Monday, July 27, 2020

Berdoa dengan Keteguhan


by Mekar Andaryani Pradipta

Memasuki minggu terakhir di bulan Juli, kita masih akan belajar dari perumpamaan yang diajarkan Yesus. Kali ini adalah tentang hakim yang tidak benar, seperti yang tertulis di Lukas 18:1-8. Perumpamaan ini unik; kalau perumpamaan-perumpamaan lain punya makna yang tersirat, Lukas justru menegaskan maksud perumpamaan ini sejak awal. 

Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.
(Lukas 1:8)

Ayat tersebut senada dengan judul yang diberikan oleh Alkitab versi The Passion Translation untuk perumpamaan ini, yaitu “Jesus Gives a Parable about Prayer”.

Perumpamaan ini sebenarnya sederhana. Ada seorang hakim yang tidak mengenal Tuhan, dan ada pula seorang janda miskin yang memohon kepada hakim itu agar memberinya keadilan. Meskipun permintaannya tidak dipedulikan oleh sang hakim, si janda miskin tetap memohon siang dan malam—sampai akhirnya hakim itu berubah pikiran. Dia mengabulkan permohonan si janda miskin, agar janda itu tidak mengganggunya lagi.

Yesus menutup perumpamaan ini dengan perkataan, “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru-seru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?”

Hal pertama yang bisa kita pelajari dari perumpamaan ini adalah tentang pribadi Allah. Sama seperti pada pengajaran Yesus tentang pengabulan doa (Matius 7:7-10), Yesus membandingkan pribadi Allah dengan sosok yang bertolak belakang dari manusia yang berdosa. Allah digambarkan sebagai Hakim yang Adil dibandingkan dengan hakim yang tidak benar. Allah sebagai Bapa yang Baik, dibandingkan dengan bapa yang jahat. 

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
(Matius 7:11)

Yesus ingin kita belajar bahwa Allah itu baik dan Dia hanya memberikan pemberian yang baik bagi kita. Tapi, jujur saja, berapa kali kita berprasangka kepada Allah ketika hidup kita tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Kita lupa bahwa “baik” di sini adalah menurut hikmat dan kedaulatan Tuhan, bukan “baik” menurut keinginan kita. Kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang tidak akan mampu menyelami pikiran Allah, jika Dia tidak menyatakannya kepada kita.

Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir.
(Mazmur 139:17-18a)

Ketika kita berdoa, mengenal pribadi Allah akan membuat kita punya sikap hati yang benar. Kita dimampukan untuk memiliki hati yang memahami bahwa jawaban Allah—apapun itu—adalah baik untuk kita, dan percaya bahwa Allah—sebagai Bapa yang Baik—tidak pernah merancang hal yang jahat untuk kita, anak-anak-Nya.

Hal kedua yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah kesabaran dan keteguhan hati janda miskin. Melihat kemiskinannya, janda miskin ini tidak punya sumber daya lain untuk mendapatkan haknya. Karena yang dihadapinya adalah hakim yang tidak benar, seandainya si janda punya uang pelicin, bisa saja kasusnya langsung selesai. Tapi, alih-alih berutang atau mencuri, dia memilih menjalani proses yang memang seharusnya dia jalani. Janda miskin itu tidak mengambil jalan pintas... hingga akhirnya kasusnya dapat teratasi.

Banyak orang ketika berdoa menginginkan hasil yang instan, namun lupa bahwa Tuhan bukan tukang sulap. Padahal Dia adalah Allah yang berkenan kepada proses. Meski demikian, di saat yang sama, Dia juga bukanlah Allah yang mengulur-ulur waktu sebelum memberikan pertolongan—bahkan di luar dari yang bisa kita bayangkan (Lukas 18:7b). Ya, Dia adalah Allah yang tepat waktu.

Jawaban doa yang seakan tertunda bisa menampakkan sikap hati kita sesungguhnya. Sebagai contoh, Alkitab mengisahkan tentang kegagalan Saul dalam menanti-nantikan waktu Tuhan (1 Samuel 13). Pada waktu terhimpit serangan orang Filistin, Saul berada di Gilgal. Seharusnya dia menunggu Samuel untuk bersama-sama mempersembahkan korban bakaran. Tapi kenyataannya, karena tuntutan orang banyak dan ketidaksabarannya sendiri, Saul justru melanggar hukum Allah. Bukannya menunggu Samuel, Saul sendirilah mempersembahkan korban bakaran. Karena itulah, saat Samuel datang, dia menegur Saul dan menyatakan hukuman Allah untuk Saul.

Memang tidak mudah untuk bersabar menunggu sampai pertolongan Allah datang. Rasanya membosankan ketika melakukan sesuatu yang seakan sama setiap hari dan berusaha tanpa henti, namun hasilnya tidak juga kelihatan. Lalu, apakah kita berhak untuk berhenti berharap? Kiranya perkataan Yesus ini menguatkan kita semua,

“He will not delay to answer you and give you what you ask for. He will give swift justice to those who don’t give up. So be ever praying, ever expecting, just like the widow was with the judge.”
(Luke 18:7b-8a)

Di masa yang sulit dan penuh ketidakpastian ini, mungkin ada di antara kita yang merasa seperti janda miskin. Berdoa menaikkan permohonan—bahkan berulang kali—setiap hari, tapi Tuhan seolah-olah tidak peduli. Namun setelah membaca tulisan ini, mari mengingat lagi pribadi Allah dan membangkitkan kembali iman kita. Dia adalah Allah yang baik, yang tahu waktu terbaik untuk setiap doa anak-anak-Nya. Dia tidak berlambat-lambat, melainkan selalu menjawab tepat pada waktu-Nya. Bagian kita adalah tetap berdoa dan berusaha dengan keteguhan iman dan ketekunan menunggu timing Tuhan. Be still, and know that He is God, The Emmanuel.

Monday, July 20, 2020

“TERHILANG? AKU? AH, YANG BENER AJA!”


by Tabita Davinia Utomo

Ketika masih kecil, setiap kali pergi ke sebuah tempat, saya suka sekali mencari tahu apa saja yang ada di sana. Ketika keluarga kami bepergian, Nenek bahkan pernah menyarankan agar Mama mengikat saya dengan semacam tali laso. Tentu saja agar saya tidak pergi sesukanya sendiri, meskipun waktu itu saya masih berusia 2,5 tahun.

Bagi saya, banyak hal yang ingin saya eksplor di tempat baru, tapi belum tentu orang tua saya mengijinkan atau mau menemani ke sana. Kalau begitu, bukankah pilihannya pergi diam-diam sendirian? 

Sebagai anak-anak Tuhan, kita juga sering melakukan hal yang sama. Kita merasa ingin melihat “dunia luar”, meskipun resikonya adalah jauh dari Allah, Bapa kita. Kita menganggap “berpetualang” itu baik untuk kita, tapi ternyata belum tentu demikian. Setelah itu, kita ragu untuk bertobat karena kita menganggap diri kita sudah terlalu kotor. Bisa dibilang, “Karena udah rusak, jadi bablasin aja sekalian.” Benar atau tidaknya pemikiran tersebut akan terjawab melalui perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Sebelum membaca artikel ini lebih lanjut, Pearlians dapat membaca artikel Ci Benita mengenai domba yang hilang untuk memperoleh gambaran tentang siapa saja yang mendengarkan pengajaran Yesus ini. 

Pada jaman Yesus, ada dua kelompok besar di masyarakat yang sangat bertolak belakang. Siapa lagi kalau bukan orang Farisi dan ahli Taurat vs. pemungut cukai dan orang berdosa. Lewat perumpamaan anak yang hilang, Yesus menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sama-sama berdosa di hadapan Allah. Kenapa bisa begitu?

1. Anak bungsu menggambarkan mereka yang memang berniat meninggalkan ayahnya.
Apa tandanya? Pertama, anak bungsu meminta hak waris sementara ayahnya belum meninggal. Ini sesuatu yang bisa dibilang sangat kurang ajar. Bagaimana bisa ada seorang anak yang tega meminta haknya, bahkan sebelum orang tuanya meninggal? Tapi inilah yang dilakukan sang anak bungsu itu.

Setelah mendapat warisannya, Anak Bungsu menjual harta warisan itu. Mungkin harta yang dia dapat adalah investasi keluarga seperti ternak, emas, atau tanah. Supaya dia punya fresh money, harta itu harus dijual. Mungkin pula Anak Bungsu benar-benar ingin putus hubungan dengan ayahnya. Jika warisannya tidak dijual, bisa jadi Anak Bungsu masih perlu menitipkan ternak atau tanah yang dia terima pada ayahnya. Jika tidak dijual, “koneksi” dengan ayahnya masih diperlukan. 

Setelah mendapatkan uangnya, Anak Bungsu itu bahkan pergi “ke negeri yang jauh”. Tidak dijelaskan kemana persisnya, tapi Yesus menggunakan frase ini untuk menegaskan bahwa Anak Bungsu tidak lagi ingin bertemu dengan ayahnya. Bahkan setelah bencana kelaparan melanda di sana (dan membuatnya melarat), anak itu justru memilih jadi penjaga babi—pekerjaan yang sangat najis karena orang Yahudi mengharamkan babi.

Tapi walaupun sudah pergi sejauh mungkin, Anak Bungsu tetap mengingat ayahnya. Ia ingat bagaimana ayahnya memperlakukan hamba-hambanya dengan layak, tidak seperti bagaimana dia diperlakukan saat menjadi penjaga babi. Merindukan kasih ayahnya Anak Bungsu memutuskan pulang. Ia mendapat sambutan hangat dan penerimaan dari ayahnya.

2. Anak Sulung tidak sepenuhnya mengenal ayahnya—yang ternyata sangat berhati lembut dan penuh kasih— juga tidak mengasihi adiknya sendiri.
Setelah melihat adiknya disambut dengan meriah, Anak Sulung protes kepada ayahnya. Dia merasa tidak dikasihi seperti adiknya. Padahal, ayahnya juga mengasihi Anak Sulung dengan kasih yang sama. Anak Sulung beranggapan bahwa dia harus bekerja keras untuk membuat ayahnya senang dan menghargainya, sementara adiknya—yang mempermalukan mereka—memperoleh sambutan yang seharusnya ia terima. “Ini tidak adil!” demikian kira-kira ungkapan yang menggambarkan kekesalannya.

Dari perumpamaan di atas, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, tidak ada seorangpun yang benar di hadapan Allah (Roma 3:10), literally. Hanya karena anugerah-Nya kita digerakkan untuk bertobat dan melakukan apa yang Allah kehendaki. Ketika kita memahami hal ini, mungkin ada beberapa pertanyaan yang bisa kita renungkan bersama:
“Apa aku merasa kehilangan arah hidupku?”

“Apakah aku memang sudah mengenal Allah dengan sungguh-sungguh?”

“Apakah aku masih sering menganggap diriku lebih layak memperoleh berkat Tuhan dibandingkan orang lain—yang (mungkin) hidupnya tidak lebih baik dariku?”

“Apakah aku merasa bahwa Tuhan mengekangku, meskipun Alkitab menunjukkan apa yang dilakukan dan diberikan-Nya adalah untuk kebaikanku?”
Kiranya masa pandemi ini menolong kita untuk berefleksi seberapa jauh kita mengenal Allah sebagai satu-satunya Pribadi yang setia menunggu kita pulang ke dalam pelukan-Nya.

NB: Pearlians dapat berefleksi juga melalui artikel ini.

Monday, July 13, 2020

Akhirnya Aku Mengerti



by Glory Ekasari

Ketika masih SMA, saya sangat tidak suka pelajaran Fisika. Aneh, karena saya mengambil jurusan IPA. Selama dua tahun, pelajaran itu menjadi “duri dalam daging” bagi saya. Nilai Fisika saya? Yah, yang penting cukuplah untuk lulus. Hahaha.

Kenapa saya tidak suka Fisika? Alasannya sederhana: karena saya tidak paham dengan apa yang diajarkan. Saya tidak mengerti buat apa saya harus menghitung volume air yang tumpah saat seseorang melemparkan benda padat ke dalam air, atau berapa kecepatan benda pada saat di udara, di posisi tertentu di kurva parabola. Satu-satunya bab yang saya kuasai adalah tentang gelombang (bunyi) karena saya bisa bermain musik. Selain itu saya tidak paham, cara mengajar oleh gurunya tidak menarik, dan saya merasa semua itu tidak berguna.

Tapi lalu sesuatu yang “ajaib” terjadi. Semakin bertambahnya usia, semakin saya sadar bahwa fisika ada di mana-mana. Dia ada di barang elektronik yang saya pakai, dia ada di jalan yang saya lewati, dia ada di rumah yang saya tinggali, dia ada di tubuh saya! Dan saya jadi bertanya-tanya, KENAPA saya tidak menyadari ini dari SMA dulu?? Semua yang diajarkan ke saya saat sekolah, baru masuk akal sekarang, setelah lama waktu berlalu.

Hal yang hampir sama pernah saya alami dalam hal rohani. Saya lahir baru ketika masih berusia belasan tahun. Sejak itulah saya mulai mengenal Tuhan secara pribadi. Momen itu tiba di suatu malam, ketika saya sedang berbaring sambil memandangi langit-langit kamar. Ketika sedang berpikir bagaimana saya mulai mengenal-Nya, tiba-tiba ayat-ayat Alkitab yang saya hafalkan selama bertahun-tahun di Sekolah Minggu muncul dalam pikiran saya—seolah-olah ditulis di langit-langit kamar saya. Saat itu saya berkata, “Ooohh, ternyata itu maksud ayat-ayat yang saya hafalkan!” dan Alkitabpun menjadi hidup dalam hati saya.

Tanpa saya sadari, saya adalah murid “berprestasi” di Sekolah Minggu selama bertahun-tahun tanpa mengerti apa yang saya hapalkan. Namun pada hari itu, Roh Kudus menjelaskan kepada saya apa arti semuanya itu. Suddenly, everything makes sense.

Pengalaman seperti itu sangat berharga bagi saya secara pribadi, tapi sebenarnya bukan hanya saya yang mengalaminya. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus memenuhi murid-murid Yesus. Petrus berkhotbah di hadapan ribuan orang, dan dia mengutip ayat demi ayat dari Perjanjian Lama. Saya yakin bahwa Petrus bukan hanya sedang mengajar orang banyak itu, tapi dia juga berbicara kepada dirinya sendiri. Akhirnya Petrus mengerti apa yang dikatakannya! Petrus, yang dulu bertanya pada Yesus, “Tuhan, apa arti perumpamaan yang baru Engkau sampaikan?” hari itu MENGERTI siapa Guru yang ia ikuti selama tiga tahun terakhir. Inilah yang Yesus maksud ketika Dia berkata:

“Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.”
(Lukas 8:16-17)

Firman Tuhan adalah pelita, dan pelita itu tidak dinyalakan hanya untuk disembunyikan. Yesus mengatakan perumpamaan ini setelah menjelaskan tentang perumpamaan penabur. Pada saat itu, murid-murid-Nya belum mengerti apa yang Yesus maksud. Tapi pada waktunya, kebenaran pun bercahaya sehingga merekapun mengerti.

Perkataan Yesus ini juga mengingatkan kita pada satu hal yang penting: Firman Allah memiliki kuasa supranatural untuk mengubah hidup seseorang; dan karena itu, hanya Allah yang sanggup menjelaskan firman-Nya kepada roh kita.

Kenapa saya pakai istilah “kepada roh kita”? For a reason too well understood: banyak orang mengerti tentang Yesus dalam pikirannya, tapi entah kenapa mereka tidak bisa mengenal Dia. “Allah itu Roh,” kata Tuhan, “dan barangsiapa menyembah Dia harus menyembah-Nya dalam Roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24). Kita tidak bisa menyembah Dia hanya dengan pikiran kita, atau hanya dengan perasaan kita. Kita tidak menyembah Dia pertama-tama di gereja, tapi di dalam diri kita. Pengenalan akan Tuhan adalah sesuatu yang rohani—melibatkan roh kita dan Roh Kudus. Ini adalah sebuah misteri, dan Tuhanlah yang bekerja dalam hal ini—melampaui apa yang dapat kita pikirkan dengan logika yang terbatas.

Apa yang membedakan Petrus satu menit sebelum ia dipenuhi Roh Kudus dan satu menit sesudahnya? Pengetahuannya tidak bertambah, pengalamannya tetap sama, sepertinya tidak ada yang berubah. Tapi pada detik yang sangat krusial itu, Roh Kudus menjamah Petrus dan melakukan sesuatu pada rohnya, dan seolah-olah terang menyinari matanya: Petrus dapat melihat segala kebenaran Allah yang ada dalam diri Yesus; dan firman Allah yang dibacanya dalam Kitab Suci (yang waktu itu berisi Perjanjian Lama) menjadi hidup, dan dia tiba-tiba mengerti bahwa itu semua adalah tentang Yesus. Lama sebelum peristiwa Pentakosta, Daud berdoa, “Singkapkanlah mataku, sehingga aku dapat memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mazmur 119:18). Bagi saya, ini adalah salah satu doa terindah yang pernah dipanjatkan manusia kepada Tuhan.

Betapapun indahnya memandang terang kebenaran dan memilikinya dalam hati kita, kita tidak bisa menyimpannya sendiri. Karena itu, Tuhan Yesus melanjutkan perkataan-Nya:

“Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”
(Lukas 8:18)

Yesus telah menabur kebenaran di hati para murid-Nya. Setelah Dia naik ke surga, tanggung jawab untuk menabur itu diestafetkan kepada mereka. Menutup perumpamaan ini, Yesus menyatakan satu prinsip yang penting: semakin sungguh-sungguh kita membagikan kebenaran yang diterima, semakin banyak yang akan dipercayakan kepada kita. Sebaliknya, apabila kita menyimpan apa yang kita dapat untuk diri kita sendiri dan tidak membagikannya, kita seperti hamba yang dipercayakan satu talenta itu: talentanya diambil dan dia ditinggalkan tanpa memiliki apapun.

Sulit membayangkan orang mengenal Pribadi seindah Yesus dan tidak punya keinginan untuk membicarakan tentang diri-Nya dengan orang lain. Kita mungkin tidak bisa membahas tentang Yesus secara frontal kepada setiap orang yang kita temui. Tapi ketika ada kesempatan, rasanya sangat aneh bila kita tidak mengambil kesempatan itu. Baik itu dalam percakapan sehari-hari, maupun saat kita diberi kesempatan untuk membagikan firman Tuhan.

Semakin dalam saya mengenal Tuhan Yesus, semakin saya ingin orang bertanya kepada saya tentang diri-Nya, supaya saya bisa menjelaskan betapa luar biasanya Dia. Tapi sebaliknya, ketika saya belum mengenal Tuhan Yesus, saya pasti bingung, bahkan menghindar kalau ditanya orang lain tentang iman saya. Karena itu semuanya harus dimulai dari diri kita masing-masing: kita harus mengenal Tuhan secara pribadi. Atau lebih tepatnya, Tuhan harus menyatakan diri kepada kita. Dia harus menyinari kita dengan Roh-Nya dan memimpin kita “kepada seluruh kebenaran” (Yohanes 16:13). Kita bisa meminta pernyataan ini kepada-Nya, dan permintaan itu pasti dipenuhi:

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”
(Lukas11:13)

Biarlah ini menjadi kerinduan kita, karena seperti yang dikatakan sebuah lagu, tidak ada hal di dalam hidup ini yang lebih baik dibandingkan dengan mengenal Dia yang menciptakan kita:


Dan ku ingin mengenal-Mu, Tuhan
Lebih dalam dari semua yang kukenal
Tiada kasih yang melebihi-Mu
Ku ada untuk menjadi penyembah-Mu

Monday, July 6, 2020

Undangan Pesta dari Sang Raja


by Poppy Noviana

Pada suatu hari berjalanlah seorang pemuda lalu masuklah Ia ke suatu tempat untuk mengajarkan kebenaran. Banyak orang berkumpul untuk mendengarkannya. Ada orang yang ingin belajar, ada orang yang hanya ingin menguji Sang Pengajar. Ada pula orang-orang tua berpengalaman yang ikut hadir disana. Pengajaran pemuda itu menarik sekali. Ia bahkan sering menggunakan perumpamaan, dan semua orang diperbolehkan untuk bertanya langsung kepada Sang Pengajar. 

Seperti itulah biasanya situasi apabila Yesus sedang mengajar. 

Perumpamaan seringkali diberikan untuk mempermudah pendengarnya dalam memahami pengajaran Yesus. Terutama bagi mereka yang belum benar-benar mengenal Dia dan Kerajaan-Nya. Seperti yang dikatakan di Alkitab, "Mengapa Engkau berkata-kata kepada mereka dalam perumpamaan?" Jawab Yesus: "Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. (Mat 13:11-12)

Pada artikel kali ini, kita akan membahas secara sederhana mengenai perumpamaan Kerajaan Allah seperti perumpamaan perjamuan kawin. Hal ini tentu bukan hal yang sederhana. Saya berdoa, semoga Tuhan memberi hikmat agar kita bisa mengenal kehendak-Nya. 

Lalu Yesus berbicara pula dalam perumpamaan kepada mereka: “Hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya.” 
(Matius 22:1-2)

Seperti perumpamaan Yesus, Kerajaan Sorga layaknya sebuah pesta raja dimana orang-orang yang mendapat undangan saja yang bisa masuk kesana. Tapi apakah hanya butuh sekedar undangan? Karena kenyataannya, “Ia menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang.”

Bayangkan, seorang raja begitu baik mau mengundang orang-orang agar datang ke pestanya. Tapi, bukan undangan itu saja yang menentukan. Syarat pertama agar seseorang bisa masuk ke Kerajaan Sorga, adalah respon. Sia-sia undangan dari kerajaan, apabila respon dari orang yang diundang justru menolaknya. Hal ini seperti perumpamaan Kristus yang berdiri di muka pintu dan mengetuk, menunggu kita membukakan pintu bagi Dia, supaya Dia bisa masuk dan makan bersama-sama dengan kita (Wahyu 3:20). Yang penting adalah respon, menerima atau menolak. Dalam konteks pesta raja ini, orang-orang yang diundang justru menolaknya. 

Bagian selanjutnya perumpamaan Yesus, menjelaskan kenapa orang-orang itu menolak undangan dari Raja. 

Ia menyuruh pula hamba-hamba lain, pesannya: Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini. Tetapi orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya; ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya. Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka. Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu.
(Mat 22:3-8)

Dari bagian ini, kita mengerti bahwa ada orang-orang yang memang secara asli diundang oleh raja untuk memperoleh hidangan dan tempat dalam perjamuan, yaitu bangsa pilihan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dirancang sejak awal untuk menikmati bagian dari kerajaan-Nya, namun sayangnya mereka yang tidak mengindahkannya. Alih-alih datang ke pesta raja, orang-orang itu justru sibuk mengerjakan hal lain. Ibaratnya, sudah diberi kesempatan dan kemurahan, namun tidak dihargai dan dianggap tidak penting. Prioritas mereka bukan kekekalan. Mereka menempatkan keamanan dan prioritas hidupnya pada hal-hal yang bersifat sementara, seperti pekerjaan, bisnis, dan bahkan menghakimi kebenaran yang sudah mereka dengar dan lihat melalui anak-anak Allah yang diutus serta Roh Kudus sendiri yang sebenarnya sudah berbicara dalam kehidupan mereka. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa syarat kedua masuk ke kerajaan surga adalah hidup yang fokus pada hal-hal kekal. 

Wajar memang jika kemudian raja menjadi murka karena pesta yang sudah dipersiapkan dengan baik, malah disia-siakan begitu saja. Apalagi, sebagai raja, selama ini ia bertanggung jawab pada hidup rakyatnya, sebagaimana Tuhan sebagai pencipta, memelihara kehidupan umat ciptaan-Nya. Seberapa banyak dari kita, sebagai makhluk ciptaan, justru berhenti mengutamakan Pencipta kita, karena seluruh energi dihabiskan untuk mengasihi ciptaan-Nya yang lain. 

Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu. Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta. Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja. Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.
(Mat 22:9-13)

Pada akhirnya, undangan kedua diberikan kepada siapapun tanpa terkecuali, tidak peduli apapun latar belakang seseorang, tidak peduli apakah dia baik atau jahat. Mereka boleh turut masuk dalam kerajaan-Nya, diberi kesempatan dan kemurahan untuk menikmatinya sesuai perkenanan Raja, karena kerinduan Raja adalah banyak orang datang ke pestanya, bersukacita bersama dia. Seperti kerinduan Tuhan adalah semua orang diselamatkan.
(I Timotius 2:4)

Tapi, raja menghendaki semua orang yang datang ke pestanya mengenakan pakaian pesta yang layak. Ia memang raja yang penuh kasih, namun ia juga raja yang adil, sehingga hanya yang layak yang pantas yang akan bertahan memperoleh tempat dalam kerajaannya. Mengatakan ‘ya’ pada undangan Raja, bukanlah akhir cerita. Sama halnya seperti menerima Tuhan dan Juru Selamat juga bukan akhir dari perjalanan iman kita, tapi justru sebuah awal. Lalu apa yang harus kita lakukan? Coba pikirkan apa yang Yesus inginkan semasa hidup, apa yang Ia percaya, apa yang Ia larang, lalu lakukan semuanya dalam kehidupan sehari-sehari. 

Seringkali diantara kita mungkin ada yang sudah mengenal Allah dari lahir, atau mungkin mengenal Dia sejak masa remaja, namun apakah kita benar-benar mengenal artinya percaya dan melakukan kehendak-Nya? Saya rasa belum tentu. Contohnya, orang Saduki dan orang Farisi, mereka tahu namun mereka tidak melakukannya. Jadi, kapan kita mengenal Tuhan bukanlah masalah, selama kita bisa setia sampai pada akhirnya.

Bagian ini menjelaskan bahwa kehidupan di dunia merupakan waktu yang cukup untuk kita mempersiapkan diri bagi Kerajaan Sorga. Percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, hidup melakukan Firman dan kebenaran, adalah bentuk mengindahkan undangan raja dan menjahit pakaian pesta agar layak mengambil bagian dalam kerajaan Allah. Percaya dan taat adalah prinsip yang perlu terus menerus dikerjakan sampai hari perjamuan itu tiba. 

Undangan masuk ke Kerajaan Sorga diberikan kepada siapa saja. Ada yang menolaknya mentah-mentah, ada pula yang datang tanpa memperhatikan apa yang harus dipersiapkan. Sama halnya seperti Kristus yang mati dan bangkit untuk semua orang, tapi tidak semuanya mau percaya pada kuasa-Nya. Beberapa yang meresponi panggilan-Nya pun, tidak semua mempersiapkan hidupnya sungguh-sungguh untuk kedatangan Kristus yang kedua. 

Inilah syarat yang ketiga, melakukan kebenaran, mengerjakan keselamatan. Hal inilah yang membedakan kita dengan iblis, iblis juga percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah namun dia tidak taat, berdosa dan hamartia (menyesatkan). Apa yang kita perbuat adalah pertanggungjawaban atas iman kepada Allah. Bukankah Firman Tuhan mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan itu mati? 

Panduannya sudah disediakan, hikmatnya sudah diberitahukan di mana-mana, namun perihal menggunakan panduan dan pengetahuan tersebut lain hal, sebab dibutuhkan kedewasaan rohani dan keseriusan untuk sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Hidup dalam iman namun tidak melakukan kehendak-Nya, sama seperti masuk dalam perjamuan kawin tanpa memakai baju pesta.

Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.
(Mat 22:14)