Showing posts with label Peace. Show all posts
Showing posts with label Peace. Show all posts

Monday, January 11, 2021

What Would Jesus Do?




by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
(1 Yohanes 2:6)

Slogan WWJD mungkin tidak terlalu sering terdengar sekarang seperti pada tahun 2000 awal. Kepanjangan dari WWJD adalah ‘What Would Jesus Do?’, sebuah pertanyaan singkat yang sebaiknya ditanyakan pada diri sendiri sebelum mengambil keputusan atau tindakan apa yang akan dilakukan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir antara melakukan sesuatu atau tidak, seperti apa yang akan Yesus lakukan jika dia berada di posisi kita. Jika kita tidak melakukan seperti yang akan Dia lakukan, jangan-jangan kita tidak mengenal Yesus dengan baik sehingga tidak meneladani Yesus dalam kehidupan kita. Well, pada akhirnya memang kita harus mengenal Dia secara pribadi untuk bisa melakukan seperti yang Yesus lakukan.

"Bayangkan suatu hari Yesus bangun dari tidurnya dan menjalani hidup kita yang sekarang, adakah yang berbeda dari hidup kita?"

Demikian pertanyaan seorang Kakak saat membawa kami dalam perenungan pada persekutuan doa yang aku ikuti di UKM Kristen bertahun-tahun lalu.

Aku ingat kami merenungkan pertanyaan tersebut dan sharing, kira-kira bagaimana Yesus akan menjalani hidup kami. Aku membayangkan jika Yesus akan bangun pagi-pagi sekali, saat teduh, bersih-bersih rumah (Yesus gak mungkin males saat teduh lah ya, hihihi), lalu Ia akan menyiapkan sarapan, duduk sarapan bersama eyangku-mengobrol tentang banyak hal-mendengarkan eyang menceritakan tentang apapun, lalu Ia berangkat kuliah naik motor dengan santai tanpa ngebut sambil ngobrol dengan BapaNya atau bernyanyi-nyanyi - tersenyum melihat mereka yang ngebut. Yesus tidak akan telat tiba di kampus, Ia membantu kawan yang belum mengerjakan tugas - bukan memberi contekan, sesekali Ia bercanda dengan kawan-kawannya-tentunya bukan lelucon kotor yang dikeluarkannya, tidak pula gosip, tapi tanpa begitupun Ia mampu membuat orang lain tertawa, sense of humour Nya terbaik, dst. Yesus menjadi diriku dalam versi terbaik.

Membayangkan Yesus menjalani kehidupanku sangatlah menarik, membayangkan Dia berbicara, kuliah, ikut ujian, pelayanan, dll. Aktivitasnya kurang lebih apa yang aku lakukan TAPI minus DOSA pastiiii... plus hubungan mesra dengan Bapa Surgawi. Saat kita memberikan Yesus tempat istimewa dalam hati dan hidup kita, Dia akan melakukan berbagai hal dengan caraNya, dan PASTI, hidup kita akan berbeda. Aku yang sekarang (memiliki Yesus) akan berbeda dengan aku yang sebelumnya. Tentu saja, yang memimpin adalah Yesus di dalamku, biar Yesus saja yang semakin bertambah dan aku yang semakin berkurang. Kira-kira demikianlah seharusnya hidup kita saat kita telah menerimaNya sebagai Juruselamat kita. KehadiranNya nyata nampak dalam hidup kita. ”Tapi ini sulit, aku gak bisa Tuhan, jeritku dalam hati, kenapa Tuhan tidak membiarkanku seperti ini saja?”

“Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” 
- Max Lucado
Beberapa waktu kemudian aku mendapat kesempatan membaca sebuah buku yang di dalamnya bertuliskan seperti ini : Bagaimana, kalau Yesus menjadi anda untuk satu hari? Max Lucado dalam bukunya ini, Just Like Jesus, mengatakan bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus harus dimulai dari memiliki hati seperti hati-Nya dan hal itu dimulai dengan pembentukan hati oleh Roh Kudus. Kita perlu belajar memiliki hati seperti hatiNya. Ia menjabarkan ciri hati Kristus yang harus dimiliki oleh umat-Nya, yaitu hati yang mengampuni, penuh belas kasihan, mau mendengar, hati yang haus akan Tuhan, haus beribadah, terfokus pada Allah, jujur, murni, penuh pengharapan, bersukacita, dan tabah. Berikut ini beberapa ciri hati Yesus yang harus kita miliki:


HATI YANG MENGAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”
(Kolose 3:13)

Mengampuni memang sulit tapi Yesus melakukannya, mari kita pandang Yesus yang telah memberikan teladan pengampunan terlebih dahulu terhadap kita. Ingat malam dimana Dia membasuh semua kaki murid-muridNya? Yesus bukannya tidak tahu kalau di antara murid-muridnya akan mengkhianati dan menyangkalNya tapi nyatanya Dia tetap membasuh kaki mereka. Dia memberikan anugerahNya kepada mereka yang tidak pantas diampuni TERLEBIH DAHULU. Dia menawarkan kasih dan pengampunanNya tanpa diminta dan memberikannya cuma-cuma. Kupikir, apa yang kita alami tidak lebih menyakitkan dari yang Dia alami, tapi Dia tetap mengampuni yang menyakitiNya. Inilah yang harus kita teladani


HATI YANG MENDENGAR

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.” 
(Yakobus 1:22-23)

Yesus dalam khotbahNya berkali-kali mengatakan : Siapa bertelinga hendaklah Ia mendengar. Seperti yang Yesus mendengar BapaNya dan taat, kita sangat perlu dengar-dengaran dengan Firman dan kehendak Allah di hidup kita. Bagaimana cara mendengarkan Tuhan? Dimulai dengan Alkitab yang terbuka dan membiarkan Dia berbicara melalui firmanNya yang berisi kehendak dan isi hatiNya, seperti yang Yesus lakukan. Lalu, lakukan! Semudah sekaligus sesulit itu. 


HATI YANG JUJUR

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” 
(Efesus 4:25)

Pernahkah mendapati Yesus berdusta? Sepanjang hidupnya selama 33 tahun kehidupan Yesus di muka bumi, tak ada cerita tentang kebohonganNya sekalipun keadaan Yesus sangat mendesak. Bagaimana dengan kita? Terkadang kita menambah atau mengurangi kebenaran, berbohong demi kebaikan, berdusta untuk melindungi diri kita, dll, apapun itu namanya, tetap saja kita tidak jujur. Bahkan kita menyampaikan hanya setengah kebenaran dan berkata kita telah jujur. Kita perlu meneladani hati Yesus yang jujur, yang tidak ada dusta 


HATI YANG MURNI

“sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” 
(Markus 7:21-22)

Hati manusia dipenuhi dengan segala kejahatan, hal-hal terburuk yang ingin dilakukan. Berbeda dengan hati Yesus yang murni. Setiap hari hatiNya dimurnikan oleh firman Tuhan dan Ia menjaga hatiNya sungguh-sungguh supaya tidak ditumbuhi benih yang jahat. Mudah bagi Yesus untuk merasa sombong karena kuasa yang dimilikiNya, tetapi nyataNya Ia mengakui dan menyadari karya Allah di dalamNya dan memuliakan Allah. Yesus memilih apa yang ingin Dia rasakan dengan selektif sehingga tindakanNya juga selektif. Perbuatan dan perkataan kita adalah cermin dari hati kita.


HATI YANG PENUH PENGHARAPAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
(Roma 12:12)

Yesus berkata bahwa segala sengsara yang harus dialamiNya telah dinubuatkan. Dia melihat tujuan dalam penderitaanNya sebagai pemenuhan rencana besar Allah. Dia tidak membiarkan diriNya mengasihani diriNya atau mengutuki keadaan. Dia tetap berharap pada BapaNya dan meminta namun dengan rendah hati menginginkan kehendak BapaNya yang terjadi karena Ia tahu rancangan Allah adalah yang terbaik.

Kita perlu berlatih agar memiliki hati seperti hatiNya. Allah ingin agar kita menempatkan Kristus sebagai TELADAN atas seluruh hidup kita (Roma 8:28-29). Dia mau kita menjadi serupa dengan gambaran anakNya, lewat segala sesuatu yang kita alami. Melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, Dia ingin membentuk hati kita menjadi serupa dengan Kristus.

Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu menanyakan pertanyaan penting ini:

Apakah ini membuatku makin SERUPA dengan Kristus?

Friday, July 13, 2018

Yang Rukun, Masbro, Mbaksis


by Glory Ekasari

Beberapa hari ini aku terus-terusan diingetin tentang kasih dalam tubuh Kristus, dan tiap kali, ada aja hal baru yang Tuhan ajarin ke aku. Kemaren bacaan Alkitabnya dari Kolose 3:8-17, tapi aku kecantol di ayat 15, jadi aku ublek-ublek ayat itu. Gimana sih, ublek-ublek ayat? Silakan baca post sebelumnya. Ini ayatnya:

“Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.”
(Kolose 3:8-17)

Awalnya aku sempat bingung karena merasa ga dapet logika kalimatnya. Tapi setelah direnungkan, liat ayat yang sama dalam versi lain, mikir lebih ekstensif, inilah hasil perenungan dan pembelajaran semalam.


// KITA DIPANGGIL UNTUK HIDUP RUKUN

Adalah rahasia umum bahwa dalam gereja sendiri ada masalah dengan kerukunan. Padahal, “Untuk itulah,” kata Paulus, “kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh.” Untuk apa? Untuk hidup berdamai satu dengan yang lain! Aku kemaren baca quote-nya Mark Driscoll: “Saying, 'I love Jesus, but not the church” is like saying, “I love my adoptive father, but I don’t care about the rest of the family.'” Ga bisa dong.

Kita dipanggil untuk menjadi satu tubuh. Kita harus terima kenyataan bahwa orang lain beda dengan kita, ada sifat mereka yang ‘sulit’, tapi kita dan mereka adalah satu tubuh. Kalo dipisah, bakal koyak! Paulus pake metafor yang bagus: tubuh. Anggota tubuh ga bisa saling bermusuhan; mereka harus saling mendukung. Waktu mereka ga saling mendukung, tubuh jadi disfungsional, dan kita mengeluh, “Aku sakit.” Sakit artinya ga sehat; tubuh ga berada dalam kondisi normal. Demikian juga anak-anak Tuhan yang ga saling mendukung, mereka ga berada dalam kondisi normal.

Istilah “dipanggil menjadi satu tubuh” juga perlu diperhatikan. Mungkin selama ini kita pikir panggilan = profesi. Tapi ini lebih dari sekedar kegiatan: panggilan kita adalah untuk menjadi satu, satu tubuh yaitu tubuh Kristus. Kerjasama. Saling mendukung. Rukun. Kita dipisahkan dari dunia untuk masuk dalam persatuan anak-anak Allah. Jadi, seperti ada orang yang dipanggil jadi misionaris, businessman, dll, kita semua dipanggil untuk jadi satu tubuh yang saling mendukung, harmonis dan rukun, damai satu dengan yang lain.


// DAMAI SEJAHTERA KRISTUS

Tapi kenyataannya, orang-orang kristen berselisih satu dengan yang lain. Mengapa begitu? Dan gimana biar ga begitu? Paulus bilang, “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu.”

Ga ada cara lain, kita harus memiliki damai itu. Kalo orang dari dalemnya ga ada damai, gimana dia mau damai sama orang lain? Aku jadi inget analogi kapal yang dipake C. S. Lewis. Sekarang pertanyaannya, sudahkah damai ada dalam hati kita? Ada dua hal penting yang aku perhatikan di dalam bagian ini.
  • Damai sejahtera yang dari Kristus 
  • Damai itu memerintah dalam hati kita. 

1. Kita ga bisa berdamai kalo damai itu dibuat-buat atau damai dari diri kita sendiri. 
Istilah “damai” buat manusia itu maksudnya biasanya begini: “Gue ga ganggu elu, lu juga jangan ganggu gue.” Itu bukan damai, cuy, itu mah individualisme. Berdamai sama orang lain versi Alkitab itu berbuat baik pada dia, memperhatikan keadaannya, tolongin waktu dia susah, doain dia, dan semua yang baik-baik itu – lepas dari perlakuan orang itu terhadap kita. Nah, yang seperti itu datangnya bukan dari dunia atau diri kita sendiri, tapi dari Kristus. Tanpa Dia, orang ga bisa berdamai dengan Allah. Dan kalo ga bisa berdamai dengan Allah, mana ada damai sejati di hatinya? Kalo ga ada damai sejati, gimana bisa mengasihi dan hidup berdamai dengan orang lain?

2. Damai itu memerintah.
Aku sadar ini adalah hal yang ga biasa buat pemikiran orang dalam generasiku. Seperti apa itu damai yang memerintah? Ini, saudara sekalian, adalah pekerjaan Roh Kudus. Inget dong, apa yang Paulus bilang tentang buah Roh? Paulus mengkontraskan buah Roh dengan perbuatan daging – yaitu natur kita, manusia, yang berdosa. Lalu dia bilang begini, “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (Galatia 5:25). Roh Kudus sanggup menguasai seseorang yang telah menyerahkan hidupnya kepada Kristus, menguasai hati dan perasaannya, memberikannya kasih dan damai sejahtera yang “melebihi segala akal.” Terpujilah Tuhan!


// “HENDAKLAH!”

Kalo itu semua pekerjaan Tuhan, kenapa kita yang diperintah? Kok jadi “mengalihkan tanggung jawab”?

Sama sekali bukan. Masalahnya, seringkali kita ribut sama orang lain bukan karena kita tidak bisa menahan diri, tapi karena kita pengen ribut aja, alias egonya terganggu. Kita perlu menginginkan perdamaian. Bahasa Alkitabnya malah lebih keras lagi: Kejarlah, Usahakanlah! (2 Timotius 2:22, Roma 12:18).

Penting sekali buat kita untuk sadar bahwa kalo kita ga mengejar perdamaian, ga mengampuni orang yang salah sama kita, ga mau mengalah, apalagi cari ribut (?!), kita sedang menyebabkan disfungsi dalam tubuh Kristus! Paulus bicara dengan keras kepada orang-orang yang menyebabkan perpecahan di Korintus: “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan (menghancurkan) Bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia; sebab Bait Allah adalah kudus, dan Bait Allah itu ialah kamu.” Ini keras! Setiap kita, yang tidak mengusahakan perdamaian dalam tubuh Kristus, bersalah untuk hati yang keras itu. Karena itu Paulus menulis pesan ini dalam bentuk imperatif; ini bukan tentatif, bukan kalo kita lagi pengen aja, bukan kalo mood kita lagi bagus; tapi HARUS, apapun yang terjadi.


// BERSYUKURLAH

Yang uda bertahun-tahun jadi Kristen, aku mau tanya, kapan terakhir bersyukur karena kalian adalah anggota keluarga Allah? Kapan terakhir bersyukur buat gerejamu, buat komunitasmu, buat saudara-saudari seimanmu?

Begitu kenal saudara-saudara se-Bapak, jadi susah ya, mengucap syukur? Liat kekurangan mereka – yang kadang-kadang kebangeten, liat kelemahan dan kebodohan yang dilakukan anak-anak Tuhan, rasanya ga bisa deh bersyukur. Rasanya terlalu banyak yang harus diperbaiki, sampe-sampe ga kliatan lagi apa yang bagus.

Tapi mari kita belajar dari Paulus. Paulus hampir selalu mengawali suratnya dengan pernyataan bahwa dia bersyukur atas keadaan jemaat yang ia kirimi surat (kecuali kalo dia lagi buru-buru mau ngomong sesuatu yang penting). Jemaat Korintus, salah satu jemaat yang paling amburadul, menerima salam ini dari Paulus:

“Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segalah hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus yang telah diteguhkan di antara kamu.”

Dalam jemaat yang kacau seperti itupun Paulus masih menemukan alasan untuk bersyukur. Gimana dengan kita? Apa kita ga bersyukur bahwa orang di kanan kiri kita di gereja sudah diselamatkan? Bersyukurkah kita karena ada saudara kita yang mau melayani Tuhan di gereja? Bersyukurkah kita bahwa kita punya komunitas yang terus mengingatkan kita tentang Tuhan (lewat kebaikan maupun keburukan mereka)?

“Bersyukur” pun ditulis dalam bentuk kalimat perintah. “Dan, bersyukurlah.” Buka mata untuk lihat apa yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, lihat apa yang Tuhan kerjakan dalam hidup saudara-saudari kita. Bersyukurlah.

***

Tentu melakukannya lebih susah dari menulisnya. Tapi kalo kita ga melakukan ini, kita melukai tubuh Kristus, tubuh Dia, yang katanya kita cintai. Kristus adalah kepala, kita adalah tubuhNya. Kalo kita sayang Tuhan Yesus, kita akan mau belajar mengasihi tubuhNya juga: saudara-saudara seiman kita. Akhir kata...

“Berbahagialah orang yang membawa damai,
karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
– Yesus

Friday, June 2, 2017

The Unsung Hero



What if heroes are not made in a war
But home
What if heroes bleed not in their armor
But in labor

What if heroes don’t always go to work... or war
But they stay at home
They stay at home
To make it a home for the wanderer
And a rest for the weary

They stay at home
To ensure their little ones always never go hungry
To ensure their little ones go to bed early
To ensure their little ones love God dearly

What if heroes don’t end lives...
But start one?

Heroes don’t have to be well-known
Some heroes are unheard of
Unsung of
As they quietly wake up before dawn to pray
So that their little ones could make it through the day

-
To all mothers in the world - Happy Mother’s Day!

Wednesday, May 31, 2017

When Prayers Don’t Make You Feel Better



by Wellney Yarra

Seringkali kita berdoa untuk meminta berkat, damai sejahtera, perlindungan Tuhan, kesembuhan dan hal-hal baik lainnya. Namun, seringkali kita tidak mendapatkan hal-hal yang kita inginkan sehingga doa kita serasa percuma...

Kenapa? Kenapa doa kita seringkali seperti tidak terjawab, atau malah dijawab dengan kebalikan dari apa yang kita minta?

Lagu ini menggambarkan perasaan itu.

We pray for blessings, we pray for peace
Comfort for family, protection while we sleep
We pray for healing, for prosperity
We pray for Your mighty hand to ease our suffering
And all the while, You hear each spoken need
Yet love us way too much to give us lesser things

'Cause what if your blessings come through raindrops
What if Your healing comes through tears
What if a thousand sleepless nights are what it takes to know You're near
What if trials of this life are Your mercies in disguise

We pray for wisdom, Your voice to hear
We cry in anger when we cannot feel You near
We doubt your goodness, we doubt your love
As if every promise from Your word is not enough
And all the while, You hear each desperate plea
And long that we'd have faith to believe

'Cause what if your blessings come through raindrops
What if Your healing comes through tears
What if a thousand sleepless nights are what it takes to know You're near
What if trials of this life are Your mercies in disguise

When friends betray us
When darkness seems to win
We know that pain reminds this heart
That this is not,
This is not our home
It's not our home

'Cause what if your blessings come through raindrops
What if Your healing comes through tears
What if a thousand sleepless nights are what it takes to know You're near

What if my greatest disappointments or the aching of this life
Is the revealing of a greater thirst this world can't satisfy
What if trials of this life
The rain, the storms, the hardest nights
Are your mercies in disguise

Kita mungkin sudah mendengar lagu ini berkali-kali... Namun bagaimana kalau masalah-masalah yang kita hadapi adalah berkat Tuhan yang belum dapat kita mengerti? Tidak sulit bagi Tuhan memberikan apa yang kita mau, namun Dia lebih tahu apa yang kita butuhkan. Jawaban dari apa yang kita butuhkan terkadang datang dalam bentuk masalah, bukan berkat.

Ketika kita meminta kesabaran, Tuhan tidak secara ajaib membuat kita menjadi semakin sabar ketika kita tertidur. Namun, Dia memberikan masalah-masalah yang menguji kesabaran kita. Ketika kita berdoa meminta damai, terkadang bukannya keadaan membaik sehingga mempermudah kita untuk merasakan damai. Namun, keadaan malah semakin runyam dan membuat kita sulit untuk mempunyai damai di dalam hati. Tanpa kita sadari, ketika kita dapat merasakan damai Kristus walaupun berada dalam keadaan seperti itu... itulah damai yang sesungguhnya, yaitu “damai yang melampaui segala akal” (Filipi 4:7). Jawaban doa tidak selalu datang dalam bungkusan yang cantik.

Oleh karena itu, ketika berdoa tidak membuat kita merasa lebih baik, atau ketika doa membuat keadaan seperti menjadi lebih buruk dari semula, ketika kita tidak lagi ingin atau mempunyai kekuatan untuk berdoa, ingatlah tiga hal dari lagu ini:
1. Jawaban doa tidak selalu straightforward 
Seperti contoh yang kita bahas tadi. Ketika kita meminta kesabaran, kita tidak diberi kesabaran ekstra saat tidur, namun malah diberi masalah yang kemudian secara perlahan akan membentuk kita untuk menjadi lebih sabar. 
2. Hanya Tuhan yang dapat mengisi hati kita 
Manusia dapat menyakiti kita, dan hal-hal duniawi seperti harta kekayaan maupun status dapat hilang. Ketika hal itu terjadi, kita mempunyai damai karena kita tahu bahwa bukan hal-hal inilah yang memuaskan hati kita, karena hanya Dia yang dapat melakukannya. 
3. Dunia ini bukanlah rumah kita yang sesungguhnya 
Kita tidak hanya diciptakan untuk hidup di dunia ini dan mati. Kita diciptakan untuk menikmati kekekalan bersama-Nya. Apapun masalah yang kita hadapi hari-hari ini, this too shall pass. Even “the world and its desires pass away, but whoever does the will of God lives forever.” (1 John 2:17)

Monday, May 29, 2017

Peace When You Are Pissed




by Wellney Yarra

Hello, Ladies!

Mungkin kalian udah bisa nebak juga dari judul artikelnya apa yang akan kita bahas kali ini. Yuup! Kali ini, kita akan membahas tentang “peace” alias damai sejahtera. Apa sih sebenernya arti damai itu? Nah, sebelum kita bahas lebih lanjut, aku pengen share Mazmur 27:4 yang berbunyi demikian, “Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN, dan menikmati bait-Nya.” Ayat yang sungguh menenangkan bukan? Kalau membaca ayat ini, aku pun langsung berpikir tentang mengasingkan diri ke tempat yang tenang dan menikmati hadirat Tuhan. Mirip-mirip kalau retret ke Puncak gitu deh... 

Seringkali ketika kita mendengar kata ‘damai’, kita langsung berpikir tentang suasana yang tenang, aman, dan tentram. KBBI juga mengartikan kata ‘damai’ sebagai ‘tidak ada perang; tidak ada kerusuhan, aman.’ Namun, sebenernya apa sih arti damai menurut Alkitab? 

Kata ‘damai’ diambil dari bahasa Ibrani, ‘shalom,’ yang artinya... ‘Tidak ada yang hilang.’ Apakah kalian melihat perbedaannya? KBBI mengartikannya sebagai ‘tidak ada perang,’ namun Alkitab mempunyai pengertian damai yang berbeda, yaitu ‘tidak ada yang hilang.’ Untuk mengerti lebih lanjut, mari kita baca kembali Mazmur 27, namun kali ini kita baca dari ayat yang pertama. 

Dari Daud. Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh. Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya. Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN, dan menikmati bait-Nya. 
(Mazmur 27:1-4) 

Jeng jeng! Ayat yang selama ini membuat kita berpikir tentang suasana yang diam dan tenang ternyata Daud tulis ketika ia sedang melarikan diri dari Saul. Itu sebabnya kita juga dapat melihat di ayat kedua dan ketiga, di mana ia menuliskan bahwa ia diserang, dikepung dan peperangan pun timbul melawan dia. Namun Daud tidak berhenti sampai disana. Dia pun melanjutkan dan menuliskan di ayat ke-4, bahwa terlepas dari semua hal yang terjadi di dalam kehidupannya, dia ingin diam di rumah Tuhan seumur hidupnya, menyaksikan kemurahan Tuhan, dan menikmati bait Tuhan. 

Kembali ke definisi “shalom,” yaitu ‘tidak ada yang hilang.’ Apa yang dapat kita pelajari dari cerita Daud? Kita belajar, bahwa ‘damai’ tidak tergantung kepada keadaan. Definisi damai bukan seperti yang diartikan KBBI, yaitu keadaan dimana tidak ada peperangan. Damai yang sesungguhnya yaitu ketika kita, seperti Daud, tidak merasakan kehilangan walaupun hidup kita saat ini seperti zona perang, karena kita tahu Tuhan beserta kita. Damai bukan perasaaan yang kita rasakan ketika semua hal berjalan dengan aman, tentram dan baik-baik saja. 

Damai adalah...

Ketika kita diserang, dikepung dari segala arah, ketika masalah-masalah menghadang, ketika kita menghadapi peperangan, dan terlepas dari semuanya itu, kita tidak merasa kehilangan. 

Hidup kita tidak harus sempurna terlebih dahulu agar kita dapat merasakan damai. Masalah-masalah dalam hidup kita tidak harus menghilang dulu agar kita dapat merasakan damai. Peperangan dalam hidup kita tidak harus usai dulu agar kita dapat merasakan damai. Sebab, damai dari Kristus tidak tergantung keadaan: Ia “melampaui segala akal” dan “memelihara hati & pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:7

Aku tidak tahu bagaimana hidup kalian saat ini dan masalah-masalah apa yang sedang merenggut damai sejahtera dari hidup kalian. Namun, kalian tidak perlu membiarkan damai kalian hilang karena keadaan lagi. From now on, you know you can have peace, even when you’re pissed.

Friday, May 26, 2017

Be Grateful, Always...



by Yunie Sutanto

Rhema Marvanne, penyanyi gospel cilik yang kini berusia 15 tahun, menulis lagu karyanya "I Thank God" di albumnya yang ketiga, Believe. Album yang sudah diluncurkan sejak tahun 2011 ini sangat memberkati pendengarnya. Suara khas Rhema tak lagi hanya memuaskan para Youtubers, namun sudah bisa dibeli versi mp3 dan CD nya di Amazon dan iTunes.

Hati yang dipenuhi kasih Kristus tentu akan mengalirkan puji-pujian dan ucapan syukur yang tak habis-habisnya. Kisah hidup penyanyi cilik yang sudah kehilangan ibunya di usia enam tahun karena kanker ovarium, juga turut membentuknya lebih dewasa dari usianya. An old soul, demikian sebutan untuk anak-anak yang lebih dewasa secara emosional dan mental, karena tempaan hidup yang membentuknya demikian. Rhema menyanyikan lagu-lagu gospel dengan penuh penghayatan, seolah bukan anak seumurannya! Gaya menyanyinya yang khas, teknik menarik suaranya yang indah, sungguh memberkati telinga pendengar. A must have CD in every Christian home!

Suara Rhema terlahir dari hatinya yang mengalami Tuhan dan meluap dalam ucapan syukur yang tak berkesudahan untuk kebaikan-kebaikanNya. Jika seorang Rhema Marvene yang diijinkan melihat kanker menggerogoti tubuh ibunya, hingga detik-detik terakhir ibunya bernafas, bisa berkata bahwa Tuhan Yesus baik, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersyukur saat diijinkan-Nya melewati proses hidup ?

Begitu banyak yang bisa disyukuri. Pagi ini terbangun dari tidur dan mendengar lagu ini mengalun, rasanya tak pernah habis kebaikan Tuhan kalau dicatat satu per satu ya? Yuk, latih mata kita untuk fokus pada hal-hal indah yang Tuhan beri setiap harinya! Jangan fokus pada masalah dan segala ketidaknyamanan kita! Gagal fokus judulnya itu mah! Latih mata kita untuk fokus pada pekerjaan-pekerjaan Tuhan sepanjang hari yang kita lalui. Bisa saja kasih-Nya kita temui dalam hal-hal kecil: ngga sengaja ketemu sohib lama, dompet yang hampir hilang namun dikembalikan pelayan restoran, sampai di kantor dengan selamat, bisa pulang rumah tepat waktu, bisa terbangun dari tidur, bisa memeluk anak-anak, bisa memasak untuk suami, bisa tersenyum tanpa sakit gigi lagi, sariawan yang uda sembuh, wow... and the list goes on.....

Keep a grateful journal and we can see so many of His blessings! Teringat saja bahwa seperti apapun kondisinya hidup kita, selalu ada kebaikan Tuhan yang kita bisa syukuri! There are always reasons to be grateful!


Wednesday, May 24, 2017

Live in Peace



by Yunie Sutanto

Saat kita meninggal, pada nisan kita tertulis Rest in Peace. Saat kita hidup, bisakah kita Live in Peace juga? Seberapa banyak dari kita yang hidup dengan perasaan tenang, tentram, damai sejahtera, menikmati hidup one day at a time, living in peace? Hmmm... jangan-jangan live in panic lebih pas untuk hidup kita.

Dunia maya begitu menyita perhatian kita. Antrian chats Whatsapp menunggu direspon. Antrian notifikasi Facebook rasanya tidak sabar untuk dibaca. Antrian comments Instagram wajib dibalas satu per satu. SMS yang harus dibalas pun bejibun. Belum lagi email. Grup alumni di LINE pun demikian menyita waktu. Rasanya isi pikiran dalam satu hari saja sudah terbombardir oleh sekian banyak hal.

Peace? Are we sure we can still live in peace?

Suara yang mana yang harus kita dengarkan? Apakah kita sudah memilih dengan benar? Whose voices are we listening to?
Seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya (Lukas 3:4)
Setiap keputusan dan tindakan kita banyak sekali dipengaruhi oleh suara-suara yang kita dengarkan. To live in peace, we should choose wisely! Curhat pada orang yang salah bisa memperkeruh keadaan. Saat hidup kita seolah padang gurun, keputusan yang mana yang harus dijalani? Suara siapa yang kita dengarkan? Apakah kita mencari kehendak Tuhan? Apakah kita mendengarkan suara-suara yang menuntun pada kebenaran?
Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yesaya 32:17)
Kebenaran selalu berbuahkan damai sejahtera. Saat hati dan pikiran mulai kehilangan damai sejahtera, artinya ada area dalam hidup kita yang sedang tidak benar. Lantas, bagaimana untuk tetap hidup dalam kebenaran?
"Dengarlah! Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis.

Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati, sehingga ia tidak berbuah. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, ia tumbuh dengan suburnya dan berbuah, hasilnya ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang seratus kali lipat." [emphasis added] (Mar 4:3-8)
Tuhan Yesus mengajarkan tentang empat jenis tanah hati. Kita fokus membahas tanah hati yang kedua dan ketiga: tanah berbatu-batu dan tanah semak duri.
Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad. (Mar 4:16-17)
Tanah yang berbatu-batu itu tidak banyak tanahnya, lalu benih kebenaran pun segera tumbuh. Tanah yang tipis, penuh batu akan mempersulit akar tertancap. Tanah hati yang penuh batu harus dibuang dulu batu-batu kerasnya supaya lebih banyak ruang untuk pertumbuhan akar! Adakah area dalam hati kita yang masih keras seperti batu? Kebiasaan lama yang sudah membatu dan sulit berubah? Padahal sudah tahu merokok itu salah, namun untuk melakukan hal benar, stop merokok kok sulit sekali? Adakah memori masa lalu yang susah terpatri jadi monumen di hati kita? Sindrom gagal move on? Masih terus ingat si mantan padahal sudah jadi istri orang? Masih inget mendiang papa yang sudah lama meninggal dan menyalahkan keadaan? Batu-batu yang berasal dari masa lalu harus dibuang dari tanah hati kita. Untuk hidup dalam damai sejahtera, kita harus berdamai dengan masa lalu kita.
Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah (Mar 4:18-19)
Tanah semak duri ialah tanah yang dipenuhi kekuatiran sehingga benih tersebut terhimpit pertumbuhannya. Ada pertumbuhan benih yang nampak, tapi tanpa buah. Petani pasti akan mencabuti semak duri dari tanaman, agar tidak terganggu pertumbuhannya. Saat rasa kuatir menguasai hati kita, tidak ada damai sejahtera! Rasa kuatir menguras energi pikiran kita. Masa depan kita di tangan Tuhan, jika kita terus kuatir berarti kita tidak meletakkan harapan kita pada Tuhan. Kita mencoba dengan kekuatan sendiri. Orang yang kuatir seperti kursi goyang, yang tidak bergerak ke arah manapun, hanya bergoyang di tempat. Kuatir bagaimana anak-anak jika sudah besar nanti, kuatir jika suami sakit parah, kuatir jika bisnis tidak ramai lagi... Untuk bisa hidup dengan damai sejahtera, kita harus berdamai dengan masa depan!
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang (Amsal 23:18)
Percaya pada Tuhan Yesus dan jalani hidup kita one day at a time! Kebenaran selalu berbuahkan damai sejahtera. Agar tetap hidup dalam kebenaran, jaga hati dengan segala kewaspadaan! Jaga apa yang didengarkan telinga kita! Suara-suara apa yang masuk? Pastikan benih firman Tuhan yang tumbuh subur di tanah hati kita, bukan semak duri, bukan lalang!

Percaya pada janji dan penyertaan Tuhan:
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11)
Tuhan Yesus selalu menyertai kita melalui setiap musim hidup kita. Kita bisa melalui keadaan yang sulit karena Tuhan menyertai dan menguatkan. As His disciples, we can live in peace.
Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu (Yohanes 14:27)

Friday, May 19, 2017

Panik!



by Glory Ekasari

Mazmur adalah kitab yang familiar bagi orang Kristen. Tapi suatu kali ketika membaca Mazmur 3, saya baru ngeh bahwa ada sesuatu yang saya lewatkan. Kondisi Daud ketika menulis Mazmur itu adalah di pengungsian, karena dia terusir dari istana di Yerusalem. Absalom, anaknya sendiri, mengadakan kudeta melawan dia, yang akhirnya berakhir dalam pertempuran berdarah. Israel saat itu terpecah karena sebagian rakyat mendukung Absalom. Dalam pengungsian, Daud menulis sebuah nyanyian bagi Tuhan. Setelah meminta pertolongan pada Tuhan (secara literal dia berkata bahwa dia berteriak kepada Tuhan), Daud berkata,
“Aku membaringkan diri, lalu tidur;
aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!
Aku tidak takut kepada puluhan ribu orang
yang siap mengepung aku.”
Ok, sepintas begitu saja. Tapi sekarang mari kita visualisasikan apa yang dialami Daud.

Pada suatu malam, anda sedang di rumah bersama suami dan anak. Tiba-tiba datang segerombolan laki-laki yang berkerumun di pintu depan dan belakang rumah anda, dan mereka menggedor-gedor pintu sambil membawa obor. “Buka!” kata mereka. Ketika anda mengintip, anda melihat orang-orang itu membawa berbagai macam senjata tajam. Mereka berteriak-teriak dan makin heboh menggedor-gedor pintu sambil mengancam akan berbuat jahat terhadap anda sekeluarga, bahkan membakar rumah dengan keluarga di dalamnya, bila pintu tidak dibukakan.

Bagaimana perasaan pembaca?

Daud mengalami hal yang sama. Dia terusir dari rumahnya dan dikepung orang-orang yang siap “menerkam” dia kapan saja. Pada saat itu Daud sudah tidak muda, dan kita tahu orang tua lebih gampang takut daripada yang muda. Saya membayangkan Daud dilanda stres yang luar biasa dan tekanan psikologis karena dikudeta oleh anaknya sendiri. Dia berkata ada “puluhan ribu orang yang siap mengepung aku”. Kita tidak tahu persis jumlahnya, tapi yang jelas banyak orang siap berbuat jahat terhadap dia.

Tapi apa yang Daud lakukan? “Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!”

Tidur! Tidur adalah hal terakhir yang bisa kita lakukan ketika dalam keadaan stres berat. Bagaimana mungkin Daud bisa tidur? Dia berkata dengan penuh kepercayaan: “Sebab TUHAN menopang aku!”

Saya merenungkan ini dengan sungguh-sungguh. Raja yang sudah tua itu adalah orang yang kaya pengalaman bersama Tuhan. Ketika dia masih bukan siapa-siapa, Tuhan menolong dia melawan singa dan beruang di padang. Dengan iman kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya dari binatang buas, dia maju berperang melawan raksasa Filistin—dan menang! Kemenangan demi kemenangan terus diraih Daud, sekalipun dalam pelarian dari raja Saul. Daud tidak sungkan mengatributkan seluruh kejayaannya kepada Tuhan:
Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan
dan membuat jalanku rata;
yang membuat kakiku seperti kaki rusa
dan membuat aku berdiri di bukit;
yang mengajar tanganku berperang,
sehingga lenganku dapat melenturkan busur tembaga.
Kauberikan kepadaku perisai keselamatan-Mu,
tangan kanan-Mu menyokong aku,
kemurahan-Mu membuat aku besar.
—Mazmur 18:33-36
Kepada Allah itulah Daud mempercayakan hidupnya. Dan pada malam itu, ketika puluhan ribu orang siap menghancurkan dia, Daud malah tidur dengan nyenyak, karena ia sudah berseru kepada Allah dan ia percaya Allah mendengarkan doanya.

Kira-kira 1500 tahun setelah Daud, rasul Paulus menulis dari dalam penjara kepada jemaat di Filipi. Dia menghadapi hukuman mati, tapi rasul itu tidak gentar. Dia tidak takut pada kematian. Dia tidak takut pada celaka. Dia tahu bahwa di dalam Tuhan, tubuh dan jiwanya terpelihara dan hidup kekal menantinya. Inilah nasehatnya bagi kita:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” —Filipi 4:6-7

Seperti kata seorang bijak, “Pray, and let God worry.” Berdoa, serahkan semuanya pada Tuhan, dan tidurlah dengan nyenyak.

Wednesday, May 17, 2017

It Ends With Me



by Glory Ekasari

Papa saya seorang pendeta. Suatu kali ketika dia berkhotbah di gereja, dia menceritakan pengalamannya ketika marah pada seseorang. Katanya, mama menasehati dia dan mengingatkan sebuah ayat firman Tuhan, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18). Rupanya nasehat itu berkesan buat papa, sampai diceritakan dalam khotbahnya.

Kalau kata dunia, kita baiknya memperlakukan seseorang sebagaimana dia memperlakukan kita. Kalau orang itu baik pada kita, ya be nice in return. Tapi kalau dia kurang ajar, yah mungkin orang itu perlu diajarin tata krama. Tapi yang dikatakan dalam ayat ini sangat berbeda.

Sedapat-dapatnya, ketika kita diprovokasi orang lain (dihina, dimarahi, dipermalukan, disakiti dll), rasanya pengen membuat pengecualian untuk kasus kita, supaya kita boleh membalas dendam, marah balik, atau apapun yang memuaskan ego kita. Ketika saya membaca “sedapat-dapatnya”, saya mendapat kesan, “Tahan sedikit lagi.” Ada perkataan bijak, “Ketika hendak berbicara, hitung sampai tiga sebelum perkataan keluar dari mulutmu, supaya kamu punya waktu untuk memikirkan perkataanmu. Ketika hendak marah, hitung sampai sepuluh sebelum berkata-kata.” Jangan buru-buru ngamuk. Sabar sedikit lagi, sebentar lagi, tahan sehari lagi. Stretch your heart as wide as possible.

Kalau hal itu bergantung kepadamu. Ah, ini dia. Kadang yang timbul dari kita semata-mata adalah reaksi dari apa yang orang lain lakukan terhadap kita. Tapi tidak. Firman Tuhan yang adalah kebenaran menunjukkan pada kita bahwa kita punya kuasa atas diri kita sendiri. Kuasa itu diberikan oleh Roh Kudus. Ketika orang lain melemparkan permusuhan kepada kita, kita punya pilihan: lempar balik, atau letakkan bola api itu dan tidak mempermasalahkannya lagi. Ini bergantung pada kita. Kita bukan mahkluk yang pasif memantulkan apa yang orang lemparkan pada kita. Kita bukan cermin yang mencerminkan ketidaksukaan orang lain terhadap kita. Kita adalah gambar dan rupa Allah, menampilkan Allah kepada siapapun yang memandang kita. Membalas berarti mengikuti kelemahan daging kita. Menjaga perdamaian berarti tunduk pada pimpinan Roh Kudus. Yang mana pilihan kita?
Paulus meneruskan nasehat yang indah ini dengan sebuah tantangan bagi kita: 
“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, Firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”
—Roma 12:19-21
Menyerah pada kejahatan dengan membalasnya adalah suatu kekalahan. Berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat pada kita adalah kemenangan. Bukan sebaliknya! Siapa yang memiliki Roh Kudus, hatinya dipenuhi damai sejahtera, dan ini kelihatan dari perbuatannya: dia membawa damai bagi orang lain.

Ketika kita diprovokasi, ketika orang mengusik damai yang ada dalam hati kita, ketika orang hendak mengalahkan kita dengan kejahatan, mari kita hitung sampai sepuluh dan sementara itu berpikir: “Sekarang ini tergantung saya, apakah saya akan membalas kejahatan atau membawa damai. Bola panas ada di tangan saya, saya harus mengambil keputusan untuk melempar balik, atau mengakhiri masalah ini. Since I have the power, I have decided, it ends with me.

Monday, May 15, 2017

Damai Sejahtera Bagi Kamu


by Glory Ekasari

Ketika beribadah di gereja, orang-orang di gereja saling menyapa dengan berkata, “Syalom.” Kata itu bisa diartikan “salam damai,” yang berarti kita mengharapkan damai sejahtera bagi orang lain. Dalam kondisi biasa, ucapan damai itu selayaknya salam pada umumnya. Tetapi bagaimana bila kita sedang bingung, gelisah dan ketakutan?

Itulah yang dialami murid-murid Yesus. Mereka bingung setelah mendapat laporan dari sekelompok wanita yang masih shock karena melihat kubur Yesus yang kosong dan bertemu secara pribadi dengan Guru mereka yang telah mati disalib itu! Mereka gelisah; bila Yesus benar bangkit, di mana Dia? Apa yang harus mereka lakukan tanpa Guru mereka? Mereka juga ketakutan karena sewaktu-waktu orang-orang yang telah menyalibkan Yesus bisa saja datang menangkap dan menghukum mati mereka karena mereka pengikut Yesus. Dalam kebingungan, kegelisahan, dan ketakutan, murid-murid Yesus berkumpul di satu ruangan dengan pintu terkunci. Kita bisa membayangkan betapa berat suasana dalam ruangan, tidak ada satupun yang tersenyum atau bersenda gurau.

Tiba-tiba Yesus muncul! Entah dari mana, mereka tidak melihat bagaimana Dia masuk. Pintu masih terkunci rapat, jendela tertutup. Dengan mata terbelalak murid-murid itu memandang Guru mereka. Dan Dia berkata,

“Damai sejahtera bagi kamu.”

Sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, sekelompok gembala sedang menjaga domba mereka di padang rumput di kota Betlehem, Yudea. Tiba-tiba langit menjadi terang seperti siang, dan malaikat, ribuan jumlahnya, muncul di langit, dan bernyanyi dengan suara menggelegar,


“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi,

dan damai sejahtera di bumi, di antara orang-orang yang berkenan kepada-Nya!”


Mengapa mereka bernyanyi demikian? Mengapa ada damai sejahtera di bumi, di antara orang-orang yang berkenan kepada Allah? Karena, salah satu malaikat itu berkata, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud!” Seketika pikiran mereka melayang dan sampai pada nubuat nabi Yesaya, “Nama-Nya akan disebutkan... Raja Damai.”

Ketika Raja Damai itu datang ke dunia, orang-orang yang menanti-nantikan Dia menemukan penggenapan pengharapan mereka. Bila orang berkata pada kita, “Damai bagi kamu,” kita tidak merasakan apa-apa. Tapi ketika Dia, yang adalah Raja Damai, berkata, “Damai sejahtera bagi kamu,” damai itu diperintahkan untuk datang kepada kita. Damai itu ada di dalam kita, ketika Yesus ada bersama kita. Dan karena nama-Nya adalah Imanuel, “Allah beserta kita”, maka damai itu juga selalu beserta kita.

Yohanes melanjutkan ceritanya. Setelah memberi mereka salam damai, Yesus menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu menyadari bahwa yang ada di tengah mereka benar-benar Yesus, bukan Guru yang sudah mati, tetapi Tuhan yang telah bangkit! Dan firman Tuhan berkata, “Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan.”

Inilah yang kita alami ketika kita bertemu Tuhan dan menyadari bahwa Dia selalu menyertai kita. Saya ingat sebuah cerita tentang lukisan bertema “damai.” Lukisan itu menggambarkan laut yang gelap dan bergelora diterpa badai, dengan banyak batu karang yang tajam. Tetapi di atas salah satu batu karang itu ada seekor burung yang bertengger dengan tenang memandangi badai yang menakutkan itu. Itulah damai. Daud menyatakannya dengan puitis: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” Sebuah hymne berkata,

Tuhanlah yang memimpinku

Tanganku dipegang teguh
Hatiku berserah penuh
Tanganku dipegang teguh
“Jika Allah di pihak kita,” ujar rasul Paulus dengan yakin, “Siapa yang akan melawan kita?” Inilah damai dan pengharapan kita, bahwa Dia tidak pernah meninggalkan kita.

Namun damai dan sukacita ini diberikan oleh Tuhan bukan untuk kita nikmati sendiri saja. Yesus berkata lagi kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.”

Ke mana kita diutus? Tidak lain kepada dunia yang gelap dan kacau ini. Sebagaimana Yesus datang menjadi terang dunia, kita pun diutus menjadi terang di dunia yang gelap, membawa damai sejahtera di dunia yang gelisah. Bila damai sejahtera Kristus memerintah dalam hati kita, kita dapat melayani Tuhan dan orang lain dengan keyakinan yang mantap, iman yang teguh, dan semangat yang tidak padam. Ini bukan berarti kita harus membawa pesan yang manis-manis saja; tetapi ini berarti kita tidak takut dengan resiko apapun yang kita hadapi sebagai orang-orang yang mewakili Kristus di dunia. Ini berarti kita tidak takut ditolak dunia ketika berbicara tentang dosa, dan tidak mundur sekalipun menghadapi kesulitan.
But it gets better: Dia tidak membiarkan kita berjuang sendiri! Yohanes melanjutkan:
Dan sesudah berkata demikian (yaitu, mengutus mereka), Yesus mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni; dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.”
Ketika seorang raja menyuruh ajudannya mengerjakan tugas negara, ia menyertakan kuasanya bagi ajudan tersebut; entah dalam bentuk kawalan tentara, surat tugas, atau lainnya. Demikian pula Allah, Roh Kudus menyertai kita dan memperlengkapi kita dengan kuasa. Kuasa ini begitu luar biasa, karena ini bukan hanya kuasa untuk hidup di dunia, melainkan kuasa yang mengikat orang sampai kekekalan! Yesus berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu...”―perhatikan, Dia berani mengutus kita karena Dia memperlengkapi kita dengan kuasa-Nya.

Inilah tujuan Tuhan memberikan damai sejahtera dalam hati kita: supaya dengan hati yang teguh, yang percaya penuh bahwa Dia menyertai kita, kita melayani Tuhan dengan segenap hati. Peace is not merely some feel-good sentiment, peace is a fortress, and it is only in Jesus Christ we have peace. Seperti yang dikatakan nabi Yesaya,

“Yang hatinya teguh, Kau jagai dengan damai sejahtera,

sebab kepada-Mulah ia percaya.”

—Yesaya 26:3

Friday, May 12, 2017

The Last Message



by Poppy Noviana

Ingatkah kita pada salah satu pesan terakhir Yesus ketika untuk terakhir kalinya Dia bersama murid-murid-Nya, sebelum meninggalkan bumi untuk kembali ke rumah Bapa?

“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang dunia berikan kepadamu. Jangan gelisah dan gentar hatimu (Yohanes 14:27)

Damai sejahtera dari Yesus itu tidak dapat disamakan dengan damai dari dunia, seperti nyanyian dari Mazmur 23 ini:

Tuhan adalah Gembalaku
Takkan kekurangan aku
Dia membaringkan aku
Di padang yang berumput hijau

Dia membimbingku ke air yang tenang
Dia menyegarkan jiwaku
Dia menuntunku di jalan yang benar
Oleh kar'na namaNya

Sekalipun aku berjalan
Dalam lembah kekelaman

Aku tidak takut bahaya
Sebab Engkau besertaku
GadaMu dan tongkatMu
Itulah yang menghibur aku

Dunia menawarkan ketenangan dan kepastian semu dalam menghadapi tantangan kehidupan. Hal ini bisa kita rasakan sendiri; seperti memiliki jaminan kesehatan, jaminan hari tua, bahkah jaminan kematian dan pembiayaan atas keluarga yang ditinggalkan. Namun, damai sejahtera yang Allah berikan tidak demikian. Dia memberikan Roh Penghibur (alias Roh Kudus) yang akan mengingatkan dan mengajarkan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan pewahyuan hikmat yang kita perlukan. Ya, kita membutuhkan Roh Kudus untuk menghadapi kehidupan dan tantangan di dalamnya dengan nyaman dan tenang. Roh inilah yang akan memimpin kehidupan manusia untuk merasakan damai sejahtera yang sejati; bukan karena apa yang manusia telah lakukan, tapi karena anugerah yang Tuhan berikan dalam hidup setiap orang yang mengasihi-Nya dan bergantung kepada ketetapan-Nya dengan sepenuh hati.

Saya pernah mengalami masa sulit dimana saya tahu kekuatan saya tidak dapat menghadapinya. Ketika itu saya menghadapi kesulitan biaya untuk membayar seluruh kebutuhan peti mati, penguburan, penutupan biaya operasi di rumah sakit untuk almarhum ayahanda tercinta... Belum selesai rasa sedih karena kehilangan sosok orangtua yang kukasihi, masalah pun bertambah dengan beban biaya yang begitu banyak.

Peristiwa ini sangat traumatis bagi saya, namun Allah mencukupkan segala sesuatunya lebih daripada apa yang saya perhitungkan. Dia tidak pernah mempermalukan saya, asalkan saya menerima jawaban doa saya di dalam hati sebelum saya melihatnya dinyatakan di depan mata. Hah? Maksudnya gimana? Iman. Ya, saya sedang berbicara soal iman yang teguh dan sikap hati untuk percaya bahwa hidup yang dipimpin oleh Roh Kudus akan membawa saya pada damai sejahtera yang sejati. Damai sejahtera ini tidak dapat diberikan oleh dunia. Dunia tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak menguntungkan baginya; sementara Allah selalu memberikan apa yang menguntungkan bagi kita, pengorbanan dan kesetiaan-Nya.

Damai sejahtera Allah tidak hanya muncul dalam kondisi tenang saja, tapi juga di dalam situasi penuh badai dan terpaan masalah kehidupan. Walaupun demikian, selalu ada jawaban, harapan dan pertolongan di saat yang tepat saat kita sungguh-sungguh bergantung pada kekuatan-Nya.

Anugerah damai sejahtera itu biasanya benar-benar dapat dirasakan justru saat berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Misalnya kondisi sakit dan menderita yang dihadapi atau muncul begitu saja. Tapi hati dan pikiran kita tetap tenang dan yakin pada penyertaan Allah yang bertanggung jawab itu. Yaa... kurang lebih seperti itulah gambaran sederhana damai sejahtera Allah.

Jadi, janganlah gelisah dan gentar hatimu. Apa yang saya dan kamu alami hari-hari ini mungkin terkesan berat, namun percayalah dan tetap tenang berjalan dalam prosesnya sambil berseru meminta pertolongan Tuhan, agar Dia menyertai setiap langkah kita. Tidak ada jaminan paling sempurna selain dari Sang Empunya Langit dan Bumi. Maut saja dapat dikalahkan-Nya, apalagi persoalan-persoalan dunia! Dia bukan Tuhan yang tidak turut merasakan kesulitan-kesulitan kita, karena itu Dia turun ke dunia untuk merasakan sulitnya jadi manusia.

Selanjutnya: Kuatkanlah hatimu. Damai sejahtera Allah menaungi hidupmu sekarang dan sampai selama-lamanya.

Wednesday, May 10, 2017

Messy Life , Peaceful Heart (2)



by Poppy Noviana

Ini adalah Kisah Rahab.

Maka pergilah mereka dan sampailah mereka ke rumah seorang perempuan sundal yang bernama Rahab lalu tidur di situ. 
Suruhan raja: Bawalah ke luar orang-orang yang datang kepadamu itu, yang telah masuk ke dalam rumahmu, sebab mereka datang untuk menyelidik seluruh negeri ini.
Rahab: Memang, orang-orang itu telah datang kepadaku, tetapi aku tidak tahu dari mana mereka, dan ketika pintu gerbang hendak ditutup menjelang malam, maka keluarlah orang-orang itu; aku tidak tahu, ke mana orang-orang itu pergi. Segeralah kejar mereka, tentulah kamu dapat menyusul mereka. 
Tetapi perempuan itu telah menyuruh keduanya naik ke sotoh rumah dan menyembunyikan mereka di bawah timbunan batang rami, yang ditebarkan di atas sotoh itu. Maka pergilah orang-orang itu, mengejar mereka ke arah sungai Yordan, ke tempat-tempat penyeberangan, dan ditutuplah pintu gerbang, segera sesudah pengejar-pengejar itu keluar. Tetapi sebelum kedua orang itu tidur, naiklah perempuan itu mendapatkan mereka di atas sotoh dan berkata kepada orang-orang itu: 
Rahab: Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas. Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.
Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut.  
Pengintai: Nyawa kamilah jaminan bagi kamu, asal jangan kaukabarkan perkara kami ini; apabila TUHAN nanti memberikan negeri ini kepada kami, maka kami akan menunjukkan terima kasih dan setia kami kepadamu.
Cuplikan kisah Rahab diatas menggambarkan betapa kacaunya hidup seseorang yang selama ini bersundal. Apa yang ia lakukan tidak mampu memuaskannya dan membuat dirinya hidup berkecukupan. Rahab tetap memerlukan damai didalam hidupnya, Ia perlu keamanan dan jaminan kelangsungan hidup atas keberadaan dirinya dan keluarganya. Namun pada akhirnya, dia mengambil keputusan dengan untuk menerima kesempatan memperoleh keamanan yang ditawarkan Tuhan. Lihat saja isi permohonannya pada pengintai.

Rahab adalah seorang wanita berdosa dari latar belakang kafir yang mengakui Allah Israel sebagai Allah yang sejati atas langit dan bumi (Yosua 2:10-11). Ia meninggalkan dewa-dewa Kanaan dan dengan iman bergabung dengan Israel dan Allah mereka (Ibrani 11:31; Yakobus 2:25). Wanita ini akhirnya menjadi nenek moyang Mesias (Matius 1:5-6). 

Dari kedua kisah di atas, aku hanya ingin membagikan bahwa memperoleh ketenangan dalam kekacauan bukan sesuatu yang mustahil. Hal seperti ini juga pernah kualami, meskipun aku dan Rahab memiliki kisah yang berbeda. Pada intinya, sumber ketenangan hati kami tetap sama sampai hari ini yaitu Tuhan Allah yang menolong kehidupan kami di tengah kacaunya hidup dan sulitnya keberadaan kami saat itu.

Bagai Rajawali

Hanya kepadaNya ku kan berlari
Di saat ku bimbang dalam hidupku
Yang aku percaya dalam hadiratNya
Ada kekuatan yang baru.

Walau ku melangkah dalam tekanan
Badai pencobaan datang menghadang
Yang aku percaya dalam hadiratNya
Ada kekuatan yang baru.

Ku kan terbang tinggi bagai rajawali
Di atas segala persoalan hidupku
Dan aku percaya saat ku bersama Dia
Tiada yang mustahil bagi Dia.

Monday, May 8, 2017

Messy Life, Peaceful Heart (1)



by Poppy Noviana

Ini kisahku.

Dokter  : Hasil pemeriksaan menunjukkan kamu harus dioperasi, tidak ada opsi lain untuk sembuh.
Me        : Fisioterapi, melalui pengobatan, atau apapun?
Dokter. : Tidak bisa mba.
Me        : Huffft...

Kehidupan yang tadinya baik-baik saja mulai berubah karena sebuah vonis dokter yang cukup mengagetkanku sore itu. Semuanya berantakan dan menakutkan karena aku diharuskan melakukan operasi ACL. Operasi ACL adalah sebuah operasi rekonstruksi lutut yang harus dilakukan pada seorang yang menderita kerusakan pada ligamennya (otot kaki). Biaya yang diperlukan pun tak tanggung-tanggung, mencapai ratusan juta; dan proses recovery-nya memakan waktu panjang sampai sekitar dua bulan.

Aku merasa kacau.

Kekacauan pertama terjadi di pikiranku saat mengetahui aku harus dioperasi. Tuhaaaaaan... apa yang harus aku hadapi ini?

Kekacauan kedua terjadi pada aktivitasku sehari-hari yang tadinya bisa mandiri. Sepertinya setelah operasi nanti aku belum tentu bisa lagi mengurus kebutuhanku sendiri. Yang paling aku pikirkan adalah persoalan kantorku yang letaknya cukup jauh dari rumah. Tiap hari, aku memerlukan 1-1,5 jam untuk dapat sampai ke kantor. Lalu bagaimana setelah aku operasi nanti?

Kekacauan ketiga adalah keuangan yang sudah cukup banyak dihabiskan untuk melakukan beberapa proses pemeriksaan seperti MRI dan kunjungan ke dokter.

Sungguh, energiku sangat terkuras untuk melalui persoalan ini.

Namun aku belajar untuk berserah kepada Tuhan agar aku bisa melalui semuanya. Bukan berarti aku mampu dan tidak takut, tapi ketika aku berserah, ada satu kedamaian yang Tuhan letakan di dalam hatiku untuk tetap percaya pada jalan yang harus kutempuh ini.

Bahkan ketika aku menuliskan ini, Tuhan mengajarkan suatu rhema tersendiri dalam hatiku: kekacauan hidup yang aku hadapi hari-hari ini bukanlah sebuah kekacauan yang sesungguhnya. Kekacauan yang sebenarnya adalah ketika aku mulai meninggalkan jam doaku dengan kesibukanku, ketika aku mulai mengganti aktivitas dan pikiranku hanya untuk memenuhi kepuasan dunia dan kesibukan pekerjaan yang tidak pernah berakhir. Hidupku kacau ketika dan karena aku semakin jauh dan menjauh dari-Nya.

Semua kejadian dan vonis dokter ini membuatku kembali dan bergantung lagi sepenuhnya ke dalam tangan-Nya. Aku seperti seorang anak yang perlu ditanggung, perlu digendong dan dipeluk, aku perlu diberikan rasa aman dan diperhatikan, aku perlu Tuhan.

Ia menjawabku dan menanggung segalanya. Sampai hari ini ketika aku masih belajar berjalan setelah operasi, Ia tetap menuntunku dan memberikan ketenangan di dalam hatiku yang terdalam.

Friday, May 5, 2017

Peace In Marriage



by Viryani Kho

Well, I have been married for almost two years now, and am currently expecting our first son. Aku menikah dengan seorang pria yang sungguh takut akan Tuhan, and so far it’s the most wonderful season of my life.

Kedengerannya hepi banget yah? Kaya film-film Disney princess gitu, “So they lived happily ever after.” Haha... Tapiiii sesungguhnya aku diproses Tuhan cukup seru. I still remember the days I prayed for the things I have now. Let me share a bit of my story here, hope you can learn something.

Struggle terbesarku selama ini adalah masalah finansial. Setelah menikah, kami berkomitmen sungguh-sungguh untuk mulai semua dari nol bersama-sama tanpa bergantung pada orang tua. Susah gak? Lumayan loh! Walau tidak berkelimpahan banget, hidup saya sebelumnya bisa dikatakan lebih dari cukup. I could get not only what I needed but also what I wanted. Nah, karena latar belakang orang tua suami yang sudah pensiun dan bukan dari keluarga yang serba ada, aku cukup berjuang untuk menyesuaikan gaya hidupku dengan gaya hidupnya.

Aku juga galau cukup lama sebelum akhirnya mutusin untuk pacaran sama suamiku yang sekarang, Mantanku yang sebelumnya bisa dikatakan berasal dari background yang kurang lebih sama. Efek setelahnya, kalau pacaran dengan orang dari level ekonomi yang berbeda, aku takuttt banget gak bisa adjust. Tapi emang bener yah, orang yang sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan itu beneran beda. Aku ngerasain hal yang beda banget ketika bangun hubungan sama suamiku sekarang. Dari komitmen buat jaga kekudusan, kerendahan hatinya untuk menaruh perasaanku diatas perasaannya, sampai belajar memahami karakter masing-masing dan banyak lagi.

Ketika pacaran, kami emang lebih serius mikirin pengeluaran dan tabungan buat pernikahan dan kehidupan setelahnya. Gara-gara itu, kami jadi gak bisa makan makanan yang fancy dan mahal-mahal. Kalau mau makan atau mau belanja, kami jadi lebih mikir. Kalaupun akhirnya kami lakukan, frekuensinya juga gak bisa sering-sering. Tapi, walaupun kami harus melewati keadaan seperti itu, kami merasakan damai sejahtera! We knew that God was with us and He wanted this relationship to work as well, because we wanted to glorify Him with our relationship. Ini hal yang aku gak bisa dapetin ketika pacaran sama orang yang gak sungguh-sungguh dalam Tuhan.

Suatu kali, dalam perjalanan menyetir mobil ke rumah, aku salah ambil jalan dan masuk jalur Trans Jakarta. Tentu saja aku gak bisa langsung keluar karena ada pembatas jalan. Enak sih jalurnya lebih lowong dan perjalanan jadi lebih cepet karena gak ada mobil lain. Tapi all the way aku gak ngerasain ada damai sejahtera. Bahkan, nyetirnya sambil gemetaran karena takut ditilang. Nah, Tuhan pake pengalaman itu untuk ingetin aku, mungkin kalo aku dapet cowo yang super kaya, semua bisa mulus aja, lancar seperti jalan tol, tapi gak ada damai sejahtera. Aku bakal selalu deg-degan takut dia selingkuh lah, khilaf lah, mukul lah. Apa aku mau menikah dengan orang seperti itu? Pastinya engga.

Setelah pernikahan pun aku tetep diproses. Tuhan ingetin bahwa sekalipun suami adalah kepala keluarga, yang by rights adalah sumber penghasilan keluarga, aku harus ingat bahwa the Lord is my Jehovah Jireh! Di atas suamiku ada Tuhan, jangan pernah lupain itu. Kita harus bergantung sepenuhnya pada Tuhan, bukan pada suami. Kalo gak, suami bisa stress dengan segala tuntutan kebutuhan yang ada.

So, as long as we live, we will always be facing circumstances that may shake our faith in God. But as long as we keep on believing, we will surely see the rainbow. Pernikahan adalah idenya Tuhan, dan ketika suami istri sepakat untuk bersungguh-sungguh di dalam Tuhan, Dia akan mencurahkan berkatnya secara luar biasa, salah satunya berkat rasa aman dan damai sejahtera.

Jadi untuk para single ladies, choose a man who loves God more than he loves you. Karena materi bisa didapat dalam kurun waktu tertentu, let’s say 5 years if we work hard, tapi pertumbuhan dan pengenalan akan Tuhan membutuhkan konsistensi dan integritas terus menerus sampai kita meninggal.

Wednesday, May 3, 2017

Peace: The Hunger of Human Heart



by Viryani Kho

Kemarin saya membaca berita mengenai putri bungsu dari sebuah perusahan asing ternama yang meninggal karena bunuh diri. Reaksi saya? Shocked! The first thought that came into my mind was... Hah? Kurang apa coba dia, udah kaya banget, mau apapun juga bisa. Dia juga pasti punya kemudahan-kemudahan untuk kembangin apa yang dia mau. Tapi, kok malah bunuh diri?

Dan ternyata bener yah, rasa damai itu gak bisa didapat cuma dari kesehatan, materi ataupun posisi dan kedudukan sekalipun. Ada banyak orang yang super duper kaya dan terberkati luar biasa dalam finansial, ternyata keluarganya gak bahagia dan generasi dibawahnya kacau. Atau apakah kesehatan dan umur panjang yang jadi takarannya? Banyak juga kok yang hidup sehat sampai lansia, namun di akhir hidupnya meninggal sendiri tanpa ada kerabat dekat.

Zaman memang berkembang semakin pesat dan canggih, namun sayangnya tidak disertai dengan nilai kemanusiaan yang semakin baik juga. Dunia banyak menawarkan keindahan dan kenikmatan yang hanya ada di permukaan. Sebenarnya banyak orang di luar sana yang longing for help, for changes, for better life. They seek peace. Peace that only God can offer; not the world.

Kebanyakan orang dunia berpikir bahwa damai sejahtera bisa didapatkan dari harta yang melimpah, kedudukan ataupun kesuksesan yang kita raih. Ya bisa saja kita merasakan kesenangan dari hal tersebut namun kedamaian itu tidaklah sejati dan bertahan lama.

Jadi, dari mana kita bisa mendapatkan kedamaian yang sejati? Dari mana kita mendapat damai sejahtera yang dicari-cari dan diinginkan oleh orang-orang dunia yang sukses dan berkelimpahan sekalipun?

Tidak ada jawaban yang lain. Damai sejahtera yang sejati hanya bisa didapat dari Yesus Kristus, sang Juruselamat dan sumber dari segala sesuatu. Dunia boleh menjanjikan banyak hal di luar kebenaran yang nampaknya menyenangkan, namun semua itu hanya bersifat sementara dan berujung pada kebinasaan karena upah dosa adalah maut.

Bila saat ini kita tidak merasakan damai sejahtera, mungkin kita sedang jauh dari sumber damai itu, yaitu Tuhan. Carilah Tuhan, hiduplah dalam kekudusan, dan penuhi keinginan dan perintah-perintah-Nya. Hiduplah sesuai status kita sebagai orang benar karena seperti apa kata Firman Tuhan, tidak ada damai sejahtera bagi orang-orang fasik (Yesaya 48:22).

Monday, May 1, 2017

Peace That Surpasses All Understanding


by Viryani Kho

Do not be anxious about anything, but in every situation, by prayer and petition, with thanksgiving, present your requests to God. And the peace of God, which transcends all understanding, will guard your heart and your mind in Christ Jesus.

—Philippians 4:6-7 (NIV)

Ayat dari Kitab Filipi ini adalah ayat favoritku. Saking seringnya disebut, aku sampai hafal di luar kepala. Bagiku, ayat ini sungguh-sungguh me-rhema. Mungkin dalam keadaan semua baik dan sesuai keinginan, kita akan bingung dan gak ngerti, apa sih yang dimaskud dengan “damai sejahtera yang melampaui segala akal”?

Yesus tahu bahwa kita, anak-anak-Nya, akan hidup dalam dunia yang penuh dengan keadaan yang membingungkan, meresahkan, menakutkan, penuh dengan godaan dan ancaman - dimulai ketika Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Tetapi Ia adalah Allah yang sungguh baik, termasuk saat kita berada di tengah situasi/kondisi yang tidak baik. Yesus memberikan ‘warisan’ damai sejahtera sebagai bekal kita menjalani hidup di dunia yang semakin hancur dan rusak.

Dalam Yohanes 14:27 Yesus mengatakan, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Karenanya, sudah seharusnya setiap anak Allah yang telah dilahirkan kembali dari air dan Roh bisa menikmati hidup yang penuh damai. Tapi pada kenyataannya, apa iya? Tidak jarang kita tetap merasa gundah gulana, galau, gak bisa tidur dll kan? Hehe...

Dunia pun dapat menawarkan sesuatu yang mirip dengan kedamaian. Damai yang diberikan dunia adalah perasaan tenang jika kita berada dalam keadaan yang terkendali, aman, nyaman dan seturut dengan rencana dan keinginan kita. Namun saat semua itu hilang, atau saat kita berada dalam keadaan yang sebaliknya, maka rasa tersebut dapat dengan mudah tergantikan oleh roh kecemasan, kekuatiran, bahkan ketakutan yang fatal.

Namun seperti yang tertulis di dalam Yohanes 14:27, damai yang diwariskan oleh Tuhan Yesus, adalah damai yang akan selalu hadir pada waktu senang maupun susah, ketika kita mengalami kelimpahan maupun kekurangan, ketika kita dalam keadaan yang sesuai dengan keinginan kita ataupun keadaan yang tidak menentu. Jadi inget dulu pernah ada quote yang bunyinya demikian:

”In the world I had fun and found comfort, but in God I have peace. I prefer peace, since fun and comfort are only temporary.”

Damai sejahtera dalam Tuhan akan memampukan kita untuk bekerja di tengah tengah ‘badai’. Dengan bekal damai-Nya, kita dimampukan untuk tetap hidup dalam ketenangan di tengah banyaknya perubahan, godaan, dan pencobaan; because we know that He is in perfect control. 

Bagaimana caranya agar kita dapat merasakan peace that surpasses all understanding di tengah-tengah keadaan dunia yang tidak menentu ini? Jawabannya ada di dalam Filipi 4:6-7!
1. Tidak kuatir dan percaya sepenuhnya pada Tuhan
Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya. Percayalah kepada TUHAN selama-lamanya, sebab TUHAN ALLAH adalah gunung batu yang kekal. (Yesaya 26:3-4)  
2. Tekun dalam berdoa dan mengucap syukur dalam segala hal 
Doa adalah jendela hubungan kita dengan Tuhan, karena lewat doa kita menjadi lebih intim dan mengenal Tuhan. Dan dengan mengucap syukur, jiwa kita akan senantiasa merasa 'penuh' dan lebih menghargai kebaikan dan kemurahan-Nya yang kadang sering terlewatkan.  
3. Hidup benar dan kudus di hadapan Allah 
Damai sejahtera tidak dapat dipisahkan dari kebenaran atau kekudusan. Damai sejahtera dan kebenaran selalu berjalan beriringan. Allah tidak berkenan kepada mereka yang berdosa dan tidak mau bertobat sehingga Ia akan menarik damai sejahtera-Nya pada saat kita kita melakukan dosa.

Wednesday, April 12, 2017

Ketika Doa Tidak Terjawab



by Leticia Seviraneta
“Dengarkanlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.”– Mzm 27:7-8 (ITB)
Kita mungkin memiliki saat-saat kita memiliki banyak masalah, lalu kita berdoa meminta pertolongan Tuhan, dan tidak ada respon yang berarti saat itu juga. Ada yang berdoa bagi keselamatan bayinya yang lahir dengan komplikasi, namun akhirnya bayi itu meninggal dunia. Ada yang berdoa untuk kesembuhan dari penyakit kronis, namun tidak kunjung sembuh penyakitnya. Ada yang berdoa untuk pasangan hidup, namun belum bertemu juga setelah sekian lama. Ya, kita menghadapi saat-saat di mana secara natural kita akan mempertanyakan di mana Tuhan? Apa yang seharusnya kita lakukan ketika doa tidak terjawab?

Sebelum kita bahas lebih jauh lagi, kita perlu kembali ke sebuah hal dasar: apa itu doa? Doa bukanlah komunikasi satu arah. Doa bukanlah juga seperti meminta kepada “genie in a bottle” dengan ekspektasi pasti dikabulkan. Doa adalah komunikasi dua arah dengan sikap mengakui bahwa Tuhan adalah sumber dari segalanya dan apa pun jawaban-Nya, baik sesuai harapan kita atau tidak, akan bekerja untuk sesuatu yang jauh lebih baik dari yang dapat kita pikirkan. Tuhan kita adalah Alpha dan Omega, awal dan akhir. Ia ada sebelum kita ada, dan ada jauh di masa depan setelah kita sudah tidak ada lagi di bumi. Oleh karena itu, jelas bahwa Tuhan tahu yang terbaik bagi kita. Rasa percaya kita kepada-Nya akan hal itu yang akan menjadikan kehidupan doa kita tidak monoton dan kita tidak mudah patah semangat ketika mendapat jawaban yang tidak kita inginkan.

Daud, seorang yang berkenan di mata Tuhan, mengalami banyak sekali saat dimana doanya tidak terjawab. Mayoritas isi kitab Mazmur banyak menyingkapkan pergumulan dan keluhan Daud dalam bentuk doa kepada Tuhan. Bagian yang menarik adalah terlepas dari belum dijawab Tuhan, Daud seringkali menutup doanya dengan ungkapan percaya kepada-Nya. “Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14, ITB) Jadi, sesungguhnya doa tidak selalu mengubah keadaan secara instan, namun doa mengubahkan hati kita.

Tuhan kita adalah Tuhan yang lebih peduli kepada proses daripada hasil akhir. Tujuan Tuhan bukanlah pada kebahagiaan yang bergantung pada situasi di sekeliling kita, melainkan sukacita. Sukacita adalah buah Roh yang dihasilkan di situasi yang sebenarnya memberikan kita alasan untuk tidak bahagia, namun karena rasa percaya kepada Tuhan tahu terbaik kita memutuskan untuk bersukacita. Tuhan lebih ingin kita bertumbuh dan berbuah, lebih dari sekedar mengabulkan setiap kemauan kita.

Kalau begitu, untuk apakah kita berdoa? Kembali pada definisi awal, doa sesungguhnya bukanlah komunikasi satu arah, melainkan dua arah. Kita berdoa bukan hanya untuk meminta atau berbicara satu arah, melainkan juga untuk mendengarkan Tuhan. Sederhananya, doa adalah komunikasi dengan Tuhan kita. Kita tidak dapat membina hubungan intim dengan sesama kita tanpa adanya komunikasi yang regular dengannya. Demikian juga dengan hubungan kita dengan Tuhan. Kita membutuhkan doa untuk membina hubungan dengan-Nya.

Kita juga harus biasakan diri kita untuk mendengarkan-Nya sehingga doa kita tidak hanya satu arah saja. Mendengarkan Tuhan bisa melalui membaca firman-Nya dan merenungkan-Nya. Tuhan juga dapat berbicara melalui lagu-lagu pujian, perkataan orang yang lebih dewasa dalam hidup kita, dan melalui suara hati kita yang mengingatkan akan kehendak-Nya dan bersifat membangun. Ini merupakan sebuah skill yang harus dilatih, apalagi kalau kita sudah sangat terbiasa dengan doa satu arah yang hanya untuk meminta. Namun doa merupakan akses kepada Bapa yang terbuka untuk semua anak Tuhan dan tidak hanya terbatas bagi para hamba Tuhan. Kita semua dapat berhubungan pribadi dan mendengarkan suara-Nya! Bukankah itu luar biasa?

Selain karena Tuhan punya kehendak lain dari yang kita doakan, terkadang Tuhan tidak menjawab karena masih ada dosa yang merintangi hubungan kita dengan Tuhan. “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar, tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” (Yesaya 59:1-2, ITB) Doa kita juga dapat tidak terjawab karena kita berdoa dengan motivasi yang salah. “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habisakn untuk memuaskan hawa nafsumu.” (Ibrani 4:3, ITB) Jadi, tentu penting untuk kita senantiasa mengecek hati kita, apakah benar doa kita ini memuliakan Tuhan atau hanya untuk kepentingan pribadi? Lalu bagaimana kah hubungan kita dengan Tuhan? Masih ada dosa kah yang belum kita akui dan bertobat darinya?

Ketika doa kita tidak terjawab, bukan berarti Tuhan tidak mendengar ataupun tidak peduli kepada kita. Ia memiliki rencana yang jauh lebih baik daripada mengabulkan keinginan kita saat itu. Percayalah akan rencana dan waktu Tuhan selalu yang terbaik. Alkitab banyak mencatat orang-orang saleh yang doanya pun tidak terjawab sesuai ekspektasi mereka. Selain Daud, ada Ayub, lalu tidak lain ada pula Yesus Kristus sendiri, sang Anak Allah. Yesus berdoa sebelum disalibkan, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat 26:39, ITB) Namun, pada akhirnya doa Yesus pun tidak terjawab, Yesus bahkan harus mati di kayu salib karenanya. Kita dapat merasakan sekarang dampak kematian Yesus menyelamatkan jutaan jiwa bagi kemuliaan Tuhan pada akhirnya. Tanpa kematian Yesus sebagai hasil doa-Nya yang tidak terjawab, rencana Allah tidak akan digenapi. Yesus telah menjadi jembatan antara manusia dan Bapa yang terputus akibat dosa. Dahulu kita tidak dapat berkomunikasi secara pribadi dengan Tuhan, sekarang ini Tuhan hanyalah sejauh sebuah doa. Satu doa tidak terjawab memberikan implikasi begitu kekal bagi kita semua! Karena itu, janganlah marah atau kecil hati ketika doa kita tidak terjawab, tapi cobalah lihat dengan perspektif Tuhan dan percayalah Tuhan kita tahu yang terbaik bagi kita.
“Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, hai semua orang yang berharap kepada TUHAN!”– Mzm 31:25 (ITB)