by Glory Ekasari
“...perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi,
dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram,
yang sangat berharga di mata Allah.”
(1 Petrus 3:4)
Pada abad pertama, ketika para rasul memberitakan Injil, banyak wanita menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi suami-suami mereka tetap skeptis. Kepada wanita-wanita inilah rasul Petrus menuliskan ayat ini. Justru, menurut Petrus, wanita Kristen harus tunduk kepada suami mereka (saya yakin dalam arti melayani, mengasihi, dan menghormati, bukan menuruti suami ketika dia meminta istrinya melanggar firman Tuhan), agar para suami melihat seperti apa yang namanya kehidupan baru di dalam Kristus melalui perilaku istri-istri mereka. Mungkin sang suami menolak diinjili oleh istrinya karena merasa harga dirinya terluka bila ia mau mendengarkan istrinya. Baiklah. Tapi bila hari demi hari dia melihat istrinya hidupnya makin baik, makin sayang suami, mau tidak mau suami akan bertanya-tanya juga, “Apa yang membuat istriku berubah?” Dari situlah Roh Kudus bekerja, dan mereka akan dimenangkan.
Karakter yang diubahkan ini disebut oleh Petrus sebagai “perhiasan yang tidak binasa”. Tidak seperti tas H*rmes yang harganya ratusan juta (tetapi bisa hangus terbakar), atau mobil B*gatti yang harganya entah berapa miliar (tetapi pasti turun mesin bila sampai terendam banjir!), atau uang yang nilainya terus turun karena inflasi, perhiasan yang sejati tidak rusak oleh api maupun air, dan tidak lekang dimakan waktu.
Nah, ketika saya membaca ayat di atas di dalam versi KJV, saya menemukan sesuatu yang menurut saya aneh:
“But let it be the hidden man of the heart, in that which is not corruptible, even the ornament of a meek and quiet spirit, which is in the sight of God of great price.”
(1 Peter 3:4 KJV)
Ya, di dalam ayat itu digunakan kata “man” (Yunani: anthropos), padahal kita tahu bahwa konteksnya sedang membicarakan tentang wanita. Apa ini berarti wanita itu di dalam manusia batiniahnya adalah laki-laki? Tentu bukan demikian. Saya rasa penyebab penggunaan kata benda maskulin dalam 1 Petrus 3:4 sebagai kata “manusia” tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa roh yang lemah lembut dan tenteram itu bukan hanya untuk wanita, tetapi juga pria—pendeknya, untuk semua orang. Dan teladan kita, pria maupun wanita, dalam belajar untuk punya roh yang lemah lembut dan tenteram juga sama: Yesus Kristus. Dialah anthropos yang sejati; “manusia kedua (yang) berasal dari sorga” (1 Korintus 15:47); “Adam yang akhir (yang) menjadi roh yang menghidupkan” (1 Korintus 15:45). Kepada Dialah semua manusia melihat contoh bagaimana mereka harus hidup.
Dua karakter yang disebutkan dalam 1 Petrus 3:4 (lemah lembut dan tenteram) adalah karakter yang langka, bukan hanya bagi wanita, tetapi juga manusia secara keseluruhan. Saya tertarik untuk melihat makna “lemah lembut” dan “tenteram” tersebut, dan menyelidiki apakah Yesus memang memiliki karakter itu.
Istilah lemah lembut (Yunani: praus) digunakan sebanyak empat kali di dalam Perjanjian Baru. Dua di antaranya adalah tentang Yesus. Secara eksplisit, Yesus menyatakan bahwa Dia lemah lembut dan rendah hati (Matius 11:29) dan kita “diperintahkan” untuk belajar kepada-Nya. Kelemahlembutan bukan berarti bicara pelan-pelan atau selalu malu-malu kucing; kelemahlembutan adalah pertemuan antara kuasa yang besar dengan pengendalilan diri dan kasih. Dikatakan tentang Tuhan Yesus:
Katakanlah kepada puteri Sion:
“Lihat, Rajamu datang kepadamu,
Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai,
seekor keledai beban yang muda.”
(Matius 21:5)
Sebenarnya Tuhan Yesus bisa saja datang kepada puteri Sion (yaitu Yerusalem) “dengan kemuliaan, kedahsyatan, dan murka-Nya yang menyala-nyala” karena mereka menolak Dia. Namun sebaliknya, Dia datang ke Yerusalem dengan lemah lembut, tidak memakai kuasa-Nya untuk berbuat semena-mena terhadap umat-Nya, tetapi merendahkan diri-Nya untuk menebus dosa mereka!
Kadang-kadang, kita ada di posisi di mana kita bisa melakukan sesuatu untuk menyakiti orang lain, atau membalas kejahatan yang mereka lakukan terhadap kita. Tetapi kelemahlembutan berarti tidak menggunakan kuasa itu untuk memenuhi hawa nafsu kita, melainkan dengan rendah hati mengendalikan diri dan justru mengasihi orang tersebut; baik itu suami, orang tua, anak, teman, rekan pelayanan, dsb. Granted, orang pada umumnya tidak berbuat seperti itu. Orang cenderung berbuat semena-mena ketika punya kekuasaan, dan langsung membalas orang yang menyakitinya ketika ada kesempatan. Tapi Tuhan kita bukan sembarang orang; Dia adalah teladan kita yang sejati.
Karakter kedua adalah tenteram (Yunani: hesuchios/hesyxios). Untuk menjelaskan makna istilah ini, kita bisa melihat lawan dari karakter ini. Ada ayat dalam Amsal yang sangat menarik:
“Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah
daripada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.”
(Amsal 21:9 / Amsal 25:24)
Sisters, raja Salomo menuliskan ayat ini dua kali, yang menunjukkan pada kita bahwa cowok sungguh tidak sanggup diajak bertengkar terus oleh wanita. Sebagai contoh adalah cerita yang saya dengar tentang seorang bapak yang melakukan KDRT terhadap istrinya. Waktu pendeta dan ibu pendetanya datang untuk menjenguk, bapak ini bercerita, “Pak, Nu, saya ini sudah tidak kuat. Masalahnya sepele, tapi istri saya terus-terusan ngomel. Saya pikir, daripada pusing dengar dia ngomel terus, saya tinggal ke kamar. Eeh, saya diikuti ke kamar dan diomeli lagi! Saya tinggal dia ke dapur, eeh, saya diikuti dan diomeli lagi! Saya ke mana saja di seluruh sudut rumah, saya diikuti dan diomeli terus! Akhirnya saya tampar dia supaya berhenti bicara!”
Cerita di atas, buat saya, lucu sekaligus miris. Wanita terkenal cerewet, banyak omong, suka ngerumpi, dan tidak bisa menguasai diri dalam hal perkataan. Tetapi wanita Kristen seharusnya tidak seperti itu. Apa yang diucapkan mulut, meluap dari hati. Jika Kristus sungguh ada dalam hati kita, tidakkah seharusnya mulut kita meluapkan hal-hal yang baik? Selain kualitas kata-kata kita, kuantitasnya pun harus diperhatikan. Saya sangat terkesan ketika memikirkan apa yang dikatakan Yesus ketika Dia dihina dan dianiaya menjelang penyaliban. Ya, Dia tidak mengatakan apapun. Yesus bukan hanya tahu bagaimana harus berbicara, Dia juga tahu kapan harus berbicara, dan kapan harus diam.
Tetapi hikmat seperti ini tidak berasal dari luar. Nasihat yang disampaikan jutaan kali terhadap seorang wanita untuk tidak bawel tetap tidak akan mengubah dia. Hal ini dikarenakan kelemahlembutan dan ketentraman sejati berasal dari roh, bukan dari luar pribadinya. Roh seseorang harus diubah, jika dia mau memiliki perhiasan sejati yang “sangat berharga di mata Allah”. Dengan demikian, kita harus lebih dulu menyerahkan hidup kita kepada Yesus, kemudian Roh Kudus akan bekerja memperbarui kita dari dalam. Dan seperti yang kita ketahui dari Galatia 5:22-23, kelemahlembutan dan damai sejahtera adalah buah Roh; yang berarti, kita tidak mungkin menghasilkan buah ini dari diri kita sendiri; melainkan harus Roh Kudus yang mengerjakannya—dan kita taat kepada-Nya.
Setelah itu, dimulailah proses selangkah demi selangkah mengikuti Yesus. Seperti yang dikatakan di atas, Yesuslah teladan kita yang sejati. Apa yang Dia lakukan, kita tiru. Apa yang Dia katakan, kita turuti. Dengan demikian perhiasan batiniah yang sejati itu terbentuk, dan orang lain akan mulai melihat hasilnya. Sesungguhnya yang dikagumi orang itu bukan penampilan lahiriah, tetapi apa yang terpancar dari dalam. Dari situlah orang akan tertarik kepada Yesus yang ada di dalam hidup kita, dan kita bisa menjadi kesaksian bagi mereka.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^