Monday, July 30, 2018

Menikmati Masa Lajang


by Mekar Andaryani Pradipta

Psstt... Tahukah kamu kalau dari artikel-artikel Pearl yang paling banyak dibaca kebanyakan bertema relationship dan singleness. Pokoknya kalau tentang cinta-cinta, Pearlians semangat banget baca dan nge-share artikelnya. Nah, sebentar lagi Pearl akan ngadain sesi khusus Q&A tentang singleness di Instagram. Lewat Q&A ini, Pearlians boleh tanya-tanya, bagi pengalaman atau bahkan curhat. 

Tapi sebelumnya, yuk kita belajar dulu tentang bagaimana menikmati masa lajang. Because we know, berdamai dengan masa lajang itu ngga gampang, apalagi kalau seakan-akan kita jadi satu-satunya lajang di tengah teman-teman yang sudah berpasangan. Sampai kapan, Tuhan? Siapa sebenarnya jodohku? Mungkin itu yang ada di pertanyaan kita saat ini.

Tuhan memang kadang bekerja dengan cara yang misterius. Ingat kan bagaimana dia dulu memanggil Abraham, Musa, Yusuf, atau Daud. Kepada mereka, rencana-Nya tidak disingkapkan sekaligus. Begitu pula dengan hidup kita. Ada masa-masa kita bingung tentang rencana Tuhan, lalu gelisah karena Tuhan seakan-akan menempatkan kita di dalam ketidakpastian. Tapi, hey, seperti orang-orang kesayangan Allah di Alkitab, kita punya janji Tuhan yang ya dan amin. Berjalan di dalam janji Tuhan berarti berjalan di dalam kepastian. Bukankah Dia adalah Allah yang setia?

Jadi, kalau Tuhan berjanji bahwa rancangannya adalah rancangan damai sejahtera, maka itulah yang akan Dia lakukan. Tugas kita adalah menanti rancangannya dibukakan dengan sikap hati dan respon yang benar. Apa saja?

1. Menerima rencana Allah: meletakkan keinginan kita atas pernikahan di bawah kehendak Tuhan, apapun itu. 
Mari kita uji dengan pertanyaan ini:

Apakah aku bisa menerima jika ternyata Allah menghendaki aku tetap melajang? Aku tahu kalau rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera, lalu jika pernikahan tidak termasuk dalam rencana Allah untuk hidupku, bagaimana responku?

Pertanyaan ini sepertinya sederhana, tapi jawaban yang kita berikan menunjukkan sikap hati yang berserah dan menerima rencana Allah, atau justru masih memegang kehendak kita sendiri.

Ketika Yesus berada di taman Getsemani pada malam sebelum Ia disalibkan, Ia begitu ketakutan dan gelisah. Tapi pada akhirnya dia bisa berjalan menuju Bukit Golgota dengan ketenangan dan ketabahan luar biasa. Mengapa? Karena pada akhirnya Yesus bisa menerima rencana Allah dan melepaskan kehendak-Nya sendiri. Kalau kita bisa memberikan respon yang sama seperti Yesus, maka kegelisahan kita menjalani masa lajang bisa tergantikan dengan ketenangan dan sukacita.

Jawaban kita atas pertanyaan tadi juga mencerminkan bagaimana kita memposisikan pernikahan. Jangan-jangan kita menginginkan pernikahan lebih dari kita menginginkan Allah dan rencana-Nya.

Di Mazmur 73:25, Daud berkata, “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di Bumi.” Baginya Tuhan adalah yang utama, sepanjang Ia punya Tuhan maka Ia tidak kekurangan apapun, bahkan ketika Ia harus hidup dalam penantian atau ketika doanya tidak dikabulkan sekalipun.

Keinginan yang berlebihan terhadap pernikahan cenderung membuat hati kita merasa tidak puas dengan masa lajang kita. Kita merasa tidak utuh dan lengkap. Kita akan dikuasai ketakutan hidup melajang selamanya. Kita juga jadi tidak sabar karena pernikahan menjadi fokus hidup kita.

Percaya atau tidak, salah satu tanda kita siap menikah adalah ketika kita bisa mengatakan bahwa, “Rancangan Tuhan adalah baik. Baik menikah maupun melajang adalah baik jika sesuai dengan rancangan Tuhan. Aku memang menginginkan pernikahan, tapi jika Tuhan menghendaki aku melajang, maka aku akan berkata, “Bukan kehendakku, tetapi kehendak-Mu yang jadi.”

2. Puas dengan Allah: Utuh dan Penuh di dalam Yesus 
Ketika kita sudah bisa menerima apapun rancangan Tuhan untuk masa depan kita, kita perlu juga belajar puas dengan Allah. Seperti Daud yang mengatakan, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

Media sering mengatakan bahwa orang yang belum menikah berarti belum utuh. Mungkin kita malas datang ke pertemuan keluarga karena harus mendengar orang-orang yang mengatakan hidup kita tidak lengkap tanpa seorang suami.

Semua itu salah. Alkitab menjelaskan ini dengan sangat gamblang di Kolose 2:9-10 (Amplified Bible):

For He is the complete fullness of deity living in human form.
And our own completeness is now found in him.
(Col 2:9-10 / AMP)

Hidup kita lengkap hanya karena Yesus, bukan karena hal lain. As long as you have Jesus, your life is complete. Seperti Daud, hidupmu takkan kekurangan apapun. Repeat: apapun, termasuk cinta. Jesus’ love is more than enough to satisfy us. 

3. Menemukan Tujuan dalam Masa Lajang
Menjadi lajang bukan aib. Kalau Tuhan masih menghendaki kita menjalani fase ini, maka hal itu berarti Tuhan punya tujuan baik. Tugas kitalah untuk menemukan tujuan itu. Kadang ada yang merasa dirinya sudah sangat siap untuk pernikahan – usia sudah matang, karakter sudah dewasa, finansial sudah cukup – tapi Tuhan belum juga memberikan jodoh. Lalu mengapa?

Dalam bukunya A Purpose Driven Life, Rick Warren mengatakan bahwa orang yang paling mengetahui tujuan diciptakannya sesuatu adalah penciptanya. Nah, sama dengan masa lajang, Tuhanlah yang paling tahu tujuan dari masa lajang kita, karena Ia yang mengatur musim hidup kita.

Tanpa tujuan, seseorang tidak akan bisa menikmati perjalanannya. Bahkan orang yang melakukan perjalanan tanpa rencana pun sebenarnya memiliki tujuan: menemukan tempat-tempat menarik di perjalanan, atau bertemu dengan orang-orang lokal secara kebetulan. Sekedar menjalani masa lajang akan membuat kita tidak fokus dan menginvestasikan banyak energi pada hal-hal negatif seperti perasaan kesepian, mengasihani diri atau iri dengan orang lain yang sudah berpasangan.

Alkitab sebenarnya sudah memberikan kita gambaran mengenai tujuan masa lajang yaitu agar kita hidup tanpa kekuatiran, fokus pada perkara-perkara surgawi dan mencari perkenanan Tuhan (I Korintus 7:32). Tapi setiap kita sebaiknya mendapatkan arahan spesifik atau rhema pribadi dari Tuhan sendiri mengenai perkara surgawi apa atau perkenan Tuhan dalam hal apa yang dikhususkan untuk hidup kita.

Seorang teman saya yang baru-baru ini menikah, mendapatkan rhema dari Yeremia 29:5 yang mengatakan, “Dirikanlah rumah untuk kamu diami, buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya, ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan”. Melalui ayat ini, Tuhan menuntunnya untuk mengembangkan usahanya, mempersiapkan rumah dan isinya, baru kemudian menikah. Sebuah tuntunan yang tampak sederhana namun memberikan pelajaran mengenai prioritas hidup yang benar bagi teman saya. Ketika saat ini dia sudah menikah, teman saya tidak perlu direpotkan dengan masalah keuangan, malah keluarganya bisa lebih maksimal untuk memberkati orang lain.

Untuk saya pribadi, masa lajang adalah sebuah “extra time” dari Tuhan. Saya melewatkan masa lajang saya dengan kegelisahan tentang pernikahan, sampai akhirnya saya menang di bagian ini. Masa lajang saya saat itu bertujuan untuk membentuk hati dan karakter saya. Saat ini, saya masih lajang, namun tahapnya sudah berbeda. Tuhan memberikan masa lajang ini sebagai kesempatan yang benar-benar saya nikmati untuk menciptakan pencapaian-pencapaian yang memberkati diri saya sendiri dan orang lain. 

Apa tujuan Tuhan dengan masa lajangmu saat ini? Bertanyalah kepada Dia yang punya rencana atas masa lajangmu.

Melakukan tiga poin di atas akan menolong kita untuk menikmati masa lajang dengan sukacita dan ketenangan. Menunggu tidak lagi menyiksa karena kita tahu di depan sana Tuhan punya rencana indah, meskipun ada kemungkinan rencana-Nya tidak seperti yang kita harapkan. Ketiga poin di atas adalah prinsip-prinsip hidup yang penerapannya harus kita buat sendiri sesuai konteks hidup kita. Misalnya untuk poin 2, bisa saja penerapannya adalah tidak lagi mencari perhatian dari cowok-cowok dengan mengirimkan pesan singkat sehari lima puluh kali. Atau untuk poin 3, bisa saja penerapannya mulai belajar IELTS untuk persiapan seleksi beasiswa sekolah ke luar negeri.

Kesimpulannya adalah: Don't waste your singleness merely waiting anxiously. Jangan lewatkan masa lajangmu hanya dengan menunggu. Nikmatilah dengan melakukan sesuatu, untuk Tuhan, untuk diri sendiri, untuk orang-orang di sekitar kita, juga untuk pasangan hidup kita di masa depan – jika memang Tuhan menginginkan kita masuk ke pernikahan. Mulailah dengan belajar menerima rencana Tuhan dan menjadi puas hanya karena Allah, lalu dapatkan tuntunan Tuhan tentang apa yang harus kita kerjakan dengan masa lajang kita.

Wednesday, July 25, 2018

God, My Family, and Me



Compiled by Grace Suryani Halim

Alo moms and moms-to-be! Adalah hal yang sangat wajar setelah punya anak, beberapa atau bahkan banyak dari kita mengalami kesulitan untuk mengatur waktu saat teduh dengan mengurus anak dan keluarga. Kalau dulu, bisa dengan anteng saat teduh pagi-pagi, sekarang sebelum kita bangun sudah ada suara oek-oek bayi yang minta susu. Begitu selesai memberi susu, eh sudah harus menyiapkan sarapan untuk suami, dan seterusnya. 

Secara teori, kita sadar dan paham betul bahwa waktu teduh dengan Tuhan itu luar biasa super duper penting. Tapi kadang dalam prakteknya, kita ga tau harus gimana... Nah, di edisi kali ini, akan ada sharing dari para ibu-ibu single fighter yang mengurus anak sendiri tanpa bantuan babysitter maupun ortu. Gimana sih caranya mereka mengatur waktu untuk saat teduh di tengah kesibukan? Yup, it’s hard, but this is not impossible :) 

***


Sesudah punya anak, waktu teduh saya ga bisa kayak dulu lagi mau kapan dan berapa lama. Sekarang harus pinter-pinter membagi waktu, karena selain spend time with God, saya percaya Tuhan juga mau saya melayani keluarga (suami+anak). Jadi saya cari waktu yang saya bisa duduk diam di hadapan Tuhan. Dan itu biasanya siang atau malam setelah Chloe tidur (karena pas suami ada di rumah dan Chloe sedang bangun, saya ga bisa duduk diam :p).Terus kalau lagi devotion sama Chloe, saya juga kayak devotion lagi, karena ketika saya ceritain dia Alkitab, saya diingatkan lagi tentang kasih Tuhan. Selain itu, saya juga biasain untuk ngobrol sama Tuhan setiap saat - saat masak, cuci piring, main sama Chloe, dan lain-lain. Cuma satu dua kalimat pendek saja (kadang sharing, kadang pujian, kadang keluh kesah, hehe...), tapi saya bisa merasakan Tuhan itu dekat dan mendengarkan saya. 

Well, jadi ibu rumah tangga itu kerjaannya ga pernah habis, tapi saya diingatkan terus sama cerita Maria-Martha. Jangan sampai saya terlalu sibuk sampai ga ada waktu untuk mendengarkan Tuhan. Jangan-jangan sebenarnya saya malah sibuk melayani diri sendiri, bukan Tuhan. Meski saya masih jatuh bangun, saya yakin kasih karunia Tuhan itu selalu cukup dan akan memampukan saya untuk bisa lebih baik lagi dalam mengasihi dan melayani Tuhan dan keluarga :) 

Minda {Mama Chloe - 2.5 tahun}


***


Enam tahun jadi mama, saya udah cobain macem-macem formula buat saat teduh yang efektif, efisien, tapi belum nemu yang pas. Tiap fase umur anak beda waktu luang yang tersedia buat saya. Jadi kudu fleksibel dan siap berubah. Dulu pas anak saya batita rasanya super susah selipin waktu, eh sekarang setelah anak kelas 1 SD kok masih tetep susah juga. Tekad n kemauannya mungkin yang masih kurang. 

Dulu saya suka berlama-lama saat teduh, sambil santai, melamun (baca: meresapi firman :p), mikir ini itu, nyanyi, doa syafaat, dll. Sejak ada anak mah ngga bisa lagi lah yauw, waktu luang udah jadi barang mewah. Jadi saya akalin dengan cara membagi waktu saat teduh jadi beberapa bagian, gak sekaligus. Misal pagi doa dulu, nanti siangan kalo ada kesempatan baca firman barang 5-10 menit, sore kalo anak tidur siang, saya nyanyi beberapa lagu sama doa syafaat, yah begitu deh diselip-selipin aja 'potongan2' waktu saat teduhnya di sela-sela aktivitas. Puas? Engga tuh, karena jadi makin banyak halangan dan bolongnya. Pernah mencanangkan mau bangun pagian, tapi sampe stres sendiri krn ga kunjung berhasil, I'm not a morning person. 

So, buat fase saya sekarang, waktu paling enak adalah setelah saya nge-drop anak di skul. Keluar dari kompleks skul, saya cari tempat di mana saya bisa parkir, terus saya ambil waktu doa bentar, kadang sama baca firman, abis itu baru lanjut aktivitas ke pasar dan sebagainya. Kadang saya buru-buru dan ngerasa ga sempet saat teduh, tapi herannya kok sempet BBM-an ama suami atau temen yang ultah. Balik lagi ke niat ya, niatnya dulu yang hrs diperkuat, baru halangan bisa dilawan. 

Natalia {Mami Darren - 6 tahun}


***


Cara saya untuk tetap saat teduh dan menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan di tengah segala kesibukan adalah dengan berusaha bangun paling tidak 30 menit lebih awal dari Jane. Pernah ada satu masa begitu saya keluar dari kamar, Jane pasti bangun -,- Karena itu beberapa bulan saya saat teduh di toilet kamar pake handphone.

En setelah punya anak, saya jadi sangat sadar bahwa saya bener-bener butuh Tuhan selalu. Terutama kalo Jane lagi cranky dan sangat susah diatur. Karena itu saya berusaha untuk berdoa singkat sesering mungkin. Kalo pas lagi frustasi sama Jane, doa saya, “God, please help meee...” Kalo lagi frustasi en ga tau mesti ngapain ya doa, “Tuhan, I don’t know what to do. Please help me.” Kalo Jane lagi kalem dan baik, “Thanks for your blessing, Lord.” Pokoknya sebisa mungkin selalu melibatkan Tuhan dalam setiap kejadian yang saya alami dengan Jane. Selain itu saya juga menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan lewat nyanyian. Baik itu lewat lagu yang dipasang di computer maupun ketika mengajarkan lagu-lagu rohani kepada Jane. 

Grace {Mami Jane - 2 tahun}


***


Saat teduh saya dalam satu hari bisa 'berseri'. Perlu beberapa 'episode' untuk bisa selesai baca dan doa. Contoh: biasanya saya mulai saat teduh waktu Jeremiah morning nap. Mulai dengan membaca dan merenungkan perikop Alkitab, trus terkadang terpotong karena anak bangun perlu diurus. Trus kadang perlu siapin makan siang, jadi disambung lagi waktu Jere independent play time. Jere main-main, saya duduk di sampingnya dan meneruskan saat teduh. 

Saya merasa bahwa saat teduh harus dilihat sebagai kebutuhan bukan rutinitas. Sehingga kalau itu dilihat sebagai kebutuhan, seperti makan atau mandi maka kita pasti pasti berjuang untuk meluangkan waktu. Tapi jika kita melihatnya hanya sebagai rutinitas, mudah untuk melepas waktu teduh karena ada banyak rutinitas yang lebih keliatan, misalnya menyiapkan makanan, bersih-bersih rumah dan lain-lain. Akhir-akhir ini saya juga banyak merenungkan kebaikkan Tuhan melalui lagu-lagu pujian seperti hymn. Mendengarkan lagu-lagu itu seperti nourishing my soul. 

Ipei {Mama Jeremiah - 1 tahun}


***


Karena gue kerja full-time dan juga aktif pelayanan, waktu di rumah atau alone-time itu sangat sedikit. Pertama-tama habis punya anak, merasa bersalah sekali ga bisa pacaran ama Tuhan sampe berjam-jam kayak waktu single. Tapi after a while, I got sick of feeling guilty if I couldn't spend a lot of time with the Lord alone. Lama kelamaan gue sadar, bahwa meskipun gue ga berjam-jam ngabisin waktu alone with Him, kok gue masih bisa denger Dia ngomong ke gue ya. Maksudnya selalu ada aja yang gue dapetin dari Tuhan. Mau itu pas lagi gantiin diaper anak kek, atau lagi masak kek. 

Someone told me the following statements yang membuka pandangan gue. Selama ini kita biasanya bilang begini: in our life, God is number 1, family number 2, pelayanan number 3. Sebenernya ada yang salah dengan perkataan ini. Instead of putting God number 1, and the rest are secondary, why not we put God in everything. Jadi misalnya family number 1 (God is in there), pelayanan number 2 (God is also there), kerja number 3 (God is there too). So God is everywhere in every aspect of our lives. Bagi gue, itu lebih make sense. And it works for me. 

Gue bukan morning person. Sampe skarang gue berulang kali berusaha bisa bangun jam 5 buat saat teduh, tapi ga kesampean melulu. Kan banyak yang bilang, put God first in your life by waking up early and saat teduh. Aduh, sampe sekarang gue kagak bisa-bisa lakuin itu. Sampe akhirnya bete sendiri dan merasa bersalah kok sepertinya gue ga put Him first before I start my day. Makanya gue agak surprised when I am still able to hear His voice and received fresh revelations eventhough gue ga dwell berjam-jam in His Word. But of course I still need to eat my bread (the Word), jadi gue sedikit-sedikit ambil waktu saat teduh disana-sini. Biasanya sih kalau lagi di bus mau pergi kerja. Perjalanan sekitar 45 menit. Pasang earphone, denger lagu rohani and baca renungan yang gue taruh di HP. Kadang suami gue mengantar gue ke tempat kerja dengan mobil gereja (dia bawa kalo buat pelayanan), gue bacain satu atau dua pasal dari Alkitab buat suami gue dan gue. Lalu kita diskusi apa yang kita dapet dari pasal itu. So, lets make God be in every aspect of our lives. Meskipun ga teratur saat teduh, Tuhan pasti masih bisa ngomong ke kita, karena Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kita. Yang penting jangan merasa bersalah dan tertuduh. Perasaan-perasaan itu tidak datang dari Tuhan. 

Nelly {Mama Aiden - 1 tahun}


***

Bagaimana moms, membaca sharing-sharing di atas? Semoga kiranya Tuhan sendiri yang menolong dan memampukan kita untuk terus bertumbuh dan makin dekat dengan-Nya. Tanpa pertolongan Tuhan sia-sialah semua usaha kita untuk menjadi orang tua maupun menjadi istri. 

Monday, July 23, 2018

Bertumbuh di dalam Komunitas


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Sejak awal tahun kemarin, aku berkomitmen untuk mengikuti Bible Reading Group (BRG) secara online. Semenjak punya anak, susah sekali rasanya untuk punya waktu baca Alkitab setiap hari. Tujuan awalku ikut grup ini hanya supaya disiplin lagi baca Alkitab. Sejauh ini, tujuan itu tercapai karena kami harus benar-benar komitmen, setiap hari wajib baca dua pasal yang sudah ditentukan lalu rhema yang didapat di-share di grup WA. Sebelum jam 12 malam harus sudah setor rhema, kalau terlambat bakal dapat reminder (R) keesokan harinya, lalu harus double posting, rhema kemarin dan hari ini. Kalau dapat reminder lebih dari 3x, sorry, the group has to say goodbye karena artinya orang itu belum siap berkomitmen. Lupa posting, ketiduran, sibuk, gak sempat, semua itu bukan alasan yang akan diterima. Alasan yang dapat diterima untuk tidak posting atau lewat jam cuma sakit parah, pergi ke luar daerah yang gak ada sinyal, atau force major seperti bencana alam.

Semenjak mengikuti BRG ini, aku juga mendapatkan saudara-saudara baru dalam Kristus, wanita-wanita luar biasa yang juga berkomitmen sama Tuhan. I feel so encouraged by them, terutama dalam menjalankan peranku sebagai seorang istri dan mama. Aku semakin termotivasi untuk menjadi istri yang cakap, teladan buat anak-anak, dan hidup dalam kekudusan. Hubungan dengan mereka semakin memperkaya hidupku. Aku merasa dapat komunitas baru karena hampir setiap hari kami berkomunikasi. Pada awalnya cuma posting rhema, lalu mulai komen postingan rhema teman lain dan lama kelamaan saling menghibur dan menguatkan satu sama lain. Apalagi saat tahu ada yang memiliki pergumulan yang sama denganku, benar-benar berasa ada teman sepenanggungan. 

Bersama teman-teman di BRG aku kembali merasakan ‘rasa yang dulu pernah ada’ waktu lagi aktif-aktifnya terlibat pelayanan mahasiswa. Aku merasa bertumbuh. Pertumbuhan yang bagaimana? Aku teringat beberapa pengajaran tentang pertumbuhan yang aku dapatkan di KAMBIUM, khususnya di Kelas Bertumbuh. Dan kali ini aku mau berbagi sedikit: 

Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah kepala. Dari pada-Nya lah seluruh tubuh,-yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota-menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.
(Efesus 4:11-16)

Arah pertumbuhan yang diinginkan Allah meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1. Pekerjaan Pelayanan 
Untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.
(Efesus 4:12)

Saat kita menjadi anak Allah, kita dipenuhi kerinduan untuk melayani Kristus. Kita cenderung mengiyakan semua pelayanan yang kita jumpai. Itu tidak salah. Namun, kita perlu belajar untuk melayani secara efektif dalam tubuh Kristus. Tangan mungkin dapat ‘melihat’ seperti mata, dengan cara meraba-raba misalnya, tapi kita tahu, tugas melihat akan lebih baik dilakukan oleh mata dibandingkan oleh tangan, karena sesungguhnya Tuhan menciptakan setiap hal dengan fungsinya masing-masing.

Dalam pelayanan, kita perlu mengenali panggilan pelayanan kita yang sesungguhnya. Setelah mengenali, kita perlu mencoba dan menguji, bertekun di dalamnya kemudian mengembangkan pelayanan kita. Mungkin kita bisa melakukan banyak hal, tapi tentunya ada hal tertentu yang kita mampu lakukan dan sungguh kita mempunyai beban akan hal itu. Tidak perlu merasa bersalah untuk menolak sebuah tawaran pelayanan jika memang Tuhan tidak ingin kita melakukannya. Kita perlu belajar taat sama Tuhan. Aku belajar untuk gak merasa bersalah saat lebih memilih menghabiskan waktu bersama keluarga dibanding pelayanan. Keluargaku adalah pelayananku juga. Saat ini aku ada untuk melayani mereka. Mereka adalah prioritasku. Dalam BRG aku diingatkan dengan melihat teladan teman-teman yang lain. Boleh saja aku punya pelayanan ini itu, tapi hanya aku istri dari suamiku, hanya aku satu-satunya ibu dari anak-anakku, tidak ada yang bisa menggantikan aku. 

2. Pemahaman Pengajaran 
Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan benar tentang Anak Allah... sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan.
(Efesus 4:13-14)

Pernah gak bingung kenapa istri harus tunduk sama suami? Banyak hal yang pernah membingungkanku. Pemahaman akan hal tersebut gak datang dengan tiba-tiba. Firman Tuhan yang mengajarkan dan memberikan pengertian akan banyak hal. Firman-Nya menolong kita mengenal Tuhan dengan benar. Kita perlu bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Tuhan kita. Dan kita tidak akan semakin dalam mengenal-Nya kalau kita gak mau berusaha membuka Alkitab kita. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, demikian kata Firman Tuhan. Tapi pertanyaannya, seberapa banyak diantara kita yang berkomitmen bertumbuh dalam pemahaman akan pengajaran melalui Firman-Nya? Kita perlu bertumbuh dalam pengajaran supaya kita bener-bener gak diombang-ambingkan pengajaran yang menyesatkan. 

3. Kedewasaan Karakter 
Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.
(Efesus 4:13)

Karakter Kristus adalah tanda kedewasaan seseorang yang mengaku anak Allah. Seseorang yang bertumbuh ke arah Kristus, sudah seharusnya memiliki karakter Kristus. Bagaimana seseorang berhubungan dan memperlakukan orang lain menunjukkan pula kedewasaan karakternya. Secara pribadi, aku merasa paling banyak diubahkan dalam hal hubungan dengan suami dan anak, melalui firman dan belajar dari teladan beberapa teman.

Aku menyadari, dalam komunitas, kita hanya dapat bertumbuh bersama apabila kita bersedia BERBAGI HIDUP. 

Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.
(1 Tesalonika 2:8)

Aku belajar banyak dan merasa diberkati dari sharing teman-teman BRG. Mereka bukan hanya sharing tentang firman Tuhan, tapi juga hidupnya: pengalaman, cerita kegagalan, cerita kesuksesan, kemenangan, kejatuhan, dan bagaimana Tuhan memproses hidupnya. Semuanya membuatku sadar kalau kami sama-sama bukan manusia yang sempurna. Kami masih sering gagal menaati firman-Nya, kami masih sering mengecewakan Tuhan, tapi kami sedang diubahkan dan dapat diubahkan menjadi semakin serupa dengan Kristus. 

Berbagi hidup bukan hal yang mudah, apalagi untuk orang yang introvert. Bagaimanapun dalam berkomunitas, kita hanya dapat bertumbuh bersama jika mau:
1. Membuka Diri 
Konon ada yang bilang kalau keterbukaan adalah awal pemulihan. Banyak pemulihan terjadi di dalam diri kita saat bersedia untuk jujur. Masalahnya aku takut. Bagaimana kalau aku ditolak saat terbuka? Bagaimana kalau saat aku terbuka membuat reputasiku hancur? Terkadang terlalu melindungi diri, membuat kita gak sadar kalau kita sedang merusak diri kita. Kita harus berani mengambil resiko maupun menerima berkat dari keterbukaan kita. 

Memang bukan hal yang mudah menceritakan apa yang terjadi di hidup kita, apalagi dosa yang kita perbuat, atau kejatuhan yang berulang kali terjadi, tapi firman Tuhan berkata:

Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.
(Yakobus 5:16)

Malu sih rasanya memberitahu orang lain kalau hari ini lagi-lagi aku gagal dan kembali mengulangi kesalahan yang sama, tapi firman Tuhan ini menguatkanku. Aku belajar percaya, saat aku mengakui kegagalanku, ada yang akan memayungiku dengan doanya, ada yang mau menegurku dan gak membiarkan aku terus jatuh, tapi juga tetap mengasihiku.

Memilih untuk terbuka memang beresiko, tapi hasilnya sepadan karena berkat yang diterima sangat banyak. Sejauh ini, saat aku bersedia membuka diri, hal-hal yang terjadi seperti ini:
  • Saat aku dalam pergumulan/masalah – Ada yang mendoakan dan menawarkan bantuan. Ada yang memberikan saran berdasarkan kebenaran firman Tuhan.
  • Saat aku sharing dosa yang kuperbuat – Ada yang menegur, menceritakan pergumulannya untuk menang dalam dosa yang sama, ada yang berdoa.
  • Saat aku bersukacita – Ada yang turut bersukacita, sukacitaku berlipat rasanya.
  • Saat bingung – Ada yang mendoakan, memberikan jalan keluar.

2. Menjaga Kepercayaan/Privasi Orang Lain. 
Siapa mengumpat, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara.
(Amsal 11:13)

Setiap orang harus menjaga kepercayaan yang diberikan orang lain kepadanya. Ada cerita tentang hidup/pengalaman/pergumulan orang lain yang gak boleh diceritakan di luar grup. Hal-hal sensitif yang menyangkut pribadi seseorang gak boleh aku ceritakan ke orang lain sembarangan, sebelum aku meminta ijin dan mempertimbangkan motivasiku menceritakannya kepada orang lain. Hanya untuk bergosip atau untuk memberkati orang lain? Aku belajar untuk gak sembarangan menceritakan kembali cerita teman di grup, meskipun kadang ada rhema yang kelihatannya memberkati orang lain.

Saat kita menjaga kepercayaan orang lain, kita memberikan rasa aman bagi orang lain untuk berbagi. Orang lain gak perlu kuatir membagi perasaan, pergumulan dan pemikirannya karena tahu teman tempatnya berbagi bisa diandalkan. Tingkat kepercayaan menentukan tingkat keterbukaan, dan semakin kita terbuka maka kita akan dekat dengan orang lain. Memang gak mudah membangun kepercayaan orang lain.

3. Mengasihi dengan Tulus 
Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
(Roma 12: 9-10)

Awal mula jadi anggota BRG, aku merasa cukup dengan posting hasil saat teduhku saja. Selain itu, aku hanya berkomunikasi seperlunya, sesekali memberi komen saat ada anggota lain yang posting. Yang penting kelihatan aktif di grup, gak pasif-pasif amat. Lalu aku merasa diberkati dengan perhatian Cella, PIC kami. Dia selalu mendorong kami, gak pernah lalai mengucapkan selamat ulang tahun pada yang berulang tahun, meminta pokok doa dan mendoakan kami. Suatu hari, dia mengirimkan voice note mendoakanku yang saat itu sedang down karena kondisi kehamilanku. I was so blessed. Benar-benar pada saat yang tepat dikirimkannya, sewaktu aku membutuhkannya. Mungkin Cella gak tahu kalau yang dilakukannya sangat memberkatiku bahkan mengubah hatiku. Selama ini aku hanya menerima tanpa memberi. Aku mulai berubah dan berusaha melakukan yang Cella lakukan, berusaha mengikuti teladannya.

Puncaknya, saat Cella mengundurkan diri jadi PIC karena mau fokus pelayanan di gerejanya dan aku ditawari menggantikannya. Aku iyakan sambil sempat mikir, ”Wah, gawat nih. Aku harus lebih memperhatikan orang lain, lalu aku siapa yang perhatikan?” Tapi ayat ini menegurku:

Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.
(Filipi 2: 3)

Aku perlu belajar menghargai orang lain lebih daripada diri sendiri, menganggap yang lain lebih utama daripada diri sendiri. Banyak masalah terjadi saat orang lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan orang lain. Ketika orang lain gak menghargai kita, gak memperhatikan kita atau memuji kita, kita mulai kesal, tersinggung dan mundur iman kita. Belajar mengasihi dan sungguh memperhatikan dengan tulus merupakan tantangan saat berada dalam komunitas, bukan melakukan karena kewajiban atau merasa gak enak dengan yang lain. Ketulusan sangat penting, karena hanya apa yang berasal dari hati yang akan sampai ke hati. 

4. Membuka Hati 
Membuka hati untuk apa? BERUBAH. Hanya jika kita bersedia berubah maka kita akan bertumbuh. Dalam hidup berkomunitas kita akan menerima masukan dan teguran. Ada orang-orang tertentu yang gak segan menasehati, menegur, menguatkan bahkan gak jarang mendorong kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Kalau kita gak bersedia buka hati dan menerima apa yang baik maka kita gak akan mengalami perubahan hidup.

Perhatikan komunitas kita berada dan dengan siapa kita bergaul. Mereka sedang membagi hidup kita dengannya, sadar atau tidak sadar.

Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.
(1 Korintus 15:33)

Dengan siapa kita bergaul akan mempengaruhi kehidupan kita. Salomo juga memperingatkan:

Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.
(Amsal 13:2)

Saturday, July 21, 2018

Letter to New Wives #1: You're a Wife Now!


by Lia Stoltzfus

You are a wife now... uda ganti 'status' :) status baru yang disertai dengan tanggungjawab yang baru tentunya.

Bukan lagi 'anak mama' yang bisa manja-manja menikmati masakan mama setiap harinya.
Bukan lagi single yang 'bebas' kelayapan en say 'yes' kalo diajak hanging-out sama temen2 yang masih single lainnya.
Bukan lagi anak kuliahan yang bisa bebas maen game, baca komik or nonton DVD korea begadangan sampe tengah malem.
Bukan lagi 'wanita karir' yang bebas pake duit gajinya beli sepatu, tas branded en macem-macem aksesoris lainnya

nope... nope... nope...

Statusmu sudah beda dan kamu harus SADAR akan hal itu :)

You are a WIFE, a heavenly-gift bride to your husband. 

"He who finds a wife finds what is good and receives favor from the LORD." 
(Proverbs 18:22)

Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN. Kamu adalah 'sesuatu yang BAIK' yang Tuhan berikan dalam hidup suamimu. Tapi meskipun kita adalah 'a heavenly-gift',  kita kudu yang namanya TERUS BELAJAR gimana untuk menjalani role kita as a wife.

Seorang istri diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang 'penolong'.

TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
(Kejadian 2:18)

Penolong ato bahasa kerennya "a HELPMEET" itu adalah tujuan kita diciptakan oleh Tuhan. Kita diciptakan untuk membantu, menolong, membuat hidup suami menjadi lebih produktif, lebih efektif, lebih maksimal dalam menggenapi panggilan hidupnya. Jadi yang namanya jadi istri itu adalah melayani. Suatu kesempatan untuk melayani Tuhan lewat melayani pria yang kamu kasihi.

inget... PELAYANAN (ministry), yang namanya pelayanan itu kan gak jauh-jauh sama yang namanya 'sacrifice' yah?

Menjadi istri artinya kita bersedia dengan rela dan senang hati to answer husband's needs. Helpmeet = help (to) meet his needs, berusaha menjawab/memenuhi kebutuhan pasangan/suami kita masing-masing.

Apa sih kebutuhan pria sebagai suami? 

Puji Tuhan, pria itu makhluk yang cukup 'simple' yang pasti gak 'serumit' kita para wanita :) Huehehehe... Asal ada hal2 dibawah ini, biasanya pria bakalan ngerasa cukup 'content':

1. His Biological Needs
Sudah pasti suami kita butuh makan, so sebagai istri... belajarlah memasak. Tapi gue gak bisa masak nih... gak papa, asal punya modal kemauan, bisa belajar kok. Tapi gue kan kerja juga, capek kalo mesti masak pulang rumah... inget, pernikahan itu pelayanan :) Capek sedikit gak papalah, baru juga cooking for two, belon yang mesti masak MPASI anak. at least masak pas weekend deh, pasti bisa kan? masa mau beli di luar terus, boros kaliiiiii...

Enakan beli, klo masak lama udah gitu kudu nyuci piringnya lagi... if money is not your problem, sok atuh tapi inget juga... suami bisa punya 'kebanggaan' tersendiri klo tau istrinya bela2in belajar masak apalagi makanan kesukaannya :) lagian someday juga pasti 'mentok' kudu masuk dapur juga pas uda punya anak, gak ada yang rela kan kasih makan anaknya makanan gak jelas kebersihan dan juga kualitasnya? masak sendiri lebih irit, lebih terjamin kebersihannya dan juga pastinya bisa bebas dari MSG kan? =)

Dan percayalah, klo masak emang awal2 cukup ribet en makan waktu lama tapi kalo uda 'terbiasa' jadi cepet kok, malah bisa sambil 'merem' masaknya ;p huehehehe *lebay!* tapi bener, berlaku prinsip 'bisa karena biasa' dalam hal ini :)

Some tips:
- belajar masak yang simple2 dulu, ngecah/numis2/ nge-soup.
- belajar masak makanan kesukaan suami (minta mertua ajarin en kasih tau resep2nya).

Suami juga butuh pakaian yang bersih dan tersetrika rapi. Belajar jadi penolong dalam hal2 kecil seperti mempersiapkan baju kerja suami (kemeja, celana, kaos kaki, dasi), sudah siap ketika dia mandi. Jangan sampe kaos kaki cuma ada sebelah, yang sebelah lagi jadi 'emutan' anjing peliharaan.

Suami butuh rumah yang cukup nyaman untuk ditinggali. Asal ada rumah yang cukup bersih untuk tetap menjadi sehat, suami akan happy2 aja kok. Pria itu biasanya 'gak punya tuntutan super duper tinggi' kayak rumah kudu selalu super kinclong sampe gak ada debu sedikitpun or bisa sambil ngaca di ubin yang mengkilap *duh ngapain juga ngaca di ubin gitu heh?* Jangan lupa menciptakan atmosfer yang 'homey' buat suamimu! Itu yang terpenting. Rumah yang jadi tempat istirahat, a place of sanctuary. (Bacaan lebih lanjut: Making A HOME)

Suami juga butuh keintiman fisik (baca: sex)
Kebutuhan sex pada pria lebih besar daripada wanita so jangan kaget kalo suami menginginkan frekuensi sex yang lebih sering. itu normal dan we need to answer his sexual needs.

2. His Social Needs
Suami butuh companion, someone who he can share his joys and sorrow, successes and failures, fears and dreams. Istri bisa menjawab kebutuhan ini dengan terus menjadi his bestfriend yang give support, lots of encouragements dan juga advice when he needs it. 

Dan jangan lupa juga kalo suamimu tetap butuh 'teman-teman pria'-nya sama seperti kamu juga butuh teman2 wanitamu so jangan 'kekang' dia kalo dia mau pergi olahraga dengan teman2nya main bola atau bulu tangkis or yg lainnya (tentunya dengan frekuensi yg normal).

3. His Deepest Need of Respect and Trust
Pria butuh melihat bahwa istrinya menghargai dirinya as a leader dengan bersikap respect dan submit sama suaminya. Sekalipun mungkin si istri punya gaji lebih besar or punya background 'anak orang kaya' yang beda jauh dengan kondisi ekonomi keluarga suami. Tell your husband that you love him not only with words but with acts of respect.

"You are a good man! A good husband. I am so proud to be your wife!"
"Saya ngrasa diberkatiiiiiii banget punya suami kayak kamu yang mau nolong saya kerjain house chores."

// Respect
- gak ngomong dengan nada 'bossy2' ke suami.
- gak koreksi perkataan or tingkah laku suami dengan sikap I-am-wiser-than-you.
- gak kasih masukan/kritik/advice dengan sikap 'menggurui'.
- gak menceritakan 'peristiwa memalukannya' sebagai bahan ledekan khususnya pas lagi kumpul sama temen-temen.
- gak 'ember' ceritain kelemahan dia khususnya ke sembarang orang/yang gak tepat.
- minta izin/approval dari suami klo mau pergi2 (inget, kamu bukan single lagi) atau mau beli barang yang harganya cukup mahal.
- appreciate and be thankful for his hardwork.
- be thankful for his efforts to find and buy something as your gift (Eventhough barangnya gak sesuai 'seleramu', namanya juga pasangan baru, butuh pengenalan terus-menerus yah...).
- etc

// Trust
- he needs you to trust him, sekalipun dia pernah gagal dalam make a good decision for the family, sekalipun dia juga sempet gagal dalam mengembangkan bisnisnya, sekalipun dia gagal dalam menangin proyek or dapetin customer 'kelas kakap'. Tetaplah percaya bahwa dia mampu, suatu kali akan sukses, suatu hari bakalan berhasil. Terus dukung suamimu, setia di sampingnya... Dalam suka maupun duka, dalam miskin maupun kaya... Dalam keadaan apapun juga :) itu kan yang jadi bagian 'wedding vow'-mu?

Belajar nikmati menjalani role barumu sebagai seorang istri. Inget... istri = penolong = helpmeet = help (to) meet his needs.

Nanti responsibility tentunya akan bertambah dengan bertambahnya 'status' kamu (baca: as a mom) tentunya dengan level 'sacrifice' yang lebih tinggi :)

Jangan nyerah... Belajar... Belajar dan terus punya hati mau belajar (dan diajar).

Tuhan mengurapi kamu untuk menjadi penolong buat suamimu! Kamu dimampukan dan diberi kasih karunia. Teruslah belajar mengandalkan Tuhan. Biarkan hatimu terus diisi dan dipenuhi oleh Kasih Yesus sehingga kasih itu yang bisa kamu alirkan untuk suamimu.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang penulis.

Lia lahir di Jakarta 30 tahun yg lalu. Sekarang berdomisili di Thailand bersama suami dan ketiga anaknya. Kerinduannya adalah menjadi "a simple Christian with a BIG impact". 

Wednesday, July 18, 2018

Spiritual Mothering


by Lia Stoltzfus

Setiap kita wanita diciptakan dengan kapasitas untuk nurturing yang bukan hanya bisa dipakai ketika kita menjadi ibu secara fisik, tapi juga secara rohani. Susan Hunt, dalam bukunya Spiritual Mothering: The Titus 2 Model For Women Mentoring Women menjelaskan bahwa spiritual mothering berarti menginvestasikan diri dalam hidup orang lain supaya kita bisa membagi Injil serta membagikan hidup kita. Apakah itu artinya kita harus menjadi sempurna dulu? Tentu tidak. Syaratnya cuma satu: as long as you keep following Christ, kamu bisa menjadi seorang mentor, pembina, ibu rohani bagi orang lain. 

“Follow me, as I follow Christ.” (Ikutlah teladanku seperti aku pun mengikuti teladan Kristus.) 
(1 Cor 11:1)

Setiap kita dipanggil untuk menjadi MURID KRISTUS dan dalam proses tersebut kita butuh yang namanya a role model: orang yang bisa memberikan keteladanan hidup (menjadi panutan hidup). Titus 2 mencatat bahwa perempuan tua dipanggil untuk mengajar perempuan-perempuan muda: bagaimana mengasihi suami dan anak-anak, hidup bijkasana dan suci, rajin mengatur rumah tangga dan bersikap baik serta taat kepada suami. Dulu sebelum menikah, pas baca ayat ini saya suka bingung. “Lho, kenapa harus mendidik perempuan muda belajar mengasihi suami dan anak-anak mereka yah? Bukankah itu sudah otomatis?” I thought it comes naturally, but I was wrong! Gak gampang loh, yang namanya belajar tunduk, belajar respek sama suami dan menjadi seorang mama, itu sungguh tidak mudah! Saya butuh seseorang yang sudah berjalan di depan saya yang bisa jadi role model, teladan, dan bersedia berbagi wisdom dan mengajarkan saya bagaimana untuk menjadi isteri dan ibu yang bijak. 

// Sebuah teladan berbicara lebih kuat daripada 1000 kata-kata 

Setiap kita adalah perempuan muda yang harus belajar “duduk diam di bawah kaki seorang mentor” dan, di saat yang sama, dalam perjalanan pertumbuhan kita juga bisa berfungsi sebagai seorang mentor. Jangan takut untuk mulai mengajar, membina, memimpin, menyemangati, dan berbagi hidup dengan orang lain! Justru dengan kamu belajar melangkah dengan iman, mengambil tanggung jawab dalam hidup orang lain, kamu akan semakin terpacu untuk bertumbuh. 

"As iron sharpens iron, so one person sharpens another."
(Proverbs 27:17)

Hidupmu akan lebih tertantang dan terasah. Kepekaan dan hikmat akan juga semakin tajam karena dipakai untuk membangun tubuh Kristus, untuk membangun hidup orang lain. Percayalah, dengan fokus terhadap amanat agung dan memuridkan jiwa-jiwa, hidupmu akan terus berapi-api. 

So, gimana sih untuk start menjadi ibu rohani/mentor untuk orang lain? 

1. PRAY 
Doa tanya Tuhan dan minta Dia tunjukkan kepada siapa Tuhan mau kamu menginvestasikan waktu dan hidupmu. 

2. LOOK AROUND 
Lihat sekelilingmu, ada gak perempuan-perempuan muda, adik kelas, tetangga, atau teman yang suka minta pendapat dan juga express herself kalau ia haus dibina, punya hati yang mau belajar, dan open for relationship. 

3. TAKE INTEREST in THEM 
Pemuridan atau mentoring baru akan berhasil kalau ada hubungan secara natural, artinya kedua belah pihak mau buka diri, mau inisiatif, mau bayar harga, mau submit, mau belajar dan diajar. Mulai perhatikan hidupnya, kasih dorongan, semangat, kata-kata encouragement dalam area-area hidupnya. Banyak tanya, banyak “gali”, belajar untuk mengenal lebih dalam dan yang paling utama... belajar MENDENGAR. 

4. START with BIBLE GROUP 
Fondasi utama yang harus dibangun dalam sebuah healthy mentoring relationship adalah FOCUS ON CHRIST. Firman Tuhan harus jadi dasar dan pusat. Jangan investasi dalam hidup orang yang belum siap atau belum mau komitmen membangun hidup mereka dalam firman Tuhan. Sebagai mentor yang baik, kita gak mau anak rohani kita punya unhealthy bonding, ada masalah dikit-dikit kabur cari kita. Kita mau melatih mereka mencari Tuhan, menemukan prinsip-prinsip kebenaran firman, mendorong mereka untuk taat terhadap firman. Jadi kalau sudah ketemu beberapa orang untuk dimentor, tanya mereka, ajak mereka, “Eh, kamu mau ga, ikut bible group? Mau gak komit baca Firman Tuhan bersama?” Itu syarat utama sebagai seorang murid. Mungkin awalnya berat, tapi di situlah kamu bisa mulai berfungsi. Menyemangati, menolong mengingatkan supaya mereka komitmen baca firman Tuhan setiap hari. Kamu bisa membentuk group secara online dengan aplikasi yang kalian sepakati, entah itu FB group, IG group, LINE group atau WA group, yang penting setiap hari bisa share apa yang didapatkan lewat pembacaan Firman Tuhan. Setiap hari lewat group bible kamu bisa punya kesempatan untuk menyemangati anak-anak rohanimu, mengomentari postingan mereka, memberi pengajaran, memberi tambahan masukan. Yang pasti, ini gak akan hanya menjadi satu arah saja. Kamu pun sebagai mentor akan diberkati dengan kekayaan firman yang anak rohanimu share. Dan karena ini secara online, jadi mudah untuk “ketemu” tanpa harus meninggalkan kesibukan/pekerjaan masing-masing. Kalian hanya membalas atau berinteraksi in your own convenient time. Buat kalian yang tertarik untuk membangun Group Bible dan mau tau bagaimana lebih detail, bisa hubungi saya lewat email ini lia_soc@yahoo.com.

5. Regular Real Meeting / FELLOWSHIP or One on One. 
Lewat group online, kita bisa share knowledge, God’s wisdom and truth dan juga sharing kesaksian hidup. Tapi jangan lupa bahwa mereka juga butuh melihat hidupmu secara langsung. Mereka perlu melihat keteladananmu, bagaimana kamu mempraktekkan firman. Undang mereka untuk datang ke rumah, menginap, atau ketemu secara langsung. 

Gak ribet kan? Yang penting mau buka hati. Bagian saya adalah buka hati, dan bagian Tuhan adalah buka jalan. Yang penting rindu dulu, mau dulu. “Iya, Tuhan, aku mau jadi berkat... Aku mau hidupku berdampak... Aku mau ambil tanggung jawab untuk memberkati hidup orang lain.” Setelah kita berdoa demikian, lihat deh gimana Tuhan buka jalan.

Oke, selamat jadi berkat untuk orang lain. Hidupmu ditentukan untuk memberi dampak. Keep walking with the King!

Monday, July 16, 2018

Kesalahan Seorang Istri


by Grace Suryani Halim

Sebagai istri,
Kita merindukan suami yang mau menjadi imam dalam keluarga.
Namun ketika suami kita menegur kesalahan kita dan mengingatkan kita, kita marah dan berkata, “Kamu pikir kamu Tuhan? Kamu juga masih blablabla” (dan kita membeberkan semua kesalahan dan dosa-dosanya).

Kita mengharapkan suami kita menjadi pemimpin,
Namun ketika ada masalah dan suami kita menetapkan suatu keputusan, kita berpikir bahwa keputusannya kurang pas/kurang baik/kurang tepat/kurang efisien/kurang memikirkan orang laen dan kita mengatakan bahwa keputusan kita lebih baik daripada keputusannya.
Ketika di lain waktu ia memimpin suatu kelompok, kita mengkritik gaya kepemimpinannya.

Kita mengharapkan suami yang peduli,
Namun ketika ia menunjukkan concern-nya atas banyaknya aktifitas kita, kita marah dan berkata bahwa ia tidak punya hak membatasi pergaulan kita. 

Kita mengharapkan suami kita berinisiatif,
Namun ketika dia mengusulkan sesuatu, kita menganggap usulannya tidak sebaik solusi kita.
Ketika ia mencoba usulan yang lain, kita bilang bahwa kita tidak harus menuruti semua perintahnya.

Kita mengharapkan suami kita banyak bercerita kepada kita,
Namun ketika ia bercerita tentang masalah di kantornya, kita langsung mengomentari dan berkata, “Yah gitu aja kok jadi masalah sih...”, dan sibuk membeberkan solusi terbaik di dunia menurut kita.

Kita mengharapkan suami kita membantu pekerjaan rumah,
Namun ketika ia membantu kita mencuci pirang, kita berkata bahwa piring yang dicucinya tidak bersih, cara mencucinya boros air dan ia tidak menaruh piring dan mangkok pada posisi yang seharusnya.
Ketika di laen waktu ia berinisiatif membantu kita membereskan rumah, kita ngomel-ngomel karena ia tidak menaruh remote control di tempat kita biasa menaruhnya.

Kita mengharapkan suami kita punya selera humor yang baik,
Namun ketika dia bercanda, kita bilang bahwa jokenya tidak lucu dan jayus.

Kita mengharapkan suami kita lebih aktif dan membantu kita mengasuh anak-anak,
Namun ketika bayi kita menangis di dalam gendongan suami, kita buru-buru mengambil bayi kita dan menenangkannya tanpa memberi kesempatan kepada suami kita untuk belajar memenangkan si bayi.
Ketika di lain waktu, ia mencoba untuk mengganti popok, kita menertawakannya dan bilang bahwa popoknya tidak rapi.
Ketika di lain waktu, ia mencoba menyuapi si bayi, kita bilang dia nyuapinnya lama dan berantakan.

Kita mengharapkan suami kita mengambil peran dalam mendidik anak-anak,
Namun ketika ia menegor anak-anak, kita berkata bahwa dia menegor anak-anak dengan terlalu keras dan membuat mereka terluka.
Ketika ia melarang anak-anak melakukan sesuatu, kita bilang bahwa ia tidak mengerti keinginan anak-anak.

Kita mengharapkan suami kita mendapat promosi dan kenaikkan gaji,
Namun ketika ada acara di kantor atau dia bekerja lembur, kita ngomel dan berkata, “Kamu kok kerja terus sih?!?! Jangan jadi workalholic donk. Inget sekarang dah punya anak istri.” (padahal salah satu alasan dia bekerja keras karena dia INGAT dia punya anak istri).

Kita berharap suami kita membawa kita masuk ke dalam kehidupannya,
Namun ketika ia mengajak kita pergi ke acara kantor, kita menolak dengan alasan teman-teman kantornya sinis dan ngga asik.

Kita mengharapkan suami kita lebih mengasihi kita,
Namun ketika suami kita mengajak kita berduaan, kita bilang, “Aduh aku cape...”

Dan setelah semuanya terjadi,
Kita mengeluh dan merasa kenapa suami kita tidak pernah menjadi memimpin keluarga di dalam Tuhan, pasif, pendiam, jarang bercerita, sibuk sendiri nonton bola, cuek dengan pekerjaan rumah tangga, tidak pernah memeluk anak kita dan jarang menghabiskan waktu dengan anak-anak.

Kita mengeluh dan berkata, “Yah suamiku payah...” dan mulai membanding-bandingkan dia dengan suami teman kita/saudara kita/tetangga kita, “Tuh coba kamu liat si X, dia blablablabla...”

Di dalam hati kita bertanya-tanya, kemana pria gagah yang selalu mengambil inisiatif, pemimpin yang dihormati, punya segudang ide, selalu bercerita tentang banyak hal, singkatnya pria mengagumkan yang kita lihat di dalam diri suami kita sebelum kita menikahinya.

Lalu kita pun mengeluh kepada teman-teman wanita kita, “Ah cowok kalo udeh married beda.”

Tanpa kita sadar bahwa kita pun berbeda. Tak lagi mengaguminya, tak lagi mendukung idenya, tak lagi menghormatinya, tak lagi menganggapnya pintar.

Lalu kita melakukan berbagai cara untuk membuat suami kita berubah.
Tanpa kita sadar bahwa kita pun perlu berubah.

Dan setelah mencoba berbagai cara dari sindiran yang halus, omelan yang pendek, mengeluh tiada henti, sampai maki-maki yang kasar akhirnya kita menyerah dan berkata, “Yah, cowok mah emank begitu...”

***

Tuhan tau bahwa sebagai istri, kita merindukan suami yang menjadi pemimpin, berinisiatif, pelindung bagi keluarga, mengasihi istri dan anak-anak. Dan Tuhan pun menanamkan kerinduan yang sama di dalam hati suami kita untuk menjadi seperti itu.

Namun seringkali, kita yang menggagalkannya menjadi pria yang kita inginkan, hanya karena ia tidak melakukannya seperti yang kita mau.

Tuhan tau bahwa kita rindu punya suami yang akan memimpin keluarga, karena itu Ia memberikan perintah supaya kita tunduk kepada suami kita.

Namun kita berkata bahwa perintah-Nya itu tidak up-to-date dan maksud perintah itu ditulis hanya cocok untuk zaman itu atau bahwa makna kata itu di dalam bahasa aslinya tidak seperti itu.

***

"Isteri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya."
(Amsal 12:4)

"Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya."
(Amsal 31 : 10-12)

Friday, July 13, 2018

Yang Rukun, Masbro, Mbaksis


by Glory Ekasari

Beberapa hari ini aku terus-terusan diingetin tentang kasih dalam tubuh Kristus, dan tiap kali, ada aja hal baru yang Tuhan ajarin ke aku. Kemaren bacaan Alkitabnya dari Kolose 3:8-17, tapi aku kecantol di ayat 15, jadi aku ublek-ublek ayat itu. Gimana sih, ublek-ublek ayat? Silakan baca post sebelumnya. Ini ayatnya:

“Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.”
(Kolose 3:8-17)

Awalnya aku sempat bingung karena merasa ga dapet logika kalimatnya. Tapi setelah direnungkan, liat ayat yang sama dalam versi lain, mikir lebih ekstensif, inilah hasil perenungan dan pembelajaran semalam.


// KITA DIPANGGIL UNTUK HIDUP RUKUN

Adalah rahasia umum bahwa dalam gereja sendiri ada masalah dengan kerukunan. Padahal, “Untuk itulah,” kata Paulus, “kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh.” Untuk apa? Untuk hidup berdamai satu dengan yang lain! Aku kemaren baca quote-nya Mark Driscoll: “Saying, 'I love Jesus, but not the church” is like saying, “I love my adoptive father, but I don’t care about the rest of the family.'” Ga bisa dong.

Kita dipanggil untuk menjadi satu tubuh. Kita harus terima kenyataan bahwa orang lain beda dengan kita, ada sifat mereka yang ‘sulit’, tapi kita dan mereka adalah satu tubuh. Kalo dipisah, bakal koyak! Paulus pake metafor yang bagus: tubuh. Anggota tubuh ga bisa saling bermusuhan; mereka harus saling mendukung. Waktu mereka ga saling mendukung, tubuh jadi disfungsional, dan kita mengeluh, “Aku sakit.” Sakit artinya ga sehat; tubuh ga berada dalam kondisi normal. Demikian juga anak-anak Tuhan yang ga saling mendukung, mereka ga berada dalam kondisi normal.

Istilah “dipanggil menjadi satu tubuh” juga perlu diperhatikan. Mungkin selama ini kita pikir panggilan = profesi. Tapi ini lebih dari sekedar kegiatan: panggilan kita adalah untuk menjadi satu, satu tubuh yaitu tubuh Kristus. Kerjasama. Saling mendukung. Rukun. Kita dipisahkan dari dunia untuk masuk dalam persatuan anak-anak Allah. Jadi, seperti ada orang yang dipanggil jadi misionaris, businessman, dll, kita semua dipanggil untuk jadi satu tubuh yang saling mendukung, harmonis dan rukun, damai satu dengan yang lain.


// DAMAI SEJAHTERA KRISTUS

Tapi kenyataannya, orang-orang kristen berselisih satu dengan yang lain. Mengapa begitu? Dan gimana biar ga begitu? Paulus bilang, “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu.”

Ga ada cara lain, kita harus memiliki damai itu. Kalo orang dari dalemnya ga ada damai, gimana dia mau damai sama orang lain? Aku jadi inget analogi kapal yang dipake C. S. Lewis. Sekarang pertanyaannya, sudahkah damai ada dalam hati kita? Ada dua hal penting yang aku perhatikan di dalam bagian ini.
  • Damai sejahtera yang dari Kristus 
  • Damai itu memerintah dalam hati kita. 

1. Kita ga bisa berdamai kalo damai itu dibuat-buat atau damai dari diri kita sendiri. 
Istilah “damai” buat manusia itu maksudnya biasanya begini: “Gue ga ganggu elu, lu juga jangan ganggu gue.” Itu bukan damai, cuy, itu mah individualisme. Berdamai sama orang lain versi Alkitab itu berbuat baik pada dia, memperhatikan keadaannya, tolongin waktu dia susah, doain dia, dan semua yang baik-baik itu – lepas dari perlakuan orang itu terhadap kita. Nah, yang seperti itu datangnya bukan dari dunia atau diri kita sendiri, tapi dari Kristus. Tanpa Dia, orang ga bisa berdamai dengan Allah. Dan kalo ga bisa berdamai dengan Allah, mana ada damai sejati di hatinya? Kalo ga ada damai sejati, gimana bisa mengasihi dan hidup berdamai dengan orang lain?

2. Damai itu memerintah.
Aku sadar ini adalah hal yang ga biasa buat pemikiran orang dalam generasiku. Seperti apa itu damai yang memerintah? Ini, saudara sekalian, adalah pekerjaan Roh Kudus. Inget dong, apa yang Paulus bilang tentang buah Roh? Paulus mengkontraskan buah Roh dengan perbuatan daging – yaitu natur kita, manusia, yang berdosa. Lalu dia bilang begini, “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (Galatia 5:25). Roh Kudus sanggup menguasai seseorang yang telah menyerahkan hidupnya kepada Kristus, menguasai hati dan perasaannya, memberikannya kasih dan damai sejahtera yang “melebihi segala akal.” Terpujilah Tuhan!


// “HENDAKLAH!”

Kalo itu semua pekerjaan Tuhan, kenapa kita yang diperintah? Kok jadi “mengalihkan tanggung jawab”?

Sama sekali bukan. Masalahnya, seringkali kita ribut sama orang lain bukan karena kita tidak bisa menahan diri, tapi karena kita pengen ribut aja, alias egonya terganggu. Kita perlu menginginkan perdamaian. Bahasa Alkitabnya malah lebih keras lagi: Kejarlah, Usahakanlah! (2 Timotius 2:22, Roma 12:18).

Penting sekali buat kita untuk sadar bahwa kalo kita ga mengejar perdamaian, ga mengampuni orang yang salah sama kita, ga mau mengalah, apalagi cari ribut (?!), kita sedang menyebabkan disfungsi dalam tubuh Kristus! Paulus bicara dengan keras kepada orang-orang yang menyebabkan perpecahan di Korintus: “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan (menghancurkan) Bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia; sebab Bait Allah adalah kudus, dan Bait Allah itu ialah kamu.” Ini keras! Setiap kita, yang tidak mengusahakan perdamaian dalam tubuh Kristus, bersalah untuk hati yang keras itu. Karena itu Paulus menulis pesan ini dalam bentuk imperatif; ini bukan tentatif, bukan kalo kita lagi pengen aja, bukan kalo mood kita lagi bagus; tapi HARUS, apapun yang terjadi.


// BERSYUKURLAH

Yang uda bertahun-tahun jadi Kristen, aku mau tanya, kapan terakhir bersyukur karena kalian adalah anggota keluarga Allah? Kapan terakhir bersyukur buat gerejamu, buat komunitasmu, buat saudara-saudari seimanmu?

Begitu kenal saudara-saudara se-Bapak, jadi susah ya, mengucap syukur? Liat kekurangan mereka – yang kadang-kadang kebangeten, liat kelemahan dan kebodohan yang dilakukan anak-anak Tuhan, rasanya ga bisa deh bersyukur. Rasanya terlalu banyak yang harus diperbaiki, sampe-sampe ga kliatan lagi apa yang bagus.

Tapi mari kita belajar dari Paulus. Paulus hampir selalu mengawali suratnya dengan pernyataan bahwa dia bersyukur atas keadaan jemaat yang ia kirimi surat (kecuali kalo dia lagi buru-buru mau ngomong sesuatu yang penting). Jemaat Korintus, salah satu jemaat yang paling amburadul, menerima salam ini dari Paulus:

“Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segalah hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus yang telah diteguhkan di antara kamu.”

Dalam jemaat yang kacau seperti itupun Paulus masih menemukan alasan untuk bersyukur. Gimana dengan kita? Apa kita ga bersyukur bahwa orang di kanan kiri kita di gereja sudah diselamatkan? Bersyukurkah kita karena ada saudara kita yang mau melayani Tuhan di gereja? Bersyukurkah kita bahwa kita punya komunitas yang terus mengingatkan kita tentang Tuhan (lewat kebaikan maupun keburukan mereka)?

“Bersyukur” pun ditulis dalam bentuk kalimat perintah. “Dan, bersyukurlah.” Buka mata untuk lihat apa yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, lihat apa yang Tuhan kerjakan dalam hidup saudara-saudari kita. Bersyukurlah.

***

Tentu melakukannya lebih susah dari menulisnya. Tapi kalo kita ga melakukan ini, kita melukai tubuh Kristus, tubuh Dia, yang katanya kita cintai. Kristus adalah kepala, kita adalah tubuhNya. Kalo kita sayang Tuhan Yesus, kita akan mau belajar mengasihi tubuhNya juga: saudara-saudara seiman kita. Akhir kata...

“Berbahagialah orang yang membawa damai,
karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
– Yesus

Wednesday, July 11, 2018

When Two Pray



by Stephanie Gunawan

Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.
(Matius 18: 19-20)

Di hari Minggu yang cerah, seusai ibadah, Jessica dan Vina sedang sama-sama menikmati mie ayam yang ada di seberang gereja. Keduanya memang dekat sejak masih di bangku SMA. Mereka sering berbagi cerita dan saling memberi nasihat. Kali ini, tampaknya Jessica sedang galau dan ingin bercerita pada Vina.

Jessica: Vin, gue mau cerita nih... *wajah galau*

Vina: Mau cerita apa Jes? Tentang si doi yaaa?

Jessica: Iya, Vin. Gue bingung...

Vina: Bingung kenapa?

Jessica: Selama ini kan gue udah pacaran sama si Dhanu, dan Dhanu udah mulai ngomongin soal pernikahan. Gue rasanya... bimbang gitu... Dhanu sih oke. Kita sering sharing firman Tuhan, cerita soal pelayanan kita masing-masing, kerjaan kita, teman-teman kita, keluarga kita, yah sudah hampir semuanya kita ceritakan. So far, gue melihat dia kandidat yang oke.

Vina: Lalu?

Jessica: Tapi, apa pernikahan adalah langkah yang tepat untuk kami sekarang? Ini kan keputusan sekali seumur hidup, Vin. Gue gak mau salah bikin keputusan. Tapi gue juga gak berani memutuskan, karena gue tau gue gak sempurna. Gue orang yang berdosa. Pasti bisa aja gue membuat keputusan yang salah. Rasanya gak mantep, Vin. Padahal gue udah berdoa lho sama Tuhan Yesus... Gue tanya dalam doa gue, apakah menikah dengan Dhanu adalah keputusan yang tepat, apakah itu yang Tuhan Yesus inginkan bagi gue... Tapi, kayanya gue kok clueless yah kali ini. Gue gak merasa dengar jawaban Tuhan. Gue gak tau Tuhan maunya apa.

Vina: Hm... Apakah lu udah pernah berdoa berdua sama Dhanu, mendoakan hal ini?

Jessica: Berdoa berdua? Yang bener, Vin? Memangnya perlu yah berdoa berdua?

Vina: Ya iyalah Jes. Kalian perlu banget berdoa bersama, berdoa berdua. Keputusan ini bukan cuma penting untuk lu doank, tapi juga penting untuk Dhanu. Saat kalian berdoa bersama, kalian bisa saling memberkati, saling menguatkan, saling menjaga dan saling menambahkan iman kepada Yesus Kristus.

Jessica: Maksudnya? Gue belum pernah lho berdoa berdua sama seorang cowo, apalagi kalau cowo itu pacar gue.

Vina: Maksudnya gini... Kalian bisa saling memberkati. Lu bisa doakan Dhanu agar dia diberi hati yang bersukacita di dalam Yesus, sukacitanya penuh di dalam Yesus. Lalu, supaya Dhanu selalu mengutamakan cinta akan Yesus daripada cinta akan yang lain, bahkan cintanya ke elu, Jes. Inget Galatia 1:10

"Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus."

Doakan juga supaya Dhanu sehat, aman dalam perlindungan Tuhan. Bukankah itu memberkati Dhanu? Kemudian, kuatkan dia juga saat imannya melemah. Kalau dia sedang cape, gak sempet baca Alkitab, lu doakan agar Tuhan Yesus yang menyegarkan roh Dhanu. Minta agar Dhanu semangatnya menyala-nyala dalam mencari Yesus, kerinduannya akan Yesus terus bertambah. Doakan agar Dhanu bisa menyelesaikan semua tugas pelayanannya dengan baik. Yang ini inget Roma 12:11

"Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah Rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." 

Kuatkan dia, Jes. Berdoa bersama juga bisa membantu kalian saling menjaga. Jes, gue tahu gak mudah pacaran zaman sekarang. Kita selalu punya kesempatan untuk berduaan sama pacar kita. Buntut-buntutnya, pacaran kita bisa gak kudus. Bahaya kan? Makanya, saling mendoakan agar Tuhan Yesus jagain pikiran kita. Jangan mikirnya yang ngga-ngga, maunya deket secara fisik terus. Tuhan Yesus aja bilang di Matius 26:41.

"Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah."

Jadi, mendingan pas berduaan itu, kalian gunakan waktunya untuk berdoa bersama. Lebih baik kan? Nah, kalau sudah berdoa demikian, pasti deh kalian semakin beriman pada Yesus. Kalian tahu, bahwa satu-satunya sumber kekuatan dan penghiburan kalian ada pada Yesus, bukan pada pasangan masing-masing. Ibrani 12:2

"Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah."

Jessica: Oh, gitu yah Vin.. Terus, lu sendiri selama ini berdoa bareng Kenny?

Vina: Iya Jes. Sejak pacaran, gue udah berdoa bareng Kenny. Gak dari awal-awal sih. Tapi sejak kami lebih serius berpikir tentang pernikahan, gue ajak Kenny berdoa. 

Jessica: Lho? Bukannya mestinya Kenny yang ngajak yah? Setau gue, cowo yang harus lebih memimpin.

Vina: Ya betul, memang sebaiknya cowo yang memimpin. Saat itu, gue diberi tahu oleh kakak rohani gue. Terus gue cerita sama Kenny. Gue bilang, “Ken, tadi aku telponan sama kakak rohani. Dia ingatkan kita untuk berdoa bersama, agar kita saling menjaga satu sama lain, supaya kudus hubungannya. Dia bilang sangat penting untuk berdoa bersama.” Kenny setuju tuh, Jes. Setelah dia setuju, baru deh gue tanya, “Kenny, maukah kamu yang memimpin doa bersama kita?” Kenny pun mau. Jadi, dia punya kesempatan melatih dirinya menjadi imam di keluarga kami nantinya. Hati juga tenang kan kalau tahu calon suami kita mau berdoa dan mengandalkan kekuatan Tuhan Yesus dan bukan kekuatannya sendiri?

Jessica: Oh begitu yah... Iya betul, Vina. Gue juga ingin punya calon suami yang menjadi pemimpin rohani di keluarga gue nantinya. 

Vina: Nah, lu yang berikan kesempatannya, Jes. Izinkan Dhanu latihan memimpin doa kalian.

Jessica: Oke, Vin! Terus, sekarang setelah married sama Kenny, apakah kalian masih berdoa bersama?

Vina: Ya tentu donk, Jes. Sangat mudah bagi kami meneruskan kebiasaan berdoa bersama ini. Sebelum tidur, pasti kami berdoa bersama. Sebelum Kenny berangkat kerja, kami juga berdoa bersama. Kami selalu ingat ayat yang kami pasang di undangan pernikahan kami. Lu inget donk Jes, ayatnya? Kan gue bagi lu satu. Hehe...

Jessica: Iya, iya gue inget! Ayatnya dari... Mazmur 127:1. Bunyinya "Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya." Betul kan?

Vina: Betul! Ternyata ada orang yang membaca undangan pernikahan gue dengan seksama. Haha. Gitu Jes, gak mungkin rumah tangga gue bisa berjalan dengan lancar tanpa Tuhan Yesus. Ada banyak hal baru yang harus kami sesuaikan, ada miskomunikasi yang terjadi, ada perubahan rencana yang kami tidak duga. Semua hal itu bisa bikin kesal dan akhirnya bisa bikin kami berantem. Tapi, saat kami ingat ayat itu, kami ingat kami harus berdoa. Kami bawa semua pergumulan kami ke dalam doa pada Tuhan Yesus. Setelah doa, perasaan jadi lebih lega. Kami tahu kepada siapa kami mempercayakan masalah dan pergumulan kami. Kepada Yesus, Jes!

Kami juga selalu bilang dalam doa kami bahwa kami mengundang Yesus untuk hadir di tengah-tengah keluarga kami. Pokoknya our house is HIS house. Tuhan Yesus boleh ikut campur sepenuhnya, Tuhan Yesus selalu diterima pendapat-Nya. Yesus adalah bagian dari keluarga kami. Kehadiran-Nya sangat kami harapkan. Kami ingin terus berkomunikasi dengan-Nya melalui doa dan baca Alkitab bersama. Tenang deh kalau mengandalkan Tuhan Yesus sebagai pemimpin hidup kami.

Jessica: Enak yah kaya gitu.

Vina: Iya Jes. Memang damai kalau begitu. Nah, sekarang kebayang gak kalau lu married nanti,  suami lu gak mau diajak doa bareng ke Tuhan Yesus?

Jessica: Wah... pasti gue sedih banget, Vina. Gue mau punya pernikahan yang mengandalkan Tuhan Yesus. Tapi, kalau suami gue gak mau berdoa bareng, berarti gue berdoa sendiri donk?

Vina: Yah sepertinya begitu... That’s why... sekarang coba deh ngobrol sama Dhanu. Ajakin dia doa bersama. Siapa tahu saat kalian doa bersama, Tuhan Yesus juga semakin menunjukkan kehendak-Nya bagi kalian berdua. Lu bisa tahu apakah memang menikah dengan Dhanu merupakan hal yang diinginkan Yesus buat lu. Yeremia 33:3

"Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui."

Jessica: Iya, nanti gue ajakin Dhanu doa bareng ya. Jadi semangat, nih!

Vina: Sip deh Jessica. Nanti, kalau persekutuan doa kalian berdua semakin kuat, kalian juga akan siap berdoa bagi orang lain. Kalian bisa berdoa untuk keluarga besar kalian, untuk teman-teman yang sedang mengalami pergumulan, dan juga untuk negara tercinta kita, Indonesia.

Jessica: Wuih, gak kepikiran ya. Tadinya gue pikir berdoa berdua cuma untuk hubungan kita ini aja. Tapi bisa menjadi doa syafaat bersama, ya?

Vina: Yup! Betul, Jes. Gue percaya Tuhan Yesus mendengar doa anak-anakNya yang sungguh – sungguh memanggil nama Dia. Met mencoba yah, my sista! God bless you!

Monday, July 9, 2018

Tuhan, Tolong Ubahkan Suamiku!


by Natalia Setiadi 

Pernahkah berdoa begitu?

Saat ini saya lagi naikkan doa itu, sampe nungging2. Bukan buat saya sendiri, tapi dalam rangka mendukung seorang teman yang lagi memperjuangkan pernikahannya yang gonjang-ganjing.

Ini memang zaman edan ya. Ada yang setengah gila mengejar harta. Ada yang merana haus kasih sayang. Ada yang setengah mati mencari pengakuan. Ada trend menggaet berondong di kalangan ibu2 rumah tangga, ada juga trend selingkuh ria di kalangan bapak2 pekerja. Ada lagi yang berkutat sama kecanduan (narkoba lah, alkohol lah, seks lah, judi lah, game lah, dll lah). Ada macem-macem lah...

Benerkah suami harus berubah?

“Ya JELAS lah...! Mau sampe kapan adem ayem di kerjaan sekarang yang gajinya pas-pas-an, sedangkan ini anak-anak makin gede, inflasi selangit, biaya hidup makin naik!”

“Harus berubah dong, udah umur segitu masa masih juga hobi main game, kumpul-kumpul sama temen2, asik menikmati idup sendiri... Woiiii, inget anaaakkk istriiiii, sadar woi! Sadaarr!!”

“Pengennya suami bisa berubah, soalnya selama ini saya udah bersabar sampe kering, udah gak kuat lagi... Gimana masa depan rumah tangga, anak2, kalo suami masih mabuk dan judi...” 

“Heh, elo nanya yang bener ya! Orang lagi galau gini, gua parang juga lo entar!” >:-{

Maap... maap... 

Ya, saya SETUJU sekali bahwa para suami yang punya masalah2 seperti di atas KUDU HARUS MUSTI berubah. Apalagi yang masalahnya “sangat serius” seperti KDRT, kecanduan narkoba, dan sejenisnya. Bukannya masalah lain ga serius, tapi untuk KDRT, kecanduan, rumit dan absolutely SANGAT PERLU intervensi dari pihak-pihak yang berkompeten.

By God’s grace, saya juga belom pernah ngalamin hal-hal yang saya sebut di atas. 

Yang saya pernah alamin adalah (naaaah, mulai buka-bukaan, yihaa... seru nih... silakan pada lanjut baca untuk memuaskan hasrat ke-kepo-an :P): 

Saya pernah menggantungkan kebahagiaan saya pada suami. Saya menuntut suami untuk memenuhi seluruh kebutuhan saya, baik fisik, mental, sosial, intelektual, bahkan spiritual.

Hasilnya? Saya terjun bebas dengan suksesnya ke jurang self-pity alias mengasihani diri sendiri dan mendarat di lembah sengsara tiada akhir (kayak tulisan di bak belakang truk ya wkwkwk...)

Saya menyalahkan suami krn saya mikirnya, “Semasa single dulu rasanya saya hepi deh, kenapa abis nikah kok jadi ga hepi ya?!” Dan saya merasa gak disayang karena suami gak punya banyak waktu buat saya, gak ngertiin saya, kurang berusaha menyenangkan hati saya seperti si A, B, C, dst. 

Penyakit kronis para perempuan ya, suka membanding2kan “rumput sendiri” sama “rumput tetangga” dan biasanya sih rumput tetangga yang lebih ijo. Atau berkhayal pingin yang serba romantis dan cihuy seperti “Bella and Edward Cullen” -> FYI saya gak demen pasangan ini, saya ngerasa mereka bad influence, ngasih ilusi yang gak realistis buat anak2 muda khususnya gadis2 yang merindukan cinta dan pasangan... (feel free to disagree :P)

Anyway, karena suami saya adalah suami yang (sangat) baik, awalnya dia berusaha memenuhi semua tuntutan saya. Horeee....!

Udah gitu selesai kah masalahnya?

ENGGAK sama sekali! Karena segera setelah tuntutan awal saya terpenuhi, senengnya cuman sebentar lalu saya segera nemu tuntutan2 baru, yang lebih tinggi dan lebih susah lagi. 

Akhirnya suami end up babak belur TANPA dapet penghargaan buat usaha kerasnya untuk memenuhi kebutuhan saya dan bikin saya hepi. Sementara saya masih berkutat dengan tuntutan-tuntutan saya yang ga mungkin bisa dipenuhi sama suami. Mentok.

Jadi harusnya gimana ya...?

Believe it or not, jawabannya adalah: 

DIRI SENDIRI DULU YANG HARUS BERUBAH. 

Ih. Nyebelin.

“Wong dia yang salah kok saya yang harus berubah? Hello??“ 

(Ini bicara pada umumnya ya, dalam kasus saya mah JELAS kok saya yang salah huehehehe... *tau diri :P*)

Tapi perubahan selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ga bisa menuntut orang lain untuk berubah tanpa diri sendiri berubah duluan!

Seiring dengan perubahan diri sendiri, percaya deh, keadaan akan berubah (atau reaksi kita terhadap keadaan itu yang berubah), dan orang yang kita harapkan berubah juga akan ikut berubah. Prosesnya bisa PANJANG dan LAMA dan SUAKIITTTT.

Saya nyampe di kesimpulan ini juga adalah hasil dari proses yang panjang dan menyakitkan. Bukan cuma soal rumah tangga, tapi juga soal lain-lain secara umum (baca deh ratapan saya di My Desert Journey).

Seperti saya udah pernah bilang, beberapa taun belakangan saya suka banget dengerin program radionya Nancy Leigh DeMoss (www.reviveourhearts.com). Saya diberkati banget, dikuatkan, diubahkan, dan banyak terinspirasi ajaran, sharing, dan kotbahnya. Di beberapa seri tentang pernikahan (klik juga di sini kalo mau liat seri2 yg laen), saya banyak denger kesaksian dari orang-orang yang pernikahannya luluh lantak karena suaminya selingkuh, terlibat pornografi, dlsb, yang berhasil dipulihkan. Semuanya dengan seiya sekata bilang bahwa perubahan DIMULAI dari diri mereka sendiri.

Padahal kalo diliat2 mah jelas suaminya yang salah ya. 

Tapi MEREKA SEMUA MEMULAI PERUBAHAN DARI DIRI SENDIRI (bisa dengan cara memperbaiki diri atau memperbaiki cara mereka bereaksi dan berinteraksi dengan suaminya), baru kemudian suaminya berproses dan lambat laun berubah, dan akhirnya pernikahannya pulih kembali.

Mungkin ga semua masalah bisa selesai dengan perubahan ya. Saya juga ga tau deh, nikah baru mau 7 taun, jadi saya masih sangat hijau dan miskin pengalaman.

Tapi yah saya rasa ini salah satu pilihan yang bagus buat mengatasi masalah dalam rumah tangga. Kalo udah bertaun-taun dilanda masalah, berdoa udah sampe nungging tapi belom ada titik terang, daripada mentok dan putus asa, saya rasa cara ini patut dicoba :)

Heh jadi gimana lanjutan ceritanyaaaa? (:P Biarin aja ah, biar penasaran wkwkwk...)

Setelah dapet pencerahan, saya sadar bahwa suami ngga bisa bikin saya bahagia. LOH? 

Maksud saya, bukan suami yang menentukan kebahagiaan saya. Suami memang wajib memenuhi kebutuhan saya akan cinta kasih, perhatian, duit, dst, atau istilahnya berusaha menuhin “love tank” alias “rekening cinta” saya. Tapi mau bahagia atau enggak, itu pilihan saya. Mau mensyukuri apa yang ada atau mau terus menuntut yang enggak ada, itu pilihan saya.

Hidup punya banyak fase dan musim, kadang di musim tertentu ada keadaan yang ga bisa diubah. Yang saya bisa lakukan adalah mengubah SIKAP HATI dan CARA PANDANG saya, supaya meskipun keadaan lagi ngga menyenangkan, saya bisa tetep positif, penuh sukacita, damai sejahtera, and keep the right attitude. 

Setelah hati dan sikap saya berubah, surprise... surprise... saya bisa melayani keluarga saya dengan lebih baik, saya gak banyak bersungut2 atau banyak tuntutan lagi. Saya lebih hepi, saya lebih bisa nemu kegiatan positif/hobi buat buang stres dan “melakukan sesuatu”. Grup temen2 cewek/persekutuan buat berbagi suka duka, saling menguatkan dan mendoakan juga bikin kita hepi loh. 

Bukan artinya melarikan diri dari masalah ya, tapi saya nyoba utk be happy tanpa menggantungkan diri secara tidak sehat ke suami, membebani suami dengan segala “kerumitan” saya. Jadi misalnya kalo suami lagi suntuk/cape, ya jangan diajak diskusi yang berat2, diskusinya sama temen dulu, ntar kalo suami udah OK baru diskusi yang berat2. 

Dan setelah liat saya berubah, suami jadi hepi, dan lebih pingin spend time bareng saya, karena ga lagi ngerasa dirongrong, ga takut salah atau takut dijutekin lagi :P 

Tuh kan, ikutan berubah loh dia... :)

So, sebelom berdoa “Tuhan, ubahkan suamiku”, yuk kita doa dulu “Tuhan, ubahkan aku...”


Change My Heart O God - Hillsong

Change my heart, oh God, Make it ever true
Change my heart, oh God, May I be like You
You are the potter, I am the clay,
Mold me and make me, This is what I pray.

Jesus oh Jesus, Come and fill your lamb


You let the distress bring you to God, not drive you from him. The result was all gain, no loss.

Distress that drives us to God does that. It turns us around. It gets us back in the way of salvation. We never regret that kind of pain. But those who let distress drive them away from God are full of regrets, end up on a deathbed of regrets.
2 Corinthians 7:9b-10 (MSG) 

Sebab dukacitamu itu adalah menurut kehendak Allah, sehingga kamu sedikit pun tidak dirugikan karena kami. Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.
(2 Korintus 7:9b-10)