Monday, March 30, 2015

I Want Money, I Need Money!


by Nelly Hendrianto

Siapa sih yang ga mau duit?
Gue mau duit, gue butuh duit. Gue butuh duit untuk makan, susu buat anak gue, baju dan lain lain. Kalo ga ada duit, gimana kita bisa makan? Gimana bisa bayar sewa rumah? Apalagi kita berdomisili di Singapura, yang jelas-jelas biaya hidupnya tinggi banget. Dan sewa rumah harganya juga sangat mahal.

Karena kita anak Tuhan, terkadang kedengarannya aneh untuk ngomong atau bertindak seolah-olah kita ga butuh duit, sepertinya uang itu gimanaaa banget. Ada yang bilang kalau ‘uang adalah akar dari segala kejahatan’, jadi waktu kita mikir dan ngomong “Gue butuh duit!” atau “Gue mau duit!” orang lain akan anggap kita ‘kurang mencerminkan orang Kristen’.

Pengertian ‘uang adalah akar dari segala kejahatan’ sendiri sebenarnya terambil dari Alkitab. Di 1Timotius 6:10 tertulis: Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang.

Perhatikan kata-kata, ‘cinta akan uang’ alias ‘nafsu akan uang’ alias ‘ketamakan’. Pada saat kita merasa kita tidak pernah cukup, itu adalah saat dimana segala kejahatan muncul. It actually starts in our heart and thoughts, and it will blossom into our actions.


Karena kita butuh duit, kita mengambil setiap kesempatan yang memungkinkan duit datang ke kita. Sebab kita kuatir, siapa tahu kesempatan seperti itu tidak akan datang lagi. But sometimes, a good opportunity is good, but it is not God’s.

Hal tersebut sering sekali terjadi di keluarga kami. Sebagai seorang istri, gue punya gaji yang jauh lebih besar dari suami. Tapi sebenernya gaji gue pun juga ga gede. Cukuplah buat kebutuhan sehari-hari, ngga lebih. Kalo ada kebutuhan yang mendadak, abislah gaji gue, jadi kita benar-benar tidak punya tabungan. Kerjaan suami, sebut aja G, lebih ke pelayanan, urusan gereja, misi dan lain lain. Kita menghadapi beberapa kali tantangan iman dalam hal keuangan. Apalagi sehabis ngelahirin Aiden, putra tunggal kami (untuk sementara ini, hehe). Selama waktu itu, beberapa kali G dapat tawaran untuk kerja yang lain, selain pekerjaannya yang sekarang, sebagai manager dengan gaji yang lebih besar dari gue. Pada waktu itu ada saat dimana dia benar-benar merasa terdesak untuk menerima pekerjaan-pekerjaan tersebut. Karena sebagai seorang suami, pastilah dia ingin memenuhi kebutuhan keluarganya sebagai pencari nafkah. Apalagi dengan kondisi keuangan kami, akan sangat membantu sekali kalo G bisa dapet kerja dengan gaji yang lebih besar. Sebagai laki-laki dan seorang suami, siapa sih yang ga tergerak untuk mencukupi kebutuhan keluarganya? Dan gue yang harus mengingatkan G tentang calling kita. Gue ga nyalahin G kalau dia merasa terdesak untuk mengambil pekerjaan dengan gaji lebih besar, sebenernya dia juga tahu kalo itu bukan kehendak Tuhan. Dan gue yang harus ngingetin G beberapa kali pada saat kesempatan-kesempatan seperti itu datang, “Say, ga usah deh. Ingat, itu bukan panggilan kamu. Jadi harus kita lupakan.” Terkadang kalo gue yang goyah, gantian G yg ingetin.

Kita sudah tau panggilan dan visi kita. Maka kalau ada pekerjaan-pekerjaan bergaji besar yang kita tahu itu ga sesuai dengan panggilan dan visi kita (G harus mengorbankan pelayanannya dan lain-lain) kita harus berkata tidak, meskipun G sempet dikejar-kejar, diminta-minta untuk ambil pekerjaan tersebut, karena bosnya suka sama karakternya dan mempercayainya. But we stick to our faith in our calling. Sticking to what God has put in our hearts.

Sebagai akibatnya, apa yang terjadi? Ya, kita kekurangan uang. Betul, kita butuh uang. Dan sebagai respon terhadap keputusan kita, yang terjadi adalah Tuhan menghargai komitmen iman dan panggilan kita. Kita mengalami begituuu banyakkk keajaiban! Salah satunya adalah waktu Aiden umur satu tahun (skarang dia udah 2 tahun lebih). Kita lagi ga ada duit, gue sempet bingung gimana mo beli susu Aiden. Eh tiba-tiba ada kenalan kita yang nelpon en bilang mau menghabiskan stock susu bayi mereka. Jadi susu-susu ini mau dibagi-bagiin. Dan orang tersebut ga tau susu Aiden merek apa kan, tapi ternyata merek susunya sama persis dengan yang Aiden minum, dan ngasihnya ga kira-kira lagi, yaitu kurang lebih empat puluh kaleng susu!

Yang ibu-ibu pasti tau deh, susu bayi itu harganya mahal bok! Nah ini udah mahal, dikasih 40 kaleng lagi, gratis!! Gue sampe bengong-bengong liat Tuhan bekerja. Bayangkan, bisa aja Tuhan kepikir bikin mukjizat lewat beberapa kaleng susu!!

Mukjizat yang terbaru adalah soal tempat tinggal kita. Pembaca setia blog gue pasti udah tau ceritanya. Gue selama ini di Spore selalu nyewa rumah. Setelah menikah, setiap tahun kita pindah. Dan kita tinggalnya itu biasanya di HDB, rumah susun pemerintah punya gitu. Yang kagak ada fasilitas apa-apa. Kalo di Spore, ada berbagai tipe: HDB Flat, Apartments, Condo, Landed House. Rumah susun HDB yang paling murah. Tapi murahnya Spore ya tetep aja mahal, hehe. Yang paling lengkap fasilitasnya adalah condo, ada kolam renang, lapangan tenis, lapangan bulu tangkis, basket, tempat BBQ, Jacuzzi… macem-macem lah.

Nah pas itu kita udah mepet banget harus pindah dalam tujuh hari. Dan kita masih belon dapet tempat, karena biaya sewa semakin mahal. Pilihan kita terbatas, karena harus cari yang sesuai budget. Singkat cerita, pas udah mepet-mepet begini, tiba-tiba kita ditawarin tinggal di condo dengan harga sewa HDB! Itu ajaib banget! (Cerita lengkapnya, silahkan baca blog gue: nelotte.wordpress.com, yang judulnya, ‘Siapa Bilang Itu Mustahil’).

Artikel ini akan jadi sangattt panjang kalo gue cerita satu-satu mujizat Tuhan bagi kita. Banyak hal yang terjadi ama kita yang bener-bener campur tangan Tuhan banget. His supernatural work yang orang laen ga bisa sangkal adalah karya-Nya dalam keluarga kita.

Gue akhirnya ngerti Tuhan lakukan itu semua untuk kita, karena Tuhan menghargai komitmen dan keputusan kita. Ia tahu bahwa kita sungguh-sungguh bergantung pada-Nya, bukan kepada bagaimana dunia berpikir tentang kita. Kita putusin untuk ga ambil kerjaan dengan penghasilan besar karena kita tahu itu bukan calling-Nya untuk kita meskipun kita menghadapi berbagai kesulitan keuangan. Waktu kita memutuskan untuk bersandar pada-Nya, kita mengijinkan Tuhan untuk melakukan mujizat bagi kita.

Dulu waktu gue mau menikah ama G, ada leaders gereja yang datang ke saya dan berkata, “Kamu yakin sama dia? Nanti hidupmu akan susah, kamu harus kerja. Mending kamu dapatin cowo yang udah mapan, dan sepadan statusnya sama kamu.” Tapi saya tahu dan tahu bahwa G adalah pasangan yang berasal dari Tuhan. Dan sepanjang pernikahan, meskipun kita menghadapi kesulitan finansial, gue belajar banyaaakkk banget sebagai seorang istri, sebagai hamba-Nya, gimana Tuhan bentuk karakter dan perilaku gue terhadap uang dan dalam hal memberi. Satu hal yang gue kagumi dari G adalah dia punya hati yang memberi banget. Gue belajar dari dia banyak soal giving. Gue belajar dari kalimat favoritnya buat keluarga kita, “Kita harus belajar untuk let go. Saat kita tidak mempertahankan, disana kita akan mendapatkan kembali. Bahkan berkali-kali lipat.”

Gue juga belajar jadi istri yang punya gentle and quiet spirit. Apakah gue merongrong dan menuntut suami untuk ngumpulin duit lebih lagi? Apa gue ngedumel saat ngadepin kesulitan? Dan pelajaran yang terpenting untuk gue adalah, “Pada saat gue bilang gue mau mempercayai-Nya, seberapa jauh gue sungguh-sungguh mempercayai-Nya? Kita selalu bilang Tuhan adalah provider kita. Kita sudah seringkali mengalami kesulitan keuangan dan kita selalu percaya Dia selalu mencukupi. Pelajaran tersebut terus menerus diterapkan dalam keluarga kita. And that’s where God build us... the next level of faith, every time.

Kita tidak pernah menyesali kita harus ngalamin ini semua, malah dengan semua yang sudah terjadi, kita semakin mengenal karakter-Nya, dan sudah tentu karakter kita juga. Apakah kita benar-benar mempercayai-Nya dalam hal keuangan? Dan Tuhan juga semakin membuka diri-Nya bagi kita.

Gue ngerti beberapa orang gak memahami bahwa inilah cara Tuhan bekerja di keluarga kami. Ini bukan masalah kekurangan uang, tapi ini adalah bagaimana Tuhan seringkali mencukupi keluarga kami. Kita melayani Allah yang hebat, kita bersaksi tentang hal ini semua karena kita pengen tunjukan betapa HEBATNYA TUHAN kita. Terkadang orang sering bilang Tuhan itu hebat, tapi kita ga sungguh-sungguh memahami bagaimana hebatnya Tuhan itu, sampe kita bener-bener ngalamin sendiri dan memperoleh damai sejahtera yang lebih besar. Damai sejahtera yang melampaui segala akal manusia. Damai sejahtera yang kita dapetin karena kita mempercayai-Nya 100%.


Nah kenapa kita kok mengalami kesulitan keuangan, padahal kita melakukan pekerjaan Tuhan dan setia melayani? Bukannya kalo kita pelayanan, cari Tuhan, cari dahulu kerajaan-Nya, kita akan dapat berlimpah-limpah?


Pasti ada rencana Tuhan mengapa kita mengalami hal tersebut dan mengapa Tuhan ijinkan. There is an eternal divine purpose. Yang lebih sering kita ngeliatnya adalah bagaimana kejadian tersebut berdampak sekarang oleh situasi tersebut, tapi sedikit yang kita pahami bahwa Tuhan pake situasi tersebut untuk membuat banyak persiapan bagi panggilan dan masa depan kita.


Panggilan kita ialah misi. Oleh karena itu kita dibentuk seperti ini. Our level of faith. Karena di bidang misi, kita dapat bersandar pada Tuhan. Mentor kami sering bilang,
“Memang begini cara Tuhan membangun keluarga dan iman kalian. It’s always about Radical Faith. Nah itu sangat dibutuhin dalam misi.” Benar kita dapat melihat pola bagaimana Tuhan membentuk keluarga kami sesuai dengan rencana masa depan-Nya. Sebagai satu keluarga, Tuhan mau kita belajar untuk percaya dan berserah 100% pada-Nya dan Tuhan lagi gunain financial challenges untuk menjalankan rencana-Nya. Pasti ada tantangan-tantangan di bidang laennya juga. Tapi tujuannya tetap sama, seberapa besar kita mempercayai Tuhan. Karena di bidang misi, berserah kepada Tuhan dalam segala hal adalah sangat krusial dan Ia ingin kita belajar seperti tu sebelum Tuhan mengirim kami sebagai pekerja full time di bidang misi.


Hal lain, saat gue sebagai seorang istri mempunyai gaji yang lebih besar, gue belajar tentang penyerahan total terhadap suami gue. Dan suami gue belajar otoritas sejati terhadap gue. Terlepas dari masalah uang. Kalo suami punya gaji lebih besar, sudah tentu hal yang biasa kalo berasa atau punya otoritas lebih terhadap istri. Nah karena keadaan kita terbalik, Tuhan ajarin kita makna dari penyerahan dan otoritas. Karena kedua hal tersebut udah terkontaminasi oleh dunia, dua hal tersebut biasanya diukur oleh berapa besar uang yang kita miliki dibandingkan dengan orang lain. Liat aja gimana dunia bekerja. Kebanyakan orang-orang yang lebih punya banyak duit bisa dengan gampangnya mengatur orang lain yang lebih berkekurangan.


Gue bisa berserah kepada suami berapapun jumlah penghasilannya karena gue punya financial peace (not total peace yet karena masih dibentuk sih, hehe). Gue punya financial peace karena gue tahu uang gue berasal dari Tuhan, bukan dari suami, jadi gue gak pernah nuntut suami untuk berpenghasilan lebih besar. Jadi ‘posisi’ kita dalm pernikahan bukan berdasar pada jumlah penghasilan. Uang tidak berbicara dalam relasi kita sebagi suami dan istri, bertolak belakang dengan sistem dunia.

Setelah mengalami semua ini, we definitely know that God is our Provider, kita tidak perlu khawatir atau bersungut-sungut. Itu yang kita namakan dengan financial peace. Percaya seutuhnya dalam Tuhan bahwa Dia yg bakal mencukupi, mau sampe mepeeeettt banget pun Dia pasti cukupin. Meskipun pertolongan tidak datang pada waktunya pun, kita masih percaya kalau Ia mencukupi segalanya.

Kenapa sepertinya pertolongan-Nya tidak datang pada waktunya? Mungkin karena Tuhan punya rencana lain. And it’s Ok with us, as who can argue with Him what’s the best way for us? He knows better.

Yang penting adalah terus jaga hati dan jaga iman baik-baik. Waktu kita merespon dengan baik segala padang gurun yang kita sedang alami, the deliverance is near.

Sebenernya I kinda embrace the financial challenges from God, karena gue merasakan dan menyaksikan karya ajaib-Nya lewat bermacam-macam cara. Gue excited n looking forward how God will deliver us thru. Deg-degan sih, tapi dengan cara-Nya yang ajab, Ia tidak pernah gagal dan tidak pernah mengecewakan kita.

Tapi apa gue slalu dalam peace in financial? Gak juga. Masih dalam proses. Kadang sebagai manusia, daging lemah, sudah pasti masih ada rasa kuatir dan lain lain. Gue tahu Tuhan akan memproses gue lebih lagi dalam hal ini, sampai gue punya total peace in financial. Gak tau kapan, tapi hal itu pasti akan terwujud. Tuhan terus memproses sehingga kita bener-bener bergantung sepenuhnya dalam setiap hal pada-Nya.

Friday, March 27, 2015

Anak Adalah Anugerah

by Natalia Setiadi

Anak adalah anugerah.
Anugerah yang gak layak saya dapatkan. Saya manusia yang penuh kelemahan, kekurangan, dan masalah hidup. Saya sering heran, bagaimana mungkin Tuhan percayakan anak-Nya yang begitu berharga untuk saya asuh, didik dan besarkan? Gimana kalo saya salah mendidik atau lalai?

Tapi lima tahun yang lalu, Tuhan menganugerahkan seorang anak untuk kami. Anak itu kami beri nama D. D adalah anak yang menakjubkan. Cakepnya di atas rata-rata (huekekeke...), meskipun kelakuannya sering di bawah rata-rata. Pergumulan dan kasih karunia yang saya dapat melalui anak ini juga luar biasa.

Bulan-bulan pertama mengasuh D, kami kebingungan karena D susah banget tidur. Kalo mau tidur malem harus digendong diayun-ayun (tidur siang sih lebih mendingan dikitlah), dibuai sambil dibawa jalan ke sana ke mari, kadang-kadang sampe dua jam baru berhasil tidur. Kalo udah tidur, dalam satu jam pertama gampang banget kebangun. Trus seluruh usaha nidurin kudu diulang lagi. Stres. Kami baca buku, praktekin tips ini itu, kasih empeng (pacifier), pokoke berbagai teknik dan training dicoba, hasilnya nihil.


Waktu D berumur dua tahun lebih, kami pindah kota, ngikut papanya D yang back to school. Keadaan di rantau sangat sulit buat kami, terutama buat saya. Selain 24 jam di rumah aja bareng my strong-willed son, suami superduper sibuk banget, di tempat baru juga gak ada temen, sanak saudara, bahkan kenalan pun gak ada. Saya urus anak dan rumah tanpa bala bantuan. Saat anak udah tidur, saya melek terkadang sampe subuh untuk mengerjakan kerjaan freelance. Saya kecapean lahir batin. Rencana saya mau kerja full-time di luar rumah lagi gagal, buka praktik pribadi juga gak memungkinkan. Akhirnya saya tetep kerja freelance, sambil jadi ibu RT full-time. Sehari-hari, orang dewasa yang bisa saya ajak ngomong selain suami cuma tukang sayur dan tukang putu yang saban pagi dan sore lewat di depan rumah kontrakan kami. Saya sampe tau bahwa bapak tukang putu ternyata adalah transmigran dari kampung papa saya, dan dia juga takjub nun jauh di sini bisa ketemu mantan tetangga, hahaha...

D cukup sulit beradaptasi dengan tempat baru, ga ada kontak sosial lain selain saya dan papanya. Keadaan finansial yang terbatas dan lingkungan yang masih asing membuat kami gak punya banyak alternatif kegiatan di luar rumah. Tambahan lagi, makanan dan cemilan yang ada di sini beda banget sama yang ada di kampung halaman. Dengan pantangan D yang segambreng karena alerginya, sampe puyeng saya berusaha “memunculkan” makanan-makanan yang bisa dan biasa D makan. Kalo saya perlu info tentang toko, bengkel, atau bahan makanan yang saya perlukan, saya harus sabar nunggu suami nanya ke teman-teman kuliahnya. Hal-hal kecil aja ribet deh urusannya.

Setelah survei ke sana sini, akhirnya kami dapat gereja yang cocok. Sayang gereja itu jauuuhhh banget dari rumah kami. Alhasil saya gak bisa ikut beraktif-ria di komunitas gereja. Dengan ibu-ibu yang sama-sama nganterin anaknya ke sekolah minggu, saya berusaha ngajak kenalan dan berteman, tapi sampe hari ini gak berhasil dapet teman yang cukup dekat yang bisa diajak ngomong lebih dari sekedar basa-basi.
Sementara itu, makin tambah umur, perilaku D makin menantang. D sangat ogah tunduk pada otoritas, membangkang, sengaja mengabaikan omongan kami, atau testing, bahasa Jawanya “njarak”. Contohnya, kalo diminta supaya berhenti mainin sesuatu, dia justru bakal sengaja terus mainin barang itu, karena pengen ngetes reaksi kami. Disiplin dan konsisten udah kami terapkan, tapi gak kunjung membuahkan hasil ketaatan. Sifat impulsif dan ngototnya makin menyulitkan buat D untuk nurut dan berperilaku seperti yang diharapkan. Setiap kali gak sengaja makan alergen (misalnya coklat, MSG, makanan yang mengandung pewarna atau pemanis buatan), D jadi “error”: berlari-lari kian kemari, gampang marah, lebih ngotot, lebih impulsif, gak bisa fokus, gampang distracted, ngomong terus kayak radio rusak, teriak-teriak dan lain-lain, gak bisa tenang. Kalo udah berhasil ditenangkan, baru sebentar udah ngaco lagi. Peristiwa jatuh, nabrak, kebentur, dan sejenisnya frekuensi dan intensitasnya paling tinggi di saat-saat seperti ini. Membantah dan membangkangnya juga lebih parah, bikin saya frustrasi, ikut marah-marah, dan gak jarang ikut nangis putus asa. Saya heran sekali, ada apa dengan D? Kok sulit sekali dijinakkan... Kami sampe frustrasi dan kewalahan.

Sekitar setahun yang lalu, di usia menjelang empat tahun, setelah mengevaluasi D, seorang psikolog menyimpulkan bahwa D mempunyai kesulitan konsentrasi yang disebut Gangguan Atensi, mungkin disertai Hiperaktivitas [Attention Deficit (Hyperactivity) Disorder/AD(H)D] dan gangguan koordinasi. Dia juga gampang banget ter-overstimulasi karena rangsangan dari lingkungan (overload stimulus audiovisual atau terlalu banyak orang), maupun dari diri sendiri (misalnya karena melakukan aktivitas yang kelewat heboh).

Di satu sisi, kesimpulan ini cukup melegakan, karena ternyata saya gak gila atau mengada-ada, ada sebab valid yang bikin kami begitu kewalahan dan frustrasi. Kesimpulan ini juga sedikit mengobati luka di hati karena selama ini kami sering dapat komentar-komentar seperti: “perilaku D begitu karena kurang perhatian” atau “D jadi keras karena ortunya terlalu keras” atau “ortunya kurang mendisiplin sih”, dan seterusnya. Di sisi lain, denger kesimpulan ini kayak kejatuhan duren di siang bolong, awalnya bingung gak ngerti apa yang terjadi, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai terasa.

Kami segera dirujuk ke seorang dokter spesialis anak yang ahli masalah autis, ADD/ADHD, dan sejenisnya. Baru tiga menit masuk di ruang konsultasi, saya udah sukses jadi bulan-bulanan cercaan, karena sebagai dokter saya dianggap lalai menangani masalah alergi dan terlambat membawa D konsultasi. Saya coba menjelaskan kondisi kami dan ketidakmengertian kami, tapi apa yang saya sampaikan seperti angin lalu. Dokter itu geleng-geleng kepala mendengar istilah-istilah awam yang saya gunakan. Minimnya pengetahuan saya tentang gangguan ini sepertinya semakin membuktikan kelalaian saya. Keterangan saya diputarbalikkan dicocokin dengan pengertian pribadinya sang dokter. Saya dianggap denial dengan “kelainan” yang diderita D. Padahal sebenernya saya justru berusaha kasih keterangan seakurat mungkin, supaya kesimpulannya bener-bener sesuai dengan kenyataan yang ada, gak lebih gak kurang. Saya dicap mama yang kaku dan gak bisa berinteraksi dengan baik dengan anak saya sendiri. Duh rasanya nano-nano: sedih, kesal, putus asa, bingung, gemas pingin meluruskan, campur aduk. Setelah sia-sia berusaha menjelaskan, akhirnya saya telan bulat-bulat judgement demi judgement itu, sambil berusaha keras menahan airmata yang hampir jatuh, semua yang saya dengar begitu menyakitkan. Saya jadi mempertanyakan diri saya sendiri, ibu macam apa saya ini? Jangan-jangan bener anak saya itu korban “salah asuhan”? Kalo memang begitu, betapa kasihannya anak saya...

Waktu diagnosis itu adalah salah satu masa tergelap dalam kehidupan saya sebagai ibu. Saya kuatir memikirkan masa depan D, apa dia bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain? Apa aja yang harus saya lakukan buat bantu D mengatasi kesulitannya? Bagaimana dengan sekolah dan hidupnya, apa nanti-nanti D bakal banyak problem? Di mana kami bisa follow up dan terapi karena kami harus kembali ke rantau? Berapa biaya yang dibutuhkan? Apakah ada ahli/terapis yang lebih bisa kerjasama, karena saya pun perlu menjaga kondisi mental saya, jangan sampe setelah D membaik malah saya yang jadi konslet dan perlu diterapi...

Kemudian kami coba mencari pendapat lain, kami konsultasi dengan seorang psikolog yang juga anak Tuhan. Kali ini D dinyatakan tidak mempunyai gangguan atensi, cuma gangguan koordinasi aja. Umur 4 tahun masih terlalu dini untuk memastikan diagnosis ADD/ADHD. Total ada tiga orang ahli yang udah kami datangi, tiga-tiganya beda kesimpulan. Kami jadi tambah bingung.

Akhirnya saya dan suami bikin kesimpulan sendiri aja dah (gak tau diri banget ya, haha...): ahli-ahli di luar sana boleh bilang anak kami A, B, atau C, tapi kami memutuskan untuk tidak memberi label tertentu buat D. Kami pake istilah ADHD dan gangguan koordinasi buat sekedar memudahkan aja, supaya ngasih gambaran tentang kesulitan-kesulitannya D. Diagnosis pastinya kami serahkan ke tangan Bapa Surgawi.

Sejak saat itu kami masih konsultasi ke psikolog untuk mengevaluasi perkembangan D, di rumah kami berikan berbagai aktivitas buat melatih koordinasi dan beberapa kesulitan D yang lain, mengatur diet D seoptimal mungkin, menerapkan disiplin ketat untuk hal-hal tertentu dan memberi kelonggaran buat hal-hal lain.

Masalah disiplin jadi dilema tersendiri. Menurut psikolog, disiplin yang kami terapkan itu gak fair buat D, karena dia punya pola pikir yang beda, cara kerja otak yang beda, malah ada istilahnya yaitu “disfungsi otak”. Juga karena D belum begitu paham sebab akibat: perilaku yang buruk bakal kena penalti (misalnya timeout atau disetrap), perilaku yang baik bakal dapet pujian atau imbalan (misalnya boleh beli buku yang dia suka). Tapi saya dan suami dengan segenap hati percaya bahwa Tuhan mau kami tetap mendisiplin D. “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). James Dobson menulis di buku The Strong-Willed Child, bahwa anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) pun perlu didisiplin. Justru mereka LEBIH perlu disiplin, batasan memberikan rasa aman buat mereka, begitu katanya. Tapi orangtua perlu tau standar yang tepat untuk mendisiplin, sekaligus perlu lebih toleran dan nrimo bahwa standar itu mungkin bisa jarang kesampean.

ABK jelas lebih susah di-training atau didisiplin. Maka dari itu orangtua harus lebih toleran: sering kali anak gak bisa nurut sesuai standar, misalnya kalo lagi error. Saat seorang ABK lagi “error”, dia gak bisa mempertanggungjawabkan perilakunya. Saat D lagi “off”, seharusnya saya gak boleh hukum kesalahannya. Tapi, saya dan suami sepakat bahwa meskipun lagi “error” waktu bikin salah, D tetap perlu minta maaf dan kalo kesalahannya besar, dia tetap dapat penalti. Karena kita hidup di dunia yang jahat, yang gak punya toleransi dan belas kasihan, bahkan buat anak-anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu kami pengen agar D, pelan-pelan sesuai umurnya, belajar life skills yang dia perlukan supaya kelak bisa survive menghadapi dunia yang jahat ini, punya kemampuan buat menghadapi kecaman, judgement, ketidakadilan, dan lain lain.

Menurut suami saya, yang juga punya beberapa kesulitan seperti D di masa kecilnya dulu, D tetap perlu belajar mengendalikan diri dan menenangkan diri di saat gangguannya muncul. Ini proses yang paaaanjaang, tapi kami percaya bahwa dengan keistimewaan yang Tuhan kasih buat D, Dia juga tentu melengkapi D dengan kemampuan buat me-manage-nya. Gak putus-putusnya kami berdoa, memohon supaya D diberi semua perlengkapan yang dia perlukan untuk bisa survive.

Sebagai mama, saya punya kekurangan yang saya udah berusaha keras untuk perbaiki, dan doa dengan sama kerasnya, tapi kok belum kunjung berhasil. Saya orang yang emosian, gampang jengkel dan ngomong dengan nada tinggi. Kadang saya merasa bersalah, andaikan D punya mama yang lebih sabar, mungkin lebih baik buat dia. Tapi yah, memang saya udah begini modelnya, mau gimana lagi? Saya memutuskan untuk berdamai aja dengan kekurangan ini, dan berusaha terus memperbaiki. Kalo menurut Tuhan D perlu mama yang lebih sabar, mungkin dia udah kasih mama yang lebih sabar atau ciptakan saya sebagai orang yang sabar dan lemah lembut ya. Sementara itu belom terjadi, mungkin D lebih butuh mama yang sama strong willed-nya :) Saya yakin Tuhan gak pernah salah, D anak yang terbaik buat kami dan kami orangtua terbaik buat D. Rencana-Nya indah.

Bagaimana caranya saya mengalami peace atau damai sejahtera di tengah segala pergumulan dan sukacita membesarkan D? Ada beberapa hal yang saya lakukan:

  1. Saya pegang teguh janji yang Tuhan berikan buat saya di Mazmur 125:5-6, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” Biarpun dengan berurai airmata, kami harus terus berjalan maju sambil terus menabur, meskipun hasilnya gak kelihatan.

  1. Kasih karunia Tuhan selalu cukup. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” 2 Korintus 12:9a. Memang benar, dalam segala tantangan dan keterbatasan, justru kami belajar untuk semakin mengandalkan kuasa Tuhan dan bukan kemampuan kami sendiri. Kami makin sadar betapa segala yang baik dan segala kemudahan semata adalah kemurahan Tuhan, bukan karena kekuatan dan kehebatan kami.

Saya yakin di depan sana masih akan ada bad days dan good days. Masih bakal ketemu peristiwa dan orang-orang yang menyusahkan maupun menyukakan. Tapi kami gak mau galau. Kasih karunia-Nya cukup. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Filipi 4:7.

Begitulah. Kadang rasanya kami jalani hari-hari dengan lumayan OK, kadang kami gak begitu OK, kadang sangat-sangat ngga OK. Ada good days dan bad days. Demikian juga kemajuannya D. Kadang-kadang rasanya kami bisa liat hasil dari sekian lama berdoa dan berjerih lelah mengusahakan yang terbaik buat D. Ada hari-hari di mana saya berbesar hati dan liat D kayanya gak jauh beda dengan anak-anak seumurannya. Di hari-hari yang kurang bagus dan yang sangat tidak bagus, gak banyak yang bisa kami lakukan selain bertekun dan berdoa, sambil menanti-nantikan pertolongan Tuhan.

Together, we shall overcome.

Wednesday, March 25, 2015

When We Have Jesus, We Have it All ..

By Henny Rompas-Köykkä

Sewaktu belum menikah, sama halnya dengan sebagian besar orang, impian saya setelah kuliah adalah bekerja, menikah dan punya anak. Hubby and I were planning to have a baby two years after we got married. Setelah dua tahun menikah, kami mulai berusaha untuk punya anak.

Saat kami mulai berusaha untuk punya anak, tantangan itu datang. Mulai dari keadaan fisik dan psikis yang kurang mendukung karena saya mulai mengalami depresi berat sejak tinggal di sini. Waktu ngalami masa-masa down begini, pikiran negatif dan kesedihan itu terasa begitu kuat. Apalagi jika saya mendengar atau mengetahui bahwa teman saya sedang hamil atau baru melahirkan. Hati ini serasa tercabik-cabik! (Gak lebay, euy! :p) My first reaction after hearing the news was always: ”Good for her! But why not me?” or “When is it going to happen to me?”

Gak cukup sampai di situ, orang-orang yang seharusnya ngasih support justru malah menambah beban pikiranku dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Loe sih Hen, gak punya anak. Makanya gak ngerti”, “Kapan donk mama dikasih cucu?”, “Lho, koq belom hamil juga?” Rasanya gak ada yang lebih menyakitkan dari perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh orang-orang terdekat. I wish they could understand my pain, too. Meskipun demikian, setidaknya saya juga dikelilingi oleh teman-teman, adik dan tentu saja hubby yang sangat pengertian dengan keadaan ini dan gak pernah reseh.

Selama ini, saya tidak hanya bergumul dengan infertility issue, tetapi juga dengan berbagai persoalan hidup lainnya, seperti karir, dll. Tapi justru dengan persoalan-persoalan itu, saya justru lebih merasakan penyertaan Tuhan yang kuat atas hidup ini dan bahwa Allah itu hanya sejauh doa. Saya menemukan kekuatan dan penghiburan sejati lewat Firman Allah dan waktu luang yang dipakai untuk berada di dalam hadirat Tuhan lewat doa dan penyembahan. Di saat itulah, beban berat itu terangkat. Allah mengganti segala kuatir dan kesedihanku dengan harapan dan damai sejahtera akan masa depan. There’s nothing better than knowing that God holds our future and we have hope in Him.

Saat saya menghabiskan waktu luang dengan membaca Firman Allah dan menyembah Tuhan, gak cuma hati dan pikiran ini jadi tenang, tetapi juga ada sukacita. Lho, koq bisa? Ya bisa donk! Gimana gak jadi sukacita, kalau tiap kali baca Alkitab, yang nongol malah janji-janji Allah yang luar biasa kayak begini nih:

Don’t worry about anything; instead, pray about everything. Tell God what you need and thank Him for all He has done. Then you will experience God’s peace, which exceeds anything we can understand. His peace will guard your hearts and minds as you live in Christ Jesus.” –Philippians 4:6-7, NLT.

For the word of the LORD holds true, and we can trust everything He does.” –Psalms 33:4, NLT

Wueh! Ruaarr biasa!!! Itu hanya sebagian kecil dari Firman Allah that have inspired me and have given me strength in the tough times. Siapa coba yang bisa jamin that we can trust everything one does kalau bukan Tuhan Yesus sendiri??
Jujur, meskipun kami sering overwhelmed dengan persoalan hidup, kami sangat bersyukur lewat proses kehidupan yang Tuhan izinkan untuk terjadi dalam kehidupan kami. Kami berdua jadi lebih mendekat kepada-Nya. Buat saya dan hubby, hidup ini gak akan bisa dan gak akan pernah lengkap tanpa Yesus Kristus dan terutama bila Tuhan Yesus bukanlah segala-galanya di dalam hidup kami. Anak, karir yang bagus, harta/uang, status sosial/jabatan, dll. gak akan pernah bisa melengkapi hidup ini tanpa Yesus Kristus. Lho koq bisa begitu? Bisa donk, secara it is human nature kalo manusia itu gak pernah puas. Cuma Tuhan Yesus yang bisa bikin orang yang gak pernah puas jadi puas dan hanya Dia yang bisa mengisi kekosongan di dalam hati/hidup kita.

Kami percaya bahwa jika Allah mengizinkan semua ini terjadi dalam kehidupan kami, Dia tidak melakukannya tanpa ada rencana yang indah. Waktu Tuhan itu gak sama dengan waktu kita. Kita maunya apa yang kita inginkan terjadi/terkabul seketika, tetapi tidak demikian dengan Tuhan. Sebelum kita menerima berkat Allah, Dia akan memastikan kalau kita sudah memiliki sikap hati yang benar saat kita menerimanya. Contohnya nih: bayangkan saja jika kita kepengen jadi direktur, tapi kita masih bergumul dengan kesombongan, kemalasan, tidak jujur, etc. Saya rasa Tuhan gak akan mengabulkan doa kita itu seketika. Dia justru akan memproses hidup kita sedemikan rupa hingga kita memiliki sikap hati yang layak untuk menjadi seorang direktur. Seorang direktur perusahan yang takut akan Tuhan pastinya memiliki hati hamba (yaitu hati yang melayani bukan dilayani, kerendahan hati), rajin bekerja, pantang mengeluh, jujur dan penuh integritas.

So, buat teman-teman pembaca yang sedang bergumul dengan persoalan hidup, apapun itu (entah soal anak, karir, pasangan hidup, dll.), jangan putus asa. Tuhan Yesus pastinya tahu apa yang kita butuhkan dan Dia juga yang akan menyediakan tepat pada waktunya. Bagi kami, soal anak, kami berkeyakinan kalau Tuhan akan menyediakan tepat pada waktunya. Kalaupun tidak demikian, kami tetap percaya bahwa rencana Allah itu sempurna bagi kami dan Dia yang lebih tahu yang terbaik bagi kami. In the end, we both know that when we have Jesus and abide in Him, we have all and we shall lack nothing.

God is not a man, that He should lie; neither the son of man, that He should repent: hath He said, and shall He not do it? Or hath He spoken, and shall He not make it good?” –Numbers 23:19, KJV.

And we know that all things work together for good to them that love God, to them who are called according to His purpose.” –Romans 8:28, KJV.

My thoughts are nothing like your thoughts,” says the LORD. “And my ways are far beyond anything you could imagine. For just as the heavens are higher than the earth, so my ways are higher than your ways and my thoughts higher than your thoughts. –Isaiah 55: 8-9, NLT.

For I know the plans I have for you,” says the LORD. “They are plans for good and not for disaster, to give you a future and a hope.” –Jeremiah 29:11, NLT


Wednesday, March 18, 2015

Melatih Ketaatan Kepada Anak

by Fiona Harjono

Ketika saya menulis artikel ini, sejujurnya saya menulis setiap kalimat untuk diri saya sendiri {dan suami saya sebagai partner saya di dalam menjalani peran sebagai orang tua}. Sebagai orang tua muda yang “baru” memiliki anak selama kurang lebih dua tahun, kami masih banyak belajar untuk bagaimana melatih ketaatan kepada anak-anak kami yang masih batita. Kami masih melakukan banyak kesalahan, kami masih perlu banyak membaca, bertanya dan konsultasi dengan para orang tua yang sudah lebih berpengalaman, dan kami masih sangat perlu banyak berdoa untuk pekerjaan besar ini, karena kami tahu bahwa perjalanan kami dalam melatih ketaatan kepada anak-anak kami masih sangat panjang.
Setiap hari dan setiap saat, hanya dengan kasih karunia Tuhan kami belajar untuk menjadi orang tua yang memiliki hatinya Tuhan. Maka artikel ini saya tulis dari sebuah kerinduan kami untuk terus belajar sebagai orang tua dan memberkati para orang tua lain dengan dorongan semangat dan insipirasi yang kami terima.



Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali” {Amsal 30:17}


Perkembangan teknologi yang semakin pesat seiring berjalannya waktu membuat informasi media semakin mudah diakses. Berbagai penawaran menarik dapat kita jumpai di mana pun; dalam gadget, media massa, televisi, radio, papan iklan, dan sebagainya. Para orang tua pun berlomba-lomba untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak mereka dengan segala yang terbaik; mainan, makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya. Tidak ada yang salah di dalam semua pemenuhan kebutuhan jasmani tersebut semuanya masih ada di dalam jalur yang benar, namun para orang tua jangan sampai lupa untuk memenuhi kebutuhan rohani anak-anak; jiwa dan roh mereka.
Ketaatan merupakan salah satu kebutuhan utama jiwa dan roh seorang anak yang wajib diperhatikan para orang tua. Kegagalan orang tua dalam mengajarkan ketaatan kepada anak-anak akan menyebabkan mereka sulit untuk taat kepada Allah, Tuhan dan Juruselamat hidup mereka.

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” {Pengkotbah 12:13-14}

Di dalam proses mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak, para orang tua perlu mengenal anak-anak mereka dan mengerti apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Para orang tua tidak dapat mengenal anak-anak mereka dengan baik jika anak-anak tidak berada di dekat orang tua untuk diajar dan dilatih.


Allah sangat Menghargai Ketaatan
Karena ketaatan merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus dikerjakan oleh orang tua, maka para orang tua perlu mengerti prinsip dasar dalam menjalankan tugas dan fungsinya mendidik seorang anak. Hal ini sangat penting untuk dipahami karena Allah sangat menghargai sebuah ketaatan, bahkan sebuah ketaatan lebih berharga daripada banyak persembahan.
Salah satu kisah dalam Alkitab yang bisa kita pelajari adalah kisah Raja Saul; seseorang yang dipilih dan diurapi oleh Tuhan untuk menjadi raja pertama bangsa Israel {1 Samuel 11:15}, bangsa pilihan Allah; seseorang yang gagah perkasa dan membawa bangsa Israel mengalami banyak kemenangan dalam peperangan; namun pada akhirnya Tuhan menolak dia menjadi raja Israel akibat ketidaktaatan.
Ketika tiba waktunya bangsa Israel memberikan korban persembahan kepada Allah, Nabi Samuel, yang memiliki otoritas untuk membawa persembahan kepada Allah, belum juga datang. Akibat desakan rakyatnya, maka Raja Saul mengambil inisiatif untuk membawa persembahan kepada Allah tanpa menunggu Nabi Samuel {1 Samuel 14}. Raja Saul juga tidak taat kepada perintah Allah untuk menumpas habis semua orang dan harta benda bangsa Amalek. Raja Saul membiarkan raja bangsa Amalek tetap hidup dan membawa harta benda bangsa Amalek yang terbaik untuk dijadikan persembahan kepada Allah. Apakah Allah senang dengan korban bakaran tersebut? Tidak. Ketaatan lebih berkenan kepada Allah dibandingkan korban bakaran.
Tetapi jawab Samuel: "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan”. {1 Samuel 15:22}
Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” {Hosea 6:6}
Kebenaran ini harus dipahami setiap orang tua agar anak-anak mereka juga menerima prinsip ini sebagai kebenaran, bahwa ketaatan merupakan hal yang penting dan sangat serius di mata Allah. Mengapa ketaatan itu sangat penting?
  1. Ketaatan adalah perintah Tuhan
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. “ {Efesus 6:1-3}
  1. Ketidaktaatan yang berulang-ulang adalah dosa
Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim…” {1 Samuel 15:23a}
  1. Ketaatan mendatangkan berkat {dan ketidaktaatan mendatangkan kutuk}
Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” {Efesus 6:2-3}
Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu.. Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan tidak melakukan dengan setia segala perintah dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka segala kutuk ini akan datang kepadamu dan mencapai engkau” {Ulangan 28:2, 15}
Maka para orang tua perlu mengingat bahwa mengajarkan tentang Tuhan kepada anak-anak diawali dengan mengajarkan mereka mengenai ketaatan. Para orang tua perlu menyadari bahwa Tuhan sudah memberikan otoritas atas anak-anak kita agar kita dapat mengajar dan melatih mereka untuk hidup dalam jalan Tuhan sehingga memimpin anak-anak pada suatu hubungan yang kekal dengan Tuhan. Jika orang tua tidak mampu mengambil otoritas yang diberikan Tuhan secara optimal, maka pihak lain {budaya, media, dan orang lain} yang akan memanfaatkan otoritas itu untuk membentuk hidup anak-anak kita.


Definisi Ketaatan
Definisi ketaatan yang harus diajarkan para orang tua adalah melakukan perintah yang diberikan Tuhan atas hidup anak-anak dengan segera dan tanpa mengeluh.
Ketaatan seperti ini mutlak diperlukan seorang anak untuk bertumbuh di dalam karakter dan cara hidup yang baik. Keberhasilan orang tua di dalam mendidik anak terutama dilihat dari kesediaan anak untuk taat.
Pada saat pengarahan untuk acara penyerahan anak pertama kami di gereja lokal, pemimpin kami sempat mengatakan bahwa ujian terbesar orang tua di dalam hal keberhasilan mendidik anak adalah ketika anak tersebut memilih pasangan hidup; apakah anak kita akan mendengarkan dan taat kepada pendapat kita sebagai orang tua, atau sebaliknya. Keputusan memilih pasangan hidup merupakan salah satu hal utama di dalam hidup seseorang, selain keputusan untuk menerima Tuhan sebagai Juru Selamat pribadi; maka saat itulah para orang tua akan menuai hasil dari apa yang sudah ditaburkan dalam hidup anak-anak.
Tujuan utama para orang tua dalam mengajar dan melatih ketaatan adalah menghasilkan anak-anak yang memiliki karakter Kristus, anak-anak yang Ilahi; yaitu melatih mereka untuk memiliki hati dan pikiran seperti Kristus dan tubuh mereka melakukan apa yang Kristus lakukan.


Mengajar vs Melatih
Di dalam mengharapkan ketaatan anak-anak, para orang tua tidak cukup sekedar mengajarkan ketaatan, namun perlu melatih ketaatan.
Mengajar adalah memberikan kepada anak-anak mengenai informasi dan kebenaran yang mereka perlukan untuk hidup baik atau sukses. Melatih adalah memberikan kepada anak-anak disiplin untuk menerapkan apa yang sudah mereka pelajari.


Proses Melatih Ketaatan
Ketaatan bukanlah sesuatu yang kita peroleh secara langsung, melainkan sesuatu yang harus diusahakan dan dilatih. Orang tua tidak bisa mengharapkan anak-anak mereka secara otomatis taat kepada perkataan orang tua dan Firman Allah jika orang tua tidak pernah melatih mereka melakukan itu.
Karena menjadi orang tua adalah pekerjaan seumur hidup, maka tugas untuk melatih ketaatan kepada anak-anak juga harus dikerjakan selama kita hidup menjadi orang tua dari anak-anak kita. Di sinilah orang tua perlu memahami cara melatih dan mengajarkan ketaatan kepada anak-anak sesuai usia mereka. Orang tua sangat memerlukan kesabaran dan konsistensi di dalam mengajarkan ketaatan.
Tidak ada sebuah metoda cepat dan sebuah rumus pasti untuk membentuk seorang anak yang taat dalam waktu singkat. Allah menciptakan setiap pribadi secara unik; dengan karakter khusus, tingkat kedewasaan yang berbeda, kemampuan yang berbeda, ketertarikan yang berbeda; tidak ada satu orang pun yang sama persis dengan orang lainnya.
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” {Amsal 22:6}
Proses mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak membutuhkan waktu dan tidak dapat dilepaskan dari tindakan disiplin yang kita berikan selama proses itu.
Hal penting yang perlu disadari para orang tua adalah semua tindakan disiplin yang diberikan seharusnya diarahkan kepada hati anak, bukan kepada perilaku anak. Jika kita memperhatikan isi Alkitab, kita akan menemukan bagaimana Allah lebih memperhatikan kepada hati manusia untuk mengasihi dan taat kepada-Nya karena Allah mengerti bahwa kita adalah manusia yang masih dalam proses bertumbuh menjadi dewasa dan membutuhkan waktu untuk memahami semua perintah-Nya.
Maka ketika para orang tua memberikan tindakan disiplin kepada anak-anak, lihatlah kepada hati mereka. Apakah ketidaktaatan mereka akibat dari hati yang memberontak? Apakah mereka lelah? Apakah orang tua mengharapkan lebih banyak dari kemampuan anak-anak sesuai usia mereka?
Saya dan suami pun masih terus belajar untuk memberikan tindakan disiplin yang tepat kepada anak-anak saya. Kami membuat kesalahan dan gagal berulang kali. Namun Firman Tuhan selalu mengingatkan kami bahwa kedewasaan adalah hasil dari sebuah proses.
Maturity is as a result of training, time, growth, heart and will.” {Sally Clarkson}


Keseimbangan antara Disiplin dan Kasih
Tindakan disiplin sangat diperlukan saat para orang tua melatih dan mendorong anak-anak untuk bertumbuh menjadi seperti Tuhan karena hal itu akan membantu mereka untuk menemukan kasih karunia Allah di dalam hidup mereka.
Dalam memberikan tindakan disiplin kepada anak-anak, para orang tua perlu mencari dan meminta hikmat Tuhan setiap hari. Tindakan disiplin bukan hanya sekedar “boleh atau tidak boleh” – memukul, membentak, menghukum -, namun lebih mengenai persoalan untuk mendapatkan hati anak. Kisah kehidupan yang dijalani orang tua setiap hari akan memberikan dampak lebih besar dalam kehidupan anak-anak dibandingkan perkataan dan usaha kita untuk memberikan disiplin kepada mereka.
Yesus melakukan hal yang sama kepada murid-murid-Nya, yaitu memberikan teladan hidup untuk ditaati dan diikuti oleh murid-murid. Para orang tua seharusnya tidak hanya memberitahukan kepada mereka apa yang seharusnya mereka lakukan, tapi juga menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka harus melakukan hal itu.
Disiplin adalah persoalan hubungan hati ke hati, sebuah interaksi spiritual yang berkelanjutan.
Tentu hal itu tidak mudah! Menghabiskan banyak waktu, menuntut banyak pengorbanan, dan memerlukan ketekunan. Namun apa yang dilakukan para orang tua akan memiliki dampak yang kekal. Apa pun yang kita lakukan untuk kekekalan, iblis tidak akan suka. Iblis akan membuat para orang tua merasa lelah, merasa gagal, merasa putus ada, merasa bersalah, dan perasaan negatif lainnya.
Kekerasan tidak akan pernah menolong kita untuk memperoleh hati seorang anak. Para orang tua perlu menggunakan hikmat untuk mengerti situasi, hati seorang anak, serta cara terbaik untuk bertindak.
Beberapa kesalahan yang umum dilakukan orang tua di dalam melatih ketaatan kepada anak mereka seperti:
  • Mengancam terus menerus; memberikan rasa takut kepada anak jika tidak taat
  • Menyogok sebagai ganti ketaatan; menawarkan imbalan untuk sebuah ketaatan
  • Negosiasi di tengah konflik; melakukan sesuatu yang menyimpang dari prinsip atau aturan demi ketaatan anak
Jangan pernah mendisiplin berdasarkan satu daftar kaku aturan-aturan tanpa mempertimbangkan keadaan-keadaan yang unik dan special.  Pakailah hikmat dari Tuhan untuk mengaplikasikan disiplin dengan keadilan dan kasih sayang.
Paul M. Landis, di buku The Respponsibility of Parents in Teaching and Training Their Children berkata, “Konsistensi dengan kelembutan, sikap dan suara yang tenang, dan ketegasan, bukannya amarah dengan suara yang tinggi, akan lebih meyakinkan seorang anak tentang ketulusan dan tujuan kita”. 
Beberapa hal yang penting diketahui para orang tua mengenai disiplin:
  • Disiplin adalah sebuah proses jangka panjang yang didasari sebuah hubungan keluarga.
Timotius merupakan salah satu contoh pemuda yang memiliki nenek dan ibu yang sudah memberikan investasi kekekalan dalam hidupnya.
Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” {2 Timotius 1:5}
  • Allah memberikan kesabaran dan kelapangan hati-Nya untuk membawa manusia ke dalam pertobatan.
Hal inilah yang perlu dilakukan para orang tua secara terus-menerus untuk melatih anak-anak di dalam ketaatan.
Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” {Roma 2:4}
  • Jangan pernah lelah untuk melatih anak-anak di dalam ketaatan karena akan datang waktunya kita akan menuai apa yang sudah kita tabur.
Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” {Galatia 6:9}


Melatih Ketaatan kepada Anak-anak
Melatih ketaatan kepada anak-anak dimulai dengan hubungan yang baik antara orang tua dan anak. Semakin baik hubungan orang tua dengan anak, maka semakin mudah anak bersikap taat kepada orang tua.
  • Ketika orang tua memberikan sebuah instruksi, maka orang tua perlu mengharapkan anak memberikan respon langsung dan lengkap sesuai dengan apa yang dimaksudkan; tanpa menunda dan tanpa mengeluh.
Jangan pernah takut untuk menetapkan standar yang tinggi dan memelihara standar itu. 
  • Ketika orang tua memberikan sebuah instruksi, jangan sekali-kali memberikan instruksi yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk ditaati atau dilakukan.
Sediakan waktu untuk melatih anak-anak sampai dapat bertindak seperti yang orang tua inginkan mereka bertindak, dan sebagaimana orang tua percaya Tuhan juga menginginkan anak-anak bertindak, bukan sebagaimana orang lain atau budaya yang mengajar dan melatih anak-anak kita untuk bertindak. 
  • Para orang tua harus konsisten dengan instruksi yang diberikan untuk semua keadaan; tentu dengan tuntunan hikmat dari Tuhan yang perlu dicari para orang tua setiap saat.
Konsistensi bukan berarti “melakukan hal yang sama persis kapada setiap anak” atau “mendisiplin dengan cara yang sama persis di setiap keadaan”.  Tidak semua anak mempunyai kepribadian atau emosi yang sama. Konsistensi sebenarnya artinya setiap kali anak memerlukan koreksi, kita sebagai orang tua akan bangkit dan melakukannya, dan tetap ada di situ untuk memimpin dan bertahan lebih lama dari anak kita sampai pesan kita dapat tersampaikan. Berusahalah keras untuk konsisten dengan tidak menutup mata pada hal apapun yang kita tahu bahwa kita perlu melakukan koreksi.
  • Awal pelatihan instruksi sebaiknya dimulai secara pribadi dari dalam rumah; tidak di depan umum atau di tempat lain.
Ketika aku masih tinggal di rumah ayahku sebagai anak, lemah dan sebagai anak tunggal bagi ibuku, aku diajari ayahku, katanya kepadaku: "Biarlah hatimu memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup” { Amsal 4:3-8 }
  • Berikan waktu dan perhatian di dalam proses melatih ketaatan kepada anak-anak di dalam kegiatan rutinitas sehar-hari.
Bangunlah suatu hubungan dengan mereka yang akan membantu mendorong mereka untuk mau mentaati kamu dan akhirnya Tuhan.  Kepercayaan anak kepada orang tua sangat penting di dalam membantu orang tua untuk melatih ketaatan kepada anak. Maka bangunlah kepercayaan itu setiap hari.
Bahasa tubuh yang bisa kita latih kepada anak-anak dalam merespon sebuah instruksi adalah memberikan jawaban “ya” disertai dengan menatap wajah orang tua pada level mata anak.
Respon seperti ini merupakan salah satu cara yang selalu kami lakukan ketika memberikan instruksi atau menegur anak-anak. Sejak mereka berusia 1 tahun, hampir selalu mereka dapat merespon dengan jawaban “ya” dan menatap wajah kami, meskipun tidak selalu instruksi kami dilakukan secara benar dan tepat. Seringkali kami harus berkali-kali melakukan hal yang sama untuk sebuah instruksi, namun kami yakin bahwa proses pelatihan yang konsisten akan memberikan hasil yang baik.


Kekanak-kanakan dan Kebodohan
Seiring dengan pertambahan usia anak, para orang tua perlu membedakan latar belakang ketidak-taatan yang dilakukan anak; apakah karena sifat kekanak-kanakan {usia masih terlalu muda untuk mengerti instruksi yang diberikan} atau karena kebodohan {hati yang memberontak}
Kekanak-kanakan adalah tindakan yang menunjukkan kepolosan {belum mengerti}, kesalahn yang tidak disengaja dan tidak ada niat memberontak.
Kebodohan adalah kekerasan hati dan pemberontakan, baik secara terang-terangan maupun tidak; artinya ia mengerti kesalahannya dan dengan sengaja melakukannya lagi.
Tahap-tahap tindakan koreksi yang sebaiknya dilakukan orang tua akibat ketidak-taatan karena kebodohan:
  1. Kata-kata peringatan
  2. Isolasi atau time-out
  3. Kehilangan hak atau kesempatan sesuatu
  4. Pukulan ringan
Penting diingat para orang tua bahwa tujuan dari koreksi dan tindakan disiplin adalah agar hati anak berubah, sehingga kebodohan dan ketidak-taatan tidak menetap dalam hatinya dan tidak terulang kembali.
Faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan orang tua dalam memberikan koreksi dan tindakan disiplin kepada anak usia batita:
  1. Frekuensi pelanggaran dalam periode tertentu
  2. Jenis dan alasan pelanggaran anak
  3. Konteks kejadian
  4. Umur dan jenis anak
Sikap orang tua saat melakukan tindakan koreksi dan disiplin kepada anak:
  • Hati yang tenang dan berhikmat
  • Tegas dan mantap
Kegagalan utama orang tua di dalam melatih anak-anak adalah cepat menyerah dan tidak tegas.


Tongkat Didikan
Metoda disiplin dengan menggunakan pukulan dengan tongkat didikan {atau sering dikenal dengan tongkat kasih} memiliki tujuan untuk menimbulkan rasa sakit dengan kekuatan terukur sehingga hati anak mengalami perubahan.
Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” {Amsal 29:15}
Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” {Amsal 13:24}
Jika orang tua memilih untuk menggunakan tongkat didikan dalam tindakan koreksi dan disiplin, maka sebaiknya:
  • Tidak dilakukan dalam keadaan emosi
  • Tidak dilakukan di depan umum
  • Memberi penjelasan kepada anak sebelum ia dipukul {dengan cara yang disesuaikan dengan usia anak}
  • Tongkat dipukulkan pada bagian pantat anak dan harus menimbulkan rasa sakit
Indikasi keberhasilan metoda tongkat didikan sebagai sarana koreksi dan disiplin kepada anak adalah dengan semakin berkurangnya penggunaan tongkat ini ketika usia anak semakin bertambah.


Kesimpulan
Mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak dapat dirangkum menjadi dua konsep sederhana berikut:
  1. Ketaatan adalah sebuah berkat.
Ketaatan bukan lah sesuatu yang membawa kesulitan di dalam hidup manusia, malah sebaliknya, ketaatan selalu di dalam kebenaran selalu menghasilkan sukacita, damai, dan kebebasan.
Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.” {Mazmur 19:8-12}
  1. Ketaatan adalah sebuah respon
Tidak hanya ketaatan mendatangkan suatu berkat, namun ketaatan juga selalu menjadi sebuah respon. Kasih karunia Allah tidak menghilangkan sebuah ketaatan, melainkan memberikan kita dorongan untuk memilki respon taat. Kita adalah penerima kasih karunia dan anugerah Allah tanpa syarat, dan satu-satunya respon yang perlu kita miliki adalah dengan taat kepada Allah yang telah menyelamatkan hidup kita.
Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keingina duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.” {Titus 2:11-14}


Mengajar dan melatih ketaatan kepada anak-anak bukanlah pekerjaan mudah dan singkat; sangat dibutuhkan waktu dan proses terus-menerus tanpa lelah. Tidak ada satu pun rumus singkat untuk menghasilkan anak-anak yang taat secara langsung dan cepat. Namun
Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” {Amsal 29:17 }


Referensi:
Artikel “What does Obedience Have to Do with Freedom” oleh Ruth Schwenk via Mom Heart

Artikel “Heartfelt Discipline – And a Giveaway!“ oleh Sally Clarkson via I Take Joy

Artikel “The Balance between Grace and Discipline” oleh Sally Clarkson via I Take Joy
“Raising Godly Tomatoes” oleh Elizabeth Krueger via Godly Parenting Groups
---

Friday, March 13, 2015

Pleasing God through Wedding Preparation


By Stephanie Gunawan

Saya menikah Desember ini!! Wow, wow!! ;D Benar seperti yang orang-orang bilang, nyiapin wedding itu gak gampang, tapi seru! Banyak pengalaman yang saya alami bersama pasangan. Kami pun dibentuk bersama.

Dari awal, kami sangat ingin mempunyai sebuah pernikahan yang memuliakan Tuhan. Pernikahan di mana orang-orang bisa merasakan Tuhan hadir di tengah-tengahnya. Tentunya pernikahan tersebut bisa terwujud kalau selama masa persiapannya pun menyenangkan Tuhan. Ya gak? Kalau persiapannya udah acak-adut, penuh kemarahan, negative-thinking, nafsu dan rasa tidak puas, nanti pas hari-H pun yang ada pengantin bisa manyun, hehe… Kalau udah manyun, yang datang jadi ikut bete en gak merasakan sukacita. Gimana mau merasakan Tuhan hadir kalau sukacita aja udah ga ada? Nah, karena itulah saya dan pasangan pengen menyenangkan hati Tuhan Yesus gak cuman pas hari H, tapi juga sejak masa persiapannya. :)

Selama persiapan, ada tiga hal di mana saya dan pasangan sama-sama belajar.

Pertama, tentang kekudusan. Apa lagi sih kalo bukan hal yang satu ini? Guys, susah lho jalanin komitmen “GAK SENTUHAN FISIK, GAK PELUKAN, GAK CIUMAN” sampai kami menikah. Ada kiat-kiat yang diberikan di buku-buku. Seperti misalnya, menghindari gak berduaan di tempat sepi. Well, kenyataannya itu gak mungkin bisa dihindari 100%, bahkan 1000%! Gimana coba, saya dan pasangan harus siapin nama-nama undangan pernikahan kami, print label namanya, tapi komputernya ada di kamar kerja, sementara orang rumah juga pada sibuk. Apakah saya harus menyuruh salah satu dari mereka untuk nongkrongin kami print label nama sementara kerjaan mereka ditinggalkan? Rasanya gak mungkin. Kami pun sedang menyiapkan tempat tinggal dan semuanya ngomong tentang budget, budget dan budget. Apakah mungkin kami membicarakannya dengan diawasi orang lain? Susah bukan? Udah urusan uang, kami benar-benar mesti hitung berdua, berapa jumlah tabungan kami, bagaimana kami akan menggunakannya, pilih produk yang harga berapa, keuntungan/kerugiannya bagaimana, dll. It’s private and confidential bo! Pasti berduaan lagi di kamar kerja. Pergi ke vendor-vendor juga pasti berdua di mobil. Siapa lagi yang mau pergi ngurusin pernikahan kami kalau bukan kami berdua? Jadi, saya rasa kiat ‘menghindari gak berduaan di tempat sepi’ makin sulit kalau sedang mempersiapkan pernikahan.

Jujur, godaan pun makin besar. Apalagi di saat kami lelah fisik dan mental. Mengenai ciuman, ada kesempatan di mana kami jatuh. Tapi kami mau bangkit lagi dan mencegah hal itu terulang. Saya sendiri kecewa hal itu terjadi. Padahal, tadinya saya udah siap ‘pamer’ di blog bahwa saya berhasil melaksanakan my first kiss is my wedding kiss. Udah ngebayangin nanti setelah hari H, bakal nulis kaya gitu dan siap ayatnya seperti ci Lia (another great writer in this magazine), dari 1 Korintus 4: 16 Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku! Hehehe.. Ternyata gagal! Haha.. So, jangan ikuti teladan saya yah, emang udah yang paling bener: IKUTI TELADAN TUHAN YESUS!! Dari pengalaman itu saya pun belajar mengampuni pasangan saya dan juga diri saya sendiri. Sejauh ini, Tuhan Yesus tetap menjaga kami. Ia yang membantu kami untuk menyenangkan hati-Nya. :) Glory for Jesus!

1Petrus 1:14-16
Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

Kedua, tentang uang. Belajar mengatur keuangan berdua itu agak tricky. Hehe. Memang dasar manusia, kalau pakai uang sendiri, rasanya susaaah banget keluarnya. Tapi kalau pakai uang orang, pengennya memanfaatkan semaksimal mungkin. Ckck. Ceritanya begini. Kami bikin budget untuk setiap vendor (FYI, biaya pernikahan dipersiapkan oleh pihak pasangan saya). Misalnya bridal segini, kue pengantin segitu, kartu undangan sekian, dst... Nah kalau kami udah siapkan 4 juta rupiah untuk kue pengantin, saya rasanya pengen menghabiskan 4 juta-4 jutanya untuk kue pengantin. Kalau ada dana segitu untuk kue, kenapa saya harus cari kue yang lebih murah? Toh barang yang lain juga sudah ada budgetnya. Kenapa budget kue harus dipotong?

Then, I came across for a discussion with one of my sisters in Christ. Dia bilang, "Fani, cici merasa, sorry yah sebelumnya, kamu ada roh serakah." JEDEERR!!! Dia melanjutkan, "Kalau kamu udah budgetin 4 juta buat kue, bukan berarti kamu mesti pake 4 juta-4 jutanya kan. Kalau memang bisa ketemu kue yang oke dan harganya 3,5 juta, itu kan lebih baik. Kamu bisa simpen 500-ribunya dan pakai buat kepentingan yang lain." Pembicaraan itu membuat saya berpikir dan saya teringat pada ayat di Amsal 31:12.

Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. 

Saya menyimpulkan bahwa menghabiskan uang pasangan saya untuk keinginan saya pribadi, apalagi memanfaatkannya sampai berlebihan, termasuk perbuatan jahat. Saya gak mau jadi isteri yang jahat seperti itu. Saya mau jadi wanita seperti di Amsal 31. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. :)

Sejak itu, saya benar-benar menghitung dengan teliti berapa biaya yang harus kami keluarkan untuk membiayai pernikahan. Bukan mentang-mentang biaya pernikahan ditanggung pasangan saya, saya pakai seenaknya. Jangan sampai demi memuaskan keinginan saya, kami sampai berhutang ke mana-mana. Saya mau setelah kami menikah, kami bisa punya kondisi keuangan yang cukup baik. Saya percaya, keputusan ini menyenangkan hati Yesusku. :) (Cerita lengkap tentang uang ini bisa dilihat di http://withintakapipisbrainandheart.blogspot.com/2012/08/save-his-money.html)

Yang terakhir, mengenai orang tua. Pernikahan bukan cuma penyatuan dua insan, tetapi juga merupakan penyatuan dua keluarga. Tentunya orang tua saya dan orang tua pasangan saya akan menjadi satu keluarga juga. Nah, yang bisa bikin rempong adalah pendapat mereka bisa berbeda.

So far, saya bingung dengan tema warna pernikahan saya. Yah begitulah, warna-warna bisa memusingkan dan menimbulkan percekcokan. :D Tadinya warna yang saya pilih adalah putih dan hijau. Tapi, baju penerima tamu, pengapit, dan baju mami yang tersedia hanya seputar warna emas, pink, putih, jingga, ungu. Daripada semuanya harus bikin baru dengan warna putih-hijau, saya memutuskan ganti warna deh. Toh baju yang sudah ada juga bagus-bagus. Bisa save budget (masih inget kan sharing saya di atas tadi tentang uang? Hehe). Saya pertimbangkan pilihan yang tersedia di bridal. Kemudian saya cocokkan dengan warna baju mami saya. Maklum, mami saya punya 3 anak yang sudah menikah, jadi stock gaun dia udah lumayan banyak. Akhirnya saya putuskan warna pink dan emas.

Setelah memutuskan hal tersebut, saya pikir semua akan baik-baik saja. Pikiran saya: wah mami saya bisa pakai baju yang sebelumnya, jadi tidak usah bikin yang baru. Save budget berhasil! Tapi, gak disangka, tiba-tiba mami beli kain emas. Katanya untuk dibuat jadi gaun yang dia pakai di hari pernikahan saya. Oalaahh... Kaget… Ternyata si mami mau juga punya baju baru, tapi mungkin gak enak ngomongnya. Saya sampaikan hal ini ke pasangan saya. Saya bingung. Mau kecewa karena gak bisa save budget, atau senang karena mami saya sudah menyelesaikan proses pilih kain. Toh memang pada akhirnya baju mama pasangan saya harus dibuat juga, sebab ia belum ada gaun. Tinggal pilihan terakhirnya mau kembaran atau beda saja. Jadi, memang harus pilih kain juga.

Hm.. hm.. mama pasangan saya memang tidak terlalu ribet, dia mudah saja setuju dengan kain pilihan mami saya. Jadi kain yang mami saya beli bisa dipakai dan pilihannya memang bagus. Setelah ngobrol, pasangan saya menegaskan, gak papa kok kalau kita bikin baru untuk keduanya. Gak ada salahnya. Save budget tapi kalau malah melukai perasaan mami saya malahan gak enak. Justru inilah saatnya kami menunjukkan kasih kami ke mereka, bikinin baju baru. It’s a kind of showing our respect to them, too. :)

Soal pilihan tanggal pernikahan. Saya dan pasangan sudah pilih beberapa pilihan tanggal. Tapi memang bingung antara tanggal A atau B. Saya merasa A lebih baik, pasangan saya merasa B lebih baik. Saya tanya mami saya. Puji Tuhan mami saya gak menyuruh saya harus pilih tanggal baik ke ‘orang pintar’ seperti tradisi keluarga keturunan Chinese pada umumnya. Saya yakin Tuhan Yesus bekerja dalam hal ini, terutama sejak mami terima Tuhan Yesus. :) Syukurlah saya bisa tetap memegang apa yang saya percayai bahwa semua hari adalah hari Tuhan, hari yang baik yang Ia ciptakan. Ia merasa pilihan A maupun B baik. Tinggal mama pasangan saya. Ternyata, mama pasangan saya memilih tanggal B. Nah, saya kan maunya tanggal A. Jadilah saya bergumul. Duh, gimana yah. Memang sih gak ada salahnya tanggal B, cuma beda satu minggu saja. Ini hanya ego saya nih. Padahal kelangsungannya gak akan jauh berbeda. Mau ngalah gak nih sama calon mama mertua? Hehe. Saya putuskan, iya deh ngalah aja. Saya juga gak punya alasan yang penting untuk dipertahankan. Ini pun cara saya menghormati keinginan mama pasangan saya, dengan gak memaksakan keinginan saya.

Dengan kata lain, saya berusaha mengasihi dan menghormati mama pasangan saya (yang udah gedein anaknya sedemikian rupa sehingga jadi pria yang ganteng dan bisa diandalkan ^^) dan pasangan saya juga ikut belajar mengasihi dan menghormati mami saya (too bad papa udah gak ada sejak 2002 :(, kena serangan jantung). Saya yakin menghormati kedua orang tua kami menyenangkan hati Tuhan. Kok yakin? Iya donk, kan Tuhan yang minta di Keluaran 20:12:

Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.

Pengalaman nyiapin wedding kami merupakan pengalaman belajar menyenangkan hati Tuhan Yesus. Dari segi kekudusan, kami mau menyenangkan hati Tuhan Yesus.
Dari segi keuangan, kami mau menyenangkan hati Tuhan Yesus.
Dari segi hubungan dengan orang tua, kami juga mau menyenangkan hati Tuhan Yesus.
Kami mau persiapan ini akan membawa kami ke hari-H yang memuliakan Tuhan. Dan pastinya hari-hari kehidupan kami sebagai suami-isteri juga menyenangkan hati Tuhan. Doakan yah! ;)