Showing posts with label Christian Living. Show all posts
Showing posts with label Christian Living. Show all posts

Monday, June 7, 2021

Harga Mati Sebuah Kemenangan



by Nidya Mawar Sari

Artikel ini mengacu pada Matius 4:1-11

“Hari ini masak apa?” adalah sebuah pertanyaan yang tidak pernah selesai dalam hidup saya sebagai ibu rumah tangga—yang salah satu jabatannya adalah menteri dalam negeri urusan dapur. Rasanya indah sekali jika akhir minggu tiba, karena saya bisa libur dari urusan memikirkan menu hari itu (akhir minggu adalah jadwal kami boleh membeli makan di luar).

Urusan makan memang jadi kebutuhan paling utama, ya (khususnya bagi yang sudah berkeluarga, karena urusan ini bukan hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga pasangan maupun anak-anak). Selain itu, kita juga sering mendengar orang berkata, “Makan dulu yuk. Kalau laper ga bisa mikir.” Suara keroncongan di perut memang sangat mengganggu. Apalagi keadaan lapar juga sangat memengaruhi emosi kita. Itulah alasan ketika perut kita sudah terisi dengan pas (baca: sudah kenyang), maka kita bisa lanjut fokus beraktivitas. Emosi yang tadinya sempat tidak bisa dikontrol akhirnya bisa mulai dikendalikan lagi karena pikiran kita juga sudah diberi asupan makanan.

Nah, keadaan lapar ini (bahkan lebih ekstrim, sebenarnya) juga pernah dirasakan oleh Tuhan Yesus. Setelah Ia dibaptis, Roh Kudus membawanya ke padang gurun. Di sana Ia berpuasa selama 40 hari, dan Ia juga dicobai oleh Iblis disana. Ada empat hal yang bisa kita pelajari tentang Iblis dan trick-nya saat mencobai kita. Yuk, kita lihat satu per satu:

1. Iblis memakai kesempatan saat kita lemah.
Hal pertama yang menjadi bahan cobaan Iblis adalah soal perut. Iblis mengambil keadaan Yesus yang lapar sebagai satu kesempatan mencobai Yesus untuk mengubah batu itu menjadi roti. Hmm.. sangat menggiurkan ya, dan mungkin terlihat benar juga usulnya. Hati-hati! Terkadang usul Iblis itu terlihat benar dan baik untuk kita, padahal sebenarnya justru menjerumuskan dan jika tidak segera disadari, kita akan semakin terjebak dan tidak ingin keluar dari sana.

2. Iblis memakai frase “kalau Kau anak Allah” untuk mengawali dua dari tiga pencobaan yang dia berikan.
Perikop sebelumnya menceritakan peristiwa pembaptisan Yesus dan ada kejadian yang sangat spektakuler di sana. Allah Bapa memberikan deklarasi, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Nah, Iblis memakai ungkapan “kalau Kau Anak Allah” untuk mempertanyakan, “Masa’ iya Anak Allah bisa lapar? Lakukan sesuatu dong, supaya ga menderita.” Bukankah hal semacam ini juga sering Iblis pertanyakan kepada kita? “Katanya kamu anak Allah yang disayang, kok kamu hidupnya masih menderita?” Hati-hati (lagi)! Ini adalah bentuk manipulasi Iblis yang rentan membuat kita meragukan iman kepada Allah dan tidak ingin lagi memercayai-Nya!

3. Iblis tahu Firman Allah, tapi dia memutarbalikkannya.
Strategi yang sama Iblis pakai pada saat dia memelintir perintah Tuhan kepada Adam dan Hawa di Taman Eden.

4. Iblis hanya bisa memberikan usul untuk melakukan apa yang seharusnya tidak kita lakukan.
Kitalah yang menentukan pilihan kita, mau taat kepada siapa: kepada Allah atau Iblis. Secara teori, mudah bagi kita untuk berkata bahwa seharusnya kita taat kepada Allah, tetapi natur manusia yang telah tercemar oleh dosa membuat kita tidak lagi merindukan Allah dan menyenangkan hati-Nya. Kalaupun bisa berbuat baik, itu semata-mata karena anugerah Allah sendiri.

-

Kita sama-sama tahu bahwa Tuhan Yesus menang telak dari Iblis dalam peristiwa ini. Mungkin kita berpikir bahwa sudah pasti Tuhan Yesus menang, kan Dia Tuhan. Namun, dalam perikop ini dituliskan Tuhan Yesus menang bukan seperti sulap. Ada beberapa hal yang menjadi poin penting yang bisa kita, manusia biasa, usahakan untuk menang juga atas pencobaan. 

1. Dalam Lukas 4:1 ditulis, “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus…” Sebelumnya kita membahas kalau saat itu Dia sedang lapar, tapi di perikop ini kita bisa tahu bahwa meskipun lapar, Dia penuh dengan Roh Kudus. Kalau kita biasanya kebalikannya ya. Penuh secara jasmasni, tapi kosong dalam roh. Inilah satu hal penting yang harus kita punya saat kita mau menang dalam pencobaan. Kita tidak bisa hanya peduli soal perut lalu berharap kita bisa menang melawan pencobaan. 

2. Tuhan Yesus selalu melawan Iblis dengan senjata yang paling ampuh, yaitu Firman Tuhan. Setiap kali menjawab Iblis, Tuhan Yesus selalu mengatakan “Ada tertulis..” Inilah hal kedua yang kita perlu untuk melawan segala macam cobaan, tipuan dan godaan Iblis. 

3. Pencobaan mengenai rasa lapar ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh Yesus, namun juga bangsa Israel yang menuju ke Kanaan setelah keluar dari perbudakan di Mesir. Tentu Pearlians masih ingat bahwa mereka mengembara di padang gurun selama 40 tahun karena ketidakpercayaan mereka atas janji penyertaan Allah (tepatnya setelah 12 pengintai itu kembali dari Kanaan dan memberikan informasi mengenai tanah tersebut). Nah, bangsa Israel juga dikenal sebagai bangsa yang tegar-tengkuk dan lebih mementingkan roti daripada Firman Allah. Ada buktinya dari peristiwa pemberian manna: mereka menyisakan manna saat Allah telah berfirman agar mereka tidak menyisakannya untuk keesokan harinya (karena pasti akan membusuk); dan mereka mencari manna pada hari Sabat padahal Allah telah berfirman bahwa Dia tidak akan menurunkan manna pada hari tersebut (karena itu, Dia memerintahkan bangsa Israel untuk mengambil manna dua kali lipat dari kebutuhan mereka pada satu hari sebelum Sabat). Berbeda dari Israel, Yesus lebih mementingkan Firman Allah—bahkan Dia menggunakannya untuk melawan Iblis yang sedang mencoba memutarbalikkannya. Tidak heran jika Yesus disebut sebagai Israel yang sejati, kan, karena Dia bisa menggenapi ketaatan kepada Allah—sesuatu yang tidak bisa digenapi oleh bangsa Israel?


Jesus fought this battle as a Spirit-filled and Word-of-God filled Man. Kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan adalah harga mati bagi kita dalam menghadapi pencobaan-pencobaan. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak kita. Sebagai seorang ibu, pasti kita mau anak-anak kita tidak kelaparan, bukan? Kita pastikan mereka mendapat asupan makanan yang cukup untuk pertumbuhan mereka dan daya tahan tubuh untuk melawan virus penyakit. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah memastikan anak-anak kita juga penuh dalam roh dan Firman Tuhan sehingga mereka bisa bertumbuh dalam iman dan kuat melawan pencoban-pencobaan yang datang pada mereka? Apakah saya sebagai ibu sudah memberikan teladan dalam hidup dalam Roh dan Firman? Kiranya Tuhan senantiasa memampukan kita untuk senantiasa hidup dalam Roh dan Firman-Nya.

Monday, April 12, 2021

Solusi Dosa




by Priskila Dewi Setyawan

Sebagai orang percaya, kita diajarkan untuk mengimani (dan memang benar demikian adanya) bahwa Allah sangat mengasihi manusia. Dia menciptakan manusia sesuai gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27-28). Manusia diciptakan bukan seperti robot yang otomatis menuruti Sang Pencipta, tapi Allah memberikan kehendak bebas pada manusia dan manusia memilih untuk memberontak kepada Allah. Manusia berbuat dosa karena natur manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam Kejadian 3, kita mempelajari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Adam dan Hawa tergoda pada bujukan Iblis karena ingin menjadi seperti Allah yang mengetahui kebaikan dan kejahatan (ayat 5). Mereka melanggar perintah Allah dengan memakan pohon pengetahuan yang baik dan jahat. 

Nah, inilah dosa itu. Banyak orang berpendapat bahwa dosa hanya berarti sebuah perbuatan salah. Padahal sebaliknya: dosa lebih serius dari itu! Dosa adalah bentuk pemberontakan manusia pada Sang Pencipta. Pemberontakan tersebut bukan hanya mengenai masalah makan buah pengetahuan yang baik dan jahat (yang juga merupakan ujian dari Allah terhadap penggunaan kehendak bebas (freewill) mereka), melainkan adanya keinginan manusia untuk memiliki standar norma yang baru dan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Nah, sejak saat itulah, dosa merusak hubungan Allah dengan manusia dan membuat seluruh tatanan alam semesta yang “sangat baik” menjadi rusak—terkhusus dalam diri manusia (Yesaya 59:1-2). Saat Allah memanggil mereka, manusia merasa takut dan bersembunyi di Taman Eden. Selain itu, terjadi drama melempar kesalahan: Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular yang memperdayakannya. Relasi Allah dan manusia yang dulunya sangat dekat, kini rusak dan terpisahkan oleh jurang dosa yang dalam. Pada akhirnya, Tuhan menghukum ular, perempuan, dan laki-laki. Walaupun demikian, di balik permusuhan keturunan ular (baca: orang-orang yang memberontak dari Allah, seperti yang dilakukan Iblis dan para pengikutnya) dengan keturunan Hawa (baca: anak-anak Allah), ada janji keselamatan perdana yang Dia berikan (Kejadian 3:15).

Roma 3:10b berbunyi, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” Sebagai penegasan, Paulus menulis Roma 3:23 yang menyatakan, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Lihatlah, dosa bukan hanya telah dilakukan oleh Adam dan Hawa saja, tapi tidak ada seorang pun yang terluput dari dosa. Ya, saya dan Anda juga telah berbuat dosa! Adalah sebuah kebohongan jika kita berkata bahwa kita tidak pernah berdosa, karena itu artinya kita baru saja berbohong dan itu termasuk dosa. Seperti semua orang yang bekerja berhak mendapatkan gaji, orang yang berbuat dosa juga “berhak” mendapatkan upahnya. Apa itu? Maut (Roma 6:23). Walaupun semua orang pasti akan mati secara jasmani (kecuali dalam kasus khusus seperti Henokh (Kejadian 5:24) dan Elia (2 Raja-raja 2:3-11)), tapi ada yang lebih mengerikan yaitu kematian kekal. Semua orang yang mati pasti dihakimi. Orang yang meninggal dalam kondisi berdosa pasti dihukum mati secara rohani (Ibrani 9:27) dan terpisah dari Allah.

Manusia berusaha untuk melepaskan diri dari hukuman ini dengan membuat jembatan sendiri. Sayangnya, menjalankan perintah-perintah agama tidak membuat orang menjadi suci, dan manusia tetap berdosa serta terpisah dari Allah. Kebaikan, ibadah, pelayanan, dan baptisan tidak dapat menyelamatkan. Semua usaha manusia ini sia-sia dan tidak bisa membawa perdamaian dengan Allah. Yesaya 64:6a menjelaskan bahwa segala kesalehan seperti kain kotor. Efesus 2:8-9 berbunyi, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Jadi, kita memerlukan Sang Pencipta dan tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Itulah sebabnya iman adalah anugerah Tuhan.

Sebagai analoginya, mari kita simak kisah berikut:

Ada seorang hakim yang memiliki saudara kembar seorang penjahat. Kembarannya ini membunuh dan harus dihukum mati, padahal hakim sangat menyayangi saudaranya. Karena kasihnya, hakim ini menggantikan saudaranya untuk dihukum mati. Hakim berpesan agar saudaranya bertobat. Keesokan harinya, saudara kembarnya bebas dan hakim ditembak mati. Hakim ini adil, tapi penuh kasih.

Demikian pula dengan Bapa kita: walaupun adil, tapi Dia juga mengasihi manusia. Itulah sebabnya Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, untuk mati dan menyelamatkan manusia dari dosa serta membawa orang percaya berdamai dengan Allah (1 Petrus 3:18). Kemenangan Yesus atas dosa dibuktikan melalui kebangkitan-Nya dari kematian.

Tawaran Allah untuk kebebasan atas dosa ini tentu memerlukan respons. Tidak merespons artinya menolak tawaran. Iman dimulai dari mendengarkan firman Tuhan dan percaya kepada-Nya. Setelah itu, orang percaya akan beroleh hidup kekal, tidak turut dihukum sebab mereka sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup (Yohanes 5:24), dan menjadi anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Roma 10:10 menjelaskan bahwa kepercayaan ini berasal dari hati dan pengakuan mulut (digerakkan oleh Roh Kudus, tentunya). Solusi dosa hanya ada dalam diri Yesus Kristus. Kita perlu mengundang-Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat secara pribadi, mengakui dosa-dosa kita, bertobat secara sungguh-sungguh, meninggalkan dosa, dan menyerahkan hidup kita seutuhnya ke dalam tangan Tuhan. Sudahkah Pearlians merespons tawaran ini?

Monday, March 22, 2021

Tidak Bercela




by Poppy Noviana

…dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita
(Titus 2:7-8)

Saya teringat seorang teman yang bertanya kepada saya, bagaimana mungkin saya bisa menerima kenyataan bahwa saya difitnah di pengadilan dan menyaksikan lawan yang saya gugat bersumpah di atas Alkitab bahwa mereka tidak bersalah. Padahal, sudah jelas mereka melanggar kontrak kerja dengan pemecatan sepihak atas dasar pandemi. Apakah semua orang Kristen semunafik dan sejahat itu? 

Saat itu Roh Kudus mengingatkan saya, tidak semua hidup orang Kristen serupa dengan gambaran ideal di Alkitab. Status Kristen bisa saja adalah warisan dari orang tua, namun menjadi pengikut Yesus adalah keputusan pribadi berdasarkan kesadaran tentang penebusan karena kasih-Nya. Itulah mengapa, Yesus memanggil kita untuk menjadi pengikut-Nya, bukan menjadi orang yang beragama saja. Mengikut Yesus merupakan perintah yang lebih tinggi dari sekedar menjadi seorang yang beragama Kristen. Jika ada yang menyaksikan seorang Kristen hidup tidak benar, lalu menganggap ajaran Tuhan-nya seperti itu, sesungguhnya itu tidak tepat, karena perihal menjadi orang Kristen dan mengikut Tuhan dan adalah dua hal yang berbeda. 

Walaupun begitu, Firman Tuhan sendiri memerintahkan kita agar hidup tidak bercela. Titus secara khusus menyebutkan “agar tidak ada hal-hal buruk” yang dapat disebarkan orang-orang tentang kita. Tujuannya jelas, supaya terang kita bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan kita yang baik dan memuliakan Bapa kita di sorga (Matius 5:16). 

Kadang ada yang bilang, ngga usah memikirkan apa yang orang pikirkan atau bicarakan tentang kita. Namun saat semua itu berhubungan dengan identitas kekristenan kita, hal itu menjadi penting. Tuhan ingin kita memiliki image yang baik karena kita membawa image Kristus. Ia juga tidak ingin perbuatan kita menjadi batu sandungan, khususnya bagi mereka yang belum mengenal Yesus.

Ini berarti, kehidupan sebagai menjadi pengikut Yesus seharusnya tidak berseberangan dengan perintah dan prinsip hidup-Nya. Padahal, kenyataannya selama kita masih hidup di dunia, kita akan selalu menjadi orang Kristen yang tidak sempurna. Bagaimana kalau kita gagal, lalu ada orang-orang yang membicarakan kita, karena label kita sebagai orang Kristen? 

Firman Tuhan menyediakan jawabannya,

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)

Dalam versi Bahasa Inggris, bagian awal ayat ini berbunyi, “Let us fix our eyes on Jesus, the author and perfecter of our faith,”. Yesus adalah penulis iman kita dan yang menyempurnakannya. Allah memahami bahwa kita tidak bisa memiliki iman yang sempurna, hidup yang sempurna, namun kita punya Yesus yang sanggup menyempurnakannya. Dengan satu syarat, mata kita selalu tertuju kepada Yesus. 

Hidup mengikut Yesus adalah sebuah proses. Mengikut Yesus tidak berhenti saat kita menerima Dia sebagai Juru Selamat kita, namun terus berlanjut saat kita menjalani hidup setiap hari memikul salib-Nya. 

Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.
(Lukas 9:23)

Yesus tahu memikul salib bukan hal yang mudah. Ia sendiri kepayahan dan pernah jatuh. Tapi Yesus tidak menyerah, Ia memandang Bapa-Nya, bangkit kembali, dan tetap berjalan sampai tujuan. Ibrani mengatakan Yesus “tekun memikulnya salibnya”.

Kesimpulannya, menjadi pengikut Yesus dan hidup dengan label tidak bercela membutuhkan dua langkah ini:

Langkah Pertama - Menerima dan mengakui Yesus sebagai Juru Selamat pribadimu.

Langkah Kedua - Mengikut Dia dengan melakukan perintah-Nya dengan setia.

Terdengar sederhana memang, tapi menjalaninya tentu tidak mudah. Tapi Tuhan berjanji bahwa Ia bekerja di dalam kita dan memberi kekuatan untuk melakukannya. Jadi jangan takut untuk mengikut Dia. Fokus pada Yesus. Fokus mengejar excellence bukan jadi perfection. Fokus untuk taat dan setia demi menyenangkan hati Tuhan, bukan untuk mendapatkan kekaguman dan pengakuan orang. Tuhan pun ngga selalu menyenangkan semua orang. 

Akhir kata, status tidak bercela sebenarnya sudah kita terima saat kita melakukan langkah pertama, karena Yesus sudah menebus dosa kita. Tugas kita menghidupi status tersebut, dengan melalukan langkah kedua, sampai akhirnya Dia memanggil kita kembali. 

Tetap semangat memelihara iman dan memikul salibnya di dunia ini. Mari kita saling mendoakan dan menguatkan dalam percaya dan berserah penuh kepadanya, tanpa ragu sedikitpun.

Monday, February 22, 2021

Pemeliharaan Tuhan


by Inawaty Teddy

Artikel ini berfokus pada kitab Ester secara keseluruhan.

Kitab Ester mengisahkan tentang kehidupan umat Yahudi, dimana nenek moyang umat Yahudi ini merupakan umat yang dibuang di sekitar tahun 586 SM, dan yang tidak kembali ke Yerusalem ketika diberikan kesempatan oleh raja Koresh pada tahun 538 SM. Kisah dalam kitab Ester terjadi sekitar tahun 480 SM, berarti kitab ini mengisahkan tentang kehidupan umat Yahudi yang sudah ada di pembuangan Babel dan kemudian Persia selama sekitar 100 tahun. Apakah Allah tetap memelihara mereka ketika nenek moyang mereka tidak mau kembali ke Yerusalem? 

Nama Allah—dalam bentuk apapun—tidak muncul di dalam kitab Ester. Namun hal ini bukan berarti Allah telah melupakan umat-Nya yang ada di Persia pada saat itu. Mungkin nama Allah tidak disebutkan karena mau menekankan pemeliharaan Allah yang terselubung. Keseluruhan kitab Ester menekankan pemeliharaan Allah yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah apa yang akan kita lihat di Ester 7 ini.

Permasalahan besar terjadi ketika di pasal 3, Mordekhai tidak mau sujud kepada Haman seperti yang diperintahkan raja. Kemungkinan adalah karena Haman adalah orang Agag. Agag adalah sebutan untuk raja bagi orang Amalek. Ini bisa menjelaskan kenapa Haman begitu kaya. Sedangkan Tuhan telah menetapkan Israel dan Amalek akan menjadi musuh turun temurun (Kel. 17:16). Ternyata kebencian Haman terhadap orang Yahudi begitu besar sehingga ia mau menggunakan kesempatan ini untuk memusnahkan seluruh orang Yahudi yang berada dalam kerajaan Persia. Haman menawarkan 10.000 talenta perak (Ester 3:9 - jumlah yang sangat besar sehingga raja Ahasyweros yang sangat kaya tersebut juga tertarik) supaya ia boleh mengeluarkan surat titah untuk memusnahkan orang Yahudi. Haman dengan cerdik tidak mengatakan kepada Ahasyweros bangsa yang ingin dimusnahkan, ia hanya berkata “ada suatu bangsa” (Ester 3:8). Dengan menggunakan cincin materai raja yang diberikan kepadanya, ia mengirim surat titah bahwa semua orang boleh memusnahkan orang Yahudi pada tanggal 13 bulan Adar dan merampas harta mereka (Ester 3:13). Ini tentu adalah tindakan yang sangat cerdik karena berarti bukan hanya musuh Yahudi, tetapi semua orang yang menginginkan harta orang-orang Yahudi tersebut dapat membunuh mereka demi mendapatkan harta mereka pada hari yang telah ditentukan.

Mordekhai kemudian meminta Ester untuk datang menghadap raja untuk menolong bangsanya. Walaupun Ester awalnya takut untuk melakukannya, akhirnya bersedia setelah ditegur Mordekhai (Ester 4:10-16). Ester pergi menghadap raja, dan meminta raja dan Haman datang ke perjamuannya. Raja dan Haman kemudian datang. Tetapi anehnya Ester menunda memberitahukan raja dan meminta raja dan Haman datang kembali keesokan harinya (Ester 5:5-8). Begitu keluar dari perjamuan Ester, Haman melihat Mordekhai yang semakin meremehkannya, sekarang Mordekhai bahkan “tidak bangkit dan tidak bergerak menghormati dia,” Hamanpun menjadi sangat marah (Ester 5:9-10; mari kita bandingkan dengan Ester 3:2). Dengan hati yang sangat panas, dan atas nasihat isteri dan sahabat-sahabatnya, Haman langsung membuat tiang gantungan yang sangat tinggi, 50 hasta (22.5 m), untuk menyulakan Mordekhai esok paginya setelah mendapat izin dari raja. 

Namun atas pemeliharan Tuhan, raja Ahasyweros malam itu tidak dapat tidur. Raja yang tidak dapat tidur tersebut meminta dibacakan catatan sejarah, dan mendapatkan catatan tentang jasa Mordekhai yang pernah membongkar rencana pembunuhan atas dirinya (Ester 6:1-11, mari kita lihat Ester 2:21-23). Rajapun langsung memberi hadiah atas jasa Mordekhai, dengan diarak keliling kota pagi hari, sebelum perjamuan Ester yang kedua. Setelah itu, sorenya raja dan Haman pergi ke perjamuan Ester yang kedua, yang dikisahkan dalam Ester 7.

Dalam pasal 7 ini, Ester dengan cerdik tidak langsung menyebutkan nama Haman ketika berbicara tentang surat titah yang telah dikeluarkan untuk memusnahkan semua orang Yahudi. Sepertinya Ester tahu bahwa jika dia langsung menyebutkan nama Haman, raja yang tentu suka pada Haman, yang telah diangkat menjadi orang nomor dua di kerajaan Persia (Ester 3:1), akan menilai dengan subjektif. Setelah raja marah dengan objektif, barulah Ester menyebutkan bahwa orang yang akan memusnahkan bangsanya adalah Haman (Ester 7:5-6). Raja Ahasyweros kemudian marah dan keluar ke taman istana (Ester 7:7). Tetapi jika kita pikirkan secara seksama, sebenarnya Haman tidak melakukan kesalahan secara hukum Persia. Ia telah meminta izin raja untuk memusnahkan suatu bangsa. Jika raja tidak bertanya bangsa apa itu, itu bukan kesalahan Haman. Lagipula siapa yang tahu jika itu adalah bangsa ratu Ester. Ingat, Ester tidak memberitahukan orang lain tentang kebangsaannya atas perintah Mordekhai (Ester 2:10; 20). Jadi Haman tidak seharusnya dihukum berdasarkan surat titah tersebut.

Allah yang tentu tahu bahwa Haman tidak dapat dihukum berdasarkan surat titah yang dikeluarkannya, kemudian menggunakan cara yang lain yang tak terduga agar Haman dapat dihukum. Allah membuat Haman yang ketakutan berlutut di depan Ester, dan raja yang kembali dari taman melihat hal tersebut, lalu terjadi kesalahpahaman dimana raja berpikir bahwa Haman ingin menganiaya Ester dan menyuruh Haman ditangkap (Ester 7:8-9). Ironi yang Allah tunjukkan sangatlah menarik, Haman yang ingin memusnahkan semua orang Yahudi karena seorang Yahudi tidak mau bersujud padanya tetapi kini Allah membuat peristiwa dimana Haman bersujud di depan seorang perempuan Yahudi untuk membuat dia dipenjarakan.

Namun kita tahu bahwa ini adalah kesalahpahaman yang terjadi karena raja melihat situasi tidak menyenangkan tersebut. Sangatlah mungkin bila nanti Haman dapat menjelaskan, Haman dapat dikeluarkan dari penjara. Apalagi pastinya Haman banyak didukung oleh pejabat lainnya yang akan memohon raja mengampuni dia. Jadi agar Haman dapat langsung di hukum mati, Allah dengan sengaja memakai tiang gantungan yang telah didirikan oleh Haman malam sebelumnya (Ester 5:14). Saat itu Harbona, salah seorang sida-sida, melaporkan kepada raja bahwa Haman telah mendirikan tiang untuk Mordekhai, orang yang telah berjasa dan menyelamatkan raja dari rencana pembunuhan (Ester 7:9). Mungkin seluruh kota sudah tahu tentang tiang gantungan tersebut karena tingginya 22.5 meter. Mendengar bahwa Haman bermaksud menyulakan orang yang telah berjasa besar kepadanya—yang baru tadi pagi diarak keliling kota—raja tidak dapat menahan murkanya dan memerintahkan Haman langsung disulakan di tiang tersebut (Ester 7:9). 

Perhatikan, tiang gantungan itu sempat dibuat oleh Haman karena Ester menunda untuk memberitahukan raja tentang masalah tersebut selama satu hari. Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa jika pada akhirnya Haman digantung pada tiang yang didirikannya sendiri, itu adalah semata-mata pemeliharaan Tuhan yang membuat Ester menunda satu hari untuk memberitahukan raja, yang menyebabkan Haman sempat membuat tiang gantungan tersebut. Perhatikan juga timing yang begitu tepat antara pembuatan tiang gantungan Haman (malam sebelum perjamuan Ester yang kedua), Mordekhai diberi upah oleh raja (pagi sebelum perjamuan Ester yang kedua), baru kemudian perjamuan Ester yang kedua ini.

Ester dan Mordekhai hanya dapat menggunakan surat titah untuk menuduh Haman. Tetapi karena Allah tahu bahwa itu tidak akan cukup membuat Haman dihukum, maka Tuhan menggunakan caraNya sendiri untuk membuat Haman dihukum mati.

Ketika usaha kita terasa tidak cukup untuk berhasil, Tuhanlah yang akan menyempurnakan usaha kita sehingga membuat kita menjadi berhasil. Karena itu jangan khawatir dan takut akan ketidaksempurnaan rencana dan usaha kita, yang terpenting adalah kita tetap melakukan apa yang menjadi bagian kita dan mari kita serahkan bagian yang berada di luar kuasa kita ke tangan Allah yang penuh kuasa. Percayalah, Allah yang sempurna yang kita sembah akan menyempurnakan hidup kita dengan cara dan waktuNya. 

Monday, February 1, 2021

Hidup Dalam Kebenaran





Bayangkan kita mendapatkan hadiah berupa berlian 18 karat dengan kualitas 4C (Color, Clarity, Cutting, Carat) yang tinggi. Apa yang akan kita lakukan? Menaruhnya di sembarang tempat? Tentu tidak, bukan? Kita akan menaruh di kotak perhiasan—bahkan di kotak tersendiri—lalu kita masukkan ke brankas perhiasan supaya aman. Pastinya kita tidak akan mau menukarnya dengan berlian 18 karat dengan kualitas 4C rendah, kan?

Berlian 18 karat itu ibarat anugerah Tuhan untuk kita. Tuhan memberikannya dengan cuma-cuma, kita tidak perlu melakukan apa-apa—hanya percaya saja kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi. Melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya pada hari ketiga untuk menebus dosa, setiap orang yang percaya kepada-Nya—termasuk kita—tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Hanya karena anugerah dan iman yang diberikan Allah, kita dilayakkan-Nya untuk dibawa dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9-10). Itu adalah hadiah terbesar dan termulia yang Tuhan berikan kepada manusia.

Dengan berharganya anugerah tersebut, apakah kita masih akan menyia-nyiakannya? Seandainya ada hal-hal yang membuat kita berpikir ribuan kali untuk melakukannya, mungkin kita harus mengingat bahwa pengorbanan Yesus itu lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Jika sudah menerima sesuatu yang paling berharga, yaitu darah Yesus yang menyucikan hidup orang percaya, apakah kita mau menukar dengan sesuatu yang tidak suci dan najis? Lupakah kita dengan apa yang Paulus katakan berikut:

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!”
(Roma 6:15 / TB)

Maka dari itu hidup kita sehari-hari haruslah mencerminkan anugerah Tuhan yang sudah kita terima. Jadi, bagaimana kita harus menghidupinya?

1. HIDUP KUDUS
“tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,”
(1 Petrus 1:15 / TB)

Kenapa harus hidup kudus? Karena Tuhan itu kudus. Sedikit ada dosa saja kita tidak bisa menghampiri Dia. Bersyukurlah karena kita sudah dikuduskan dengan darah Yesus, sehingga kita bisa menghampiri Dia dan memanggil-Nya, “Abba, ya Bapa.” (By the way, bagi orang Yahudi, panggilan itu adalah panggilan paling akrab dari seorang anak kepada ayahnya).

Tuhan tahu bahwa kita adalah manusia yang tidak terlepas dari jeratan dosa. Dia juga tahu bahwa meskipun sudah menjadi orang percaya (bahkan ikut pelayanan di mana-mana), kita tetap bisa jatuh dalam dosa—kapanpun dan di manapun. Karena itu, apabila ada kesadaran yang diberikan oleh Roh Kudus, kita harus segera mengakui dosa-dosa kita kepada Tuhan; segera bertobat dan tidak melakukannya lagi. Ingat: Tuhan yang adil dan setia akan mengampuni jika kita mengaku dengan jujur dan bertobat dengan sungguh-sungguh (1 Yohanes 1:9). Ketika perjalanan hidup semakin terjal (atau terlalu mulus seperti jalan tol, yang membuat kita bisa lepas kendali), Tuhan tidak lepas tangan terhadap kita. Ada Roh Kudus yang akan selalu mengingatkan apabila ada dosa yang kita lakukan (maupun sedang menanti), sehingga kita bisa segera berbalik arah.

2. HIDUP SEBAGAI ANAK-ANAK YANG TAAT
“Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu,”
(1 Petrus 1:14 / TB)

Taat kepada Tuhan membutuhkan ketaatan penuh. Saat Tuhan berkata agar jangan lagi menuruti hawa nafsu yang menggoda itu, satu-satunya pilihan bagi kita adalah taat. Saat Tuhan mengingatkan supaya jujur dalam pekerjaan, pilihan kita hanya taat. Saat Tuhan menegaskan agar harus mengampuni, ketaatan kita akan diuji. Oke, manusia memang punya freewill untuk memilih yang lain (yang lebih “nyaman” dan “mudah” untuk dilakukan). Tapi sebagai anak-anak Tuhan yang ingin untuk taat kepada-Nya, tidak ada pilihan lain selain melakukan apapun yang Dia kehendaki—meskipun itu sulit dan melawan keinginan daging kita. Jangan khawatir: Roh Kudus akan selalu mengingatkan kita jalan mana yang harus kita tempuh—pastinya jalan kebenaran, bukan kecelakaan. Jadi, taat saja kepada Tuhan, pasti kita berjalan di dalam kebenaran. Kalau kita berjalan dalam koridor kebenaran, ketidakbenaran tidak akan bisa menjatuhkan kita.

Ketaatan akan membawa kita kepada kebaikan-kebaikan yang berasal dari Tuhan. Sebagai Bapa yang baik, Dia selalu menunjukkan dan memberikan apa yang terbaik. Hanya saja… kita yang suka maunya sendiri, padahal Tuhan sudah menyiapkan sesuatu yang terbaik bukan hanya baik. Misalnya saja, kita tahu bahwa korupsi uang perusahaan adalah dosa ketidakjujuran, kita mau taat dengan arahan Roh Kudus yang bilang supaya kita tidak korupsi atau tidak taat? Itu semua pilihan kita. Taat atau tidak taat? Choose wisely!

As a wrap, marilah kita mencerminkan anugerah keselamatan yang telah kita terima dari Tuhan Yesus. Jangan pernah menukar anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus dengan hal yang tidak terlebih mulia. Hiduplah dalam kebenaran, apabila berbuat dosa cepat bertobat serta selalu taat kepada Tuhan. Amin.

“Untuk mendapatkan keselamatan, kita tidak perlu mati di kayu salib tetapi untuk menjalani kehidupan kita di dalam anugerah keselamatan itu, kita harus memikul salib.”

Monday, January 11, 2021

What Would Jesus Do?




by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
(1 Yohanes 2:6)

Slogan WWJD mungkin tidak terlalu sering terdengar sekarang seperti pada tahun 2000 awal. Kepanjangan dari WWJD adalah ‘What Would Jesus Do?’, sebuah pertanyaan singkat yang sebaiknya ditanyakan pada diri sendiri sebelum mengambil keputusan atau tindakan apa yang akan dilakukan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir antara melakukan sesuatu atau tidak, seperti apa yang akan Yesus lakukan jika dia berada di posisi kita. Jika kita tidak melakukan seperti yang akan Dia lakukan, jangan-jangan kita tidak mengenal Yesus dengan baik sehingga tidak meneladani Yesus dalam kehidupan kita. Well, pada akhirnya memang kita harus mengenal Dia secara pribadi untuk bisa melakukan seperti yang Yesus lakukan.

"Bayangkan suatu hari Yesus bangun dari tidurnya dan menjalani hidup kita yang sekarang, adakah yang berbeda dari hidup kita?"

Demikian pertanyaan seorang Kakak saat membawa kami dalam perenungan pada persekutuan doa yang aku ikuti di UKM Kristen bertahun-tahun lalu.

Aku ingat kami merenungkan pertanyaan tersebut dan sharing, kira-kira bagaimana Yesus akan menjalani hidup kami. Aku membayangkan jika Yesus akan bangun pagi-pagi sekali, saat teduh, bersih-bersih rumah (Yesus gak mungkin males saat teduh lah ya, hihihi), lalu Ia akan menyiapkan sarapan, duduk sarapan bersama eyangku-mengobrol tentang banyak hal-mendengarkan eyang menceritakan tentang apapun, lalu Ia berangkat kuliah naik motor dengan santai tanpa ngebut sambil ngobrol dengan BapaNya atau bernyanyi-nyanyi - tersenyum melihat mereka yang ngebut. Yesus tidak akan telat tiba di kampus, Ia membantu kawan yang belum mengerjakan tugas - bukan memberi contekan, sesekali Ia bercanda dengan kawan-kawannya-tentunya bukan lelucon kotor yang dikeluarkannya, tidak pula gosip, tapi tanpa begitupun Ia mampu membuat orang lain tertawa, sense of humour Nya terbaik, dst. Yesus menjadi diriku dalam versi terbaik.

Membayangkan Yesus menjalani kehidupanku sangatlah menarik, membayangkan Dia berbicara, kuliah, ikut ujian, pelayanan, dll. Aktivitasnya kurang lebih apa yang aku lakukan TAPI minus DOSA pastiiii... plus hubungan mesra dengan Bapa Surgawi. Saat kita memberikan Yesus tempat istimewa dalam hati dan hidup kita, Dia akan melakukan berbagai hal dengan caraNya, dan PASTI, hidup kita akan berbeda. Aku yang sekarang (memiliki Yesus) akan berbeda dengan aku yang sebelumnya. Tentu saja, yang memimpin adalah Yesus di dalamku, biar Yesus saja yang semakin bertambah dan aku yang semakin berkurang. Kira-kira demikianlah seharusnya hidup kita saat kita telah menerimaNya sebagai Juruselamat kita. KehadiranNya nyata nampak dalam hidup kita. ”Tapi ini sulit, aku gak bisa Tuhan, jeritku dalam hati, kenapa Tuhan tidak membiarkanku seperti ini saja?”

“Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” 
- Max Lucado
Beberapa waktu kemudian aku mendapat kesempatan membaca sebuah buku yang di dalamnya bertuliskan seperti ini : Bagaimana, kalau Yesus menjadi anda untuk satu hari? Max Lucado dalam bukunya ini, Just Like Jesus, mengatakan bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus harus dimulai dari memiliki hati seperti hati-Nya dan hal itu dimulai dengan pembentukan hati oleh Roh Kudus. Kita perlu belajar memiliki hati seperti hatiNya. Ia menjabarkan ciri hati Kristus yang harus dimiliki oleh umat-Nya, yaitu hati yang mengampuni, penuh belas kasihan, mau mendengar, hati yang haus akan Tuhan, haus beribadah, terfokus pada Allah, jujur, murni, penuh pengharapan, bersukacita, dan tabah. Berikut ini beberapa ciri hati Yesus yang harus kita miliki:


HATI YANG MENGAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”
(Kolose 3:13)

Mengampuni memang sulit tapi Yesus melakukannya, mari kita pandang Yesus yang telah memberikan teladan pengampunan terlebih dahulu terhadap kita. Ingat malam dimana Dia membasuh semua kaki murid-muridNya? Yesus bukannya tidak tahu kalau di antara murid-muridnya akan mengkhianati dan menyangkalNya tapi nyatanya Dia tetap membasuh kaki mereka. Dia memberikan anugerahNya kepada mereka yang tidak pantas diampuni TERLEBIH DAHULU. Dia menawarkan kasih dan pengampunanNya tanpa diminta dan memberikannya cuma-cuma. Kupikir, apa yang kita alami tidak lebih menyakitkan dari yang Dia alami, tapi Dia tetap mengampuni yang menyakitiNya. Inilah yang harus kita teladani


HATI YANG MENDENGAR

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.” 
(Yakobus 1:22-23)

Yesus dalam khotbahNya berkali-kali mengatakan : Siapa bertelinga hendaklah Ia mendengar. Seperti yang Yesus mendengar BapaNya dan taat, kita sangat perlu dengar-dengaran dengan Firman dan kehendak Allah di hidup kita. Bagaimana cara mendengarkan Tuhan? Dimulai dengan Alkitab yang terbuka dan membiarkan Dia berbicara melalui firmanNya yang berisi kehendak dan isi hatiNya, seperti yang Yesus lakukan. Lalu, lakukan! Semudah sekaligus sesulit itu. 


HATI YANG JUJUR

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” 
(Efesus 4:25)

Pernahkah mendapati Yesus berdusta? Sepanjang hidupnya selama 33 tahun kehidupan Yesus di muka bumi, tak ada cerita tentang kebohonganNya sekalipun keadaan Yesus sangat mendesak. Bagaimana dengan kita? Terkadang kita menambah atau mengurangi kebenaran, berbohong demi kebaikan, berdusta untuk melindungi diri kita, dll, apapun itu namanya, tetap saja kita tidak jujur. Bahkan kita menyampaikan hanya setengah kebenaran dan berkata kita telah jujur. Kita perlu meneladani hati Yesus yang jujur, yang tidak ada dusta 


HATI YANG MURNI

“sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” 
(Markus 7:21-22)

Hati manusia dipenuhi dengan segala kejahatan, hal-hal terburuk yang ingin dilakukan. Berbeda dengan hati Yesus yang murni. Setiap hari hatiNya dimurnikan oleh firman Tuhan dan Ia menjaga hatiNya sungguh-sungguh supaya tidak ditumbuhi benih yang jahat. Mudah bagi Yesus untuk merasa sombong karena kuasa yang dimilikiNya, tetapi nyataNya Ia mengakui dan menyadari karya Allah di dalamNya dan memuliakan Allah. Yesus memilih apa yang ingin Dia rasakan dengan selektif sehingga tindakanNya juga selektif. Perbuatan dan perkataan kita adalah cermin dari hati kita.


HATI YANG PENUH PENGHARAPAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
(Roma 12:12)

Yesus berkata bahwa segala sengsara yang harus dialamiNya telah dinubuatkan. Dia melihat tujuan dalam penderitaanNya sebagai pemenuhan rencana besar Allah. Dia tidak membiarkan diriNya mengasihani diriNya atau mengutuki keadaan. Dia tetap berharap pada BapaNya dan meminta namun dengan rendah hati menginginkan kehendak BapaNya yang terjadi karena Ia tahu rancangan Allah adalah yang terbaik.

Kita perlu berlatih agar memiliki hati seperti hatiNya. Allah ingin agar kita menempatkan Kristus sebagai TELADAN atas seluruh hidup kita (Roma 8:28-29). Dia mau kita menjadi serupa dengan gambaran anakNya, lewat segala sesuatu yang kita alami. Melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, Dia ingin membentuk hati kita menjadi serupa dengan Kristus.

Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu menanyakan pertanyaan penting ini:

Apakah ini membuatku makin SERUPA dengan Kristus?

Monday, December 7, 2020

Yohanes Pembaptis - Pelari Garis Depan Raja




by Leticia Seviraneta

Peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis dalam Lukas 1:5-80 merupakan penggenapan dari nubuat yang telah ada sebelumnya. Peristiwa kelahiran itu sendiri adalah sebuah mujizat, karena dia lahir dari pasangan Zakaria dan Elisabet yang mandul dan keduanya telah lanjut umur. Mereka merupakan keturunan Harun, yang dikhususkan untuk menjadi imam besar dari seluruh suku Israel. Ketika Yohanes telah lahir, Zakaria menjadi penuh dengan Roh Kudus dan bernubuat, “Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.” (Luk 1:76-79) Nubuat Zakaria merupakan pesan pertama Tuhan setelah ia berdiam diri dari bangsa Israel selama 400 tahun! Dan alangkah menakjubkannya nubuat ini berbicara mengenai seseorang yang mempersiapkan kedatangan Mesias. 

Sebelumnya, Yesaya telah menubuatkan tentang kedatangan Yohanes Pembaptis juga.

Ada suara yang berseru-seru: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran; maka kemuliaan TUHAN akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama; sungguh, TUHAN sendiri telah mengatakannya.”
(Yesaya 40:3-5)

Apa pentingnya peranan seorang Yohanes Pembaptis tepat sebelum Yesus memulai pelayanannya di bumi? Konteksnya adalah Yesus merupakan seorang Raja di atas segala raja yang datang ke bumi untuk mengerjakan karya keselamatan, pengampunan dosa manusia, serta menyatakan kemuliaan Allah. Seorang raja ketika berkunjung ke suatu tempat, selalu ada persiapan yang dibuat. Jalan-jalan di desa diratakan, kondisi lingkungan sekitarnya diperindah, semua demi kenyamanan raja tersebut. Demikian juga halnya dengan kedatangan Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis berperan sebagai seorang yang mendahuluinya untuk mempersiapkan hati bangsa Israel untuk menyambut-Nya. Ketika hati mereka sudah siap, maka mereka dapat melihat kemuliaan Allah yang tersingkap dalam pelayanan dan pribadi Yesus Kristus. Setiap pekerjaan Allah yang hebat dimulai dari persiapan yang hebat juga. Dan Yohanes Pembaptis ini lah yang menggenapi pelayanan penting ini!

Yuk, kita lihat bagaimana Yohanes Pembaptis melakukan persiapan hati bagi umat Israel sebelum Yesus memulai melayanannya. 

Pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun. Maka datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan."
(Luk 3:2-6)

Baptisan Yohanes merupakan baptisan yang membuat bangsa Israel sadar bahwa mereka berdosa dan perlu kembali ke jalan Allah yang benar. Ketika pelayanannya menjadi semakin besar, dan orang-orang mulai bertanya-tanya apakah ia adalah Mesias, Yohanes selalu menyangkalnya dan merujuk kepada Seorang yang lain. Ia adalah seorang forerunner sejati dari Raja atas segala raja, ia tidak mencuri kemuliaan dari sang Raja sendiri.

Tetapi karena orang banyak sedang menanti dan berharap, dan semuanya bertanya dalam hatinya tentang Yohanes, kalau-kalau ia adalah Mesias, Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: "Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”
(Luk 3:15-16)

Kemudian ketika Yesus sudah memulai pelayanannya dan membaptis orang banyak juga, muncul perselisihan di antara murid Yohanes.

Lalu mereka datang kepada Yohanes dan berkata kepadanya: "Rabi, orang yang bersama dengan engkau di seberang sungai Yordan dan yang tentang Dia engkau telah memberi kesaksian, Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya.” Jawab Yohanes: "Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga. Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.
(Yoh 3:26-30)

Dengan pernyataan ini, Yohanes memakai gambaran kata bahwa ia hanya lah seorang “groomsman”, dan Yesus lah mempelai laki-lakinya. Ketika mempelai laki-laki datang hendak menikahi mempelai wanita, peranan sahabat mempelai laki-laki tidak akan iri terhadapnya melainkan bersukacita. Yohanes Pembaptis sejak semula sadar betul akan panggilannya, dan ketika ia harus mundur dari lampu sorot atau “spotlight” dalam pelayanannya, ia pun melakukannya dengan sukacita. Ia dengan tulus mendukung pelayanan Yesus agar semakin besar. Sebuah sikap kerendahan hati yang luar biasa!

Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Yohanes Pembaptis:

1. Setiap rencana Tuhan yang besar disertai dengan persiapan yang panjang

Tidak hanya kelahiran Yohanes Pembaptis dinubuatkan jauh sebelum terjadi, bahkan ketika ia telah lahir pun hidup Yohanes Pembaptis didedikasikan untuk pelayanannya jauh sebelum itu dimulai.

“Adapun anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya. Dan ia tinggal di padang gurun sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel.”
(Luk 1:80)

Padang gurun (secara literal) sering berulang kali dipakai oleh Tuhan menjadi tempat untuk melatih para nabi-Nya. Ingat nabi Elia (1 Raja-raja 19)? Padang gurun tentu bukanlah tempat yang nyaman. Persiapan Tuhan seringkali jauh dari kata kenyamanan. Di mata Tuhan, pertumbuhan kita lebih utama dari kenyamanan. Dan pertumbuhan iman justru terjadi di tempat yang paling tidak kita harapkan terjadi. Iman kita bertumbuh di tengah situasi sulit, tekanan, penderitaan, dan kesesakan. Ketika kita menemukan panggilan Tuhan atas hidup kita, seringkali ada jeda waktu yang cukup lama hingga panggilan tersebut terwujud. Jeda waktu tersebut sebenarnya adalah masa persiapan kita sehingga kita bertumbuh dewasa dan cukup kuat untuk menjalankan panggilan tersebut. Namun seringkali kita tidak sabar dalam masa tersebut dan keburu menyerah di tengah jalan sebelum rencana Allah menjadi nyata dalam hidup kita. Itulah mengapa penting untuk kita menyadari signifikansi dari masa persiapan dan menjalaninya dengan tekun. Yesus pun baru memulai pelayanannya di usia 30 tahun. Dengan demikian ia menjalani masa persiapan selama 30 tahun! Tidak ada pertumbuhan dan persiapan yang instan. Semakin besar rencana Allah atas hidup kita, maka semakin dalam persiapan yang perlu dijalankan juga. 


2. Mengenali panggilan Tuhan atas hidup kita mencegah kita untuk iri akan keberhasilan orang lain

Setiap kita memiliki panggilan spesifik yang Tuhan sudah sediakan bagi kita. Panggilan Tuhan tidak selalu bersifat glamour dan dilihat banyak orang. Panggilan Tuhan dapat terlihat kecil dan “biasa”, bahkan tersembunyi di rutinitas kita sehari-hari. Misalnya saja, ada yang dipanggil Tuhan untuk menjadi ibu yang mengajarkan nilai-nilai kerajaan Allah kepada anak-anaknya. Sementara yang lain, dipanggil Tuhan untuk menjadi karyawan teladan di perusahaannya. Dari segi jumlah orang yang dipengaruhi, pelayanan itu nampak begitu kecil dibandingkan seorang pendeta yang berkhotbah di mata banyak orang. Namun di mata Allah kuantitas bukanlah yang utama. Tuhan selalu melihat hati. Satu jiwa itu berharganya bagi-Nya. Ketika kita merangkul panggilan Tuhan atas hidup kita, kita tidak akan terjebak untuk mengasihani diri apalagi iri akan pelayanan orang lain yang kesannya lebih “wah”. Sama seperti Yohanes Pembaptis yang tahu betul siapa jati dirinya. Ia dengan rendah hati bersukacita atas pelayanan Yesus. Selama sama-sama memuliakan Tuhan, kita tidak seharusnya merasa kecil hati akan apa yang kita kerjakan dan membandingkannya dengan pelayanan orang lain. Di mana pun kita berada, apa pun panggilan kita, mari kita kerjakan dengan setia, untuk kemuliaan Tuhan saja.

Monday, April 20, 2020

Tuhan di Atas Kemustahilan


by Benita Vida

Banyak hal ajaib yang Yesus perbuat saat menjadi manusia di bumi. Dari semua hal itu, menurutmu, mana yang paling ajaib? Mukjizat air menjadi anggur saat perkawinan di Kana? Atau mengutuk pohon ara sehingga tidak berbuah lagi? Semua itu memang luar biasa, tetapi ada satu hal paling ajaib yang dampaknya oleh semua manusia di bumi, bahkan sampai saat ini, yaitu saat Yesus bangkit dari kematian. 

Saat harapan dari para murid mulai hilang, saat kepercayaan para pengikut dan saksi dari perbuatan Yesus mulai hancur, Yesus membuat mukjizat yang tidak pernah mereka pikirkan yaitu bangkit dari kematian-Nya. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Yesus ditangkap, diadili, dicambuk, berdarah, dan mati di atas kayu salib. Mereka juga melihat Yesus sudah dikuburkan di tempat yang ditutup dengan batu besar dan dijaga oleh dua orang pengawal. Tidak sekalipun terlintas di benak mereka bahwa yang terjadi kemudian adalah Yesus bangkit. 

Dalam duka yang besar karena melihat orang yang mereka kasihi telah mati dan dikubur, para wanita datang mengunjungi kubur Yesus dan terkejut melihat bahwa kubur itu telah kosong. Duka mereka semakin besar, mengira bahwa Tuhan mereka diambil oleh orang, bahkan sampai detik itu pun tak terlintas di benak mereka bahwa Yesus telah bangkit. Inilah manusia, terkadang kita terlalu mengandalkan penglihatan dan pemikiran kita. Kita menganggap masalah kita sudah tidak mungkin diubah – tidak mungkin air menjadi anggur, tidak mungkin saya menang tender melawan perusahaan sebesar itu, tidak mungkin saya diterima kerja di perusahaan besar karena saya lulusan universitas yang tidak popular, dan lain-lain. Di sisi lain, kita juga kerap lebih percaya pada apa yang orang lain katakan, bahwa tidak ada harapan lagi, lebih baik menyerah, penyakit kita sudah tidak bisa sembuh, anakmu tidak bisa jadi orang berhasil, dan banyak lagi hal lain. 

Sadarkah kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan di atas segala kemustahilan? Bangkit dari kematian adalah hal yang sangat mustahil terjadi, apalagi bangkit dan hidup selama-lamanya. Kebangkitan Yesus menjadi kabar baik bagi kita, menjadi pengharapan saat kita putus asa, dan keteguhan bagi yang percaya, bahwa kita mampu menang dari semua situasi dan keadaan yang tampak mustahil bagi manusia. Ya, sebab Tuhan kita telah melampaui akal sehat dan berdiri di atas segala kemustahilan. 

Sang Pencipta sangat memahami ciptaan-Nya. Ia paham bagaimana cara kerja manusia, bagaimana cara pikir manusia, dan apa yang dirasakan manusia – karena Yesus pun adalah seorang manusia sampai saat Dia harus mati untuk kita. Dia sangat mengerti bahwa tanpa melihat, merasakan, dan mendengar, sangat sulit bagi kita untuk percaya walaupun sudah sering mengalami dan melihat perbuatan ajaib-Nya. Alkitab mencatat malaikat Tuhan yang diutus untuk memberitahukan berita kebangkitan-Nya.

Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: "Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring. Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia. Sesungguhnya aku telah mengatakannya kepadamu.” Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.
(Matius 28:5-8)

Tapi, tidak semua percaya pada berita yang dibawa murid-murid perempuan. Sampai akhirnya, mereka menjadi percaya ketika Yesus menampakkan diri-Nya. Mereka melihat dengan mata mereka, mendengar salam Yesus dengan telinga mereka, dan memeluk kaki Yesus, sehingga mereka percaya bahwa Yesus telah BANGKIT. 

Berapa banyak dari kita yang harus melihat bukti dulu baru percaya? Kurang cukupkah Firman yang menceritakan perbuatan ajaib Yesus sehingga kita selalu merasa tak berdaya menghadapi badai? Bukankah Dia Tuhan yang sudah bangkit dan hidup untuk selama-lamanya? Ya, memang sangat sulit untuk percaya dan mempunyai iman saat belum melihat dan belum mengerti tentang rencana besar-Nya. Itu kelemahan kita sebagai manusia, kita terbiasa hidup dalam keterbatasan logika, sehingga sulit memahami ketidakterbatasan Tuhan. 

Namun, dalam segala keterbatasan manusia, firman-Nya berkata: 

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
(2 Korintus 12 : 9)

Kita butuh kasih karunia dan kekuatan-Nya, tanpa Dia kita tidak akan bisa apa-apa bahkan mungkin sulit untuk percaya. Tuhan mau kita mengandalkan-Nya agar kuasa-Nya selalu terlihat paling nyata dalam kelemahan kita. 

Kebangkitan Yesus membawa pengharapan baru bagi kita, memberikan bukti bahwa kita tidak sedang menyembah Allah yang sia-sia. Kebangkitan Yesus memampukan kita untuk terus percaya bahwa ada kuasa Allah yang besar dan tidak terbatas. Ada hal-hal mustahil yang bisa kita lakukan dengan dan hanya bersama Yesus saja. Ia Allah yang sudah menang, dan kemenangannya adalah jaminan kemenangan kita juga, "Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kaki-Nya." (1 Korintus 15:27a).

Keadaan yang semakin tidak menentu akhir-akhir ini bisa membuat iman kita goyah. Pandemik di seluruh dunia menimbulkan banyak ketidakpastian. Pekerjaan kita saat ini mungkin tidak menentu dan harapan kita semakin redup, tapi percayalah dan tetap teguh dalam imanmu, jadilah kuat sebab Yesus sudah menang dari semua kemustahilan. Dia sudah bangkit dari kematian dan lihatlah tangan-Nya terulur untukmu, maukah kau melakukan hal yang mustahil bersama-Nya?

Monday, April 6, 2020

Getsemani: Saksi Peperangan Sunyi


by Glory Ekasari

Peperangan yang dialami Tuhan Yesus tidak terjadi di ruang sidang majelis imam saat Dia diadili. Tidak juga di istana Herodes. Tidak juga di ruang gubernur Pilatus. Tidak juga di hadapan orang banyak yang berseru, “Salibkan Dia!” atau bahkan di Golgota saat Ia dipaku ke kayu salib. Peperangan yang dialami Tuhan kita terjadi di Taman Getsemani. Ketika Ia melangkah keluar dari taman itu, Ia sudah berjalan sebagai pemenang.

Tiga dari empat Injil menceritakan apa yang terjadi di Taman Getsemani. Rasul Yohanes tidak menulis tentang peristiwa ini, kemungkinan karena orang-orang Kristen saat itu sudah tahu tentang peristiwa Getsemani saat Yohanes menulis Injilnya (Injil Yohanes adalah Injil yang terakhir ditulis). Pada dasarnya, kisah ini memalukan; terutama bagi ketiga murid Yesus yang terdekat: Petrus, Yohanes, dan Yakobus. Namun penulis Injil jujur menuliskannya bagi kita untuk menunjukkan bahwa, tidak seperti kita yang lemah, Yesus mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi pencobaan terberat dalam hidup-Nya.

// BERPERANG DENGAN BERDOA
Sebagai manusia, Yesus tidak bersikap sok berani menghadapi penderitaan dan salib. Dengan jujur Ia mengatakan apa yang Ia rasakan, sesuatu yang belum pernah kita baca tentang Yesus, yang selalu kelihatan tenang dan penuh kuasa:

Lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”
(Markus 14:34)

Lukas menulis bahwa Yesus begitu ketakutan sampai “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Tentunya Dia gemetar, bahkan menggigil, dan pakaian-Nya basah kuyup oleh keringat karena intensitas ketakutan yang luar biasa. Mengapa? Karena Yesus tahu apa yang sedang menanti-Nya.

Hukuman salib adalah hukuman yang kejam. Tujuan dari hukuman itu adalah menimbulkan teror dengan cara menyiksa seseorang selama mungkin agar orang lain bisa melihat penderitaannya yang mengerikan sampai akhirnya ia mati. Pemerintah Romawi memakai hukuman ini agar jajahan mereka tidak berani membangkang karena takut akan kekejaman tersebut.

Orang yang akan disalib terlebih dahulu disiksa. Penyiksaan ini kadang bisa begitu brutal sehingga korban sudah mati sebelum disalib. Bila korban bertahan melewati penyiksaan ini, ia kemudian disalib: dipaku tangan dan kakinya pada kayu dan dibiarkan tergantung sampai mati. Setelah kehabisan banyak darah dan tenaga dari penyiksaan, serta didera rasa sakit yang luar biasa dari syaraf yang dipaku, korban harus berjuang hanya untuk sekedar mengambil nafas. Kematian akhirnya terjadi karena tercekik: ia sudah tidak kuat lagi bergerak untuk bernafas. Karena itu tidak ada orang yang disalib dalam keadaan tenang seperti di film-film; orang yang disalib harus bergerak untuk menarik nafas dan membuang nafas, dengan punggungnya yang sudah robek menggesek-gesek kayu salib terus-menerus. Orang yang disalib berharap agar kematian cepat datang dan penderitaan mereka segera berakhir.

Yesus tahu bahwa Ia akan segera menghadapi penderitaan ini. Dan Dia ketakutan. Ini sangat manusiawi. Tapi yang lebih menakutkan dari itu ialah Ia akan menghadapi semuanya itu sendirian.

Saat terjadi banjir di kota saya, ada wawancara dengan seorang warga yang kebanjiran. Dengan wajah yang biasa saja, tidak seperti orang kebanjiran, dia berkata, “Nggak apa-apa… Wong kebanjirannya rame-rame, semua kebanjiran.” Dia merasa tenang karena banyak yang sepenanggungan dengannya.

Berbeda dengan Yesus. Dia harus menghadapi salib sendirian tanpa murid-murid-Nya yang akan segera lari meninggalkan Dia. Tetapi yang lebih penting, tanpa Bapa-Nya, yang sejatinya tidak mungkin terpisahkan dengan Dia. Kematian-Nya bukan karena kesalahan-Nya, tetapi dosa kita. Namun, tidak ada yang mendukung-Nya ketika Ia berkorban bagi kita (termasuk mereka yang menyalibkan Dia). Di atas kayu salib itu Yesus benar-benar sendirian: ditolak oleh dunia, dan dihukum oleh Allah. Sungguh kesepian dan kekosongan yang menakutkan.

Lalu bagaimana Yesus menghadapi semua ketakutannya itu? Lukas menulis:

Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa.
(Lukas 22:44)

Makin bersungguh-sungguh berdoa, itulah cara Yesus menghadapi ketakutan. Yesus memang berharap murid-murid-Nya akan mendukung Dia dalam doa, namun mereka malah tidur (sesuatu yang pasti sangat mereka sesali ketika mereka tahu apa yang kemudian menimpa Yesus). Namun itu tidak melemahkan Yesus. Ia kembali lagi pada doa-Nya. Seorang malaikat dari surga datang untuk menghibur-Nya. Yesus sekali lagi menilik murid-murid-Nya yang tertidur nyenyak, dan kemudian Ia kembali berdoa. Ia berdoa, berdoa, berdoa, sampai Ia menang.

Mengapa saya katakan bahwa Yesus menang? Karena setelah Yesus selesai berdoa dan Ia ditangkap, tidak ada sedikitpun bukti bahwa Yesus ketakutan di hadapan majelis imam, atau di istana Herodes, atau di hadapan Pilatus, atau di hadapan massa, atau di hadapan tentara yang menyalibkan Dia. Perkataan-Nya bukan perkataan orang yang ketakutan; sikap-Nya tidak seperti orang yang ketakutan; bahkan tentara Romawi yang menyaksikan penyaliban-Nya bersaksi, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!” (Matius 27:54). Mereka tidak akan berkata demikian seandainya Yesus kelihatan takut, marah, atau mengasihani diri sendiri saat disalib. Mereka bersaksi demikian melihat ketegaran-Nya dan fenomena alam yang menyertai kematian-Nya.

Jadi Yesus berjalan menuju salib sebagai orang yang menang. Pergumulan yang hebat terjadi justru di Taman Getsemani, saat Ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan semua ketakutan-Nya di hadapan Allah.

// CAWAN YANG DIMINUM YESUS
Sebelum Yesus berdoa di Taman Getsemani, Ia telah makan malam bersama murid-murid-Nya, dan dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan cawan berisi anggur. Tentang cawan itu Ia katakan,

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku.”
(I Korintus 11:25)

Yesus tahu bahwa agar perjanjian baru—yang dinubuatkan oleh para nabi dan direncanakan oleh Allah sendiri—dapat disahkan, darah-Nya harus tertumpah. Kematian-Nya di salib, curahan darah-Nya, akan mengisi cawan perjanjian baru, dan semua orang yang minum dari cawan itu mengambil bagian dalam perjanjian baru dengan Allah.

Tetapi ketika di Taman Getsemani, Yesus berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Bapa-Nya:

“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”
(Markus 14:36)

Doa ini bukanlah penolakan terhadap apa yang harus Yesus alami, tetapi merupakan sebuah pergumulan. Sama seperti Yakub yang bergumul dengan Allah dan tidak mau melepaskan-Nya sampai ia diberkati, demikian pula Yesus bergumul dengan Bapa di dalam doa. Perhatikan bahwa Yesus tidak hanya berkata, “Saya tidak mau,” tapi Ia menutup permohonan-Nya dengan penyerahan diri, “Janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Ini bukan berarti kehendak Yesus dengan kehendak Bapa berbeda. Fakta bahwa Yesus datang ke dunia, menjadi manusia, melayani selama tiga tahun lebih, bahkan berlutut di Taman Getsemani pada hari itu, menunjukkan bahwa kehendak-Nya selaras dengan kehendak Bapa. Yang Yesus katakan ialah: Ia tidak menginginkan penderitaan (siapa yang mau menderita?), tetapi Ia lebih ingin kehendak Allah diwujudkan, sekalipun itu berarti Ia harus menderita. Perhatikan perkataan Yesus dalam bagian lain:

“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.”
(Yohanes 12:27)

Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus: ‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.”
(Yohanes 18:37)

“Untuk itulah Aku datang.” Yesus tahu pasti mengapa Ia harus datang ke dunia: agar Allah dimuliakan dan manusia diselamatkan. Salib adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan itu. Yesus tidak ingin menderita—sebagaimana kita tidak ingin menderita, tapi Dia lebih menginginkan tujuan Allah digenapi, sekalipun itu melalui penderitaan-Nya.

// MENGHADAPI PENCOBAAN
Kontras dengan tindakan Yesus yang begitu serius di Taman Getsemani, murid-murid Yesus melakukan sesuatu yang sungguh memalukan: mereka tidur.

Mereka lelah setelah beraktivitas seharian, mendengarkan Yesus mengajar, dan makan malam. Mereka mengantuk, mata mereka berat. Kita mengerti apa yang mereka rasakan. Namun sayangnya mereka tidak menuruti apa yang dikatakan oleh Guru mereka, perintah-Nya yang terakhir sebelum Ia mati, agar mereka berjaga-jaga dalam doa bersama Dia.

“Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.”
(Matius 26:40-41)

Yesus berkata demikian karena dua alasan: pertama, Ia ingin dibantu dalam doa menjelang penderitaan yang berat yang menanti-Nya; kedua, Ia tahu bahwa sebentar lagi murid-murid-Nya juga akan mengalami pencobaan. Yesus akan diambil dari mereka; dan mereka, seperti domba tanpa gembala, akan tercerai-berai.

Mereka tidak menuruti Yesus, dan karena itu mereka kalah dalam pencobaan dengan memalukan. Saat Yesus ditangkap, mereka bingung dan melarikan diri. Petrus, murid Yesus yang paling vokal, bahkan akhirnya menyangkal Yesus. Murid-murid yang lain entah di mana keberadaannya. Mereka bahkan tidak percaya ketika mendengar kabar bahwa Yesus bangkit. Keadaan mereka menyedihkan dan penuh ketakutan, tidak seperti Yesus yang berjalan menuju salib dengan penuh keberanian.

Kita tidak tahu kapan pencobaan akan datang. Tetapi apapun pencobaan yang datang dalam hidup kita, itu tidak akan lebih serius dari salib yang dihadapi oleh Tuhan Yesus. Karena itu mari kita mengikuti Yesus, yang lebih dahulu menang, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan (Ibrani 12:2). Dua hal yang harus kita pelajari dari Tuhan kita:

1. Ketika Roh Kudus mengingatkan kita untuk berdoa dan berjaga-jaga, lakukanlah. Jangan tidur seperti murid-murid Yesus. Dalam kesesakan, bergumullah dengan Allah dalam doa. Semakin berat masalahnya, semakin sungguh-sungguh berdoa. Bila Yesus yang harus menghadapi salib saja mencari kekuatan dalam doa, betapa lebih lagi kita yang menghadapi “pencobaan biasa” (I Korintus 10:13).

2. Selalu bersedia mengutamakan kehendak Allah dibanding keinginan kita. Yesus bersedia menderita dan mati demi melakukan kehendak Allah; kita tidak dituntut seberat itu. Bila kita mengasihi Allah, tidak ada yang boleh menghalangi kehendak Allah dalam hidup kita, bahkan (atau terutama) kehendak kita sendiri. Taklukkan kehendak kita itu di Taman Getsemani pribadi kita dengan Allah, dan berjalanlah keluar dari taman itu, menghadapi salib yang harus kita pikul, dengan penuh kemenangan.


Marilah kita berlomba dengan tekun, dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan; yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)