Monday, February 22, 2021

Pemeliharaan Tuhan


by Inawaty Teddy

Artikel ini berfokus pada kitab Ester secara keseluruhan.

Kitab Ester mengisahkan tentang kehidupan umat Yahudi, dimana nenek moyang umat Yahudi ini merupakan umat yang dibuang di sekitar tahun 586 SM, dan yang tidak kembali ke Yerusalem ketika diberikan kesempatan oleh raja Koresh pada tahun 538 SM. Kisah dalam kitab Ester terjadi sekitar tahun 480 SM, berarti kitab ini mengisahkan tentang kehidupan umat Yahudi yang sudah ada di pembuangan Babel dan kemudian Persia selama sekitar 100 tahun. Apakah Allah tetap memelihara mereka ketika nenek moyang mereka tidak mau kembali ke Yerusalem? 

Nama Allah—dalam bentuk apapun—tidak muncul di dalam kitab Ester. Namun hal ini bukan berarti Allah telah melupakan umat-Nya yang ada di Persia pada saat itu. Mungkin nama Allah tidak disebutkan karena mau menekankan pemeliharaan Allah yang terselubung. Keseluruhan kitab Ester menekankan pemeliharaan Allah yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah apa yang akan kita lihat di Ester 7 ini.

Permasalahan besar terjadi ketika di pasal 3, Mordekhai tidak mau sujud kepada Haman seperti yang diperintahkan raja. Kemungkinan adalah karena Haman adalah orang Agag. Agag adalah sebutan untuk raja bagi orang Amalek. Ini bisa menjelaskan kenapa Haman begitu kaya. Sedangkan Tuhan telah menetapkan Israel dan Amalek akan menjadi musuh turun temurun (Kel. 17:16). Ternyata kebencian Haman terhadap orang Yahudi begitu besar sehingga ia mau menggunakan kesempatan ini untuk memusnahkan seluruh orang Yahudi yang berada dalam kerajaan Persia. Haman menawarkan 10.000 talenta perak (Ester 3:9 - jumlah yang sangat besar sehingga raja Ahasyweros yang sangat kaya tersebut juga tertarik) supaya ia boleh mengeluarkan surat titah untuk memusnahkan orang Yahudi. Haman dengan cerdik tidak mengatakan kepada Ahasyweros bangsa yang ingin dimusnahkan, ia hanya berkata “ada suatu bangsa” (Ester 3:8). Dengan menggunakan cincin materai raja yang diberikan kepadanya, ia mengirim surat titah bahwa semua orang boleh memusnahkan orang Yahudi pada tanggal 13 bulan Adar dan merampas harta mereka (Ester 3:13). Ini tentu adalah tindakan yang sangat cerdik karena berarti bukan hanya musuh Yahudi, tetapi semua orang yang menginginkan harta orang-orang Yahudi tersebut dapat membunuh mereka demi mendapatkan harta mereka pada hari yang telah ditentukan.

Mordekhai kemudian meminta Ester untuk datang menghadap raja untuk menolong bangsanya. Walaupun Ester awalnya takut untuk melakukannya, akhirnya bersedia setelah ditegur Mordekhai (Ester 4:10-16). Ester pergi menghadap raja, dan meminta raja dan Haman datang ke perjamuannya. Raja dan Haman kemudian datang. Tetapi anehnya Ester menunda memberitahukan raja dan meminta raja dan Haman datang kembali keesokan harinya (Ester 5:5-8). Begitu keluar dari perjamuan Ester, Haman melihat Mordekhai yang semakin meremehkannya, sekarang Mordekhai bahkan “tidak bangkit dan tidak bergerak menghormati dia,” Hamanpun menjadi sangat marah (Ester 5:9-10; mari kita bandingkan dengan Ester 3:2). Dengan hati yang sangat panas, dan atas nasihat isteri dan sahabat-sahabatnya, Haman langsung membuat tiang gantungan yang sangat tinggi, 50 hasta (22.5 m), untuk menyulakan Mordekhai esok paginya setelah mendapat izin dari raja. 

Namun atas pemeliharan Tuhan, raja Ahasyweros malam itu tidak dapat tidur. Raja yang tidak dapat tidur tersebut meminta dibacakan catatan sejarah, dan mendapatkan catatan tentang jasa Mordekhai yang pernah membongkar rencana pembunuhan atas dirinya (Ester 6:1-11, mari kita lihat Ester 2:21-23). Rajapun langsung memberi hadiah atas jasa Mordekhai, dengan diarak keliling kota pagi hari, sebelum perjamuan Ester yang kedua. Setelah itu, sorenya raja dan Haman pergi ke perjamuan Ester yang kedua, yang dikisahkan dalam Ester 7.

Dalam pasal 7 ini, Ester dengan cerdik tidak langsung menyebutkan nama Haman ketika berbicara tentang surat titah yang telah dikeluarkan untuk memusnahkan semua orang Yahudi. Sepertinya Ester tahu bahwa jika dia langsung menyebutkan nama Haman, raja yang tentu suka pada Haman, yang telah diangkat menjadi orang nomor dua di kerajaan Persia (Ester 3:1), akan menilai dengan subjektif. Setelah raja marah dengan objektif, barulah Ester menyebutkan bahwa orang yang akan memusnahkan bangsanya adalah Haman (Ester 7:5-6). Raja Ahasyweros kemudian marah dan keluar ke taman istana (Ester 7:7). Tetapi jika kita pikirkan secara seksama, sebenarnya Haman tidak melakukan kesalahan secara hukum Persia. Ia telah meminta izin raja untuk memusnahkan suatu bangsa. Jika raja tidak bertanya bangsa apa itu, itu bukan kesalahan Haman. Lagipula siapa yang tahu jika itu adalah bangsa ratu Ester. Ingat, Ester tidak memberitahukan orang lain tentang kebangsaannya atas perintah Mordekhai (Ester 2:10; 20). Jadi Haman tidak seharusnya dihukum berdasarkan surat titah tersebut.

Allah yang tentu tahu bahwa Haman tidak dapat dihukum berdasarkan surat titah yang dikeluarkannya, kemudian menggunakan cara yang lain yang tak terduga agar Haman dapat dihukum. Allah membuat Haman yang ketakutan berlutut di depan Ester, dan raja yang kembali dari taman melihat hal tersebut, lalu terjadi kesalahpahaman dimana raja berpikir bahwa Haman ingin menganiaya Ester dan menyuruh Haman ditangkap (Ester 7:8-9). Ironi yang Allah tunjukkan sangatlah menarik, Haman yang ingin memusnahkan semua orang Yahudi karena seorang Yahudi tidak mau bersujud padanya tetapi kini Allah membuat peristiwa dimana Haman bersujud di depan seorang perempuan Yahudi untuk membuat dia dipenjarakan.

Namun kita tahu bahwa ini adalah kesalahpahaman yang terjadi karena raja melihat situasi tidak menyenangkan tersebut. Sangatlah mungkin bila nanti Haman dapat menjelaskan, Haman dapat dikeluarkan dari penjara. Apalagi pastinya Haman banyak didukung oleh pejabat lainnya yang akan memohon raja mengampuni dia. Jadi agar Haman dapat langsung di hukum mati, Allah dengan sengaja memakai tiang gantungan yang telah didirikan oleh Haman malam sebelumnya (Ester 5:14). Saat itu Harbona, salah seorang sida-sida, melaporkan kepada raja bahwa Haman telah mendirikan tiang untuk Mordekhai, orang yang telah berjasa dan menyelamatkan raja dari rencana pembunuhan (Ester 7:9). Mungkin seluruh kota sudah tahu tentang tiang gantungan tersebut karena tingginya 22.5 meter. Mendengar bahwa Haman bermaksud menyulakan orang yang telah berjasa besar kepadanya—yang baru tadi pagi diarak keliling kota—raja tidak dapat menahan murkanya dan memerintahkan Haman langsung disulakan di tiang tersebut (Ester 7:9). 

Perhatikan, tiang gantungan itu sempat dibuat oleh Haman karena Ester menunda untuk memberitahukan raja tentang masalah tersebut selama satu hari. Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa jika pada akhirnya Haman digantung pada tiang yang didirikannya sendiri, itu adalah semata-mata pemeliharaan Tuhan yang membuat Ester menunda satu hari untuk memberitahukan raja, yang menyebabkan Haman sempat membuat tiang gantungan tersebut. Perhatikan juga timing yang begitu tepat antara pembuatan tiang gantungan Haman (malam sebelum perjamuan Ester yang kedua), Mordekhai diberi upah oleh raja (pagi sebelum perjamuan Ester yang kedua), baru kemudian perjamuan Ester yang kedua ini.

Ester dan Mordekhai hanya dapat menggunakan surat titah untuk menuduh Haman. Tetapi karena Allah tahu bahwa itu tidak akan cukup membuat Haman dihukum, maka Tuhan menggunakan caraNya sendiri untuk membuat Haman dihukum mati.

Ketika usaha kita terasa tidak cukup untuk berhasil, Tuhanlah yang akan menyempurnakan usaha kita sehingga membuat kita menjadi berhasil. Karena itu jangan khawatir dan takut akan ketidaksempurnaan rencana dan usaha kita, yang terpenting adalah kita tetap melakukan apa yang menjadi bagian kita dan mari kita serahkan bagian yang berada di luar kuasa kita ke tangan Allah yang penuh kuasa. Percayalah, Allah yang sempurna yang kita sembah akan menyempurnakan hidup kita dengan cara dan waktuNya. 

Monday, February 15, 2021

Ingin Dicintai




by Yunie Sutanto

Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel, sebab sakit asmara aku.
(Kidung Agung 2:5 / TB)

Pernahkah terpikir oleh Pearlians, mengapa ada istilah "mabuk cinta" dan "sakit asmara"?

Kondisi orang yang sedang jatuh cinta memang mirip orang mabuk. Tak kurang ada sekitar tujuh hormon yang bergejolak di tubuh saat kita jatuh cinta. Saat sakit asmara melanda, kita bisa mengamati gejala-gejala tubuh seperti jantung berdebar-debar dan keringat dingin. Secara emosional pun ada perasaan bahagia, nyaman dan tenang saat berada dekat si pujaan hati. Seperti orang yang terobsesi, isi pikiran senantiasa dipenuhi tentang si doi. 

Lagi ngapain ya dia? 

Udah makan belum ya?

Entah sudah berapa kali stalking medsosnya hanya untuk mengintip si doi lagi ngapain. Mau makan ingat dia, mau tidur pun ingat dia. Galau dan gelisah memikirkan si pujaan hati. 

Eits... tunggu dulu... mungkin Anda merasa artikel ini bukan untuk Anda.

Lha wong ya sedang biasa-biasa saja, ndak naksir siapa-siapa. Tidak sedang mabuk cinta.

Mungkin Anda belum bertemu pasangan hidup anda, namun artikel ini mengajak Anda untuk mulai mempersiapkan diri jika hari itu tiba. Bagaimana kita akan bertindak saat sakit asmara melanda?

Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia. 
(Kidung Agung 3:1)

Sang gadis di Kidung Agung pasal 3 ini sedang sakit asmara. Kasmaran! 

Ia begitu terobsesi memikirkan pujaan hatinya. Malam hari ia tak bisa tidur karena gelisah melanda. Hasrat hatinya menggebu ingin berjumpa sang pujaan hatinya. 

Wajarkah ini? Sangat wajar. 

Normalkah? Normal banget.

Ini tanda bahwa manusia memang diciptakan Allah untuk berpasangan. Tidak baik jika manusia itu sendiri saja. Hasrat ingin dicintai ini sangat normal. 

Setiap manusia memiliki a deep yearning to love and be loved. 

Kasih eros bukanlah kasih yang negatif, karena Tuhan sendiri yang menciptakannya dan manusia membutuhkannya. There's so much beauty in romantic love. 

Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia. 

Aku ditemui peronda-peronda kota. "Apakah kamu melihat jantung hatiku?" 
(Kidung Agung 3:2-3)

Saat seharusnya si gadis beristirahat dan tidur, ia malah terjaga karena hatinya gelisah merindukan kekasihnya. Saat sedang "mabuk cinta", tindakan kita seringkali tidak rasional. Seperti sedang mengenakan ‘kacamata pink’, segala sesuatu seolah terlihat berwarna pink! Demikian pula si gadis ini, ia mencari kekasihnya tanpa memikirkan lagi martabatnya. Padahal: Apa yang dikerjakan seorang gadis sendirian malam hari di tengah jalanan kota? Bahkan saat berjumpa peronda-peronda kota, ia tidak takut bahaya menimpanya. Ia malah bertanya apakah para peronda melihat kekasihnya? 

Rupanya "mabuk cinta" ini bisa membuat kita menjadi impulsif.

Pernah seorang teman memutuskan pindah gereja hanya karena sedang naksir seseorang di gereja baru tersebut. Belum lagi kisah seorang teman lain yang memilih jurusan dan kampus yang sama dengan gebetannya. Tidak rasional, bukan? Tapi itulah hal-hal yang bisa dilakukan orang yang sedang mabuk cinta! Itulah perlunya kita punya mentor atau komunitas kecil yang "tahu" kondisi kita apa adanya. Akan lebih aman jika ada yang tahu kalau kita ini sedang di "mabuk cinta" dan berpotensi bertindak kurang rasional. 

Rasa ingin selalu dekat dengan si pujaan hati ini jika tak terkendali bisa berujung pada sifat posesif yang tidak sehat tentunya. Yuk... lanjut kita nyimak bagaimana respon si gadis di pasal 3 ini.

Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku; kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku. Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya! 
(Kidung Agung 3:4-5 / TB)

Takkan lari gunung dikejar. 

Kalau sudah jodoh itu takkan lari kemana. Pepatah ini benar sekali. Bukankah jodoh kita ada di tangan Tuhan? Rasa aman menggantikan rasa posesif yang tak sehat, saat kita menyerahkan perasaan dan hubungan kita kepada Tuhan. Allah saja yang merajut tali kasih kita! Serahkan pada Tuhan dan yakinlah bahwa di tangan Tuhan Yesus jodoh kita sudah diatur.

Yang menarik adalah apa yang gadis di pasal 3 ini lakukan saat ia akhirnya berjumpa dengan pasangannya. Apa gerangan responnya? Ia tidak diam-diam menjalin hubungan atau backstreet. Ia juga tidak mengikuti tren TTM an atau HTS-an. Ia mengajak si pujaan hatinya kemana kira-kira ya? Ke rumah ibunya! 

Penting banget melapor ke figur otoritas dalam hidup kita, saat kita memasuki fase menjalin hubungan pranikah. Otoritas kita (orang tua kandung maupun orang tua rohani) bisa memberikan masukan dan ikut menjaga hubungan kita. 

Jangan membangkit-bangkit cinta sebelum waktunya. Jangan galau ingin segera punya pasangan karena tuntutan usia. Jangan pula menjalin hubungan karena tren, karena semua teman sudah punya pasangan, aku tidak mau kalah juga. Pacaran itu memiliki satu tujuan, yaitu pernikahan. Sehingga ketika memilih seorang pacar, kita sebenarnya sedang memilih calon suami juga. Oleh karena itu standard dalam memilih pacar, adalah standard yang sama untuk memilih suami kita kelak.

Marilah gunakan masa lajang dengan maksimal untuk Tuhan. Saat dipercaya memasuki pernikahan kelak, sebagai istri dan ibu, tentunya pelayanan kita yang terutama akan berubah prioritasnya. 

Nikmati masa single dan nikmati juga masa menjalin hubungan. Penyertaan Tuhan selalu ada di setiap masa hidup kita. 

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
(Pengkhotbah 3:1)

*) Referensi dari buku Jonathan A Trisna

Monday, February 8, 2021

Not Simply Tell the Truth




by Tabita Davinia Utomo

“B’rani nyatakan kebenaran.”

Itu adalah salah satu bagian lirik jingle dari PPSMB (Pelatihan Pembelajaran Sukses bagi Mahasiswa Baru) Fakultas ketika saya menjadi mahasiswa baru di sana. Walaupun sudah hampir dua tahun lulus dari kampus tersebut, lirik jingle itu kadang-kadang terngiang di benak saya. Nah, pikiran saya yang terbiasa random ini akhirnya membuat saya berpikir, “Bukannya susah ya kalau mau ngomong apa yang bener?”

Iya lho, coba aja lihat para martir. Mereka sampai kehilangan nyawa karena mempertahankan iman kepada satu-satunya Tuhan. Begitu juga dengan tokoh-tokoh reformasi gereja seperti Martin Luther dan John Calvin yang juga bergumul berat karena penolakan gereja atas gerakan back to the Bible yang mereka lakukan… Itu belum termasuk orang-orang yang “hilang” karena menentang pemerintah—entah yang ada di Indonesia maupun di luar negeri. Kalau cara halus (sampai harus ada sindiran elegan) saja tidak mempan, rasanya satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membangkang. Eh, maksud saya membangkang terhadap peraturan atau hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.

Secara teori, kita paham bahwa integritas kepada Tuhanlah yang seharusnya jadi pegangan. Ironisnya, kenyataan justru berbicara dengan keras adanya ketidaksinkronan apa yang Firman Tuhan katakan dengan respon orang lain (bahkan kita termasuk di dalamnya). Tidak perlu membayangkan terlalu jauh, kenyataan seperti ini mungkin juga sering kita alami dalam konteks-konteks berikut:

Sebagai anak:
“Kamu tuh, masih bocah! Nggak usah ikut campur.” – diomeli karena berkata pada orang tua agar tidak bertengkar terus-menerus.

Sebagai istri:
“Kamu tuh, perempuan! Nggak pantes ngatur-ngatur aku!” – perkataan ketus dari seorang suami pada istrinya yang berusaha memastikan bahwa suaminya menjalankan perannya dengan baik sebagai suami (dan ayah).

Sebagai ibu:
“Mama/Mami/Ibu/Bunda nggak usah sok tahulahh. Ini tu namanya trennn.” – sang anak berkata dengan sinis ketika ibunya menasihati agar tidak memboroskan uangnya untuk membeli barang-barang demi tren semata.

Sebagai orang yang bekerja/berkuliah/bersekolah:
Dikucilkan karena dianggap tidak memperlancar “kerja sama” di antara teman-temannya; saat ada tindakan buruk yang akan dilakukan, dia justru menegur—dan berujung pada dirinya yang mendapat label “orang naif” di tempat tersebut.

Lama-kelamaan, mulut ini lebih memilih untuk diam karena penolakan-penolakan yang bertubi-tubi. Pertanyaannya, ketika apa yang kita katakan terbukti benar dan orang yang sempat membantah justru overwhelmed karena membantah perkataan kita, apa yang menjadi respon kita? Mungkin dua meme dari @transletin ini menjadi jawabannya:


Saking gemasnya dengan orang-orang yang ngeyel kalau diberitahu apa yang benar, kita cenderung memilih untuk “membiarkan” mereka agar jatuh ke lubang yang telah mereka gali. Well, dosa memang sudah membuat seluruh tatanan kehidupan menjadi rusak, dan hanya karena kasih karunia Tuhanlah yang bisa memulihkannya—termasuk dalam hal memberitakan kebenaran dalam kasih. Kebenaran di sini bukan hanya tentang Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan, keselamatan, dan hidup (Yohanes 14:6), tapi juga menjadi cermin dari-Nya yang adalah kebenaran itu. Salah satu bagian Firman Tuhan yang perlu kita pegang dalam menghadapi keadaan-keadaan seperti itu adalah 1 Petrus 3:15-16, namun di sini saya akan mengutip dari versi Alkitab Ayat Yang Terbuka (AYT):

“Akan tetapi, kuduskanlah Kristus sebagai Tuhan dalam hatimu! Siap sedialah untuk memberi jawaban kepada siapa pun yang menuntutmu mengenai pengharapan yang kamu miliki, tetapi lakukanlah itu dengan lemah lembut dan hormat, serta milikilah hati nurani yang jernih supaya ketika kamu difitnah, orang yang mencaci cara hidupmu yang baik di dalam Kristus akan menjadi malu.”

Konteks penulisan surat dari rasul Petrus ini bukan tanpa alasan. Pada masa itu, orang Kristen mula-mula (termasuk Gentiles, orang non-Yahudi yang menjadi Kristen) mengalami penganiayaan dan tersebar di berbagai wilayah (di antaranya Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia – 1 Petrus 1:1). Mengetahui pergumulan mereka mengenai iman kepada Kristus, Petrus menulis semacam encouragement di 1 Petrus 1:2 sebagai berikut:

“yang dipilih sejak semula oleh Allah Bapa melalui pengudusan oleh Roh untuk dapat hidup dalam ketaatan kepada Kristus Yesus dan memperoleh percikan darah-Nya. Kiranya anugerah dan damai sejahtera melimpah atasmu.” (AYT)

Mengacu pada AYT, “sejak semula oleh” dimaksudkan jemaat penerima surat Petrus ini telah ditentukan melalui rencana Allah sejak semula (literally foreknowledge—prapengetahuan); sementara “memperoleh percikan darah-Nya” mengingatkan mereka pada pengudusan oleh darah Kristus. Sebagai orang percaya yang teraniaya (bukan hanya fisik, tapi juga secara sosial), bukan hal yang mudah bagi mereka untuk tetap mempertahankan iman kepada Sang Juruselamat. Namun di sisi lain, saya membayangkan ada dorongan dalam diri mereka untuk memberitakan Injil melalui kehidupan mereka—sehingga semakin banyak orang percaya kepada Kristus. Itulah alasan Petrus mengingatkan agar orang-orang percaya ini tetap mempertahankan integritas hidup mereka di dalam Kristus, karena dari sanalah (siapa tahu) lingkungan yang mencerca dan menolak pemberitaan Injil justru menjadi malu. Well, ini seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus, “Jika Allah di pihak kita, siapakah dapat yang melawan kita?” (Roma 8:31)

Kalau ditarik ke zaman sekarang, kita harus mengakui bahwa ada ketidakberdayaan dan rasa putus asa setiap kali kebenaran yang disampaikan jadi mental (baca: semacam masuk telinga kiri, keluar dari telinga kiri pula). Lama-kelamaan kita jadi memilih untuk memakai jalan pintas: memaksakan apa yang kita yakini tanpa mendengarkan pendapat orang lain. I’m sorry to say, ini justru membuat citra kita sebagai orang Kristen jadi dicap buruk. :( Lalu apa yang harus kita lakukan?

1. Sabar adalah kunci

Menghadapi orang-orang bawel nan ngeyel membutuhkan kesabaran ekstra, Pearlians. Percayalah, kalau kita hanya bergantung pada diri sendiri, kita akan jadi cepat lelah untuk membuat orang lain jadi percaya pada kebenaran yang kita beritakan. Then come to Jesus Christ; He will encourage us to be more patient to tell the truth.

2. Allah yang memroses kita dan mereka

Seringkali kita lupa bahwa kebenaran yang disampaikan bukan hanya bertujuan memenangkan orang lain, tapi juga membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Tentunya ini hanya bisa terjadi karena intervensi Allah—yang bekerja secara misterius namun pelan-pelan buahnya bisa terlihat. Kalau Tuhan saja tidak memaksa sedemikian rupa hanya agar kebenaran-Nya mendarat di hati orang lain, siapa kita sehingga merasa berhak untuk mengindoktrinasi mereka? Tugas kita adalah menabur dan menyiram, namun Allah memberikan pertumbuhan.

3. Jangan lupa berdoa!

Usaha manusia ada batasnya, karena itulah kita dipanggil untuk berdoa dan menyerahkan pada Tuhan apa yang telah kita lakukan. Oh iya, bahkan sebelum menyatakan kebenaran, kita harus selalu bertanya, “Apa iya sih, yang mau aku sampein ini udah berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan jelas?” Kan, sia-sia ya kalau kebenaran yang kita sampaikan hanya untuk melengkapi wawasan dan untuk jadi bahan penghakiman bagi orang lain. Melalui doa (yang tentunya bukan hanya satu-dua kali), kita bisa mendengarkan Tuhan berbicara ketika kita memberikan-Nya ruang untuk itu. Sometimes the best time of prayer is silent for a moment, and let Him speak gently.

4. Last but not least… jangan sok tahu

Kadang-kadang apa yang kita tahu lebih banyak daripada orang lain membuat kita jadi sombong haha (saya juga masih bergumul dengan hal ini, sih). Itulah kenapa kita juga harus belajar rendah hati dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berpendapat. Kalau pada akhirnya mereka sadar dan mau menerima kebenaran (misalnya teguran penuh kasih), that’s a good thing. Kalaupun sampai maranatha mereka tetap bersikukuh pada hal yang salah, setidaknya kita tidak membuat mereka jadi semakin kesal dengan kesoktahuan kita—walaupun apa yang disampaikan memang benar.

Kiranya Tuhan memampukan kita untuk berkata-kata dalam kasih dan kebenaran melalui berbagai konteks yang Dia izinkan terjadi. Cheers!

Monday, February 1, 2021

Hidup Dalam Kebenaran





Bayangkan kita mendapatkan hadiah berupa berlian 18 karat dengan kualitas 4C (Color, Clarity, Cutting, Carat) yang tinggi. Apa yang akan kita lakukan? Menaruhnya di sembarang tempat? Tentu tidak, bukan? Kita akan menaruh di kotak perhiasan—bahkan di kotak tersendiri—lalu kita masukkan ke brankas perhiasan supaya aman. Pastinya kita tidak akan mau menukarnya dengan berlian 18 karat dengan kualitas 4C rendah, kan?

Berlian 18 karat itu ibarat anugerah Tuhan untuk kita. Tuhan memberikannya dengan cuma-cuma, kita tidak perlu melakukan apa-apa—hanya percaya saja kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi. Melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya pada hari ketiga untuk menebus dosa, setiap orang yang percaya kepada-Nya—termasuk kita—tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Hanya karena anugerah dan iman yang diberikan Allah, kita dilayakkan-Nya untuk dibawa dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9-10). Itu adalah hadiah terbesar dan termulia yang Tuhan berikan kepada manusia.

Dengan berharganya anugerah tersebut, apakah kita masih akan menyia-nyiakannya? Seandainya ada hal-hal yang membuat kita berpikir ribuan kali untuk melakukannya, mungkin kita harus mengingat bahwa pengorbanan Yesus itu lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Jika sudah menerima sesuatu yang paling berharga, yaitu darah Yesus yang menyucikan hidup orang percaya, apakah kita mau menukar dengan sesuatu yang tidak suci dan najis? Lupakah kita dengan apa yang Paulus katakan berikut:

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!”
(Roma 6:15 / TB)

Maka dari itu hidup kita sehari-hari haruslah mencerminkan anugerah Tuhan yang sudah kita terima. Jadi, bagaimana kita harus menghidupinya?

1. HIDUP KUDUS
“tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,”
(1 Petrus 1:15 / TB)

Kenapa harus hidup kudus? Karena Tuhan itu kudus. Sedikit ada dosa saja kita tidak bisa menghampiri Dia. Bersyukurlah karena kita sudah dikuduskan dengan darah Yesus, sehingga kita bisa menghampiri Dia dan memanggil-Nya, “Abba, ya Bapa.” (By the way, bagi orang Yahudi, panggilan itu adalah panggilan paling akrab dari seorang anak kepada ayahnya).

Tuhan tahu bahwa kita adalah manusia yang tidak terlepas dari jeratan dosa. Dia juga tahu bahwa meskipun sudah menjadi orang percaya (bahkan ikut pelayanan di mana-mana), kita tetap bisa jatuh dalam dosa—kapanpun dan di manapun. Karena itu, apabila ada kesadaran yang diberikan oleh Roh Kudus, kita harus segera mengakui dosa-dosa kita kepada Tuhan; segera bertobat dan tidak melakukannya lagi. Ingat: Tuhan yang adil dan setia akan mengampuni jika kita mengaku dengan jujur dan bertobat dengan sungguh-sungguh (1 Yohanes 1:9). Ketika perjalanan hidup semakin terjal (atau terlalu mulus seperti jalan tol, yang membuat kita bisa lepas kendali), Tuhan tidak lepas tangan terhadap kita. Ada Roh Kudus yang akan selalu mengingatkan apabila ada dosa yang kita lakukan (maupun sedang menanti), sehingga kita bisa segera berbalik arah.

2. HIDUP SEBAGAI ANAK-ANAK YANG TAAT
“Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu,”
(1 Petrus 1:14 / TB)

Taat kepada Tuhan membutuhkan ketaatan penuh. Saat Tuhan berkata agar jangan lagi menuruti hawa nafsu yang menggoda itu, satu-satunya pilihan bagi kita adalah taat. Saat Tuhan mengingatkan supaya jujur dalam pekerjaan, pilihan kita hanya taat. Saat Tuhan menegaskan agar harus mengampuni, ketaatan kita akan diuji. Oke, manusia memang punya freewill untuk memilih yang lain (yang lebih “nyaman” dan “mudah” untuk dilakukan). Tapi sebagai anak-anak Tuhan yang ingin untuk taat kepada-Nya, tidak ada pilihan lain selain melakukan apapun yang Dia kehendaki—meskipun itu sulit dan melawan keinginan daging kita. Jangan khawatir: Roh Kudus akan selalu mengingatkan kita jalan mana yang harus kita tempuh—pastinya jalan kebenaran, bukan kecelakaan. Jadi, taat saja kepada Tuhan, pasti kita berjalan di dalam kebenaran. Kalau kita berjalan dalam koridor kebenaran, ketidakbenaran tidak akan bisa menjatuhkan kita.

Ketaatan akan membawa kita kepada kebaikan-kebaikan yang berasal dari Tuhan. Sebagai Bapa yang baik, Dia selalu menunjukkan dan memberikan apa yang terbaik. Hanya saja… kita yang suka maunya sendiri, padahal Tuhan sudah menyiapkan sesuatu yang terbaik bukan hanya baik. Misalnya saja, kita tahu bahwa korupsi uang perusahaan adalah dosa ketidakjujuran, kita mau taat dengan arahan Roh Kudus yang bilang supaya kita tidak korupsi atau tidak taat? Itu semua pilihan kita. Taat atau tidak taat? Choose wisely!

As a wrap, marilah kita mencerminkan anugerah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan Yesus. Jangan pernah menukar anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus dengan hal yang tidak terlebih mulia. Hiduplah dalam kebenaran, apabila berbuat dosa cepat bertobat serta selalu taat kepada Tuhan. Amin.

“Untuk mendapatkan keselamatan, kita tidak perlu mati di kayu salib tetapi untuk menjalani kehidupan kita di dalam anugerah keselamatan itu, kita harus memikul salib.”