Tuesday, September 6, 2016

I Did Nothing

by Alphaomega P. Rambang

Pernah gak sih, kamu did nothing, trus tau-tau ada orang ngasi amplop buatmu dan bilang,”Nih buatmu”, nah...pas kamu buka isinya duit.
What do you feel?
Kalo aku sih, langsung mikir,”GAK SALAH NIHHHHH????”
Iya laaa.....gimana gak mikir gitu wong I DID NOTHING boooo....

Kalo aku melakukan pekerjaan dan aku dibayar, ya biasa aja, wong aku kerja kan, aku PANTAS dapatkan upah dong. Apa yang aku kerjakan sebanding lah ya dengan upahnya....
Kalo aku mengerjakan sesuatu trus dibayar lebih dari yang seharusnya, aku akan berpikir, yeaaahhhh.....aku dapat BONUS nih. Horaaayyyy....\(“,)/ Aku diberi lebih dari yang seharusnya aku terima, coz pekerjaanku dihargai lebih dari aku menilai pekerjaanku.

Nah, kalo aku gak bekerja trus dapat duit, yang kupikir adalah,”GAK SALAH NIH?”.

coz aku ngerasa aku gak pantas menerimanya. Senang sih senang, banget malah, dapat berkat gitu loh ^^V THANK YOU LORD....Mimpi apa aku semalam ya? Hehehehehe.
Oh, betapa ku berdoa TUHAN memberkati orang yang membagikan berkatnya itu padaku dengan berlimpah.
TAPIIIII....tetap aja ada perasaan gak layak *sigh*

Baru saja terjadi.....
Dapat berkat kayak yang aku ceritakan di atas.
Yang kurasakan adalah, aku merasa berhutang pada yang memberikannya.
Dan jadi ingin membayarnya kembali dengan cara bagaimana, entah kapan.
I’ll do anything I can to pay it forward.
SERIUS.
Padahal yang memberikannya tidak ada niat ‘menghutangi’, bahkan mengharapkan balasan :p
I’m sure about this ^^

Hmm.....
Jadi merenung....iya ya, bukankah menerima anugerah keselamatan secara cuma-cuma emang ‘aneh’ bagi banyak orang, makanya banyak orang merasa perlu melakukan perbuatan baik dalam hidupnya untuk menerima keselamatan itu. Padahal udah dibilang:

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Efesus 2:8-9

Kalau keselamatan yang aku terima dari Kristus disebabkan karena aku berbuat baik, maka setelah berbuat baik sajalah aku merasa LAYAK dan PANTAS menerimanya, toh ini kan upah dari perbuatan baikku, itu pikirku. Tapi kenyataannya, saat aku berdosa KRISTUS telah mati bagiku, anugerah keselamatan dariNya diberikan saat aku masih berdosa.

DAN KEBENARANNYA ADALAH, AKU MEMANG GAK PERNAH MELAKUKAN APAPUN YANG MEMBUATKU LAYAK MENERIMA KESELAMATAN INI, AKU GAK LAYAK MENERIMA PENGORBANAN KRISTUS. I DID NOTHING.
KESELAMATAN YANG DIBERIKANNYA 100 % ANUGERAH. PEMBERIANNYA SEMATA.

Aku orang berdosa yang telah menerima anugerahNya secara cuma-cuma. Dan sampai kapanpun aku merasa berhutang pada KRISTUS. Aku tahu, gak ada satu pun yang kulakukan yang dapat membalas kasihNya. Tidak dengan rajin ke gereja, tiap hari baca Alkitab, ato berbuat baik pada orang lain.
No. No. No. Tak terbayarkan.
Selamanya aku berhutang.

Yang bisa aku lakukan selama hidupku hanyalah...
Hidup dalam anugerahNya dan berusaha menyenangkan hatiNya.
Apapun yang menyenangkanNya.

Kalo pergi ke gereja dan bersekutu dengan saudara seiman yang lain menyenangkanNya, aku  akan melakukannya.
Kalo Dia ingin aku berhenti berkata-kata kotor dan menggantinya dengan ucapan yang membangun, baiklah...aku akan coba (harus banyak latihan nih).
Kalo Dia ingin aku memberikan waktuku bagiNya, aku akan memberikannya...
Kalo berbuat baik pada orang lain juga berarti berbuat baik padaNya, aku akan coba melakukannya (meskipun ke beberapa orang rasanya susah melakukannya *sigh*)
Apapun yang Dia inginkan, I’ll try my best lah pokoknya.... (even so hard, hiks....T_T)

Oh, betapa rindu aku menyenangkan hatiNya setiap hari T_T

"Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat." 1 Petrus 1:18-19

*singing*
Bukan dengan barang fana, kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal, tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak, kau menebus diriku
Oleh segenap kasih, dan pengorbananmu
Reff
Ku telah mati, dan tinggalkan, cara hidupku yang lama,
semuanya sia-sia, dan tak berarti lagi
Hidup ini, ku letakkan, pada mezbahMu ya Tuhan,
jadilah padaku seperti, yang Kau ingini


“Tuhan Yesus, terima kasih karena hari ini Kau mengingatkanku akan anugerahMU yang begitu besar bagi hidupku. Ampuni aku karena masih sering menyia-nyiakan anugerahMu. Ampuni aku karena masih hidup dengan caraku yang lama. Hidup yang ada padaku bukan milikku, ini milikMu Tuhan. Aku mau berhenti menyenangkan diriku sendiri,aku mau menyenangkanMu, pemilik hidupku. Tolong aku ya Tuhan. Amin.”

Monday, August 15, 2016

Bisakah Keselamatan itu Hilang?

by Tabita Davinia


*NB: aku sadar kalau menuliskan hal ini tentu akan ada risiko aku dicap sebagai orang sok suci dan berlagak seperti malaikat. But, hey! Aku pun juga bisa berbuat dosa, walaupun mungkin bukan dalam hal sama seperti di atas. Karena Tuhan pun berkata semua dosa itu sama, nggak ada yang namanya dosa besar semacam membunuh dan dosa kecil semacam nggosip.*

Post ini adalah lanjutan dari post-ku sebelumnya “BenarkahTuhan Pilih Kasih saat Menyelamatkan?”

Enam hari setelah percakapanku dengan D, tibalah hari Sabtu di mana aku, dia, dan beberapa orang lainnya memimpin kelompok kecil dalam persekutuan remaja-pemuda. Kami akan membahas tentang jalan keselamatan, di mana satu-satunya jalan itu hanya bisa diperoleh dalam Tuhan Yesus Kristus. Setelah sharing sana-sini, kami menyimpulkan bahwa ada sebuah pertanyaan yang (ternyata) paling sering dalam kelompok-kelompok itu.

“Kalo udah lahir baru, terus berbuat dosa, keselamatan itu bisa hilang nggak?”

Boleh percaya, boleh nggak, keraguan ini pun juga dialami oleh banyak orang, termasuk petobat baru. Mereka tentu takut berbuat dosa, karena bagi mereka, berbuat dosa = keselamatan hilang. That’s why this question had made us felt a little bit surprised. “Astaga, ternyata masih banyak yang belum yakin kalau udah lahir baru itu keselamatan nggak bakal ilang!”

Apakah setelah kita lahir baru dan menerima keselamatan, kita bisa terbebas dari dosa? Nggak. Kenapa? Lha, kita aja masih hidup di dunia ini, which means kita pun harus terus bergumul melawan dosa! -.- Kita nggak bisa jadi suci 100% walaupun udah menerima keselamatan. Seseorang pernah bilang, “Lahir baru adalah titik balik seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus”. It’s a turning point, bukannya kita bisa totally bersih dari dosa! Bahkan Yohanes menulis,
Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.
(1 Yohanes 1:8)

Tapi Yohanes tidak berhenti di situ. Dia pun menuliskan, kalau kita mengaku dosa kita, maka Ia (Tuhan) adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (1 Yohanes 1:9). Itu artinya, kita sebenarnya masih bisa berbuat dosa selama kita hidup di dunia yang telah tercemar oleh dosa. Tapi bedanya, setelah lahir baru, hidup kita seharusnya tidak seperti yang dulu lagi. Paulus mengatakan, setelah dia bertobat, dia mengalami sebuah transformasi kehidupan yang sangat radikal:
“... Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, prang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi...Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rui karena Kristus. ... Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya...supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
(Filipi 3:4—11)

Iya, Tuhan mengasihi kita apa adanya, tapi Dia tidak akan membiarkan kita untuk menjadi apa adanya selamanya. Dia akan mengubah kita untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus (dikutip dari Just Like Jesus, oleh Max Lucado). Hidup kita yang telah diselamatkan seharusnya juga berubah seperti yang Dia inginkan, yaitu hidup sebagai anak-anak terang (Efesus 5:1—21).

Logikanya begini: Anda divonis terkena kanker stadium akhir, yang artinya sudah tidak ada harapan lagi. Tapi cling! Tiba-tiba saat Anda datang ke dokter yang sama untuk periksa lagi, dokter itu berkata bahwa kanker Anda hilang total. Merasa tidak percaya, Anda pun akan memeriksakan diri ke beberapa dokter yang berbeda (kalau perlu sekalian yang spesialis juga!). Dan hasilnya tetap sama: Anda dinyatakan pulih total dari kanker.
Pertanyaannya: setelah dinyatakan sembuh, apakah Anda akan menggunakan “kesempatan kedua” yang Tuhan berikan itu untuk hidup seenaknya lagi?

Tentu nggak. Bagi kita, kesembuhan total dari penyakit kanker itu adalah sebuah anugerah besar dari Tuhan, seolah-olah Dia memberikan kesempatan baru untuk memperbaiki hidup kita. Well, begitu juga dengan lahir baru. Hidup kita yang telah diselamatkan dari dosa seharusnya demikian. Keselamatan memang nggak akan hilang saat kita berbuat dosa—kecuali saat kita menghujat Roh Kudus, which means kita merasa bahwa Dia yang salah, kita yang benar; dan nggak minta ampun (Markus 3:29). Tapi apakah kita akan menganggap keselamatan itu sebagai sesuatu yang murah, di mana kita bisa dengan mudahnya berbuat dosa dan minta ampun berulang kali? Kalau kata Pdt. Daniel K. Listyabudi, itu namanya bukan sungguh-sungguh bertobat, tapi hobi bertobat -.-

Contoh mudahnya begini: sadarkah kita bahwa mulut yang kita gunakan bisa menjadi berkat dan menjadi kutuk? Kita sering berkata “Shallom! ... Tuhan Yesus memberkati!”, tapi dengan mulut yang sama kita juga bisa berkata, “A*piiip*r! Ba*piiip*r!” dan sebangsanya (maaf, kali ini aku terpaksa sampai memberikan contoh kata karena jujur rasanya kesel banget tiap kali ada orang yang ngomong gitu dengan disengaja >o<). Kita menggunakan tangan kita untuk menyambut orang lain, tapi dengan tangan yang sama kita menghakimi mereka saat mereka melukai kita (dan masih ada seabrek contoh lain yang bisa kita temukan).

Pertanyaan berikutnya: Apakah dengan berbuat demikian, keselamatan akan hilang?

Nggak. Selama kita tahu itu dosa dan kita segera mengakuinya, Tuhan pun mengampuni kita, kok. Rasanya hidup memang akan bertambah berat setelah kita menerima Kristus (bahkan salah satu anak dari kelompok kecilku waktu itu berkata begitu). Banyak godaan yang akan kita hadapi, tapi di situlah iman kita diuji. Akankah kita tetap setia kepada Sang Juruselamat, atau apakah kita akan lebih memilih berbuat dosa hanya untuk kesenangan diri kita sendiri?

Ada sebuah tulisan yang aku temukan dalam The Puzzle of Teenage Life-nya Ci Grace Suryani, yang somehow sangat mengingatkanku bahwa Tuhan sangat mengasihiku dari dulu, sekarang, dan sampai kapanpun, walaupun aku sering berbuat dosa. Kasih-Nya menyadarkanku bahwa Dia telah membayar kita dengan darah-Nya yang sangat mahal—dan pengurbanan-Nya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. And let this words make us feel beloved and realize that God loves us no matter what :)

Dulu, tiap malam aku berdoa sambil berpikir
“Apakah aku sudah melayani Dia hari ini?”
Jika ternyata belum,
aku ketakutan dan menambah jam doa,
Nambah baca beberapa pasal Alkitab
supaya aku bisa diampuni
Malam itu
 aku tidur dengan gelisah,
dengan satu pertanyaan, “Lord, do you still love me??”

Sekarang,
tiap malam aku berpikir
“Be, apakah aku sudah mengasihi-Mu hari ini?”
Jika ternyata aku masih belum sungguh-sungguh mengasihi Dia,
aku datang kepada-Nya,
“Tuhan, maaf ya... besok aku mau lebih baik lagi”
Lalu aku tidur dengan nyenyak,

karena aku tahu: He still and always loves me...

Tuesday, August 9, 2016

Ilustrasi Keselamatan dengan Coklat

by Alphaomega P. Rambang


Jadi ceritanya gini, dulu aku mengikuti KAMBIUM (Komunitas Pertubumbuhan Iman Untuk Menjadi Murid Kristus) di Jogja. Dan ada 3 kelas yang bisa diikuti, itu berlanjut dari Kelas Berakar, Kelas Bertumbuh dan Kelas Berbuah. Dalam setiap kelasnya, terdapat 2 sesi, Kelompok Besar dan Kelompok Kecil. Di kelompok besar, kami mengikuti pengajaran dari seorang fasilitatornya,dia menjelaskan dan mengajarkan materi di minggu itu. Kemudian, kami masuk ke kelompok kecil (semacam KTB) dan mulai membicarakan materi itu lebih dalam, dari penerapan, pengalaman pribadi, komitmen untuk ke depan, tukaran pokok doa, dll. O, iya kelompok kecil ini orang-orangnya biasanya sama setiap minggunya.

Dalam sebuah sesi Kelompok Besar di Kelas Berakar yang aku ikuti (materinya tentang Jalan Keselamatan waktu itu), fasilitatornya mengacungkan tinggi-tinggi dua batang coklat Silver Queen,wahhh...kami semua yang melihat langsung bermata coklat (kalau liat duit katanya bermata hijau,berhubung ini coklat jadi bermata coklat deh :p).

Fasilitator bertanya, "Siapa yang mau coklat ini?"

Kami semua tersenyum, ada yang malu-malu, ada yang malu-maluin. Kami mengangkat tangan tinggi-tinggi, bahkan ada yang berdiri!! Iyeee...aku yang berdiri :p

Fasilitator tersenyum penuh arti  melihat tingkah kami. Nah lo, ucapku dalam hati, bentar lagi kita disuruh ngapain nih buat dapat tu coklat. Biasanya kan gitu ya, kalo kita ditawarin apa gitu ujung-ujungnya ternyata syarat dan ketentuan berlaku. Paling bete sama promo ginian di KFC, berasa ditipu, hahahaha.

Lalu fasilitator bilang gini, "Siapa yang mau, silahkan maju dan ambil coklat ini". Kali ini tangannya yang memegang coklat itu diturunkan dan diarahkan ke kami.

Kami semua kebanyakan heran, gak percaya. Mosok sih tinggal ngambil doang? Serius nih? Gak ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Wahhh...jangan-jangan dikerjain nih, ntar di depan disuruh ngapain pulak. Aku gak percaya semudah itu mendapatkan tu coklat. Aku gak maju. Aku gak dapat tu coklat. Terlalu banyak mikir. Terlalu takut. Ada 2 orang kawanku yang maju dan mendapatkan coklat gratis itu. Huaaa....pengennnn... #ngiri.


Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Yohanes 3:16

Kemudian fasilitator menjelaskan, kalau coklat itu seperti keselamatan yang diberikan Allah melalui Kristus. Saat kita percaya dan menerima Kristus, maka kita menerima keselamatan tersebut. Coklat (keselamatan) tadi ditawarkan kepada semua orang, tapi yang mau bertindak dan maju saja yang akan menerimanya. Butuh langkah iman untuk mempercayai. Dan kita bertindak untuk menunjukkan kepercayaan kita. Mereka yang maju tadi adalah yang percaya dan mau bertindak. Allah mau kita semua menerima keselamatan dan beroleh hidup yang kekal, tapi apakah kita mau percaya dan menerimanya? Itu tergantung kita. Seringkali kita ragu dan mencurigai kebaikanNya. Pikir kita, masa sih kita hanya harus maju dan menerima? Beneran nih gak perlu syarat pake puasa, atau berbuat baik ke sesama, atau melakukan ini itu? Kita susah mempercayai Dia.Dan ini lah yang jadi masalah. Menerima keselamatan membutuhkan kepercayaan kita untuk menerima dan maju.

Satu lagi yang dikatakan fasilitator itu yang aku ingat sampai sekarang. Coklat (keselamatan) itu diinginkan semua orang karena enak dan sepertinya gratis, tapi itu tidak gratis. Kita sering lupa kalau coklat (keselamatan) bisa kita terima karena sudah ada yang membayarnya terlebih dahulu. Lunas. Ini gak gratis. Kristus sudah membayar lunas keselamatan kita di kayu salib. Susah dipercaya memang, ada seorang fasilitator (Kristus) mau memberikan coklat (keselamatan) yang berharga itu dengan menanggung rugi, karena harus membayarkannya supaya kita bisa menerima. Tapi bukankah bagian kita adalah percaya? :-) Keselamatan tidak cuma-cuma, keselamatan itu mahal. Kita tidak mampu membayarnya dengan apapun. Bahkan dengan semua perbuatan baik dan amal kita. Puji Tuhan, ada Kristus yang karena begitu besar kasihNya kepada kita bersedia menanggung rugi dan berkorban sehingga kita menerima keselamatan itu. Bagian kita adalah menerima kasihNya yang begitu besar itu. Maukah kamu menerimanya?

Tuesday, August 2, 2016

Benarkah Dia Pilih Kasih Saat Menyelamatkan?

by Tabita Davinia

Sebuah percakapan antara aku dan dia (a.k.a. calon ph #hehe) terjadi dalam kondangan seorang teman kami pertengahan Juli lalu. Waktu itu kami sedang membahas persiapan kelompok kecil untuk Sabtu berikutnya, di mana kami (dan teman-teman lainnya) akan membicarakan tentang jalan keselamatan kepada anak-anak di komisi remaja di gereja kami.
Dia (D): “Aku masih belum tahu harus bahas apa buat persiapan nanti sore.”
Aku (A): “Tapi seenggaknya kamu udah punya draft-nya, kan?”
D: “Iya, udah sih.” (membuka file yang akan dibahas untuk persiapan itu)
A: (membaca) “Hmmm... menurutku sih, pake ini aja nggak apa-apa. Nanti kamu jabarin gimana harus ngasih penjelasan ke anak-anak.”
D: “Gitu, ya? Oke.”
A: “Eh, bentar. Aku nggak paham sama bagian ini.” (menunjukkan bagian akhir file D)
D: “Kenapa emangnya?”
A: “Katanya Tuhan menyelamatkan semua orang, tapi di sini kok, tulisannya, ‘Hanya orang yang percaya kepada-Nya yang menerima keselamatan’. Berarti Tuhan pilih kasih, dong?”
D: “Lho, Tuhan memang menyelamatkan semua orang. Tapi nggak semuanya menerima keselamatan itu.”
A: “Hah?” (pasang muka nggak paham)
D: “Gini, lho. Bayangin kamu buka pintu rumahmu. Nah, pintunya itu terbuka buat semua orang, kan? Siapa aja bisa masuk. Tergantung orangnya itu mau masuk ato nggak. Kalo nggak mau, ya dia nggak akan ada di dalem rumahmu.”
A: “Oh... jadi keselamatan itu cuma bener-bener bisa diperoleh dari Tuhan kalo kita percaya sama Dia sebagai satu-satunya jalan keselamatan?”
D: “Iya, bener :)”
A: “Oke, aku baru ngeh. Makasih, Ko :)”


Sejak aku lahir baru, itu pertama kalinya aku bener-bener paham kalo nggak semua orang bisa diselamatkan. Selama ini, aku berpikir kalo Tuhan pasti menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali. Ternyata itu salah :p
D juga bilang, kalo mindset-ku itu namanya universalisme. Aliran ini meyakini kalo semua orang bisa diselamatkan dari hukuman kekal, baik yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat maupun yang tidak percaya kepada-Nya. Padahal di Alkitab jelas dikatakan bahwa,
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal
(Yohanes 3:16)

Jadi, agar kita bisa selamat dari hukuman kekal, kita harus percaya kepada Yesus Kristus secara pribadi! Kita harus menyadari bahwa semua kegiatan yang kita lakukan, kesalehan kita, maupun status kita itu nggak bisa menyelamatkan kita. Kok, bisa begitu? Karena kita berdosa! Manusia berdosa nggak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Bagi Tuhan, dosa adalah sesuatu yang menjijikkan sehingga Dia memalingkan muka-Nya dari kita.
tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu
(Yesaya 59:2)

Apakah keadaan seperti itu akan terus terjadi sampai hari terakhir nanti? Ternyata nggak! Bersyukurlah, karena Allah tidak membiarkan kita terus terjebak dalam kungkungan dosa. Untuk itulah, Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus, sebagai jalan keselamatan bagi kita dari hukuman kekal. Melalui Yesus Kristus, hubungan kita dengan Allah pun dipulihkan, sehingga kita dilayakkan untuk memanggilnya dengan “Bapa” (Roma 8:15).

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.
(Efesus 2:8—9)

Ingat, Kristus mati sekali untuk selamanya, bagi semua orang di segala zaman. Penyaliban-Nya di bukit Golgota telah membuktikan betapa Bapa sangat mengasihi kita, bahkan rela mengurbankan Anak-Nya yang tunggal untuk mati sebagai penebus dosa kita. Tidak ada karya keselamatan yang lebih besar selain yang Yesus lakukan bagi kita.

Seorang pembimbingku pernah berkata, “Keselamatan itu gratis, tapi menjadi orang Kristen harus bayar harga”. Ya, keselamatan dan menjadi orang Kristen sepenuhnya tidak bisa dipisahkan. Dua hal ini sangat berkaitan erat. Jadi asal omong, “Aku percaya Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamatku” itu nggak cukup. Butuh tindakan juga. Yakobus pernah berkata,
“Demikian juga halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
(Yakobus 2:17)

Pertanyaannya sekarang, maukah Anda percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda secara pribadi? Jawabannya ada di dalam hidup Anda :)

“Tuhan tidak pilih kasih saat Dia melakukan karya keselamatan-Nya. Pilihan mau percaya kepada-Nya atau tidak, itu ada di tangan kita. Pilihan itu pula yang akan terpancar dari kehidupan kita

Friday, July 29, 2016

Marah Berjenjang dan Musa

by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Kadisku yang dulu enak banget. Gak ada tuh ceritanya dia marah-marahin staf kalau salah mengerjakan sesuatu. Yang dimarahin atasan stafnya dulu. Baru nanti atasan staf tersebut marah ke stafnya, jadi berjenjang marahnya”, ucap seorang kawanku.

Abangku yang juga mendengar hal tersebut mengiyakan,”Emang seharusnya seperti itu pimpinan yang benar. Jadi ada tanggung jawab juga tuh mereka yang punya jabatan”.

SETUJUUUUU….!!!
Maunya seperti itu….
Cuma ya di kebanyakan kantor-kantor pemerintahan gak seperti itu. Adanya disposisi doang, misal nih ada surat yang meminta laporan dari BAPPEDA ke dinas, nah turunlah disposisi dari kadis ke kabid, dari kabid ke kasi, dari kasi ke staf, ujung-ujungnya staf yang ngerjain. Kagak ada petunjuk, gak ada konsep apa-apa, staf kebagian pusing, yo wes dikerjain. Ntar kalo dah slese, staf ngasi paraf, kasi ngasi paraf, kabid ngasi paraf, sekretaris kasi paraf, kadis tanda tangan. Kalo dah ngasi paraf harusnya paling gak dah baca dong, dicek gitu kerjaan stafnya, ini kagak, paraf doang. Dah gitu kalo salah, ya yang disalahin stafnya. LANGSUNG STAF YANG DISALAHIN. Serius.

Pernah kejadian seorang staf di kantorku diminta mengerjakan bahan untuk dibawakan dalam sebuah pertemuan dengan beberapa dinas dan masyarakat umum, kagak ada petunjuk, kagak ada konsep. Lah, kerjaannya dah diberikan sejak kapan, diperiksa kaga sama atasan eee….giliran ada yang salah pas disampaikan di depan umum, tuh kawan disalah-salahin di depan umum. Salah siapa coba tuh atasan gak pake meriksa segala?

Makanya, salut bener deh sama kadisnya temenku tadi. Semua jadi belajar bertanggung jawab. Staf gak ngasal kerja karena tahu pekerjaannya dicek, dia tahu atasan langsungnya peduli dengan apa yang dikerjakannya. Sometimes, karena pekerjaan gak pernah dicek, aku jadi gak giving my best, lelahhhh…..Kalo kerjaan bener gak ada diperhatiin tuh, kalo salah disalah-salahin, lah kok jadi curcol saya. Ya gitu deh, apalagi kerjaan yang deadlinenya jadi gak masuk akal gara-gara yang dimintain data suka-suka, diminta kapan eh ngasinya kapan, menghambat kerjaan kita kan, jadi waktunya mepet banget.

Punya Kadis yang marahnya berjenjang gitu jelas-jelas bikin atasan (kabid or kasi) gak bisa pulak ngasal ngelempar kerjaan dan ngasi disposisi ke staf doang karena mereka bertanggung jawab pada Kadisnya, dan beneran kalau ada apa-apa, mereka yang kena, bukan stafnya. Mereka gak bisa Cuma ngasi paraf (seakan-akan mereka mengecek dan mengawasi) pekerjaan staf. Mereka harus sungguh-sungguh bertanggung jawab. Kalau pun gak ngasih konsep, paling gak dicek lah kerjaan bawahan tu, jangan Cuma tahu beres. Atasan yang ginian, bikin aku mikir, ini orang kalo gak ngerti ya malas :p Ya to? Gimana coba? Yang dipercaya banyak kan dituntut banyak. Mosok tunjangan mau, tapi gak ngapa-ngapain, mosok mentang-mentang masa kerja lama-gaji gede mau tapi kerjaannya kagak, mosok koar-koar ngeluh kalau ada apa-apa di kerjaan dia yang tanggung jawab padahal manaaa…manaaa…yang disalahin ma staf muluuuu… #eh.

Entah kenapa setelah mendengar cerita kawanku tentang mantan kadisnya, aku teringat seorang pemimpin bernama Musa. Kenal Musa kan? Kesalahan Musa sepertinya ‘sepele’, dia tidak taat pada perintah Tuhan sehingga Tuhan tidak mengizinkannya masuk ke tanah perjanjian. Tidak taat sama Tuhan tu kesalahan yang dilakukan hampir semua orang Israel, tapi Tuhan kok marah besar sama Musa?

WHY?

Karena Musa pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan, Tuhan ingin mengajarkan tanggung jawab seorang pemimpin begitu besar sehingga ketidaktaannya/kesalahannya diperhitungkan Tuhan. Apakah kesalahan Musa?

Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka."
Itulah mata air Meriba, tempat orang Israel bertengkar dengan TUHAN dan Ia menunjukkan kekudusan-Nya di antara mereka. Bilangan 20:12-13

Dikatakan bahwa Musa tidak percaya pada Tuhan dan tidak menghormati kekudusan Tuhan di depan mata orang Israel, tapi apakah sebenarnya yang telah dilakukan Musa?Perhatikan ini!


Kejadian pertama:

Kemudian berangkatlah segenap jemaah Israel dari padang gurun Sin, berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, sesuai dengan titah TUHAN, lalu berkemahlah mereka di Rafidim, tetapi di sana tidak ada air untuk diminum bangsa itu

Jadi mulailah mereka itu bertengkar dengan Musa, kata mereka: "Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum." Tetapi Musa berkata kepada mereka: "Mengapakah kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai TUHAN?"

Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa dan berkata: "Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?"

Lalu berseru-serulah Musa kepada TUHAN, katanya: "Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!"
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Berjalanlah di depan bangsa itu dan bawalah beserta engkau beberapa orang dari antara para tua-tua Israel; bawalah juga di tanganmu tongkatmu yang kaupakai memukul sungai Nil dan pergilah.

Maka aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb; haruslah kau pukul gunung batu itu dan dari dalamnya akan keluar air, sehingga bangsa itu dapat minum." Demikianlah diperbuat Musa di depan mata tua-tua Israel.

Dinamailah tempat itu Masa dan Meriba, oleh karena orang Israel telah bertengkar dan oleh karena mereka telah mencobai TUHAN dengan mengatakan: "Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?"

Pada kejadian pertama ini, Musa dan Harun diminta Tuhan untuk memukul batu dengan tongkat dihadapan orang Israel dan para tua-tua. Tuhan sendiri berdiri di atas gunung batu tempat Musa memukulkan tongkatnya.Setelah gunung batu dipukul, keluarlah air.


Kejadian kedua:

Bilangan 20:2-13
Pada suatu kali, ketika tidak ada air bagi umat itu, berkumpullah mereka mengerumuni Musa dan Harun,dan bertengkarlah bangsa itu dengan Musa, katanya: "Sekiranya kami mati binasa pada waktu saudara-saudara kami mati binasa di hadapan TUHAN! Mengapa kamu membawa jemaah TUHAN ke padang gurun ini, supaya kami dan ternak kami mati di situ?
Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membawa kami ke tempat celaka ini, yang bukan tempat menabur, tanpa pohon ara, anggur dan delima, bahkan air minum pun tidak ada?"
Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan, lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan TUHAN kepada mereka.TUHAN berfirman kepada Musa: "Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya."


Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan TUHAN, seperti yang diperintahkan-Nya kepadanya. Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?"

Sesudah itu Musa mengangkat tangannya,lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum.
Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka."

Itulah mata air Meriba, tempat orang Israel bertengkar dengan TUHAN dan Ia menunjukkan kekudusan-Nya di antara mereka.

Di kejadian kedua, Tuhan hanya meminta Musa untuk BERBICARA pada batu tersebut eh…Musa malah berinisiatif untuk memukul batu itu, dua kali pulak!!Musa melanggar Firman Tuhan. Tuhan meminta Musa berkata kepada batu, tetapi Musa memukul batu. Musa memukul batu bahkan sampai dua kali. Mengapa Musa memukul batu? Apa yang membuat Musa tidak taat? Orang Israel memahitkan hati Musa sehingga Musa teledor dengan kata-katanya. Mazmur 106:33
Jadi KEPAHITAN dapat menghalangi kita untuk taat. Huaaa…ngeri kan? Jadi kalo kepahitan jangan disimpan lama-lama,segera dibereskan supaya kita tidak jatuh ke dalam dosa.

Begitu pahit hati Musa pada orang Israel, begitu marahnya Musa sehingga Musa melakukan ini: Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan TUHAN, seperti yang diperintahkan-Nya kepadanya. Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: "Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?"
Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum.

Musa berkata orang Israel adalah orang yang durhaka, saking marahnya, padahal Tuhan pun tidak berkata demikian. Bisa jadi Musa bosan mendengar keluhan orang Israel. Tapi Tuhan ingin mengajarkan, bahkan di tengah kemarahan kita pun, Ia ingin kita tetap taat dan bertindak berdasarkan firmanNYA. Sekalipun emosi kita meledak-meledak, Dia ingin kita tidak menjadi seperti kuda yang susah dikendalikan. Dia ingin hidup kita dikendalikan firmanNya, semarah apapun kita, fiuhhh… *menampar diri sediri*

Kesalahan Musa yang lain adalah kesombongan. Well, mungkin ia tidak sadar akan kesombongannya, tapi perhatikan apa yang Musa katakan berikut:

Bilangan 20:10
Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: "Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?"

Musa berbicara kepada Israel bahwa mereka (ia dan Harun) yang akan mengeluarkan air bagi orang Israel, padahal nyata-nyata Tuhan yang membuat batu itu mengeluarkan air. Padahal sebelumnya pada kejadian pertama Musa berkata : Mengapakah kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai TUHAN?" (Keluaran 17:2).

Jika Musa yang dikatakan orang yang paling lembut pun bisa jatuh dalam dosa karena kepahitan dan kesombongan, bagaimana dengan daku??? Huhuhuhuu….Bener-bener butuh kasih karunia Tuhan untuk tetap bisa taat sama firman Tuhan. Bener-bener butuh kasih karuniaNya untuk gak hidup dalam kepahitan. Bener-bener butuh kasih karuniaNya untuk menyadari bahwa di luar Tuhan, aku gak bisa berbuat apa-apa.

Friday, July 22, 2016

Ketika Aku Marah

by Tabita Davinia

Siapapun pasti pernah marah. Entah karena keinginan yang nggak dibolehin sama ortu, melihat pasangan sedang jalan sama lawan jenis (apalagi kalau si pengamat itu orang yang posesif), kerjaan semakin menumpuk, teman kita berbohong... dan masih ada segudang alasan kenapa kita marah. Benar, kan?

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita meluapkan kemarahan itu? Apakah kita akan meluapkannya dengan membanting pintu, menggebrak meja, mengumpat-umpat (atau mungkin memelesetkan kata-kata kasar), diam seharian, mogok makan, atau menghilang dari peredaran sosial (baca: nggak nongol di mana-mana)? Dan apakah Tuhan berkenan dengan semuanya itu? Kita tahu jawabannya.

Bayangkan kalau Tuhan Yesus menjadi marah kepada orang-orang yang mengolok-olok-Nya saat Dia disalibkan. Mungkin Dia akan memerintahkan malaikat-malaikat untuk membebaskan-Nya, lalu membunuh setiap orang yang mengejek-Nya. But He didn’t. Sebaliknya, Tuhan Yesus justru berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Sikap seperti inilah yang harus kita teladani. Daripada mengumpat-umpat tentang orang yang membuat kita kesal, lebih baik kita cooling down dengan mendoakannya. Sulit? Ya! Tapi dengan melepaskan pengampunan, kita pun akan jadi merasa tenang.

Bahkan Paulus, dalam Galatia 5:22—23, menuliskan tentang salah satu unsur dari buah Roh yang harus kita miliki, yaitu penguasaan diri. Ya, sebagai anak-anak Tuhan, kita seharusnya lebih bisa mengontrol kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu malah mengundang si jahat untuk menjatuhkan kita.

Di dalam suratnya yang lain, Paulus juga mengatakan agar “... hendaklah amarahmu padam sebelum matahari terbenam”. Menurutku, dia sebenarnya ingin mengatakan agar kita tidak terus-menerus menyimpan kemarahan kita. Bayangkan kita merasa sangat kesal dengan seseorang, lalu kita mendiamkannya seharian. Tentu lama-kelamaan rasanya jadi nggak enak. Dia mungkin merasa nggak ada yang harus diselesaikan, tapi kita malah “dihukum” kemarahan kita sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat marah kepada sahabatku karena sebuah masalah (aku lupa apa masalahnya haha). Tapi gara-gara masalah itu, aku jadi kesal sendiri, lalu melemparkan boneka pemberiannya. Ternyata, sahabatku juga ikutan marah dan memukul lantai kamarnya. Hm, kesannya jadi seperti sinetron, ya. Tapi begitulah. Walaupun aku telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kami, tapi saat itu aku seolah-olah mengabaikan-Nya. Aku nggak tahu apa yang Dia pikirkan saat aku menangis setelah melempar bonekaku. Mungkin Dia berpikir, “Duh, bukannya Aku pernah mengajarimu bagaimana harus menguasai perasaanmu? Dan bukannya kamu yang dikendalikan olehnya?”. Setelah menangis, aku mencoba untuk menata perasaanku, lalu melakukan rekonsiliasi dengan sahabatku. And thanks God, the problem had been solved :)

Salahkah kita marah? Selama ada alasan yang jelas, sebenarnya tidak apa-apa kalau kita marah. Tapi akan lebih baik kalau kita segera menyelesaikan pemicu kemarahan kita itu. Berdamai dengan masalah akan membuat hatimu jadi lega :) Ingat, walaupun kita telah diselamatkan dari hukuman kekal (alias maut), tapi kita akan tetap bergumul melawan dosa seumur hidup kita. Termasuk dalam hal kemarahan. Hendaklah kita terus meminta pertolongan Roh Kudus agar kita dimampukan untuk menguasai diri dari kemarahan yang menyala-nyala itu, dan agar Dia senantiasa menjagai kita dari si jahat yang akan terus mencari celah untuk menggoyahkan kita.

Monday, July 18, 2016

Bahagia itu Sederhana

by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bahagia itu sederhana.
Kalimat ini jadi tema statusku dan beberapa kawan saat mengikuti kuis yang diadakan oleh seorang teman. Dan aku bersyukur mengikuti kuis itu, membuatku menyadari kalo bahagia itu gak cuma sederhana, sesederhana saat kita memutuskan buat bahagia.
Bahagia itu keputusan.

Saat kita memutuskan untuk mensyukuri setiap hal kecil eh sederhana yang kita miliki, maka kita akan berbahagia.

Aku juga belajar saat ini kalo MARAH pun juga bisa jadi pilihan kita.


Kemarin aku merasa marah pada seseorang, dia mengatakan sesuatu yang menyakitiku. Ingin rasanya mengatakan sesuatu untuk mengungkapkan kemarahanku, tapi aku pikir daripada aku melakukan sesuatu yang bodoh lebih baik aku diam dulu. Konyolnya, saat aku membayangkan orang lain yang mengatakan hal itu kepadaku, kok aku gak merasa semarah kepada orang tadi ya *sigh*. Aku memutuskan untuk berhenti marah.
AKU GAK MAU MARAH.

Perasaan muncul silih berganti, datang dan pergi dengan cepat, tapi sebenarnya kita yang memutuskan apakah perasaan itu akan tinggal menetap atau hanya sesaat.

Pernah dengar kalimat ini:
Seperti menyiram bensin ke api.
Kalimat ini biasa kita gunakan saat seseorang marah, lalu adaaaaa saja hal ato seseorang yang membuatnya semakin marah. Bayangkan api yang sedang membakar lalu disiram bensin, tentunya api semakin besar dan merusak sekitarnya. Demikianlah amarah yang dipelihara, alih-alih dipadamkan, malahan diberi bahan bakar, gimana gak merusak.
Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. Mazmur 4:5
Ayat ini yang menahanku untuk berkata-kata kepada orang yang membuatku kesal. Aku diam.
Good job Meg!
NO.
Aku diam tapi dalam hati aku masih kueseeeelllll luar biasa sama orang itu. Aku memikirkan berbagai alasan NEGATIF mengapa orang tersebut berkata demikian.
Aku sedang menyiram bensin ke apiku.
DAN AKU SEMAKIN MARAH.

Puji Tuhan, di tengah pergumulanku antara memaki-maki atau menyindir secara halus orang ini, kesadaran timbul, kesadaran untuk gak berbuat bodoh.
Aku baru berdoa,yeahhhh.... sesudah lama bergumul baru ingat berdoa, aku berdoa dan protes ke Tuhan:
Apa sih maunya orang ini?
Dan Tuhan diam aja.
Mbok Tuhan jawab yaaa....hehhehehe

Gak tau napa waktu habis berdoa, aku jadi sedikit tenang. Mulai mencoba berpikir positif.
Diam di tempat tidur lagi dan mencari ribuan (oke,gak nyampai ribuan,aku lebay),eh beberapa alasan mengapa si orang ini berkata demikian. TAPI kali ini aku mencoba berpikir positif:
Pasti dia hanya bercanda...
Pasti dia gak tahu dampak perkataannya...
Pasti dia gak ingin menyakiti siapa-siapa...

Mencoba berpikir positif waktu marah tu gak gampang, ini seperti ada setan dan malaikat yang mencoba mempengaruhiku.Waktu aku mencoba berpikir positif ada aja sisi lain yang berkata:
Masa sih dia sebodoh itu,ngomong tanpa tau dampaknya.
Hahahaha,kepalaku penuh...

Dan ini lah ya dampaknya menaruh ayat hapalan tentang kasih dimeja kantor,aku melihat ayat ini:
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.1 Korintus 13:5 
Kasih TIDAK PEMARAH.

Bukan berarti kasih gak bisa marah tapi kasih gak mudah marah.Kasih gak meledak-ledak merusak hubungan.Kasih marah dengan sopan,dia gak menyimpan kesalahan orang lain.Kasih yang marah bukan seperti binatang buas yang ingin menyakiti dengan semangat membalas.
sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Yakobus 1:20
Aku memilih melepaskan amarahku dan menyerahkannya kepada Allah. Aku mau mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Aku gak mau marah sembarangan. Kalo pun aku perlu berbicara hati ke hati dengan orang tadi, aku memilih untuk menenangkan diriku, berpikir positif dan tidak membiarkan perasaanku bergantung pada orang lain.

Jika aku bisa memilih untuk berbahagia saat keadaan sebenarnya tidak membahagiakan,tentunya aku juga bisa dunk memilih untuk gak marah lagi.

Bukan karena aku gak punya alasan untuk marah,tapi karena alasan itu tidak penting,maka aku gak akan membiarkan sukacita dan damai sejahtera yang aku punya direnggut amarah sesaat. Kalopun aku marah,aku gak akan membiarkannya berlama-lama menetap di hatiku,aku akan mengusirnya jauh-jauh.
PERGI KAU AMARAH!!!
;)

Thursday, July 14, 2016

Manage My Anger

by Poppy Noviana

Ketika ditanya, bagaimana kamu me-manage kemarahan, disaat dalam sebuah situasi tertentu, bisa dikatakan 'wajar' saya untuk marah, hal ini cukup menarik untuk dibagikan. Saat itu di suatu pagi, tepatnya di transportasi umum yang ramai dan padat ada seorang wanita yang tiba-tiba membuat barang bawaan saya terjatuh dan dia menginjaknya ... sekejap pagi itu tiba-tiba mengesalkan karena tidak ada kata maaf terucap dari mulutnya, bahkan ia hanya berdiri dan diam di samping saya. Rasanya geram dan kesel banget. Tapi apa yang dapat saya lakukan untuk menghadapinya?
 
Bisa saja saya menuangkan kekesalan saya di social media dengan update status, mencoba relax open Instagram, stalk online shop, stalk people, see news feed to get relax. Selain itu mencoba untuk lebih open minded dengan berpikir dari perspektif orang lain dan dari sudut pandang yang berbeda, berusaha untuk mengerti,, atau malah yang ekstrimnya adalah berantem, kesel sendiri dan ngga damai sejahtera sepanjang hari, ups.. Ngga begitu juga yah semestinya kalo sudah tau kebenaran Firman Tuhan, saya mencoba untuk meresponnya dengan:
1.   Tarik napas panjang
2.  Mengingat bahwa saat aku mengasihi Tuhan maka aku harus menuruti perintahnya untuk lambat marah. 
"Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (Yohanes 14: 15-16).
Salah satu perintah-Nya adalah Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah. (1 Yak 19:1).
3.   Berdoa dan meminta kasih karunia Tuhan untuk 'mengampuni' dan saya bisa mengendalikan emosi saya dan berespon benar..
4.   Bersyukur masih diampuni sama Tuhan atas kesalahan dan kelalaianku.

Langkah diatas bisa dilakukan dalam waktu satu menit, karena pada prinsipnya damai adalah saat dimana aku mampu menghadapi diriku sendiri sekalipun keadaan tidak sesuai dengan harapanku.
Aku menggunakan hak pilihku untuk memilih berdamai, dan biarkan konsekuensinya yang mengikuti sebab rasa sayangku pada Tuhan lebih besar dari pada rasa sakitku.
Seperti apa yang pernah kalian hadapi setiap harinya, seperti ketemu dengan orang yang sukar, menyebalkan, bahkan sangat pantas untuk dimarahi akan membawamu kepada tingkat pengendalian diri yang lebih dewasa lagi. Tidak perlu untuk sakit hati sebab Firman Tuhan berkata Bodohlah orang yang menyatakan sakit hatinya seketika  itu juga, tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh.  (Amsal 12:16)
Dare you go!  Selamat mencoba dan buatlah perbedaan dalam merespon dengan sikapmu.

Monday, July 11, 2016

Kesabaran dan Kemarahan

By Alphaomega Pulcherima Rambang


Mari lihat ini:

Karena ini bagian dari kalender, aku ngeliat gambar ini melulu di kantor *sigh* Diingatkan banget buat bersabar. Eh di rumah juga deng, aku ngeliat ini melulu, secara kalender mejaku di rumah dan kantor sama. Bener-bener nendang dah kalimat ini buatku selama beberapa hari ini di kantor. Aku sedang marah sama beberapa orang di kantor. Mereka yang harusnya jadi panutan, cuma bisa ngomong doang, kalo ngomong hebat bak malaikat, tapi prakteknya NOL SUPER BESAR. Males kan?

Dan payahnya, gak bisa tuh diajak komunikasi, secara ini bos gitu lohhhh, haiss...Kalo sama rekan kerja masi bisa diajak ngomong lah ya, lah kalo sama bos piye? Hanya bisa bersabar dan bersabar, dan melihat pantatku bertambah lebar, kan katanya orang sabar pantatnya lebar :p

Berulang kali memperkatakan firman dan berkata kepada diri sendiri:
Jangan cepat marah meg.
Tenang....
Kendalikan dirimu!
Jangan marah seperti orang bodoh.
Kemarahanmu gak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.

KEMARAHANMU gak mengerjakan kebenaran apa-apa di hadapan Allah Meg....!!!

Kalo kamu cepat marah, itu bukan hal yang benar!

Sapa bilang gak boleh marah, boleh kok. Tapi mikir dulu, tenangkan di, pantas gak aku marah akan hal ini, terus bagaimana aku melampiaskan amarahku akan menentukan apakah ini kebenaran atau ngga. Tuhan Yesus pernah marah. Manusia bisa marah. Tapi tidak semua manusia marah dengan benar.

Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab kemarahan manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.Yakobus 1:19-20

Thursday, June 30, 2016

Dance Together in the Rain

by Septiyana

Sebelumnya saya adalah seorang wanita yang sangat mengerti tujuan hidup saya, saya tidak pernah kuatir akan apapun dalam hidup saya. Saya sangat suka berbagi dengan banyak orang. Mungkin karena itu adalah masa-masa kuliah, dan Allah belum begitu membentuk saya dalam kehidupan saya. Saya tidak pernah berhenti menolong orang dan hari-hari saya sangat menikmati kasihnya dimana-mana. Kamar kost saya yang kecil itupun tidak pernah seharipun tanpa seorangpun mengunjunginya. Kamar saya dan saya sendiri menjadi tempat sumber penghiburan bagi banyak orang.

Hingga akhirnya bertubi-tubi masalah datang dalam hidup saya. Saya ingat sekali saat-saat terburuk saya, terkadang saya menutup diri saya dan melakukannya seorang diri. Sepulang bekerja terkadang saya menangis di kamar dan meratapi kehidupan saya saat itu dan mengasihani diri. Terkadang saya tidak dapat berdoa di tengah ke stressan saya.

Saya merasa menanggung beban hidup saya sendiri saat itu. Saya marah atas diri saya sendiri, mengapa saya gagal dalam kehidupan saya seperti ini. Saya cenderung menutup diri saya, saya marah pada orang tua saya saat itu karena saya pikir mereka adalah penyebab kegagalan saya. Saya benar-benar tidak peduli akan apapun saat itu. Saya menjadi orang yang sangat kasar. Hingga di satu titik balik saya berdoa dan Allah mengubahkan cara pandang saya.

Saat itu saya merasa sangat diberkati dengan kakak saya yang lemah lembut, dan memiliki hati untuk mendengarkan saya kapanpun saya perlukan. Saya berpikir kembali, saya ingin seperti kakak saya yg lemah lembut. Saya mengingini hati yang siap untuk Allah pakai kapanpun Allah mau. Akan ada orang-orang yang perlu didengarkan setiap harinya setiap waktu. Namun saya merasa itu bukan diri saya, saya pikir saya adalah seorang yang simple, saya lebih suka hal yang santai dan mengatakan apapun dalam hati saya tanpa saya harus memikirkan bagaimana hati orang lain. Namun saat itu Allah berkata Galatia 5:22-23 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Itu adalah buah yang harus saya miliki untuk dibaca setiap orang, untuk Allah nikmati. Jika itu bukan diriku, ya memang itu bukan diriku dan Allah yang menghendaki. Itu adalah satu buah yang harus saya miliki untuk saya bisa berbagi dengan orang banyak.

Saya belajar membagikan beban saya pada orang lain. Ketika saya mulai membagikan beban hidup saya, Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang memiliki banyak beban hidup yang terkadang lebih berat daripada hidup saya. Saya menjadi berhenti mengasihani diri dan memandang hidup saya berarti, dan betapa hidup saya masih berarti bagi banyak orang.

Awalnya saya malu untuk membagikan karena itu adalah seperti aib saya sendiri dalam salah pengambilan keputusan, namun akhirnya saya berpikir sebenarnya saya sudah jauh lebih bobrok, Yesus sudah menanggung dosa saya dan mati di kayu salib, dan penebusanNya menyelamatkan seseorang yang tak sempurna ini.

Ketika saya membagikan kebanyak orang dengan kesalahan saya. Saya menjadi terlihat tidak sempurna, saya menerima kenyataan itu, saya menyadari saya adalah manusia yang tidak sempurna dan saya memerlukan Dia yang sempurna untuk menolong saya. Ketika saya menerima kenyataan ketidak sempurnaan saya, Allah yang sempurna itu membawa banyak teman-teman saya yang tidak sempurna itu kepada saya, dan kami saling berbagi. Teman-teman saya yang dulu menganggap saya begitu suci seperti malaikat, sekarang memandang saya manusia dan wanita. Dalam ketidak sempurnaan saya, Dia yang sempurna semakin terlihat. Maka genaplah nats alkitab yang berbunyi "sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" 2 Korintus 12:9b.

Belajar membagikan berarti belajar untuk tidak fokus pada diri kita sendiri. Begitu banyak orang-orang didunia ini yang mencari kebahagiaan bagi mereka, mereka berpikir mereka menikah dan mereka akan bahagia, dan ketika mereka tidak bahagia mereka bercerai, kemudian ada orang-orang yang berpikir jika mereka kaya mereka akan bahagia, namun ketika mereka kaya mereka tidak bahagia, hingga mereka membagikan kekayaan mereka pada orang-orang miskin dan mereka tidak menemukan kebahagiaan itu. Maka tidak salah jika kita memiliki Yesus yang berkata "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi". Wow luar biasanya kita wanita didalam Dia.

Ketika saya belajar mengenal apa yang Allah inginkan saya lakukan, saat itulah saya menemukan diri saya sendiri. Saya menjadi diri saya sendiri ketika saya mengenal Dia. Perlahan-lahan diri saya kembali. Kericuhan dunia ini tidak begitu berarti kembali ketika saya menemukanNya, harta abadi yang dapat saya bagikan kapanpun, dimanapun. Berita sukacita bagi setiap orang.

Saya menikmati hari-hari saya bertemu dengan setiap orang dan belajar membagikan kebaikan-kebaikan kecil bagi sekeliling saya. Saya bersyukur kembali karena kamar saya sekarang sudah mulai banyak pengunjungnya. Saya tau Dia ada didalam saya, dan menjadi pemikat bagi jiwa yang haus akan Allah. Masalah saya belum selesai namun saya menikmati bagaimana menari di kala hujan, menari bersama teman-teman saya yang lain, tentunya :)

Tuesday, June 28, 2016

Terima (lalu) Kasih

by Ladhriska Ilhamudin

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali kita menerima sebuah pemberian maka kita akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Itu hal yang normal, bukan? Rasanya, tidak ada yang istimewa saat kita mengatakan kata terima kasih, meski kita semua tahu bahwa kata terima kasih adalah sebuah respon yang positif dan penuh makna saat kita menerima sesuatu. Suatu hari, saya memikirkan sedikit lebih dalam tentang makna dari mengucapkan kata terima kasih. Di tengah perenungan saya, saya pun berpikir, mengapa setiap saya menerima sebuah pemberian dalam bentuk barang, saya akan langsung mengatakan dua kata itu. Dan saat diingat-ingat lagi, ternyata kata terima kasih itu tidak hanya meluncur saat saya menerima sebuah barang. Kata terima kasih pun kerap terdengar di telinga, saat saya menerima perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitar saya.

Ungkapan kata terima kasih memang telah menjadi sebuah bentuk sopan santun. Lihat saja, sejak masih kecil kita pasti sudah dibiasakan oleh orang tua untuk mengatakan terima kasih saat menerima sesuatu.Namun lebih dari sebuah tutur kata yang sopan, terima kasih seolah menyimpan pesan sederhana yang mengingatkan saya untuk memberikan apa yang sudah saya terima. Kata terima kasih ini terdiri dari dua kata, yaitu terima dan kasih. Kata ‘terima’ diartikan sebagai menerima atau mendapat, sedangkan kata ‘kasih’ dapat diartikan dengan memberi atau berbagi. Dengan kata lain, mengucapkan ‘terima kasih’ telah memposisikan diri kita sebagai seorang penerima dan setelah itu sebagai seorang pemberi. Dari sanalah, saya belajar bahwa menerima dan memberi adalah dua hal yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Tidak seperti tebak-tebakan duluan mana antara ayam atau telur, dalam hal menerima dan memberi, saya menemukan sebuah pola yang pasti dimana kita tidak akan pernah bisa memberi kalau kita tidak menerima terlebih dahulu. Dalam 1 Yohanes 4:19 dikatakan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Dengan kata lain, kita akan mulai bisa mengasihi saat kita membiarkan Allah mengasihi kita terlebih dahulu. Saat kita menerima  kasihNya secara penuh, maka kita akan dengan mudah mengasihi. Mengasihi atau kasih adalah dasar dari kehidupan orang percaya dan mengasihi adalah sebuah hal yang dianggap penting oleh Allah, bahkan disebut sebagai yang terutama.  Di dalam Matius 22: 33-40, Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum, yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Mengenai keterkaitan antara mengasihi dan memberi, sebuah pepatah bijak mengatakan,you can give without loving, but you can’t love without giving.Bicara mengenai kasih, kita memang tidak bisa memisahkannya dari memberi. Saat seseorang mengatakan kalau ia mengasihi namun tidak memberi, maka apa yang ia katakan tidak akan terasa nyata. Di dalam mengasihi seseorang, kita pasti akan memberi. 1 Yohanes 3:17, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”

Dari prinsip dua hukum kasih tadi, tak jarang kita pun menjumpai orang-orang yang mengatakan “love God, love people”. Tidak ada yang salah memang dengan mengasihi Tuhan dan sesama. Keduanya adalah hal yang benar. Namun sadar atau tidak, banyak orang yang ingin berlomba-lomba untuk memberi kasihnya kepada Allah dan juga sesama, tanpa tahu bahwa mereka seharusnya menerima dari Allah terlebih dahulu. Mengapa kita perlu menerima sebelum memberi? Karena saat kita menerima dari Sumbernya, yaitu Allah sendiri maka kita akan selalu dalam keadaaan “penuh” untuk siap berbagi. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi sibuk berbagi, tanpa punya waktu untuk menerima. Cepat atau lambat, kita pasti akan merasa exhausted (kehabisan tenaga). Dan tahukah Anda siapa yang senang saat kita merasa exhausted? Sudah pasti pihak musuh alias Iblis. Bapa di Surga tidak menginginkan kita exhausted atau kehabisan tenaga, karena Ia tahu saat kita kehabisan, kita tidak akan bisa berbagi. Ia ingin kita, anak-anakNya, selalu dalam keadaan penuh, karena saat kita penuh, itu artinya kita dalam keadaan yang maksimal untuk bisa berbagi dan juga memberi.

Memberi adalah sebuah bukti dari tindakan kita mengasihi. Tapi ingatlah bahwa  kemampuan untuk kita berbagi, peduli, atau memberi kepada orang lain ditentukan dari seberapa “banyak” yang kita terima dari Bapa. Semakin banyak kita menerima dan mengecap kebaikanNya, maka kita pun tak akan tahan menyimpan kebaikan yang kita telah terima seorang diri. Saat kita menerima dari Dia, secara otomatis, keinginan untuk berbagi dan peduli kepada orang lain akan datang dengan sendirinya. 1 Yohanes 3:14, “Kita tahu sekarang bahwa kita sudah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.”

Kita tidak akan pernah bisa maksimal dalam hal memberi jika kita hanya mengandalkan kekuatan atau kemampuan kita sendiri.  Sebagai orang percaya, Yesus telah menjadi teladan kita dalam hal memberi. Mengapa saya bilang begitu? karena saat kita membaca kisah-kisah di Alkitab, kita akan dengan mudah menjumpai sosok Yesus yang adalah seorang Pemberi. Ia tidaklah tercatat sebagai sosok yang gemar mengambil, tetapi Ia sosok yang senang untuk memberi. Oh yes! Our God loves to give. He is a Good Giver.Yohanes 10:10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya di dalam segala kelimpahan.”

Kemana Yesus pergi, ia selalu memberi. Ia memberi dirinya untuk mengajar orang banyak. Ia memberi dirinya menyembuhkan orang. Ia memberi dirinya untuk mengusir orang yang kerasukan setan. Ia memberi dirinya untuk membangkitkan orang mati. Bahkan yang paling luar biasa, ia memberikan nyawanya. Tahukah Anda kalau nyawa Yesus tidak pernah diambil, tapi Ia sendiri yang menyerahkannya? Dalam sebuah penyerahan diri total kepada Bapa, Yesus sendirilah yang memberikan nyawanya. Yohanes 10:17,“Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Dari pernyataanNya tersebut, saya belajar bahwa Yesus tak pernah ketakutan untuk memberi, karena Ia tahu betul bahwa dengan memberi Ia justru akan menerima dan bukannya malah kehilangan. Ia yakin bahwa saat Ia memberi, Ia akan kembali mendapatkannya. Matius 10:39, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Kita perlu tahu bahwa dasar saat kita mengasihi dan peduli kepada orang lain adalah karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi dan peduli kepada kita. Dari sinilah, setiap bentuk kepedulian dalam bentuk kasih yang nyata akan mengalir dari diri kita dan dengan sendirinya kehadiran kita akan menjadi berkat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. We are blessed to be a blessings!