Monday, March 25, 2019

Yohana: Pelayan di Balik Layar


by Tabita Davinia Utomo

Pernah membayangkan bagaimana kehidupan di lingkungan istana presiden atau para petinggi negara lainnya? Tentunya berbeda dari kehidupan yang ada di luar lingkungan tersebut. Bayangkan, sehari-hari kita bisa bertemu dengan orang-orang yang biasa disorot oleh media massa. Wah, aku bisa terkenal nih kalau ikutan nampang waktu ada wawancara Presiden! Mungkin pikiran seperti ini akan terlintas di benak kita.

Nah, kali ini, kita akan belajar bersama dari salah satu murid Yesus yang memiliki kehidupan serupa. Iya, ada lho. Dia adalah seorang istri dari pejabat pada masa pemerintahan Herodes Antipas. Namanya Yohana, istri Khuza yang juga adalah bendahara raja (Lukas 8:1-3).

Nama Yohana memang tidak disebut sesering nama para murid Yesus lainnya. Salah satu alasannya adalah para perempuan di masa itu memiliki kedudukan lebih rendah dari laki-laki. Mereka dianggap kelas dua—sebuah ketidakadilan yang pasti akan diperjuangkan oleh kaum emansipasi masa kini. Meski demikian, baik Yohana maupun beberapa perempuan lainnya bersedia melayani Yesus dengan apa yang mereka miliki.

Tapi ups, bukankah Yohana adalah istri dari bendahara Herodes, raja pada masa itu? Seharusnya dia tahu akan keinginan Herodes yang sangat ingin bertemu Yesus—agar dapat melihat mujizat-Nya. Hidup di lingkungan istana juga berarti di tengah atmosfir hangat isu-isu seputar kerajaan, termasuk tentang Yesus-yang-dikira-adalah-Yohanes Pembaptis-yang-bangkit-setelah-dipenggal (Markus 6:26). Apa jadinya kalau seisi kerajaan tahu bahwa Yohana adalah pengikut Yesus, Seseorang yang dicurigai akan melakukan kudeta pada pemerintahan Romawi dan telah membuat para ahli Taurat marah pada-Nya? Nyawa Yohana jadi taruhannya.

Tapi lebih dari itu, ada satu pertanyaan penting dari wanita ini:

Apakah Yohana tidak memberitahu Khuza, suaminya, bahwa dia adalah murid Yesus?

Tidak ada yang tahu, karena Alkitab hanya menjelaskan tentang Yohana dalam tiga pasal di Injil Lukas. Meski demikian, kita bisa belajar sesuatu yang luar biasa darinya, “Mereka (Yohana, Susana, dan perempuan lainnya) melayani rombongan itu (rombongan Yesus) dengan kekayaan mereka.” (Lukas 8:3). 

Saat menulis artikel ini, saya jadi berpikir tentang apa yang Yesus pikirkan mengenai Yohana dan para perempuan lain yang melayani-Nya. Saya percaya bahwa Yesus mengapresiasi mereka. Namun lebih dari itu, saya belajar sesuatu yang (mungkin) mulai dilupakan oleh orang percaya saat ini:

Kita bisa melayani Tuhan melalui apapun yang kita miliki.

Kata “apapun” di sini tidak hanya terbatas pada waktu (atau daya), melainkan juga melalui dana dan doa. Let’s say these 3D (doa, daya, dan dana) as “things we need to serve God”. Sebagai contoh, sebuah lembaga misi tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ada orang yang tergerak untuk terjun langsung di lapangan, dukungan doa dari sesama orang percaya, dan donasi yang mengalir pada lembaga tersebut.

Ironisnya, kalau ada yang tidak mau melayani, kita sering mendengar nyinyiran seperti ini:

“Wah, pasti dia nganggep percuma buat pelayanan di tempat kecil kayak gini.” – padahal dia terus berdoa agar keluarganya menjadi orang percaya seperti dirinya.

“Ih, kok dia nggak mau ikutan blablabla (baca: wadah pelayanan), sih? Nyesel deh, ngajakkin dia.” – padahal dia baru merawat orangtuanya yang baru saja masuk rumah sakit.

“Ck, punya duit banyak tapi nggak mau nyumbang ke gereja. Gimana, sih? Jadi orang berpunya, kok pelit!” – padahal dia terjun langsung ke ladang misi sekaligus memberikan bantuan logistik di sana.

… dan pasti ada banyak nyinyiran yang bisa tertuang di sini, yang menggambarkan bahwa mereka yang tidak terlibat dalam pelayanan adalah orang-orang yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk memuliakan Tuhan, kaum individualis nan egois. Tanpa sadar kita jadi menghakimi dan mengganggap mereka remeh, bukan?

***

Mungkin para murid Yesus lainnya juga sempat nyinyir saat melihat ada perempuan yang “hanya” melayani Sang Guru dengan kekayaan mereka. “Pengecut nih, mereka! Pantas jadi kaum kelas dua!” Padahal tanpa disadari, para perempuan (termasuk Yohana) inilah yang berada di balik layar pelayanan Yesus. Saya merasa bahwa Dia ingin mengajarkan para murid-Nya bahwa Tuhan dapat mencukupkan apapun yang mereka butuhkan, sekalipun itu dari orang “kelas dua”. Sebuah pembelajaran yang menarik, namun yang sering kita lupakan, bukan?

Sebagai penutup, saya ingin menceritakan kisah mengenai Euna Lee, seorang wartawan asal Korea Selatan yang ditangkap saat dia sedang meliput di perbatasan Tiongkok dan Korea Utara. Dua dari sekian peristiwa yang mengubah pola pikirnya tentang “musuh” di Korea Utara adalah ketika ada tentara yang menyelimutinya dengan jaket saking dinginnya cuaca di sana, padahal saat itu interogasi sedang berlangsung. Ada pula seorang tentara yang memberinya telur rebus agar dia bisa tetap bertahan. Sebelum dipenjara, Euna selalu merasa bahwa Korea Utara akan selalu jadi musuh negaranya—termasuk semua orang di sana. Tapi setelah dia memperoleh kebaikan dari pihak musuhnya itu, Euna menyadari bahwa kemanusiaan akan selalu ada, sekalipun itu dari sekelompok orang yang ia anggap “kelas dua” dibandingkan dirinya.

Mungkin ini adalah saatnya bagi kita untuk lebih menghargai kehadiran orang-orang di balik layar pelayanan gereja maupun komunitas kita. Bukankah tubuh Kristus terdiri dari berbagai pelayanan, dan tidak dikotak-kotakkan oleh “kelas satu”, “kelas dua”, dan seterusnya—karena kita semua adalah sama di mata Tuhan?

Monday, March 18, 2019

Gomer: Ironi Kasih Ilahi




by Glory Ekasari 

“Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya, dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal Tuhan.” 
(Hosea 3:18-19)

Lebih dari sekedar seorang istri yang tidak setia, Gomer adalah gambaran rohani mengenai “betapa kita tidak dapat mengasihi Tuhan dengan kekuatan kita sendiri.”

Hosea tentunya seorang hamba Tuhan yang saleh. Namun dengan seizin Tuhan, perkataan nubuatan dan pernikahannya yang disfungsional menjadi profetik. Ketika istrinya menjual diri menjadi pelacur, Hosea diperintahkan membelinya kembali dari tangan germo (!!) dengan harga seorang budak (Hosea 3:2). Tuhan memberikan perintah yang jelas pada Hosea, “Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti Tuhan juga mencintai orang Israel.” (Hosea 3:1). Nama ketiga anak mereka menjadi tanda betapa pahitnya pernikahan yang diwarnai ketidaksetiaan itu; yaitu Yizreel (artinya “Tuhan menyebarkan” atau “Tuhan mencerai-beraikan”), Lo-Ruhama (artinya “tidak dikasihi”), dan Lo-Ami (artinya “bukan umat-Ku”). 

Kita tidak perlu berlama-lama bergosip tentang Gomer, karena sudah jelas kejahatan yang dia lakukan sangat besar. Tapi karena kisah ini ditulis dalam Firman Tuhan (bahkan sejak berabad-abad lalu), maka kisahnya juga ditulis untuk kita yang hidup di zaman sekarang. Kita percaya bahwa Firman Tuhan akan menyelidiki hati kita dan menampakkan rahasia-rahasia terdalam, tapi siapkah kita menerima apa yang akan Dia singkapkan? 

// SEBUAH PERJANJIAN YANG DILANGGAR
Allah memakai ikatan perjanjian nikah antara suami dengan istri sebagai gambaran perjanjian Allah dengan umat-Nya. Itulah kenapa kita tidak boleh main-main dengan perjanjian itu, Pearlians. Kata “tidak boleh main-main” di sini berarti jangan buru-buru ambil komitmen sebelum dipertimbangkan baik-baik, dan jangan berpikir sekalipun untuk membubarkan perjanjian yang sudah diikat. 

Namanya perjanjian, tentu ada unsur-unsur yang harus dipatuhi. Seorang suami berjanji mengasihi istrinya, berusaha yang terbaik untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, memimpin keluarga, dsb. Istri juga berjanji menghormati suaminya, mengasuh keluarga mereka, dsb. Tidak hanya itu, kesetiaan adalah kewajiban bagi keduanya yang telah diikat dengan janji di hadapan Allah dan manusia. 

Demikian juga perjanjian Allah dengan umat-Nya (alias bangsa Israel) melibatkan hal-hal yang harus dipenuhi kedua belah pihak. Allah berjanji memelihara kehidupan bangsa Israel, dan mereka berjanji mengikuti hukum-hukum Allah. Keduanya harus setia pada perjanjian yang mereka ikat itu, dan seperti yang kita tahu… Allah memang tidak pernah melanggar janji-Nya. 

Tapi bagaimana dengan umat Israel? 

Ternyata mereka tidak setia sejak awal. Setelah Allah memenuhi janji-Nya untuk membawa mereka masuk ke dalam tanah perjanjian, mereka serta merta melanggar hukum-hukum Allah dan mulai menyembah ilah-ilah asing. Hosea pun berkata, 

“Sejak hari Gibea engkau telah berdosa, hai Israel.” 
(Hosea 10:9)

Kisah mengerikan yang terjadi di Gibea dapat dibaca dalam Hakim-Hakim 19, yang menunjukkan betapa cepatnya mereka melupakan Hukum Allah setelah kematian Yosua. Padahal sebelumnya, Yosua telah menyaksikan bagaimana Israel berjanji di hadapan Tuhan bahwa mereka akan tetap setia kepada-Nya. Namun kemudian, sejarah Israel justru diwarnai pertumpahan darah dan kekejaman. Belum cukup di situ, mereka menambah “daftar dosa” dengan penyembahan berhala yang tidak terkendali. Salah satu sesembahan Israel adalah dewa orang Moab, Baal-Peor, yang meminta korban manusia: 

“Tetapi mereka itu telah pergi kepada Baal-Peor dan telah membaktikan diri kepada dewa keaiban, sehingga mereka menjadi kejijikan sama seperti apa yang mereka cintai itu.” 
(Hosea 9:10) 

Akibatnya jelas: seluruh bangsa itu rusak parah, tidak ada bedanya dengan seorang istri yang berzinah berkali-kali, sampai anak bungsunya diberi nama Lo-Ami karena tidak diketahui siapa ayahnya. 

// PEMBAHARUAN PERJANJIAN
Kalau nabi Hosea bernubuat pada kerajaan Israel di Utara, maka nabi Yeremia bernubuat pada kerajaan Yehuda di Selatan. Keduanya berbuat kejahatan yang sama, dan mengalami nasib yang sama pada akhirnya. Meski demikian, melalui kedua nabi itu, Tuhan menubuatkan masa depan yang indah: akan ada pembaharuan perjanjian. 

Namun bagaimana perjanjian itu akan diperbaharui bila umat Tuhan terus-menerus tidak setia? Jawabannya terletak pada perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan pada Allah yang berubah—Dia justru tetap Allah yang baik, panjang sabar, berlimpah kasih setia. Nah, Perjanjian Lama menunjukkan apa yang terjadi ketika orang berusaha taat kepada Tuhan dengan usahanya sendiri; sementara Perjanjian Baru menjabarkan tentang orang-orang yang mengalami apa yang dijanjikan Tuhan dalam Firman-Nya : 

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru dan roh yang baru di dalam batinmu, dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu, dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.” 
(Yehezkiel 36:26-27)

Ayat di atas menyatakan bahwa Tuhan menebus kita dari hidup yang berdosa dan mengalami keterpisahan dari Allah. Tidak hanya itu, Dia juga mengampuni, mencintai kita, dan mengubah hati kita dari dalam oleh kuasa Roh-Nya. Dengan demikian, kita bukan lagi Gomer yang rusak dan tidak setia, melainkan kita diubah-Nya mempelai wanita yang kudus dan layak bagi Raja segala raja. 

“Lho, kok semuanya Tuhan yang mengerjakan?” 

Ya, karena dengan usaha kita sendiri maka kita, manusia yang berdosa, hanya akan berputar-putar dalam dosa kita. Melalui karya agung-Nya, kita disadarkan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dimuliakan dalam segala sesuatu. Sejarah Israel yang panjang membuktikan bahwa manusia tidak bisa setia kepada Allah. Kitapun tidak ada bedanya dengan Israel, kalau bukan Roh Kudus yang bekerja di dalam hidup kita. Lagipula, kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita pun bukan karena kehebatan kita, melainkan hanya karena kasih karunia. 

“Lalu mengapa Tuhan mau mengasihi saya, padahal saya orang berdosa yang terus berontak terhadap Dia?” 

Karena itu adalah kehendak-Nya. See, it is His pleasure to love you. Seperti Hosea yang mau mencintai istrinya (bukannya membuang), yang Tuhan mau bukan membuang kita yang tidak setia ini—tetapi menunjukkan kasih-Nya yang memulihkan kita. Melalui pertolongan Roh Kudus, pada akhirnya kita akan sepakat dengan Paulus yang berkata,

“Terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Kristus.”
(Efesus 1:6)

// GOMER ADALAH KITA
Last but not least, setiap orang yang mau jujur di hadapan Allah akan melihat dirinya di dalam Gomer, istri Hosea yang tidak setia. Kasih Allah sungguh ironis (for the lack of better word): Dia menciptakan kita, menebus kita dengan pengorbanan-Nya di salib, membaharui hidup kita, dan pada waktunya, memuliakan kita. Dia sendiri melakukan semuanya itu untuk kita. Kisah cinta yang ajaib ini dirangkum dengan tragis namun indah, dalam tulisan nabi Hosea, yang namanya, fittingly, berarti: keselamatan. Sudahkah kita bersyukur untuk anugerah terbesar-Nya itu?

Monday, March 11, 2019

Hagar: Wanita yang Didengar Allah


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: Kejadian 16: 1-16; Kejadian 21:8-21

Hagar adalah seorang wanita Mesir yang menjadi budak bagi Abraham dan Sara ketika mereka meninggalkan negeri itu. Meninggalkan tanah kelahiran bukan hal yang mudah bagi seorang wanita, apalagi untuk menjadi budak bagi orang dari bangsa lain. Hagar tentunya bukan budak biasa karena Sara kemudian memberikannya kepada Abraham, menjadi istri Abraham dan melahirkan anak baginya. Sebagai budak, Hagar tidak dapat menolak. Hagar sendirian, tidak punya hak, tidak dapat melawan, tidak berdaya, dan tidak memiliki siapa-siapa untuk membelanya. 

Bayangkan kita berada di posisi Hagar, mungkin bukan sebagai budak, tapi dalam posisi merasa sendirian, tak berdaya, dan tak ada yang membela. Pastinya pernah ya. Di saat seperti ini kita perlu mengingat, ada Tuhan yang membela kita. Ada sebuah janji Tuhan yang sangat indah dan dapat kita perkatakan saat kita sedang merasa seperti Hagar:

Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."
(Ibrani 13:5b)

Tidak peduli apa yang kita lihat atau rasakan, firman Tuhan berkata demikian: Allah tidak pernah membiarkan kita dan meninggalkan kita! Jangan biarkan hidup diisi dengan perasaan disingkirkan, tetapi imani apa yang dikatakan firman Tuhan. Apa yang sudah dijanjikan Allah pasti akan digenapi-Nya. Namun, kita harus yakin bahwa kita berpegang pada firman Allah yang sesungguhnya saat kita menunggu janji-Nya. Iman kita bukan berdasarkan perasaan. Iman kita seharusnya berdasarkan firman Tuhan. Dengan demikian, kita memperoleh jaminan bahwa Allah akan melakukan atau memberikan apa yang dijanjikan-Nya. Iman hanya berdampak apabila berlandaskan firman Tuhan.

***

Awalnya, Hagar adalah pihak yang tak bersalah. Penderitaan Hagar bermula ketika kehamilan justru membuat Ia memandang rendah Sara yang mandul. Alih-alih bersyukur atas anugerah yang diterimanya, Hagar justru jatuh dalam dosa kesombongan. Ia lupa, bahwa sebagai budak, Sara adalah majikan yang punya kuasa atas dia dan harus ia hormati. Ketika Sara kemudian bertindak tegas, ia memilih melarikan diri. Dalam pelariannya, Hagar berjumpa dengan malaikat Tuhan yang menghiburnya dan memberikan janji Allah. 

Walaupun Hagar melakukan kesalahan, kita menyaksikan bagaimana Allah sungguh memperhatikan hidupnya. Bahkan saat ia melarikan diri dalam keadaan hamil karena ditindas majikannya, Allah memberikan berkat khusus baginya melalui malaikat-Nya yang menunjukkan bahwa Allah mengenal Hagar secara pribadi dan memberikan tuntunan bagi Hagar untuk kembali pada Sara. Yang lebih luar biasa, ada janji yang dinyatakan Allah baginya :

Lagi kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: "Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya." Selanjutnya kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: "Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.
(Kejadian 16:10-11)

Janji tersebut sekaligus merupakan penghiburan bagi Hagar. Saat Hagar kembali pada Sara, janji itu akan memberikan pengharapan baginya. Kalau dipikir, luar biasa cara Tuhan menyatakan diriNya kepada Hagar yang belum percaya kepada-Nya. Ingat, Hagar adalah keturunan Mesir yang mungkin hanya mengetahui tentang Tuhan dari Sara dan Abraham. Dia belum mengenal Allah secara pribadi tapi Allah berkenan menyatakan diri-Nya. Allah yang disembah oleh tuan dan nyonya-nya ternyata memperhatikan dia yang seorang budak. Allah yang memedulikan Abraham, Sara dan Hagar juga peduli pada setiap kita. Allah kita adalah Allah yang mengerti dan peduli. Jika kita tidak merasakan kepedulian-Nya, mungkin karena kita hanya fokus pada masalah yang kita hadapi. Padahal, dalam badai yang kita hadapi, ada Allah yang sanggup menenangkan badai. 

***

Hagar taat pada Tuhan dan kembali kepada Sara, meskipun pada akhirnya diusir oleh Abraham atas permintaan Sara. Menyedihkan sekali. Namun, sekali lagi Allah menunjukkan kepedulian-Nya. Saat Hagar putus asa akan nasibnya dan anaknya, Allah mendengar seruan dan tangisnya. Allah tidak melupakannya! 

Allah mendengar suara anak itu, lalu Malaikat Allah berseru dari langit kepada Hagar, kata-Nya kepadanya: "Apakah yang engkau susahkan, Hagar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring.
(Kejadian 21:16-17)

Ayat ini benar-benar mengingatkan bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu Hagar dan kita susahkan. Saat kita merasa susah hati atas keadaan kita, sebenarnya kita sedang meragukan kepedulian Allah. Kita lupa kalau Allah sanggup memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (Filipi 4:19).

***

Hagar telah menerima penghiburan dan janji Tuhan. Hagar adalah saksi kalau Allah sungguh mendengar dan peduli pada kita. Walaupun Hagar tidak selalu benar di hadapan Allah namun Allah tidak pernah berhenti menunjukkan kesetiaan-Nya. Allah tidak hanya menyertai Hagar, tapi juga Ismael, hingga ia dewasa (Kejadian 25:16). Allah benar-benar memenuhi janji-Nya pada Hagar! Ketidaksetiaan Hagar dan Ismael tidak membatalkan janji-Nya. Dia pernah berkata akan membuat Ismael menjadi bangsa yang besar dan Ia setia pada janji-Nya itu. 

Hagar mengingatkan kita untuk tidak kuatir dalam menjalani hidup ini karena masa depan sungguh ada dan harapan kita tidak akan hilang (Amsal 23:18). Allah selalu memegang janji-Nya. Dapatkah kita tetap hidup dalam ketaatan dan takut akan Dia?

Monday, March 4, 2019

Janji Nikah Istri Ayub


by Sarah Eliana

Kalau kita baca kisah Ayub, sosok istri Ayub termasuk mungkin paling bikin kita kepikiran. Kenapa istri Ayub? Well, aku mikirin, si iblis kan dikasih ijin sama Tuhan untuk mencobai Ayub, semua boleh dihancurkan, kecuali nyawa si Ayub. Nah, si iblis betul-betul hancurin semua kepunyaan Ayub; dia bangkrut, anak-anak pun meninggal semua. Tapi, di pasal kedua ada sedikit perbincangan antara Ayub dan istrinya. Lho? Jadi, istri si Ayub gak dibunuh juga sama si iblis? Aku jadi mikir, kenapa gak? Nanggung toh? Pembantu-pembantu udah dibunuh, anak-anak dibunuh semua. Ngapain istrinya dibiarin hidup? Padahal, di pasal 2:6, Tuhan bilang begini,

Maka berkatalah TUHAN kepada Si Penggoda,
"Baiklah, lakukanlah apa saja dengan dia, asal jangan kaubunuh dia."
(Ayub 2:6)

Asal jangan kau bunuh dia… berarti sepanjang nyawa Ayub gak diotak-atik, si iblis punya ijin untuk melakukan apa saja yang dia mau, ya kan? Termasuk membunuh istri Ayub, ya kan? 

Banyak juga sih yang beranggapan kalo istri Ayub ini dibiarkan hidup karena iblis tau imannya gak sekenceng iman Ayub. Ibilis tahu kalau pada akhirnya dia akan mempengaruhi Ayub agar menjauhi Tuhan. Memang benar, seperti bisa kita lihat di pasal 2:9,

Istrinya berkata kepadanya,
"Mana bisa engkau masih tetap setia kepada Tuhan? Ayo, kutukilah Dia, lalu matilah!"
(Ayub 2:9)

Deng... deng... deng... udah nyuruh suaminya kutuk Tuhan, disuruh mati pula. *parah*

Tapi... Kalo dipikir-pikir lagi, si istrinya ini hanya sekali lho ngomong begitu. Yang ujung-ujungnya membuat hidup Ayub menderita itu teman-temannya. Istrinya gak disebut-sebut lagi. Bahkan, Alkitab mencatat saat Tuhan marah sama tiga teman Ayub, tapi tidak ada cerita Tuhan marah pada istri Ayub. Padahal, waktu Sarah menyuruh Abraham tidur dengan Hagar, budaknya, agar mendapatkan anak, Tuhan menegur Sarah. 

Nah, balik lagi ke istri Ayub, mungkin ada sebabnya dia gak dibunuh juga oleh si iblis. Inget gak waktu penciptaan Hawa, Adam ngomong gini:

"Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.
Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."

Tulang dari tulangku, daging dari dagingku. One flesh! Suami istri itu one flesh! Apa hubungannya ama istri Ayub? Tentu saja dia jelas-jelas one flesh dengan Ayub, dan iblis mengerti itu! Iblis tau gimana Tuhan sangat menghargai, menghormati, bahkan menjunjung tinggi hal ini, sehingga dia gak berani mengutak-atik hidup istri Ayub, karena membunuh istri Ayub sama aja dengan membunuh Ayub. Simply because they are one flesh!

Waktu menemukan hal ini, duh, aku merasa ditampar. Iblis aja ngerti gimana Tuhan sangat menghargai dan menghormati pernikahan. What about me? Aku kadang justru lupa! Betapa seringnya aku berpikir bahwa keluarga iparku adalah keluarga suamiku saja. Buktinya, aku masih sering bilang "your mom" atau "your niece". Akhirnya lewat Firman Tuhan tentang Ayub & istrinya, Abraham & Sarah, Adam & Hawa, aku diingatkan lagi oleh Tuhan tentang menghormati dan menghargai kesatuan dengan suami. 

Lalu, selama ini kita sering denger khotbah kalo istri Ayub tuh gak beriman. Kasarnya, dia istri tak berguna! Tapi, setelah aku baca-baca lagi, aku jadi mikir. Aku coba menempatkan diri di posisi istrinya Ayub. 

Bayangkan, Ayub kehilangan hal-hal berharga yang dia miliki. Iya, memang Ayub menderita, tapi pernah gak sih kita sadar kalo gak cuman Ayub yg kehilangan semua itu? Istrinya juga kehilangan harta karena apa yang menjadi kepunyaan suami adalah juga kepunyaan sang istri, dan sebaliknya. Intinya, Ayub dan istrinya sama-sama kehilangan harta. Mereka sama-sama bangkrut! 

Bayangkan juga waktu anak-anak Ayub meninggal. Apakah anak-anak itu hanya punya satu orang tua, yaitu Ayub? Gak kan? Anak-anak itu ya anak-anak istri Ayub juga. Can you imagine being a mother having to bury ALL of your children? Semua anak meninggal pada waktu yang bersamaan! Pikirkan lagi, di jaman itu, masalah mengurus dan membesarkan anak adalah urusan istri. Jadi, bisa dibayangkan kalau anak-anak itu lebih dekat pada ibunya dibanding dengan Ayub. Lagipula, cewek cenderung lebih emosional. Aku rasa dalam hal ini, istri Ayub lebih heart-broken dibanding suaminya. 

Tidak hanya itu, bayangkan bagaimana rasanya punya suami yang kena penyakit gak jelas, sampai-sampai dia harus menggaruk tubuhnya pakai potongan kaca dan duduk di onggokan abu. Duhhhhh.... Istri-istri, can you imagine seeing your husband like that??? Aku ngebayanginnya aja langsung berasa ngilu di hati. Tau gak sih... waktu orang terdekat kita yg sakit, kadang kita merasa lebih putus asa. Istri Ayub ini harus ngelihat Ayub yang menderita, bahkan wajahnya hancur banget sampai gak dikenali oleh teman-teman deketnya sendiri. Ya ampunnnnn... Kebayang gak gimana perasaan istri Ayub? 

Tapi istri Ayub adalah perempuan hebat. Apa itu? SHE STAYED! Suami bangkrut? Anak-anak meninggal? Suami sakit gak jelas sampe wajahnya gak karuan? Siapa yang punya cukup kekuatan untuk tetap setia dan tetap ‘be there for her husband’? She did! She respected her wedding vows - for better or worse, for rich or poor, in health or sickness! 

Memang istri Ayub ini bilang ke Ayub "CURSE God and die!!!", tapi lucunya, di pasal 42, waktu Tuhan ngomelin teman-teman Ayub, si istrinya ini gak disebut-sebut lho. Lebih hebat lagi, si Ayub kan akhirnya kaya lagi, punya anak lagi dan kata Firman Tuhan, tiga anak cewek Ayub itu luar biasa cantiknya. Di pasal 42 ini gak dibilang tuh kalo si Ayub nikah lagi, yang berarti bisa diartikan kalau Ayub dapat anak-anak ini dari istrinya! 

Aku jadi inget omongan beberapa teman. Mereka bilang, Tuhan tuh sangat amat mengerti kalo kita marah atau kecewa. Dia Tuhan yang gak bisa dibohongin. Biarpun muka kita penuh senyum, tapi toh Tuhan tahu apa isi hati kita. Jadi percuma juga kalo kita berdoa ngomong "God, I'm fine!" padahal sebenernya tidak. Justru, Tuhan pengen kita mau jujur sama Dia, mau curhat sama Dia, tanpa takut Tuhan akan menghakimi kita. He is very understanding. Tuhan kita sangat "manusiawi" dan mengerti kemanusiaan kita. Aren't we lucky to have such a wonderfully loving and understanding God?? 

Kalo dalam kasus istri Ayub ini, aku rasa pada akhirnya dia diberkati Tuhan bukan hanya karena Ayub yg beriman sama Tuhan, tapi juga karena istrinya yang walaupun marah-marah waktu ada masalah, tapi tetap memilih untuk menghormati pernikahan mereka, dan bertahan di sisi Ayub meskipun di tengah penderitaan. Walaupun kata-katanya salah, pada akhirnya istri Ayub gak ninggalin Ayub. Siapa yang akan bilang dia bodoh kalo dia ninggalin Ayub? Bisa jadi orang-orang malah bilang dia bodoh karena bertahan sama Ayub kan? Pada masa sulit itu, dia juga masih melayani Ayub. Kalau budak-budaknya aja gak mau dekat-dekat Ayub lagi, siapa yang masak buat Ayub kalo bukan istrinya? Waktu teman-teman Ayub menghakimi Ayub, istri Ayub masih tetap bersama suaminya. Inilah yang Tuhan perhitungkan - a heart that chooses to serve, to suffer together, and to sacrifice. Tuhan sangat menjunjung tinggi janji & komitmen pernikahan, karena itu Ia juga menghargai dan menghormati orang2 yg berani berkorban dan menderita untuk menghormati janji nikah mereka.

Seandainya kita bisa lebih seperti istri Ayub, yang betul-betul menghargai dan menghormati janji nikah kita, yang menerima suami saat dia kaya atau miskin, saat dia ganteng ataupun tidak, waktu dia lagi romantis atau lagi super cuek, waktu dia sering bilang "honey, you are so pretty" atau waktu dia langsung nyari makanan di atas meja saat pulang kantor tanpa nengok ke arah kita sama sekali.

Give us strength, Lord, to be like Job's wife who chose to respect her wedding vows, and stayed by her husband's side even when he was sick, ugly, and bankrupt - all at the same time!