Monday, July 29, 2019

Sifra dan Pua: Bidan-Bidan yang Takut akan Tuhan


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang menolong perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua, katanya: "Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup. " Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup. Lalu raja Mesir memanggil bidan-bidan itu dan bertanya kepada mereka: "Mengapakah kamu berbuat demikian membiarkan hidup bayi-bayi itu?" Jawab bidan-bidan itu kepada Firaun: "Sebab perempuan Ibrani tidak sama dengan perempuan Mesir; melainkan mereka kuat: sebelum bidan datang, mereka telah bersalin. Maka Allah berbuat baik kepada bidan-bidan itu; bertambah banyaklah bangsa itu dan sangat berlipat ganda. Dan karena bidan-bidan itu takut akan Allah, maka Ia membuat mereka berumah tangga. Lalu Firaun memberi perintah kepada seluruh rakyatnya: "Lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil; tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.
(Keluaran 1:15-22)

Bidan Sifra dan Pua mungkin tidak seterkenal wanita-wanita lain di Alkitab, bahkan namanya hanya disebutkan sekali saja. Namun bidan-bidan ini memberikan teladan dalam hal hidup takut akan Allah. Dengan kesadaran, mereka memilih menentang perintah Raja Mesir untuk membunuh bayi laki-laki Ibrani, meskipun hal itu beresiko pada nyawa mereka. Perbuatan mereka diganjar Allah dengan membuat mereka berumah tangga. Allah memperhatikan apa yang mereka perbuat, dan Allah memberkati mereka saat mereka hidup dalam takut akan Dia. 

Seandainya dihadapkan pada pilihan yang sama, apakah kita akan memilih taat kepada Tuhan atau kepada manusia? Mudah memang untuk berkata taat kepada Tuhan, tapi prakteknya?

Dalam kehidupan saya, sejujurnya, berada di dunia kerja membuat saya bergumul. Ada kalanya bos di kantor meminta saya melakukan hal-hal yang saya tahu dosa. Saya tidak ingin melakukannya lalu berbagai pemikiran muncul :
  • Bagaimana jika saya menolak lalu bos menekan saya?
  • Bagaimana jika saya dianggap sok suci?
  • Bagaimana pandangan orang lain dengan pilihan saya?
  • Bagaimana jika ada pemeriksaan dan ketahuan apa yang saya lakukan salah?
  • Bagiamana kalau karir saya terhalang?
  • Bagaimana kalau saya gak dapat perjalanan luar kota seperti teman saya yang lain?
PERHATIKAN!

Fokus saya adalah bagaimana respon orang lain. Saya tidak peduli pada perasaan Allah. Saya tidak peduli bagimana Allah berduka bahkan dipermalukan dengan tindakan saya. Saat saya lebih memperhatikan akibat dosa dibandingkan fakta bahwa itu mempermalukan Tuhan yang saya sembah, berarti saya tidak takut kepada Tuhan. 

Rupanya SAYA LEBIH TAKUT KEPADA MANUSIA DIBANDINGKAN TAKUT KEPADA TUHAN.

Kalau saya malu atau takut menyatakan iman kepada Tuhan di tempat kerja saya, bisa jadi saya sesungguhnya tidak menghormati Tuhan. Seharusnya, dimana pun dan kapan pun, termasuk di tempat kerja, saya harus hidup takut akan Tuhan.

Takut akan Tuhan berarti melakukan kehendak Tuhan. Bahkan sekalipun saya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bahkan sekalipun saya harus menderita kerugian. Pokoknya, saya hanya perlu takut pada Tuhan! Seperti yang dilakukan Pua dan Sifra. Kalau dipikir-pikir, yang dilakukan Pua dan Sifra sungguh luar biasa (kalau tidak disebut gila): menentang perintah seorang raja karena lebih takut pada Allah. Apa mereka tidak tahu kalau taruhannya bukan hanya kehilangan pekerjaan, bisa jadi nyawa mereka. Mereka tidak peduli dan tetap melindung bayi laki-laki Ibrani. Apalah artinya ketakutan-ketakutan yang saya ceritakan tadi, yang bahkan taruhannya tidak sampai nyawa, betapa pengecutnya saya! 

Takut akan Tuhan membuat Pua dan Sifra berani menghadapi manusia. Bahkan membuat mereka menerima janji Tuhan yang belum pernah mereka dengar:

Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.
(Amsal 15:33)

Perhatikan, saat ditanya Raja Mesir mengapa mereka membiarkan bayi-bayi itu hidup, Pua dan Sifra mendapatkan hikmat untuk menjawab: “Sebab perempuan Ibrani tidak sama dengan perempuan Mesir; melainkan mereka kuat: sebelum bidan datang, mereka telah bersalin”. Karena jawaban itu, Sang Raja pun tidak bisa menghukum mereka. Hikmat tersebut saya percaya dari Tuhan datangnya. Lalu tidak lama kemudian Allah memberikan mereka kehormatan dengan membuat mereka berumah tangga. Pada zaman dahulu berumah tangga dianggap sebagai berkat dari Tuhan. Sehingga, ini menunjukkan perbuatan mereka dikenan Tuhan.

Sebenarnya Tuhan menjanjikan berkat dan perlindungan bagi mereka yang hidup takut akan Dia. Saat mencari di Alkitab, begitu banyak janji Tuhan bagi mereka yang takut akan Dia. 
1. BERKAT BAGI ORANG YANG TAKUT AKAN TUHAN. 
Takutlah akan TUHAN, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak kekurangan orang yang takut akan Dia!
(Mazmur 34:9)

Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya, Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati.
(Mazmur 112:1-2)

“Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan; TUHAN itu pengasih dan penyayang. Diberikan-Nya rezeki kepada orang-orang yang takut akan Dia. Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya.”
(Mazmur 111:4-5)

2. PERLINDUNGAN BAGI MEREKA YANG TAKUT AKAN DIA
Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka. 
(Mazmur 34:7)

Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar,
bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya.
(Amsal 14:26)

Takut akan TUHAN adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut.
(Amsal 14:27)

Takut akan Allah mendatangkan hidup, maka orang bermalam dengan puas, tanpa ditimpa malapetaka.
(Amsal 19:23)

3. HUBUNGAN YANG INTIM DENGAN TUHAN 
TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.
(Mazmur 25:14)

Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya.
(Mazmur 33:18)

Tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia.
(Mazmur 103:11)

Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.
(Mazmur 103:13)


***

Begitu banyak janji Tuhan untuk orang yang takut akan Dia. Membaca janji-janjinya tentu memberi penghiburan dan kekuatan tersendiri saat dihadapkan pada situasi yang membuat kita ragu melakukan kehendak-Nya. Ini membuat saya terkagum-kagum lagi pada Pua dan Sifra. Bayangkan, mereka takut akan Tuhan, padahal belum tentu mereka telah membaca janji-janji Tuhan seperti saya. Wow! Mereka tidak memerlukan janji berkat dari Tuhan. Mereka hanya takut akan Tuhan dan taat kepada-Nya. Doa saya, semoga Tuhan memberi kita hati yang senantiasa takut akan Dia sehingga berani menghadapi manusia, bahkan raja-raja di dunia seperti Pua dan Sifra.

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.
(Pengkhotbah 12:13)

Monday, July 22, 2019

Ribka: Menanti dengan Penuh Percaya dan Tanggung Jawab


by Benita Vida

Kalo ditanya siapa pasangan favorit saya di Alkitab, saya selalu menjawab Ishak dan Ribka. Buat saya, cerita mereka begitu manis—tanpa banyak drama, tapi sangat natural dan ajaib—seolah-olah Tuhan memang sudah menuliskan cerita cinta itu untuk mereka. 

Kali ini, saya akan membahas cerita tersebut dari sisi Ribka. Anak dari Betuel (saudara Abraham) ini berasal dari garis keturunan yang sama dengan Ishak. Dijelaskan pada Kejadian 24:16, Ribka adalah seorang wanita yang cantik parasnya dan perawan (belum pernah bersetubuh dengan laki-laki). Dia juga seorang yang rajin dan setia melakukan tanggung jawabnya—yang pada zaman itu adalah pergi untuk menimba air.

Berkilo-kilometer jauhnya, selagi Ribka setia melakukan apa yang menjadi tugasnya, Eliezer (sang tangan kanan dari Abraham) dipanggil untuk mencari seorang istri bagi anak sang tuan yang bernama Ishak. Abraham pun memberikan beberapa persyaratan sebagai “catatan” Eliezer dalam menjalankan tugas penting tersebut; yaitu: 
  1. tidak akan mengambil seorang istri dari antara perempuan Kanaan bagi Ishak; 
  2. harus pergi ke negeri dan kepada sanak saudara Abraham untuk mengambil seorang istri bagi Ishak; 
  3. tidak membawa Ishak kembali ke negeri asal Abraham; dan 
  4. jika perempuan itu tidak mau mengikutinya untuk menikah dengan Ishak, maka lepaslah hamba itu dari sumpahnya. 
Maka berangkatlah Eliezer dengan harap-harap cemas. Akankah ada wanita yang mengikutinya ke tempat yang tidak diketahui? Adakah yang akan percaya dengan perkataannya? Apakah orang-orang di tempat Abraham masih mengenal Abraham karena Abraham sudah pergi dari tempat itu dalam jangka waktu yang lama? Namun, dalam keraguannya, Eliezer sudah melihat kesetiaan Tuhan selama perjalanan hidup tuannya. Maka Eliezer pun berdoa dan meminta tanda untuk wanita yang menjadi pilihan Tuhan untuk Ishak. (Tanda yang diminta Eliezer bisa dibaca dari Kejadian 24:12-14)

Sesampainya Eliezer di tempat yang dituju, sesudah dia mengucapkan permohonannya, datanglah seorang wanita cantik. Ya, dialah Ribka yang sedang menimba air. Singkat cerita, ternyata Ribka lah yang menjadi istri Ishak dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan Abraham untuk Eliezer.

***

Rasanya tidak mudah ya, ketika kita menunggu seseorang untuk menjadi pasangan hidup. Kadang-kadang mau menyerah, ditambah lagi jalannya tidak jelas... Seolah-olah apa yang di depan mata terasa berbeda dari apa yang kita harapkan. Tapi mulai hari ini, yuk kita belajar dari Ribka yang: 
1. MELAKUKAN BAGIANNYA
Apa yang menjadi bagian Ribka? Pada zaman itu, wanita mempunyai tugas untuk menimba air setiap harinya dan ya, Ribka melakukannya—sampai akhirnya dia bertemu dengan Eliezer. Mungkin dia pernah bosan dan berpikir, “Aih, ngapain sih nimba-nimba air gini!? Berat atuhh. Besok nggak usah nimba aja kali, ya?” Meski di Alkitab tidak dijelaskan berapa kali dia harus menimba air dan memberi minum hewan-hewan (apalagi unta, yang kalau minum bisa menghabiskan banyak tempayan!), kita tahu bahwa Ribka menuai apa yang dikerjakannya: menjadi menantu bapak orang beriman sekaligus istri dari salah satu nenek moyang Yesus Kristus.

Dalam penantian kita, jangan meratapi nasib seolah-olah dunia sudah runtuh dan tidak ada harapan lagi. But don’t worry, girls. Masa lajang justru menjadi masa dimana kita bisa melayani dengan maksimal di berbagai ladang yang Tuhan percayakan pada kita—entah itu dalam pelayanan misi, marketplace, literatur, you name it. Fokuslah pada tanggung jawab kita sebagai a Godly woman, dan percayalah bahwa Tuhan tahu kapan Dia akan memberikan yang terbaik bagi kita pada waktu-Nya. Seperti yang tertulis pada ayat berikut ini,

“ Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air”
(Kejadian 24:13)

dikatakan bahwa “anak-anak perempuan datang keluar”, termasuk Ribka. Artinya, dia pergi keluar melakukan bagiannya, tidak diam di rumah, tidak bermalas-malasan maupun merenungi nasibnya. She went out to do her duty. How about us?

2. MEMILIKI BELAS KASIHAN
Siapa yang tidak takut jika ada orang asing yang tidak dikenal tiba-tiba minta diberi air untuk minum? Mungkin di zaman sekarang, kita akan melihat dengan tatapan aneh dan kabur jika ada yang berlaku seperti itu kepada kita.

Tapi Kejadian 24 ini menceritakan bahwa sewaktu Eliezer meminta air untuk minum, Ribka dengan yakin mengatakan, “Minumlah.” Ada belas kasihan yang Ribka tunjukkan ketika melihat orang asing yang telah melakukan perjalanan jauh. Tidak hanya itu, dia juga berkata, “Baiklah unta-untamu juga kutimba air, sampai semuanya PUAS minum.” Ribka menyadari jika orang ini melanjutkan perjalanan, unta-unta yang dibawanya membutuhkan minum yang tidak akan didapati di padang gurun selama perjalanannya—ditambah lagi, Ribka memberikan minum kepada unta-untanya itu sampai PUAS.

(FYI, Girls, rata-rata jumlah air yang diminum seekor unta adalah 130 liter. Jika dikatakan “unta-unta”, maka mohon dipahami bahwa ada lebih dari satu unta. Jika satu unta menghabiskan 130 liter, maka unta-unta menghabiskan……… Wooowwww! Inilah kenyataan bahwa Ribka tidak hanya bersimpati dan berempati, tapi juga mengubah keduanya menjadi sebuah tindakan penuh belas kasihan yang harus kita contoh.)

Girls, di zaman sekarang, melakukan hal yang dilakukan itu Ribka tidaklah mudah. Ada kalanya kita merasa sangat sulit untuk mengerjakan bagian masing-masing. Rasanya, sebanyak apapun usaha yang kita lakukan itu tidak ada hasilnya, tidak dihargai... #sigh. Semuanya terasa sia-sia—apalagi memiliki belas kasihan terhadap orang tak dikenal, yang ada kita curiga jika ada orang yang tiba-tiba mendekati kita dan meminta pertolongan!

Meskipun penantian kita terasa berlangsung sangat lama, jalan mulai tak terlihat, rencana mulai kacau, tidak ada hasil dari apa yang sudah kita lakukan, dan yang kita tunggu serta harapkan tidak datang… Tetaplah percaya bahwa dalam Tuhan, penantian kita tak pernah sia-sia—seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:58,

“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
(1 Korintus 15:58)

Tuhan tahu kok, kita sedang berusaha. Dia tahu rasanya menunggu, perasaan ketika tidak dihargai, tapi Dia juga berjanji kalau semua usaha kita tidak akan pernah sia-sia. Girls, tetaplah imani dan amini ayat ini—apalagi kalau kita mulai merasa putus asa. Ketika masa penantian itu berbuah manis, kita akan geleng-geleng kepala saat mengingat bagaimana Tuhan memroses kita dengan luar biasa sampai mempersatukan kita dengan pasangan hidup kita kelak. Do you believe that?


***

Setelah menjadi istri dari Ishak, ternyata drama hidup Ribka masih berlanjut. Alkitab berkata bahwa Ribka tidak bisa mempunyai anak. Wah, sebagai seorang wanita, kita pasti sangat paham perasaan kalau mendengar berita itu. Dijamin hati Ribka sangat hancur; jauh dari rumah, tidak kenal siapa-siapa, lalu dengar kabar bahwa dia mandul.

Tapi Ribka mengenal siapa Allahnya. Kalau Allah berjanji keturunan Abraham akan seperti bintang di langit dan pasir di laut banyaknya, jika Ribka adalah wanita yang sudah Tuhan tentukan bagi keturunan Abraham, maka Tuhan pasti menepati janji-Nya. Bukankah Ishak lahir saat Sara sudah usia lanjut? Bukankah sudah banyak keajaiban yang Tuhan buat untuk keluarganya? 

Dalam kesedihan dan hancur hatinya, Ribka mencari Sang Penggenap Janji, berseru dan meminta kepada Allah yang penuh kuasa. Pada akhirnya, Tuhan menjawab doanya; nggak tanggung-tanggung lho, dia melahirkan anak kembar!


***

Girls, apakah saat ini kita sedang merasa kehidupan ini melelahkan? Gelapkah jalan yang kita jalani, sampai-sampai kita tak tahu ke mana arah tujuan kita? Atau mungkin, apakah kita sedang merasa doa-doa yang diucapkan belum terjawab?

Apapun yang kita hadapi belakangan ini, mari kita tetap mengarahkan hati dan pikiran pada Tuhan, karena Dialah satu-satunya pribadi yang tidak pernah mengecewakan; janji-Nya ya dan amin. Percayalah bahwa semua akan datang pada waktu-Nya yang tepat dan dengan cara-Nya yang ajaib. Tapi jangan lupa: lakukan bagian kita sebagai anak-anak Allah, sampai kita menerima bagian yang memang sudah ditentukan untuk kita bahkan sampai nanti kita kembali bertemu dengan Pencipta kita. Tuhan memberkati!

Monday, July 15, 2019

Berani Karena Benar


by Tabita Davinia Utomo 
Hei,
pernahkah kamu melakukan kesalahan fatal,
sampai-sampai membuatmu merasa tidak berharga lagi,
dan lebih memilih berkubang di dalamnya?  
Atau…
kamu mempercayai sesuatu,
namun tidak berani mengumandangkannya
karena nyawa yang jadi taruhan?  
Jika tidak ada seorangpun dari segala zaman
yang dengan tegas berkata, “Itu aku!”
maka ingatlah aku
yang matinya tinggal sesaat lagi karena kotaku terkepung  
Ya, dikepung oleh bangsa yang kuat,
karena Allah segala allah yang berperang bagi mereka. 

(Apakah Pearlians sudah tahu siapakah wanita yang dimaksud dalam puisi di atas? Jika sudah, silakan tetap keep jawabannya sampai akhir artikel ini, ya. :p) 

Alkitab adalah bukti nyata bahwa Allah tidak mendiskriminasikan wanita dalam karya keselamatan-Nya bagi manusia. Salah satu contohnya adalah tentang wanita yang dimaksud dalam puisi di atas. Iya, dia yang disebut sebagai perempuan sundal (alias pelacur) itu—walaupun di terjemahan lain disebutkan sebagai pemilik penginapan. Terlepas dari apapun jenis pekerjaannya, satu hal yang penting adalah dia berasal dari luar bangsa Israel, umat pilihan Allah. Bahkan dia termasuk salah satu penduduk bangsa yang ditentukan Allah untuk dibinasakan lewat tangan bangsa Israel. 

Saya yakin bahwa wanita ini mengerti dirinya terancam. Bahkan dia mengetahui garis besar perjuangan bangsa Israel untuk keluar dari tanah perbudakan, menyeberangi laut Teberau, dan menumpas musuh-musuh mereka. Sekarang, mereka siap untuk menguasai kota tempat tinggal wanita itu—yang dikenal memiliki tembok kokoh dan tak terbandingkan. Entah dari mana dia mengetahuinya, tapi satu hal yang pasti dia memiliki iman yang berbeda dari bangsanya. 

Hidup di lingkungan penyembah berhala bukanlah hal yang mudah. Ada banyak ritual yang harus dilakukan, tapi tidak membawa sang penyembah mendekat pada “tuhannya”. Mulai dari memberi hasil bumi, menari sambil melukai diri sendiri, bahkan mengorbankan anak sebagai korban bakaran! Jijik? Nggak heran kalau Tuhan bilang ke bangsa Israel untuk memusnahkan (bahasa Ibrani: cherem) semua penduduk asli tanah yang dijanjikan Tuhan bagi Israel… salah satunya termasuk wanita ini. 

Loh, katanya Tuhan itu adil dan penyayang. Kok Dia tega mau meng-genocide ciptaan-Nya sendiri!? 

Well, sebenarnya kita juga sama dengan mereka, lho. Kita nggak ada hak sama sekali untuk diselamatkan karena dosa (Roma 3:23), tapiiii kita diselamatkan karena kasih karunia Tuhan (Efesus 2:8-9)! Pemusnahan orang Kanaan bukan karena masalah kebangsaan, tapi karena dosa mereka yang sudah menumpuk di hadapan Tuhan. Buktinya, masih ada satu keluarga yang diselamatkan karena iman mereka pada Tuhan yang benar. Kesabaran Tuhan terhadap bangsa Kanaan sudah sangat luar biasa: empat abad lamanya Tuhan memberi mereka kesempatan untuk bertobat (Kejadian 15:13, 16). Sekali lagi, kesabaran dan hukuman Tuhan itu nggak bisa diselami sama pikiran kita—perlu hikmat Tuhan dan ketundukan diri untuk taat pada-Nya. Okay, balik lagi ke benang merah! :p 

Anehnya, saat ada dua pengintai yang datang ke rumahnya, dia justru menyembunyikan mereka—bukannya melaporkan mereka pada para petinggi kota. Tidak ada yang tahu alasannya, tapi kita juga tahu bahwa kejadian tersebut membuatnya (plus keluarganya) luput dari pemusnahan kota itu. Semua karena janji wanita ini dengan dua pengintai Israel (selengkapnya bisa dibaca di Yosua 2), 

“Maka sekarang, bersumpahlah   kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut.”  Lalu jawab kedua orang itu kepadanya: “Nyawa kamilah jaminan bagi kamu, asal jangan kaukabarkan perkara kami ini; apabila TUHAN nanti memberikan negeri ini kepada kami, maka kami akan menunjukkan terima kasih dan setia kami kepadamu.” 
(Yosua 2:12-14)

Sebenarnya, wanita ini masih bisa melaporkan para pengintai Israel setelah mereka pergi, tapi dia memilih tidak melakukannya. Wanita ini percaya bahwa mereka memegang janji yang diucapkannya, jadi dia memilih diam sekaligus mengumpulkan keluarganya agar mereka juga diselamatkan saat hari besar itu tiba. Mungkin saja saat itu dia melihat banyak orang di sekitarnya terus berseru kepada para dewa yang mereka anggap dapat menyelamatkan, atau pikiran bahwa suatu saat rahasianya mengenai para pengintai itu diketahui orang lain. Sebuah risiko yang besar untuk diambil, but finally she knew it was the right decision. 

Akhirnya, hari pemusnahan itu tiba. Tidak ada yang selamat dari pemusnahan bangsa Israel selain wanita ini, keluarganya, dan barang-barang yang nantinya akan dipersembahkan kepada Tuhan (perak, emas, besi, dan sebagainya). Kelak, wanita ini menikah dengan salah satu keturunan Yehuda, dan menjadi nenek moyang dari Yesus Kristus. 


***


Ironisnya, di zaman modern seperti sekarang, masih ada banyak orang yang menjadi penyembah berhala. Padahal, dalam Sepuluh Hukum, yang nomor satu adalah: 

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
(Keluaran 20:3)

Nggak ada tambahan, “…kecuali tidak ada tempat ibadah di daerahmu,” atau, “…kecuali kamu diancam oleh orang lain.” Nggak. Perintah-Nya menyiratkan, “Cuma Aku, TUHAN, yang patut kamu jadikan Penguasa Hidupmu.” 

Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya jadi Penguasa Hidup kita? 

Apakah itu gadget
Pasangan? 
Gaya hidup semau gue? 
Atau lainnya? 

Selagi masih ada kesempatan untuk berubah, ambillah kesempatan itu. Memang risiko yang ditanggung untuk sebuah perubahan bukanlah hal yang mudah, namun percayalah bahwa ketika kita mengarahkan pandangan kita sepenuhnya pada Tuhan, kehadiran-Nya sanggup memenuhi kekosongan hidup ini. Sembahlah Dia dan taati firman-Nya, karena itulah ibadah yang sejati.

Lalu siapa wanita itu, yang dari tadi kita bicarakan? Dia adalah Rahab.

Monday, July 8, 2019

Miryam


by Benita Vida

Kisah tentang Miryam tidak begitu banyak kita temukan di Alkitab. Informasi umum yang kita dapat tentang Miryam adalah sosoknya sebagai kakak dari hamba Tuhan yang dipakai luar biasa, yaitu Musa. Siapakah Miryam? Apa saja yang bisa kita pelajari dari seorang Miryam?
1. Sang Pembalik Keadaan
Miryam hidup ketika bangsanya, Israel, berada di masa penuh ancaman dari Firaun. Saat itu, Firaun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Israel yang baru lahir. Tanpa disangka, dalam keluarga Miryam lahirlah seorang bayi laki-laki, adik laki-lakinya yang kedua. Sebelumnya, Miryam sudah memiliki seorang adik bernama Harun. 

Alkitab berkata, bayi itu disembunyikan selama tiga bulan. Wah, bisakah kalian bayangkan bagaimana mereka hidup selama tiga bulan itu? Firman memang tidak menjelaskan berapa umur Miryam saat Musa lahir. Tapi sebagai anak sulung, Miryam pasti punya tanggung jawab yang cukup besar, meskipun dia seorang wanita. Di usia muda, Miryam dituntut menyimpan rahasia yang menentukan keselamatan keluarganya. 

Setelah tiga bulan, orang tua Miryam memutuskan untuk menghanyutkan bayi itu di sungai Nil. Disinilah Miryam punya peran penting. Ia diminta untuk mengawasi bayi itu dari kejauhan, melihat seperti apa nasib adiknya.

Takutkah Miryam saat itu? Inginkah Miryam meninggalkan adiknya? Mungkin terlintas dalam pikirannya. Tapi apapun yang ia rasakan saat itu, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya. Ia tetap mengawasi adiknya, sampai Putri Firaun mengambil bayi itu dari keranjangnya dan berkata akan mengangkatnya menjadi anaknya. 

Kita tidak tahu sejauh mana Ibu Miryam memberi tugas kepada Miryam. Yang jelas, saat itu, Miryam mendekati Putri Firaun dan menawarkan bantuan untuk mencari pengasuh bagi bayi yang baru ditemukan. Ibu pengganti yang dipanggil oleh Miryam adalah ibunya sendiri, ibu kandung bayi itu.

Ada dua kemungkinan, jika Ibunya menyuruh Miryam untuk mendekati siapapun yang menemukan Musa, maka Miryam melakukannya dengan taat. Kemungkinan kedua, jika Ibunya hanya menyuruh Miryam mengawasi adiknya, maka Miryam melakukan lebih dari yang diminta. Ia memiliki inisiatif untuk melakukan lebih dari sekedar memperhatikan keadaan adiknya dari jauh. 

Sebagai anak-anak Allah, kita perlu memiliki sikap untuk memberikan yang terbaik, bahkan melebihi apa yang diminta. Dalam Matius 5:41 diajarkan “Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” 

Keputusan Miryam membalikkan keadaan. Adiknya yang berada di bawah ancaman kematian, bisa hidup sebagai bangsawan Mesir, namun tetap diasuh oleh ibunya sendiri. Di usianya yang muda, Miryam memahami tanggung jawabnya dan bersedia dipakai Tuhan, melalui orang tuanya, untuk berperan dalam rencana Tuhan menyelamatkan hidup bangsanya. 

2. Sang Nabiah 
Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: "Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.
(Keluaran 15:20-21)

Miryam adalah Nabiah pertama yang disebut dalam Alkitab. Menjadi nabiah artinya ia dikaruniai kepekaan untuk mendengar dan menyampaikan suara Tuhan. Miryam melakukannya melalui pujian, dan ia bahkan menggerakkan dan memimpin semua perempuan Israel untuk ikut menyembah Tuhan. 

Posisi Miryam sebagai saudara dari orang-orang yang dipakai Tuhan, Musa dan Harun, tidak membuat dia bersantai-santai. Ia ikut aktif melayani Tuhan, sesuai dengan porsi yang bisa Ia kerjakan. Ketika Musa dipanggil untuk menjadi pemimpin, Harun dipanggil menjadi imam, Miryam mengerjakan panggilannya sebagai seorang penyembah.

3. Sang Pemberontak 
Kehidupan Miryam memang tidak selalu gemerlap. Firman Tuhan mencatat bahwa ia, bersama Harun, pernah jatuh dalam dosa pemberontakan karena mengatai Musa atas keputusan Musa menikahi perempuan Kush.

Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush. Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN.
(Bilangan 12:1-2)

Tapi apakah hanya karena itu? Kalau memang masalahnya adalah perempuan Kush, mengapa mereka mengungkit-ungkit soal Musa yang penjadi perantara suara Tuhan? Mengapa mereka menekankan bahwa mereka juga mampu menjadi perantara firman Tuhan?

Ya, Miryam iri kepada Musa. Ia tidak puas hanya menjadi seorang nabiah, pemimpin penyembahan. Ia ingin memiliki kuasa seperti Musa. Sikap ini membuat Tuhan murka, sebab ini berarti Miryam menentang pilihan dan kehendak Tuhan. Tuhan kemudian menghukum Miryam dengan penyakit kusta (Bilangan 12:6-10).

Ya, betul, Miryam yang sebelumnya adalah pahlawan keluarga, pemimpin pujian di antara umat Israel, adalah juga manusia biasa, bisa salah, bisa berdosa, dan bisa jatuh. Kadang kita cenderung lebih mengingat dosa Miryam dibanding hal-hal baik yang ia lakukan. Berapa kali kita sering berpikir, pelayan Tuhan kok masih buat dosa? Kita lupa bahwa selama kita hidup di dunia, sangkal diri dan pikul salib adalah perjuangan setiap waktu. Berita baiknya, Tuhan kita adalah Tuhan yang sangat amat mengasihi kita. Dia tahu daging kita lemah, Dia tahu kita sering jatuh, karena itu Yesus datang dan memberikan nyawanya sebagai ganti dosa kita, Yesus datang untuk menolong kita yang tadinya tidak berdaya atas dosa untuk menang atas dosa. 

Tuhan menyediakan pengampunan. Miryam menerima pengampunan itu, meskipun ia tetap harus menanggung konsekuensi atas pemberontakannya. 

Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Sekiranya ayahnya meludahi mukanya, tidakkah ia mendapat malu selama tujuh hari? Biarlah dia selama tujuh hari dikucilkan ke luar tempat perkemahan, kemudian bolehlah ia diterima kembali. Jadi dikucilkanlah Miryam ke luar tempat perkemahan tujuh hari lamanya, dan bangsa itu tidak berangkat sebelum Miryam diterima kembali.” (Bilangan 12:14-15)

Atas permohonan Musa, Miryam sembuh dari kusta setelah diasingkan selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu, bangsa Israel tidak meninggalkan Miryam. Demikian juga Allah, Ia tidak meninggalkan kita bahkan ketika kita berdosa dan Ia selalu menerima kita saat kita mau bertobat.

“Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali...”
(Amsal 24:16)

Jangan putus asa! Jangan biarkan dosa menghentikan kita. Bangkit lagi, usaha lagi, berjuang lagi, sebab Yesus sudah menang atas dosa! Tetapi, kita juga perlu belajar untuk tidak menghakimi orang lain, hanya karena orang tersebut melakukan dosa yang berbeda dengan kita. Miryam beruntung, sebab ia punya Allah, keluarga dan saudara sebangsa yang mengasihi dia dan mau menerima dia kembali setelah kesalahan yang ia lakukan. Apakah kita bisa melakukan hal yang sama untuk Miryam-Miryam yang Tuhan kirim dalam hidup kita? 

Monday, July 1, 2019

Mikhal: Kegagalan Seorang Isteri


by Femmy Kowel 

Saya dan suami sudah menikah selama 15 tahun dan saat ini kami dikaruniai dua orang anak berusia sebelas tahun (laki-laki) dan sembilan tahun (perempuan). Saya pernah merasa gagal menjadi seorang isteri ketika masak tempe oseng sampai gosong waktu awal-awal kami menikah. Saya juga sempat merasa gagal banget jadi isteri yang baik kalau bicara tentang cara mengurus anak-anak, berbenah rumah, dan detail hidup rumah tangga lainnya. Why? Karena sedari kecil saya dididik mama untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga—saya hanya diharuskan belajar dan berprestasi secara akademik. Akhirnya saya bertumbuh jadi wanita yang hanya peduli dengan sekolah dan karier. Saya pikir ini kegagalan terbesar seorang isteri. 

Tapi lambat laun, Tuhan merubah pola pikir saya sehingga saya benar-benar belajar dan berjuang menjadi cakap mengurus rumah tangga saya. Dan saya pikir saya sudah berhasil. Dalam Amsal 31:10-31, kita dapat membaca bagaimana ciri-ciri seorang isteri yang cakap. Di situ diuraikan bagaimana seorang isteri harus mempunyai kerohanian, jiwa dan tubuh yang kuat, bagaimana ia harus melayani suaminya dan anak-anaknya, bagaimana ia punya hati untuk membangun ekonomi keluarga dan punya kemampuan sosialiasi yang baik dengan lingkungan sekitar dan insting sosial yang luar biasa, yang berlandaskan kasih. 

Tapi kisah Mikhal ini menyadarkan saya arti kegagalan menjadi seorang isteri yang sesungguhnya. Jujur, saya jarang banget dengar nama Mikhal dibahas di dalam khotbah-khotbah atau diskusi-diskusi pendalaman Alkitab di manapun. Oleh karena itu saya bersyukur diberi kesempatan untuk lebih mengenal Mikhal dan mendapatkan pelajaran berharga dari hidupnya. Tuhan memberikan sebuah contoh yang baik mengenai bagaimana seorang isteri dapat dengan sukses meruntuhkan rumah tangganya. 

// SIAPAKAH MIKHAL? 
Mikhal adalah anak perempuan bungsu dari Raja Saul, hasil pernikahannya dengan Ahinoam. Kakak perempuannya yang tertua, puteri Saul, bernama Merab. Sejak awal kita mendengar tentang dia dalam Alkitab, Mikhal sudah hidup dalam lingkungan kerajaan yang berkecukupan dan pastinya mendapat pendidikan yang baik, terutama dalam adat istiadat orang Israel. Kemungkinan besar Mikhal sudah diajarkan bagaimana harus taat kepada perintah Allah Israel sejak masa kecilnya. Mikhal pasti juga diajarkan bagaimana pendidikan kewanitaan menurut kebiasaan bangsa Israel pada saat itu. Mengenai hal berumah tangga, saya tidak tahu apakah waktu itu para puteri raja harus melewati proses perjodohan yang ketat menggunakan protokol kerajaan atau mereka bebas memilih pasangan sesuai keinginan mereka. Tapi Alkitab mencatat bahwa Mikhal adalah seorang perempuan yang berani menentukan siapa pria yang akan menikahinya. Daud, panglima baru Israel yang masih muda dan berprestasi, memikat hati Mikhal. Memang sih, secara penampilan dikatakan bahwa Daud itu adalah seorang pria yang elok rupanya, alias tampan, tapi saya percaya Mikhal bisa melihat Daud lebih daripada itu. 

Daud yang saat itu makin ngetop karena keberaniannya mengalahkan tentara Filistin, pasti tampil mempesona dihadapan wanita manapun, termasuk Mikhal. Perasaan Mikhal pasti galau banget waktu dia mendengar bahwa Merab, kakak tertuanya, yang akan dinikahkan dengan Daud. Tapi akhirnya Mikhal bersorak kegirangan waktu mengetahui bahwa Merab akhirnya malah dinikahkan ayahnya dengan Adriel, orang Mehola. Tanpa menunggu lama lagi, Mikhal langsung mengatakan kepada ayahnya bahwa ia mencintai Daud. Mikhal pasti tahu bahwa ayahnya tidak menyukai Daud, tapi dia toh nekat minta dinikahkan dengan Daud. Saul memberikan syarat yang maha sulit bagi Daud untuk menikahi puterinya: Daud harus memberikan kepadanya seratus kulit khatan (organ reproduksi laki-laki) dari tentara Filistin. Ini berarti Daud harus melalui sebuah pertempuran yang sengit. Tapi Daud tahu bahwa Mikhal mencintainya. Daud melihat bahwa Mikhal adalah sungguh-sungguh perempuan yang baik, yang tidak materialistis dan berani ketika jatuh cinta pada dirinya. Akhirnya, bukan hanya seratus kulit khatan tentara Filistin yang dibawa Daud kepada Saul: Daud membawa dua kali lipat—200 kulit khatan tentara Filistin—kepada Saul! Dengan pencapaian yang diberikan Daud, Saul tak dapat menolak untuk memberikan anaknya Mikhal kepada Daud. Dan akhirnya merekapun menikah. 

Pernikahan mereka bukannya tanpa tantangan, karena Mikhal tahu bahwa ayahnya sangat membenci Daud. Sebagai isteri prajurit, ia juga harus setia pada suaminya yang sering maju berperang melawan musuh untuk membela Israel. Mikhal bahkan pernah menyelamatkan nyawa Daud ketika Saul berusaha membunuh suaminya itu. 

Lantas, dimana letak kegagalan Mikhal sebagai seorang isteri? 

// MIKHAL GAGAL TUNDUK KEPADA SUAMINYA
Selama Daud berpindah-pindah tempat melarikan diri dari Saul, Saul telah mengambil Mikhal dari rumahnya dan memberikan anak perempuannya itu kepada Palti bin Lais. Selama bertahun-tahun itulah Mikhal terpisah dari Daud. Lewat proses yang panjang, Daud akhirnya diberikan kemenangan oleh Tuhan atas musuh-musuhnya, termasuk raja Saul. Beberapa tahun setelah Saul tewas dalam peperangan, Daud resmi menjadi raja atas seluruh bangsa Israel dengan pengurapan yang diberikan Tuhan. Dan Daud mengingat Mikhal, isterinya. Oleh karena itu Daud memerintahkan Abner bin Ner (mantan panglima kerajaan Saul) untuk mengambil Mikhal kembali dari Palti bin Lais, untuk kembali bersama Daud. Saya melihat ada kebesaran hati Daud untuk menerima kembali isterinya, dan ingin kembali membina rumah tangga bersamanya. 

Namun sangat disayangkan, Mikhal pada akhirnya tidak mengerti arti cinta suami yang sebenarnya dalam berumah tangga. Sebuah insiden terjadi ketika Daud pulang membawa tabut perjanjian Tuhan ke Yerusalem. Pada waktu itu Daud memuji Tuhan dengan menari-nari dan bernyanyi dengan penuh semangat dihadapan seluruh bangsa Israel, karena ia bersukacita bahwa tabut perjanjian Allah akhirnya sampai di Yerusalem. Pada saat itu Daud hanya berpakaian efod dari kain linen (seperti orang sekarang memakai sarung tanpa baju). Mikhal menganggap apa yang Daud lakukan tidak pantas untuk dilakukan seorang raja. Saat Daud kembali, ia serta-merta merendahkan suaminya. 

Ketika tabut TUHAN itu masuk ke kota Daud, maka Mikhal, anak perempuan Saul, menjenguk dari jendela, lalu melihat raja Daud meloncat-loncat serta menari-nari di hadapan TUHAN. Sebab itu ia memandang rendah Daud dalam hatinya. 
(2 Samuel 6:16)

Ketika Daud pulang untuk memberi salam kepada seisi rumahnya, maka keluarlah Mikhal binti Saul mendapatkan Daud, katanya: “Betapa raja orang Israel, yang menelanjangi dirinya pada hari ini di depan mata budak-budak perempuan para hambanya, merasa dirinya terhormat pada hari ini, seperti orang hina dengan tidak malu-malu menelanjangi dirinya!”
(2 Samuel 6:20)

Setelah itu, Alkitab mencatat bahwa Mikhal binti Saul tidak mendapatkan anak seumur hidupnya. Itulah akhir kehidupan Mikhal yang ditentukan Allah, akibat dari kegagalannya untuk tunduk kepada Tuhan dan suaminya. 

// REFLEKSI BAGI PARA ISTERI
Ladies, sebagai seorang isteri, tunduk dan taat kepada Allah dan suami adalah suatu perintah yang harus kita lakukan. Isteri diciptakan sebagai penolong (Ibrani: ezer) bagi suaminya. Sebuah rumah tangga ilahi adalah refleksi hubungan Tuhan dengan umat-Nya, dimana kasih Bapa dan pengampunan-Nya nyata dalam hubungan antara suami dan isteri. Tunduk kepada suami adalah hal yang mutlak harus dilakukan seorang isteri yang percaya kepada Kristus. Bagaimana bentuk penundukan diri kepada suami yang diinginkan Tuhan? 

1. Jadilah tiang doa bagi suami; doakan dia secara rutin
Ambil waktu khusus yang nyaman bagimu untuk mendoakan suami. Isi doa kita terutama terus meminta kepada Tuhan agar suami kita semakin mengenal Dia dan bertumbuh dalam kebenaran firman Tuhan. 

2. Biarkan suami melakukan perannya sebagai pria dan suami 
Jangan mengatur-ngatur suamimu dan memperlakukannya seperti anak kecil. Sebagai isteri, kita boleh memberikan masukan dengan cara-cara yang baik, tapi janganlah kita memerintah suami dan mendikte dia apa-apa saja yang harus dia lakukan. Tidak semestinya isteri dominan dalam mengatur rumah tangga, karena isteri itu penolong, bukan kepala. Biarkan suami kita yang ambil keputusan dan kita bersama-sama mendoakan keputusan tersebut. Belajarlah untuk sepakat, terutama dalam mendidik anak-anak. Hargai suami dan segala pendapatnya dan pendapatannya, support segala talentanya untuk menghasilkan rejeki. Jangan remehkan gajinya. Dalam satu kapal hanya boleh ada satu kapten! 

3. Layani suami dengan kasih dan ketulusan 
Kita harus melayani suami, baik kebutuhan rohani dan jasmaninya. Kebutuhan rohani contohnya menolong suami untuk menjadi teman diskusi dalam mengenal Allah, teman berdoa, maupun teman dalam pelayanan, seperti Akwila dan Priskila. Kebutuhan jasmaninya misalkan kebutuhan seksual, makan dan minum, kebersihan kamar dan pakaian, dll. Apabila kita tunduk kepada suami, kita akan tunduk melayani dia dengan setulus hati kita. 

***

Saya mau berdoa untuk kita semua agar kita menjadi isteri-isteri yang dimampukan Tuhan untuk tunduk dan taat kepada Tuhan dan suami. Ketika ada kesepakatan dalam rumah tangga, dimana suami dan isteri sukses menjalankan perannya masing-masing, maka ada berkat Tuhan yang tercurah dalam rumah tangga mereka. Keluarga yang ilahi adalah keluarga yang hidup dalam berkat Tuhan, bukan kutuk, untuk menjadi saksi di tengah-tengah dunia yang semakin gelap ini. Amin.