Monday, October 28, 2019

Kepahlawanan Yael: Ketika Yang Lemah Menaklukkan Yang Kuat


by Glory Ekasari

Kisah Yael, seorang wanita yang tanpa disangka menjadi pahlawan bagi bangsa Israel, dapat dibaca di Hakim-Hakim pasal 4.

Pada masanya, Sisera adalah panglima perang yang ternama, seorang ahli perang yang memimpin pasukan Kanaan yang terkenal garang dengan sembilan ratus kereta besi. Mustahil bagi orang Israel, khususnya suku Naftali dan Zebulon, untuk mengalahkan mereka. Selama dua puluh tahun orang Israel ditindas dan diperas oleh bangsa Kanaan, sampai akhirnya Tuhan berbelas kasihan kepada mereka. Tuhan berbicara kepada nabiah Debora yang tinggal di wilayah suku Efraim (sekitar 100 Km jauhnya dari wilayah suku Naftali), untuk memanggil Barak, seorang panglima dari suku Naftali, dan menyuruhnya menyerang Sisera.

Barak bersedia, dengan satu syarat: Debora ikut bersamanya. Permintaan ini diajukan tentu karena Barak takut; dia tidak yakin bahwa ia akan menang melawan pasukan Kanaan. Bila Debora yang notabene adalah nabi Tuhan ikut bersamanya, kemungkinan menang akan menjadi lebih besar, demikian pikir Barak.

Tetapi Debora melihat niat Barak tersebut dan menegaskan ketidakpercayaan sang panglima kepada Tuhan. Tuhanlah yang menyuruh dia melawan Sisera; Tuhan juga yang akan memberi kemenangan. Meragukan perintah Tuhan berarti meragukan Dia. Tadinya Tuhan akan mengangkat Barak menjadi salah satu pahlawan Israel, namun karena Barak tidak percaya kepada-Nya, Tuhan akan memberikan gelar itu kepada orang lain, seorang perempuan.

Singkat cerita, Debora setuju untuk ikut dengan Barak ke kota Kadesh dan bersiap menyerang Sisera. Dan terjadilah sesuatu yang mustahil: pasukan yang dipimpin Barak berhasil mendesak pasukan Kanaan. Sisera berhasil melarikan diri dari kejaran orang Israel, dan lari sampai perkemahan seorang Keni yang bernama Heber. Sisera bersahabat dengan Heber, sehingga ia berani menumpang di kemahnya. Hanya saja, saat itu yang menerima Sisera bukan Heber sendiri, melainkan isterinya, Yael.

Yael menyediakan tempat bagi Sisera untuk beristirahat. Tanpa kecurigaan apapun, Sisera tidur di kemah yang telah disediakan. Ketika dia sedang tidur lelap, Yael masuk dan membunuhnya, dengan cara memakukan patok kemah ke kepalanya, sampai kepala Sisera menancap di tanah. Ketika Barak akhirnya sampai ke perkemahan Heber, Yael menunjukkan mayat Sisera kepadanya. Sesuai firman Tuhan, kehormatan dalam pertempuran itu jatuh ke tangan seorang perempuan, karena dialah yang membunuh panglima tentara musuh.

Bukan rahasia bahwa pada masa itu, wanita adalah warga kelas dua. Segala sesuatu dilakukan oleh laki-laki: memimpin keluarga, memimpin pasukan, dan memimpin kerajaan. Fakta bahwa Tuhan justru menyerahkan kehormatan peperangan di tangan Yael, seorang wanita yang bahkan bukan orang Israel, berbicara banyak tentang apa yang Dia kehendaki.

// Allah Tidak Suka pada Ketidakpercayaan
Semestinya Barak, sang pemimpin pasukan Israel, yang menjadi pahlawan; namun Barak tidak percaya kepada Tuhan. Dia tidak percaya bahwa Allah Yang Mahakuasa sanggup melepaskan Israel dari tangan musuh-musuh mereka, dan dia merasa perlu membawa Debora untuk mengamankan diri dalam peperangan.

Seringkali kita juga seperti Barak. Kita kuatir, takut, tidak berani melangkah, sekalipun firman Allah telah menguatkan kita. Kita diingatkan oleh Roh Kudus akan firman-Nya, tapi kita tidak mau melakukan. Akar dari semua itu adalah ketidakpercayaan: kita tidak percaya bahwa firman Tuhan adalah kebenaran dan kehidupan; kita tidak percaya bahwa kita akan berbahagia bila kita taat kepada Tuhan; kita tidak percaya bahwa rencana-Nya dan kehendak-Nya bagi kita adalah yang terbaik! Seperti Barak yang meminta nabiah Debora menemaninya supaya dia lebih mantap, kita menghendaki sesuatu yang kelihatan untuk menjadi pegangan bagi kita. Padahal siapa yang memerintahkan Debora memilih Barak menjadi panglima? Bukankah Allah sendiri? Siapa yang berbicara kepada kita? Bukankah firman Tuhan yang berkuasa menciptakan segala yang ada?

Bagi orang dunia, harus ada garansi, harus ada bukti fisik, baru sesuatu bisa diterima. Itu logis, itulah cara berpikir yang benar. Tetapi cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam hubungan kita dengan Allah. Kita berharap pada sesuatu yang tidak kelihatan, karena, “Bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Roma 8:24). Abraham percaya kepada Tuhan sebelum dia melihat keturunannya maupun tanah yang Allah janjikan baginya. Daud percaya kepada Tuhan sebelum dia melihat Bait Suci yang didirikan Salomo. Musa percaya kepada Tuhan sebelum ia membawa bangsa Israel melintasi Laut Merah. Mengapa? Karena iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Dan Tuhan berkata tegas, “Tanpa iman, tidak mungkin orang berkenan kepada Allah” (Ibrani 11:6). Dunia tidak mengenal iman, karena mereka tidak mengenal Allah. Tuntutan agar Allah berlaku seperti manusia, bagi orang dunia adalah hal yang logis, bagi mereka itulah hikmat; namun bagi Allah, itu semua kebodohan.

// Allah Berkenan kepada Iman
Yael menjadi teladan bagi kita dalam hal ini. Suaminya, Heber, punya hubungan baik dengan seorang jenderal Kanaan yang penting dan terhormat. Koneksi itu sangat penting dan Yael tidak punya alasan untuk menyerang Sisera, apalagi membunuhnya; kecuali dia percaya bahwa Allah Israel adalah Allah yang hidup, dan bangsa Israel—yang dimusuhi Sisera, sungguh adalah umat Allah Yang Hidup, dan ia harus ada di pihak mereka.

Berdasarkan imannya itu, Yael mengambil tindakan yang menentukan. Tidak akan ada orang yang berpikir bahwa Sisera, seorang panglima besar yang gagah perkasa, akan mati dalam tidurnya, dengan cara yang mengerikan, di tangan seorang perempuan! Siapa Yael? Kemungkinan besar dia adalah ibu rumah tangga biasa. Tetapi di tangannya, Sisera menemui ajalnya. Apa yang nampaknya lemah dan bodoh bagi dunia, dipakai Allah untuk mempermalukan orang yang dianggap kuat.

Mampukah Allah menyerahkan bangsa Kanaan ke dalam tangan Israel? Itu perkara kecil bagi Dia! Bukan hanya itu, Allah juga mampu menentukan dengan cara apa musuh Israel itu akan mati, siapa yang membunuh dia, dan sebagainya, karena Allah Maha Kuasa. Semuanya terjadi sesuai firman-Nya, dan tidak ada yang dapat menggagalkan rencana-Nya. Bila kita ada di pihak Allah yang demikian, kita bisa yakin bahwa kita ada di pihak yang benar! Iman Yael dihargai oleh Tuhan, dan namanya diabadikan sebagai salah satu pahlawan Israel.

Dalam hal apa kita tidak percaya kepada Allah? Dalam hal apa kita ragu akan kesanggupan-Nya? Apakah kita merasa perlu bukti dulu sebelum percaya? Akankah kita seperti Barak, yang kehilangan kehormatan sebagai panglima perang karena ketidakpercayaannya, atau apakah kita seperti Yael, yang dianggap rendah dan biasa oleh orang lain, namun diangkat menjadi pahlawan karena imannya?

. . Apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.
(I Korintus 1:27-29)

Monday, October 21, 2019

Ingatlah Akan Isteri Lot


by Glory Ekasari

Demikianlah halnya kelak pada hari di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya. Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya; dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. Ingatlah akan isteri Lot! Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya.
(Lukas 17:30-33)

Kisah penghancuran Sodom dan Gomora adalah kisah yang terkenal. Kedua kota itu, bersama kota-kota lain yang lebih kecil di lembah Yordan (Adma dan Zeboim), terkenal sebagai kota-kota yang sangat jahat; begitu jahat, sampai orang Kanaan pada masa Abraham pun mengeluhkan kejahatan mereka (Kejadian 18:20). Sebagai informasi, bangsa-bangsa Kanaan adalah bangsa-bangsa yang brutal, yang hidup dalam kecemaran. Bila mereka saja sampai mengeluhkan kejahatan Sodom dan Gomora, berarti betapa jahatnya kedua kota itu! Di Sodom, kota metropolitan itu, Lot memang berkembang dalam bisnisnya, tetapi jiwanya sangat menderita karena kejahatan penduduknya (2 Petrus 2:7).

Ketika Tuhan mengutus dua orang malaikat-Nya untuk membawa Lot keluar dari Sodom, terjadilah hal yang mengerikan: semua lelaki di kota Sodom mengepung rumah Lot dan memintanya mengeluarkan kedua tamunya, karena penduduk kota itu (laki-laki) hendak memperkosa mereka (Kejadian 19:4-5)! Bila itu belum cukup buruk, Lot bahkan menawarkan dua anak gadisnya kepada penduduk kota itu sebagai pengganti tamunya (!!), tetapi penduduk Sodom menolak dan tetap berkeras meminta laki-laki (!!!). Kedua malaikat itu harus membutakan mata seluruh penduduk agar mereka tidak menganiaya Lot, dan akhirnya mereka membawa keluarga Lot keluar dari kota itu dengan paksa. 

Lalu bagaimana dengan isteri Lot? Kita tidak tahu namanya, apalagi kisah hidupnya, tapi dia sangat terkenal karena apa yang dialaminya di akhir hidupnya: ia mati sebagai tiang garam. Apa yang terjadi?

Kisah penghancuran Sodom dapat kita baca dalam Kejadian 19.

Ketika fajar telah menyingsing, kedua malaikat itu mendesak Lot, supaya bersegera, katanya: “Bangunlah, bawalah isterimu dan kedua anakmu yang ada di sini, supaya engkau jangan mati lenyap karena kedurjanaan kota ini.” Ketika ia berlambat-lambat, maka tangannya, tangan isteri dan tangan kedua anaknya dipegang oleh kedua orang itu, sebab TUHAN hendak mengasihani dia; lalu kedua orang itu menuntunnya ke luar kota dan melepaskannya di sana. Sesudah kedua orang itu menuntun mereka sampai ke luar, berkatalah seorang: “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di manapun juga di Lembah Yordan. Larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap. . . Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit; dan ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu dan Lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah. Tetapi isteri Lot, yang berjalan mengikutinya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.
(Kejadian 19:15-17, 24-26)

Peristiwa penghancuran Sodom dan Gomora adalah kejadian yang sangat mengerikan. Kita tidak tahu apa yang menghancurkan kedua kota itu (ada yang bilang meteor, ada yang bilang gunung berapi, dsb), tetapi yang kita tahu, terjadi “hujan belerang dan api” yang dahsyat. Untuk api agar bisa membakar dua kota besar sampai habis, tentu suhunya sangat amat tinggi. Dan bayangkan bau busuk yang luar biasa karena belerang yang begitu banyak. Seandainya kita tiba-tiba dihujani api dan belerang dari langit, saya yakin kita akan lari tunggang-langgang tanpa pikir panjang! Yang penting selamatkan nyawa dulu, yang lainnya bukan prioritas.

Karena itulah apa yang dilakukan isteri Lot sangat mengherankan: dia menoleh ke belakang; dia berlama-lama, entah dia penasaran atau merasa kehilangan semua kekayaannya. Dia lebih peduli pada apapun yang tidak sempat dibawanya dari Sodom, daripada nyawanya sendiri! Betapa bodohnya tindakan ini. Api yang menghanguskan Sodom dan Gomora, dan belerang yang merusak tanahnya, pasti cukup panas dan beracun untuk menjangkau isteri Lot dalam sekejap dan membunuhnya. Ketika nyala api sudah reda dan kedua kota itu tidak tersisa lagi, yang tersisa dari isteri Lot hanya sebuah “tiang”, gumpalan mineral. Kehancuran itu begitu dahsyat hingga yang ada di tempat kota-kota itu sekarang adalah Laut Mati, yang kaya akan garam mineral, sisa-sisa seluruh penduduk Sodom, termasuk isteri Lot.

Tindakan isteri Lot sangat bodoh, tapi Tuhan Yesus harus mengingatkan kita agar tidak berbuat hal yang sama. Ketika Ia menjelaskan tentang kedatangan-Nya dan akhir zaman kepada para murid, Ia memperingatkan mereka agar ketika datang penghukuman atas tempat di mana kita ada, jangan sampai kita lebih memikirkan harta daripada nyawa kita sendiri. Ini merupakan peringatan tentang prioritas, yang mana yang lebih penting. Prinsip ini harus kita ingat:
Ketika kita ada di tempat di mana dosa merajalela,
hukuman akan datang sewaktu-waktu. 
Sebelum hukuman itu datang dengan tiba-tiba,
kita harus segera meninggalkan semuanya dan lari.

Di mana tempat dosa merajalela? Apakah saat ini kita ada di tempat itu?

Apakah kita sekarang sedang dalam hubungan yang diwarnai kecemaran seksual? Apakah kita bekerja dalam ketidakjujuran? Apakah kita terlibat ikatan yang tidak mau kita lepaskan? Apakah kita menyimpan kepahitan dan iri hati kepada orang lain? Apakah kita masih terlibat penyembahan berhala? Apakah kita tinggal di “Sodom dan Gomora”, tempat di mana kita merasa kita berkembang secara finansial, atau secara romantis, atau secara prestis, tetapi jiwa kita menderita karena kita sadar kita hidup dalam dosa?

Saya ingat seorang hamba Tuhan berkata, “Isteri Lot keluar dari Sodom, tetapi Sodom tidak keluar dari hatinya.” Bagi banyak orang, meninggalkan dosa yang mereka cintai, yang mereka “butuhkan”, adalah hal yang sangat berat. Namun kita harus ingat, apabila kita mencintai dosa, maka kita membenci diri kita sendiri, dan memusuhi Allah.

R. C. Sproul menulis bahwa sebenarnya yang mengherankan bukanlah bahwa Tuhan menghukum kita atas dosa kita, namun bahwa Dia mengasihani kita dan memberi kesempatan kita untuk bertobat. Banyak orang meremehkan anugerah Tuhan karena mereka berpikir Tuhan itu baik, panjang sabar, tidak akan marah, bahwa Tuhan itu “jinak”. Sungguh keliru anggapan yang demikian! Yohanes Pembaptis memperingatkan orang Israel: “Kapak sudah tersedia pada akar pohon, dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api” (Matius 3:10). Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Yesus “akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (ayat 11). Dalam kitab Wahyu, Yesus Kristuslah yang berkuasa membuka tujuh materai dan menjatuhkan hukuman atas seluruh bumi, atas orang-orang berdosa. Apabila kita hidup dalam dosa, kita bisa yakin akan satu hal: sewaktu-waktu, Tuhan akan menjatuhkan hukuman atas kita.

Apa yang harus kita lakukan? Lari! Larilah dari dosa. Tinggalkan dosa itu, tinggalkan sekarang juga, dan jangan menoleh ke belakang! Sekalipun semua yang kita cintai ada dalam dosa itu, sekalipun kita akan kehilangan banyak hal, sekalipun kita kehilangan kekasih kita, sekalipun kita rugi besar, larilah! Bukankah nyawa dan jiwa kita lebih berharga daripada itu semua? Semua itu akan terbakar habis dan lenyap, dan kita tentu tidak mau menjadi tiang garam seperti isteri Lot!

“Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu.” (Ibrani 4:7). Seperti Tuhan mengasihi keluarga Lot, Tuhan mengasihi kita dan menghendaki keselamatan kita. Tinggalkan dosamu, dan jangan menoleh ke belakang. Ingatlah akan isteri Lot.

Monday, October 14, 2019

One of Godly Mommy



by Tabita Davinia


Coba tebak, siapa saja para wanita di dalam Alkitab yang menjadi ibu? Hm, rasanya banyak banget ya. Ada Hawa, Sara, Rahel, Lea, Rahab, Delila, Ratu Syeba, Bernike, Klaudia, blablabla... tapi, coba kita persempit lingkarannya. Dari sekian banyak wanita yang menjadi ibu, berapa banyak wanita yang menjadi ibu yang mengajarkan tentang firman Tuhan kepada anak-anaknya? Kita bisa menyebut Maria, yang adalah ibu dari Yesus Kristus. Atau mungkin Hana, yang walaupun setelah dia melahirkan Samuel dia menyerahkannya kepada Eli—imam di Silo. Tapi pada tulisan kali ini, kita akan membahas tentang seorang wanita yang mungkin jarang dibahas keberadaannya dalam Alkitab. Dia adalah ibu dari salah satu anak rohani Paulus, di mana kita bisa membaca dua surat Paulus kepada anak muda ini. Coba tebak, siapa ibu yang dimaksud... She is Eunike!


Kamus di alkitab.sabda.org menuliskan arti “Eunike” sebagai “good victory”, dari kata eunich. Wanita ini termasuk keturunan Yahudi. Ibunya bernama Lois. Eunike menikah dengan seorang pria yang merupakan keturunan Yunani. Dialah yang melahirkan Timotius, salah satu anak rohani Paulus itu. Kisahnya hanya tercantum dua kali di dalam Alkitab, tapi di sana Paulus menyatakan bahwa kehidupannya telah menjadi teladan bagi Timotius—satu hal yang juga Paulus lihat.


“Paulus datang juga ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama Timotius; ibunya adalah seorang Yahudi dan menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.”
(Kisah Para Rasul 16:1)

”Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”
(2 Timotius 1:6)

Tidak ada yang tahu bagaimana Eunike lahir, menjalani kehidupannya, bahkan bagaimana akhir hidupnya. Berdasarkan beberapa tafsiran, Eunike dan Lois menjadi orang Kristen setelah mendengar khotbah Paulus tentang Kristus. Mungkin sejak saat itulah, mereka berdua yang mengajarkan Timotius tentang firman Tuhan.



Kalau mengingat kisah tentang Eunike dan Timotius, aku jadi teringat dengan perintah Tuhan kepada orang Israel di Ulangan 6:6—7.


“Apa yang kuperintahkan (setelah Tuhan berfirman kepada Musa) kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”


Sekalipun suaminya bukan orang saleh—menurut orang Yahudi—namun Eunike, bersama Lois, terus menanamkan firman Tuhan dalam kehidupan Timotius, sampai akhirnya... Timotius bersedia untuk mengikuti pelayanan Paulus. Mungkin Timotius masih sangat muda saat memulai pelayanannya bersama Paulus. Bisa saja Eunike berkata, “Tunggu dulu lah, Paulus! Timotius masih muda! Dia boleh kok, melayani di daerah di sekitar sini dulu. Nanti kalau sudah tambah dewasa, dia boleh ikut pelayananmu”.

Hati ibu mana yang tidak sedih saat melihat anaknya pergi jauh dan bahkan tidak tahu kapan dia akan kembali (mencoba memahami kondisi hati seorang ibu, walaupun aku belum jadi seorang ibu huehehe)? Mungkin hati kecil Eunike merasa bingung saat mendengar Paulus mengajak Timotius untuk melayani bersamanya. Tapi ternyata... Eunike let Timotius to go with Paul! Dia mengesampingkan keinginannya agar Timotius tetap bersamanya, dan memilih untuk mengizinkan anaknya itu untuk pergi bersama Paulus.

Ladies, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak saat kita memiliki anak. Tapi satu hal yang perlu kita ingat, kita harus mengajarkan firman Tuhan kepada mereka setiap saat. Bukan hanya melalui perkataan kita, tapi juga lewat perbuatan kita (kalau omdo—omong doang—‘kan kita bisa dianggap pembohong sama anak-anak nanti hehe). Aku yakin Timotius telah melihat kehidupan ibunya yang luar biasa, sehingga dia pun meneladani kehidupan ibunya itu.

Entah apapun status kita saat ini (single, masih sekolah/kuliah, mulai meniti karier, baru saja menikah, sedang jadi bumil (ibu hamil), atau bahkan telah mempunyai anak), perintah Tuhan itu harus selalu kita ingat dan lakukan.
Mengajarkan anak-anak untuk melakukan firman Tuhan memang tidak mudah, apalagi kalau anak-anak telah tumbuh dewasa tanpa mengenal firman-Nya. That’s why... setiap ibu (dan calon ibu) harus mempersiapkan diri sejak awal untuk mendidik anak-anak berdasarkan firman Tuhan.


“But it’s very hard for me to teach my children to do God’s will!”

Mommies, mengajari anak tentang apapun itu memang tidak mudah. Jangankan mengajari anak untuk membaca Alkitab, untuk memberikan stimulus anak agar berjalan pun orang tua harus panjang akal (duh, bahasa perkuliahannya mulai keluar huehehe). Karena itu, setiap ibu (dan calonnya) harus selalu percaya dan bersandar kepada Tuhan. We can’t through this moment without God.

Kita perlu belajar dari Eunike, yang dengan rendah hati menyerahkan Timotius kepada Paulus untuk melayani di berbagai tempat. Aku menduga, Eunike bisa melakukannya karena dia percaya bahwa Tuhan yang akan menuntun Timotius untuk tetap hidup di dalam kehendaknya.

And how about us? Sudah siapkan kita untuk menjadi seorang wanita yang tetap percaya kepada Tuhan dalam segala pergumulan kita? Jika suatu saat nanti Tuhan mengaruniakan anak-anak kepada kita, apakah kita akan tetap hidup setia kepada-Nya, dan memberikan teladan hidup benar kepada mereka?

Keep the answer in your heart, and pray that God will help us to be a Godly mommy (wannabe) :)

Monday, October 7, 2019

Marta: Wanita Biasa Dengan Iman Yang Luar Biasa


by Glory Ekasari

Bagi saya, sangat disayangkan bahwa Marta hanya terkenal sebagai “saudarinya Maria, yang sibuk sekali melayani Tuhan sampai tidak sempat mendengarkan Tuhan”, karena sebenarnya wanita ini luar biasa. Dia tidak sering disebutkan dalam Injil, namun ketika muncul cerita tentang dia, selalu ada sesuatu yang bisa kita pelajari.

Cerita tentang Marta ada di dua tempat: Lukas 10 dan Yohanes 11. Dari dua kisah itu, kita bisa melihat, orang seperti apakah Marta ini.

Dalam kisah yang pertama, dikatakan bahwa Marta “menerima Yesus di dalam rumahnya” (Lukas 10:38). Marta membuka pintu rumahnya bagi Yesus dan murid-murid-Nya, yang sedang dalam perjalanan. Kalau Yesus membawa hanya rasul-rasul-Nya saja, maka ada tiga belas orang dewasa yang kelelahan setelah perjalanan, kemungkinan besar lapar, dan perlu ruang untuk istirahat.

(Marta) mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
(Lukas 10:39-42)

Kita mungkin mencela Marta karena kerepotannya. Tapi mari pikirkan, bukankah Marta menjadi tuan rumah yang baik? Bukankah Marta melakukan apa yang semestinya? Mengapa Tuhan Yesus menegur dia, dan “membela” Maria?

Ini adalah penyakit banyak wanita: kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara. Sebenarnya wanita punya naluri untuk menata dan merawat, hanya saja kadang kita tidak tahu kapan harus merasa cukup. Marta, dengan pembawaannya yang dominan dan teliti, frustasi karena begitu banyak hal yang harus diurus dan hal-hal tidak berjalan sesuai keinginannya. Ketika dia melihat Maria tidak membantu dan malah ngobrol dengan tamu-tamu mereka, Marta menjadi jengkel. Bukankah kita juga sering menjadi marah atau jengkel saat melihat orang lain tidak terbeban untuk ikut mengerjakan apa yang sedang kita kerjakan (dengan repotnya)? Kejengkelan Marta sangat manusiawi. Tuhan Yesus, memahami bahwa niat Marta baik, dan Ia menegurnya dengan lembut.

Dua hal yang Tuhan katakan tentang Marta. Pertama, dia kuatir. Dia kuatir tamu-tamunya akan kekurangan ini itu: kurang nyaman, kurang makanan, dsb. Mirip dengan kita ketika kita menguatirkan apa kata orang, apa jadinya bila tidak ada kita, apa bisa anak kita melakukan segala sesuatu sendiri, dsb. Kekuatiran ini membawa kepada hal yang kedua: Marta menyusahkan diri dengan banyak perkara. Ia sibuk ke sana-sini, mengurus ini itu, hal-hal yang sebenarnya bahkan tidak diminta oleh para tamunya. Ah, ini sih ibu-ibu banget: merepotkan diri dengan banyak perkara, lalu akhirnya capek sendiri, dan jengkel pada semua orang.

“Hanya satu yang perlu,” kata Tuhan Yesus. Seringkali kita, seperti Marta, repot dengan banyak perkara sampai kita mengabaikan yang terpenting. Ketika kita hendak bertemu Tuhan, yang terpenting bukanlah pakaian kita, atau make up kita, atau AC gereja, atau volume speaker, atau kursi yang berderet rapi. Yang terpenting adalah hati yang siap berjumpa dengan Yesus. Ketika suami pulang ke rumah, dia tidak akan menginspeksi kebersihan tiap kamar, anak-anak sudah rapi atau belum, bahkan banyak suami tidak pusing ada makanan atau tidak (tinggal pesan online, say); yang dia inginkan adalah bertemu dan ngobrol dengan isterinya. Ketika saya masih kecil, saat saya pulang dari sekolah, saya tidak peduli apakah rumah berantakan atau tidak, ada makan siang atau tidak; saya hanya ingin bertemu mama.

Tanpa kita sadari, kita merepotkan diri dengan banyak perkara sampai kita lupa bahwa yang dicari oleh Tuhan, yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita, bukan apa yang kita sediakan bagi mereka, tetapi diri kita sendiri. Saya yakin, ketika Tuhan Yesus mampir lagi ke rumah Marta, ia tahu bahwa Yesus ingin bertemu dengannya, bukan menikmati fasilitas di rumahnya.

Kisah kedua tentang Marta ada dalam Yohanes 11 tentang Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Waktu membaca kisah ini, dan apa yang Marta katakan kepada Yesus, saya sangat terkesan. Marta dan Maria sudah mengirim kabar kepada Yesus bahwa Lazarus sakit parah, tetapi Yesus tidak kunjung datang sampai akhirnya Lazarus meninggal. Padahal saya yakin Marta dan Maria memanggil Yesus karena mereka tahu Yesus bisa menyembuhkan Lazarus. Seandainya saya jadi mereka, mungkin saat Yesus datang, saya akan menolak menemui Dia karena jengkel dan sedih. Tapi apa yang dikatakan Marta ketika Yesus datang?

Maka kata Marta kepada Yesus: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.”
(Yohanes 11:21-22)

Marta tidak kecewa dan menolak Yesus. Dia dengan tegas menyatakan bahwa dia tetap percaya Yesus adalah Yang Datang Dari Allah. Yesus berkata kepada Marta, “Saudaramu akan bangkit,” dan Marta menjawab, “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.” Dari kalimat itu, kita mengetahui mengapa Marta tidak tenggelam dalam kesedihan: ia tahu bahwa ada kebangkitan orang mati di akhir zaman. Pengharapan ini membawa kekuatan baginya.

Yesus melanjutkan, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” Apa jawab kita seandainya kita yang ditanya hal ini? Mana mungkin seseorang tidak mati selama-lamanya hanya dengan percaya kepada Yesus, seorang rabi Israel? Sulit dipercaya, bukan? Tapi Marta menjawab tanpa ragu, “Ya, Tuhan, aku percaya bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.”

Jawaban yang luar biasa! Seorang wanita, orang biasa, tidak hanya mengerti tentang kebangkitan orang mati di akhir zaman, tetapi juga percaya bahwa Yesus sanggup membangkitkan orang mati - tanpa perlu melihat buktinya! Namun yang tidak disangka oleh Marta, dia akan segera melihat bahwa Yesus sungguh adalah yang berkuasa membangkitkan orang mati. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya: Yesus membangkitkan Lazarus, yang sudah mati selama empat hari. Marta tidak hanya berjumpa secara pribadi dan melihat kuasa Anak Allah, namun juga mendapatkan saudaranya kembali!

Apa respon kita terhadap Tuhan ketika Dia tidak menolong kita pada waktu yang kita harapkan, ketika Dia tidak memenuhi keinginan kita, atau ketika Dia membiarkan kita mengalami sesuatu yang menyakitkan? Masihkah kita, seperti Marta, berkata dengan tegas, “Tuhan, sekarang pun aku percaya”? Apakah kita fokus pada hidup yang di dunia ini saja, atau apakah kita, seperti Marta, punya pengharapan akan pemulihan kekal di masa depan? Marta menjadi teladan bagi kita untuk tidak kecewa kepada Tuhan, karena pada akhirnya, Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu, hidup di dunia ini, dan hidup yang akan datang. Yesus sendiri menegaskan kepada Marta, “Jikalau engkau percaya, engkau akan melihat kemuliaan Allah” (Yohanes 11:40).

Marta adalah wanita seperti kita. Sama-sama rempong, sama-sama banyak kuatir, sama-sama mau mengurus segala sesuatu, dan akhirnya capek sendiri. Dalam hal itu dia harus belajar untuk mengerti apa yang terpenting: memberikan dirinya bagi Tuhan. Tetapi Marta juga menjadi teladan bagi kita dalam imannya yang tidak tergoyahkan, karena ia menaruh pengharapannya di tempat yang benar. Biarlah iman Marta juga menjadi iman kita.