini:

Single: “Idih, amit2 ya jangan sampe kejadian...” (sambil ngetok kayu dgn giat)
Istri/suami baru: “Puji syukur, gue married the RIGHT person...”
Istri/suami rada lama yang jujur: “Kadang rasanya gue married the wrong person, kadang rasanya the right person. Mana yang bener ya?”
Istri/suami rada lama yang terlalu jujur: “Huh, gue yakin gue married the wrong person. Gue dulu merit cuman demi... Bla bla... Sekarang bertahan juga cuman demi... bla bla...”

Posting-an ini menyambung karangan saya terdahulu yang berjudul Galau Pranikah. Buat yang belom baca tapi pengen baca, cekidot dulu deh link-nya, biar nyambung ceritanya. Kalo ga pengen baca, mendingan dipengen2in, trus baca aja, biar itu postingan bisa naek rating-nya (jiaaahh... Apaan sih @.@)


// Tahun pertama pernikahan

Selain excitement, biasanya taun pertama diwarnai “ribut-ribut” menyangkut perbedaan-perbedaan, miskomunikasi, dan penyatuan visi & misi secara lebih real dan detail. Misalnya: tidur mau pake AC atau engga? Natalan mau ke keluarga suami atau keluarga istri? Dst. 

Kalo ada perbedaan mendasar yang belom terselesaikan selama masa pacaran, ribut yang ada biasanya lebih besar daripada “ribut yang normal” (ada ya, ribut normal? Hihi...)


// Tahun kedua pernikahan

Komunikasi lebih mantep, lebih saling memahami dan memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan spiritual pasangan. Kalo udah ada anak, mulai ribet ngurus anak dengan segala tetek bengeknya. Dan kalo perbedaan prinsip yang ada belom juga terselesaikan, masalahnya akan semakin runyam. Excitement di awal merit dulu mulai memudar . Sad but true, kan secara ilmiah katanya hormon cinta alias endorphin mulai memudar efeknya setelah 6 bulan, “setruman ser-ser-an” di masa pedekate and awal merit mulai “low voltage” :)


// Sekitar tahun kelima sampe kesepuluh

Many things can go wrong dalam fase ini, mungkin lebih dari fase-fase lain. Kalo hubungan suami istri ga terus dipelihara, excitement bisa semakin ngilang. Pergumulan hidup nambah, sama keluarga asal semakin terpisah, jadi suami dan istri lebih saling bergantung satu sama lain. Hampir SEMUA kejelekan suami/istri keliatan JELAS. Mulai keliatan juga pernikahan yang fulfilling dan sehat, sama pernikahan yang goyah. Makanya orang bilang, taon ke-1 sampe taon ke-7 dalam pernikahan itu masa kritis. Mayoritas perceraian/perpisahan terjadi dalam 7 taon pertama pernikahan. Bukan berarti seudah 7 taon berarti aman. Zaman sekarang ada juga yang udah nikah sampe 20 taonan lebih eh ujung-ujungnya divorce. How sad...


// Sekitar tahun ke 25 - 30 (periode perak)

Pernikahan yang bertahan, akan mulai masuk ke fase baru: fase empty nest. Bahasa Indonesianya “rumah kosong” kali ya (kok kayak film horor hehehe...), yaitu fase di mana anak-anak udah dewasa, meninggalkan rumah en memulai rumah tangga baru. Saya pernah denger ada pasutri yang jadi lebih banyak ngritik suami/istrinya karena ga ada lagi anak-anak yang diurusin, alias udah lebih nganggur gituh, wkwkwkw... Ada juga yang justru lebih hepi krn mapan secara finansial, sebagian besar “impian masa muda” udah tercapai, bisa pelayanan, traveling ke berbagai tempat, wooohoooo! 


// Tahun ke-40 dan seterusnya (periode emas dan seterusnya)

Seorang misionaris yang sangat saya hormati menyebut periode ini sebagai periode AMAZING GRACE. Bagi beliau, yang udah menikah hampir 50 taun, bisa melihat cicitnya itu SESUATU banget dah :) Masih dikasih umur, kesehatan dan kesempatan melihat buah-buah (yang sangat lebat!) dari pelayanannya selama puluhan tahun bersama suami tercintanya yang juga sangat inspirasional itu, masih bisa travel mengarungi separoh bola dunia dan terus mengerjakan ladang pelayanannya sambil menjadi grandparents yang supportive buat cucu-cucunya, masih memenangkan jiwa-jiwa, is truly an amazing grace. 


Eum... Kalo ada pernikahan yang bertahan sekian lama tapi ngga harmonis, atau bahasa Sundanya awet rajet, apa itu masih amazing grace? Kata saya sih itu juga amazing grace ya. Sebab untuk BERTEKUN dalam pernikahan yang sulit dan bertahan dengan orang yang sama sampe sebegitu lama jelas butuh amazing grace. 

Nah, buat pembaca yang ngerasa kalimat “HELP!! I married the wrong person...” mencerminkan isi hatinya, saya pengen bilang bahwa kemungkinan besar itu adalah TIPUAN IBLIS. Karena iblis giat benerrrr usahanya ngancurin pernikahan dan keluarga. Dan justru keluarga-keluarga yang paling berpotensi memuliakan Tuhanlah yang paling diincer sama iblis.

Sebuah pernikahan semestinya ONCE YOU’RE IN, THERE’S NO WAY OUT. Kalo udah berani nikah, ya kudu berani ngejalanin sampe garis finish (salah satu atau keduanya dipanggil Tuhan, atau Tuhan Yesus datang ke-2 kali). Ga ada lagi istilah salah pilih, lha dulu kan udah dapet milih...

Suami/istri kamu itu God’s beloved son/daughter loh. Kamu udah meminta dia dari Bapa Sorgawi untuk kamu nikahi dan kawini. Tuhan udah kasih, plus kasih berkat pula, masa sekarang bilang salah pilih?

PERNIKAHAN ADALAH SEKOLAH KEHIDUPAN. Murid-murid (yaitu suami dan istri) harus mau belajar. Harus taat sama Pak Guru (yaitu Tuhan sendiri). Harus BERTEKUN. Ada ujiannya. Kita bisa naik kelas, atau tinggal kelas dan harus ngulang pelajaran yang sama, atau bisa juga drop out (DO), tapi tentu saja sebaiknya jangan DO yang dipilih ya... 

Kadang pelajarannya kita rasa kelewat susah, ga sanggup dijalani lagi. Too much pain, too much tears. Daripada saling menyakiti apa ngga lebih baik disudahi saja?

Tapi Tuhan bilang,

“... Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan. Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun.”
(Yakobus 1:2b-4)


Saya suka banget versi The Message buat Yakobus 1:4-5: 

“So don’t try to get out of anything prematurely. Let it do its work so you become mature and well-developed, not deficient in any way. If you don’t know what you’re doing, pray to the Father. He loves to help. You’ll get His help, and won’t be condescended to (=tidak akan dipermalukan) when you ask for it.”
(James 1:4-5)


“Tapi kami sering bertengkar...”

Well, so what? Ga banyak orang yang mau ngaku kalo lagi bertengkar sama pasangannya. Jadi jangan dikira yang adem ayem itu ga pernah berselisih atau ga punya masalah. Setiap pernikahan punya pergumulan masing-masing.

Soal bertengkar mah menurut saya banyak tergantung temperamen pasangan itu. Ada orang yang cenderung emosional dan meledak-ledak, ada yang cenderung adem dan kalem. Yang meledak-ledak otomatis lebih gampang berselisih. Yang penting ada penyelesaian, dan perbaikan. Ada kompromi, dan pertumbuhan dalam hubungan suami-istri. Pak James Dobson bilang, pernikahan yang kuat dan bertahan justru adalah a marriage that breathes, yaitu pernikahan yang ada pasang surutnya. 

Memang ada beberapa pernikahan yang sangat bermasalah sehingga perlu pertolongan, misalnya konseling, terapi, rehabilitasi, dll. Dan kalau memang ini yang terjadi, jangan ragu2 utk CARI BANTUAN. Hubungi orang-orang yang kompeten (misalnya konselor pernikahan, gembala gereja, mentor rohani, dll), JANGAN CURHAT KE SEMBARANG ORANG. Ini cuman bikin masalah tambah ruwet, sebab urusan rumah tangga itu bukan urusan orang lain. Be wise, cari Tuhan dulu supaya Dia sendiri yang sediain bantuan yang tepat.

“Tapi gue enggak bahagia dalam pernikahan gue, gimanaaa?”

Kalo menurut saya sih, yang terpenting dalam pernikahan bukan kudu bahagia. Tapi pernikahan itu harus FULFILLING atau MEMENUHI. Tentu ajah SEMUA orang pengen bahagia menikah, gak ada yang engga mau lah yauw, termasuk saya. Tapi bukan itu yang kudu dikejar.

Yang harus dikejar adalah memenuhi rancangan Tuhan buat pernikahan ini. 

Dan juga memenuhi kebutuhan anggota-anggota keluarga, seperti kasih sayang, rasa aman, companionship, dan lain-lain. Ga semuanya bakal bisa terpenuhi 100% lah ya, biar gimana pun kita hidup di dunia yang udah jatuh dalam dosa, ga ada lagi yang sempurna. 

Kalo rancangan Tuhan udah berhasil terpenuhi dan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, apa masih gak bahagia?

Zaman sekarang sejak balita anak-anak (terutama cewek2) udh tergila-gila dongeng princess. Inilah salah satu tipuan iblis yang DAHSYAT efeknya. Rasanya kalo punya anak cewe saya gak mau ngenalin dia ke princess2an deh... Kenapa?

Karena propaganda princess bikin anak-anak tumbuh dgn pola pikir yang salah: bahwa pangeran tampan akan membuat princess yang cantik bahagia. (Cantik – nah ini satu lagi serangan dahsyat iblis: propaganda bahwa cuman orang yang cantik yang bisa bahagia/berharga. Ini beda lagi topiknya ya...) 

Jadinya banyak istri yang ngerasa gak bahagia krn suaminya kurang begini dan begitu. Banyak suami yang merasa istrinya gak menghargai padahal dia udah begini dan begitu. Jadi lingkaran setan. Suami istri sama-sama makin ga bahagia.

Padahal kebahagiaan kita seharusnya ga tergantung pada orang lain. We choose to be happy. Bahagia itu pilihan.

Teorinya begitu. Tapi saya sendiri kejeblos di sini, hihihi... Saya cenderung harapin suami utk memenuhi SEMUA kebutuhan saya. Tau banget bahwa suami sibuk sekolah, dan bahwa dia juga udah POL mendahulukan kepentingan saya & anak saya di atas kepentingannya sendiri. Tapi otak dan hati emang sering ciong >_<

Saya suka ngerasa gak bahagia kalo ‘love tank’ saya kosong (baca buku Lima Bahasa Kasih, atau Five Love Languages, karangan Gary Chapman). Memang tugas suami buat bikin istri merasa disayang, ngisiin love tank-nya, tapi sebagai wanita dewasa, saya seharusnya bisa cari kebahagiaan sendiri (LOH?!). Maksudnya bukan kelayapan di luar sana krn haus kasih sayang, tapi punya kehidupan sendiri supaya saya gak jadi istri perongrong, atau penodong :) Ga perlu sampe punya identitas rahasia lah (emangnya Catwoman), tapi sebaiknya punya komunitas, kesibukan yang memenuhi kebutuhan saya buat aktualisasi diri misalnya nge-blog :p, kerja part time, ngelakuin hobi yang bikin hepi, dan masih banyak lagi. Karena NGGA ADIL kalo saya menuntut suami utk bisa jadi sumber kebahagiaan saya. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi ekspektasi setinggi itu.

Saya pernah share artikel berjudul Angry Women and Passive Men di FB. Buat yang belom liat, HIGHLY RECOMMENDED utk dibaca ya (it’s in English sih). Lebih bagus lagi kalo baca bukunya: Love Must Be Tough atau Cinta Harus Tangguh (terjemahan Indonya), karangan dr. James Dobson (buku ini udah saya rekomend juga di postingan Galau Pranikah). Baca deh, kalo postingan saya aja dibaca, masa ga mau baca tulisan pakar yang bagus buanget ini?? :) *maksa ih*

“Kalo pernikahan saya ENGGAK fulfilling gimana?”

Bukan ‘enggak’, tapi “BELUM” :)

Sama kayak nonton film, kapan kita bisa menilai itu film bagus apa engga? Ya seudah ditonton sampe muncul tulisan THE END. Demikian juga pernikahan, baru bisa dinilai di akhirnya, jadi jangan buru2 menyimpulkan bahwa pernikahan ini enggak fulfilling.

Pernikahan kita juga adalah medan perangnya Tuhan, melawan serangan2 iblis dan roh-roh jahat di udara. 

God’s is the battle, God’s shall be the praise (minjem kata-katanya ibu Elisabeth Elliot di buku Through the Gates of Splendor). 

"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.
Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya."
(Mazmur 126:5-6)