Monday, August 26, 2019

Memberi dari Kekurangan Tanpa Takut Kekurangan


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Kali ini, kita akan belajar dari seorang perempuan anonim—tidak diketahui siapa namanya—yang ada di Perjanjian Baru. Sebelumnya, yuk kita baca Markus 21:41-44 dan Lukas 12:1-4. Secara khusus, ada dua ayat yang akan kita soroti; yaitu: 

“Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."
(Lukas 21:4)

Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."
(Markus 12:44)

***

Baik Markus maupun Lukas memberikan kesaksian yang sama tentang janda miskin ini. Ya, dia memberi dari kekurangannya, dan semua yang ada padanya—yaitu seluruh nafkahnya. Artinya, kalau janda ini memberikan persembahan, maka hari itu dia tidak bisa makan. Lah, gimana bisa makan, wong semua yang ada padanya habis.

Ta… tapi… kalau dikurskan ke rupiah, sebenarnya satu peser itu berapa, sih? Kok, kayaknya dikit banget nilainya.

Dalam artikel di sini, dikatakan bahwa 1 dinar (upah kerja sehari) senilai dengan 128 peser. Kalau upah kerja sehari (dalam kurs rupiah) diumpamakan sebesar 30 ribu, maka 30 ribu itu dibagi 128—hasilnya 234 peser. Di atas dinyatakan bahwa janda miskin itu memberi 2 peser; jadi nilai pemberiannya itu setara ±460 rupiah. Itu kalau upah sehari tiga puluh ribu rupiah, lhooo… Kalau nominalnya berbeda, silakan hitung sendiri.

Yang jelas, nilainya kecil sekali, bahkan untuk makan pun sebenarnya gak cukup. Ckckckck… Bayangin, deh. Apa sih, yang dipikirkan janda miskin itu waktu memberikan uangnya!? Kalau aku, yang aku pikirkan adalah: Dia pasti sudah gila! 

Tapi Yesus memujinya.

Iya, janda yang memberi dari kekurangannya ini dipuji Yesus. Well sebenarnya, adalah hal yang mudah kalau kita memberi dari harta yang berlimpah. Tapi kalau buat hidup sehari-hari aja kita kekurangan, apa lagi yang bisa diberikan? Nah, pemberian janda miskin ini menunjukkan kalau dia: 
1) Mempercayai Tuhan sepenuhnya yang akan mencukupkan segala keperluannya
Saat janda miskin ini memberikan segala yang dimilikinya, sepertinya dia tidak mengkuatirkan apa yang akan dia makan nantinya. Seakan-akan dia tahu, dia hidup bukan dari uang yang dimilikinya tapi karena dia tahu Allah lah yang memelihara kehidupannya. Dia telah menyerahkan kekuatirannya kepada Tuhan sepenuhnya. 

2) Mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati
Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.
(Matius 6:21)

Seseorang pernah berkata kepada saya: Tunjukkanlah di mana pengeluaran terbesarmu, di situlah hatimu berada. Itulah yang kamu anggap paling penting. Hm, sekarang kita tahu dengan jelas di mana hati janda miskin ini berada, vice versa. Kalau kita mengakui bahwa Tuhan yang bertahta dalam hati kita, maka seharusnya kita juga bersedia memberikan harta yang dimiliki kepada-Nya. Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah memberi bantuan dana ke ladang misi.

***

Oke, sekarang kita tahu bukti iman sang janda miskin kepada Tuhan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengikuti apa yang dilakukannya itu?

// YOU ARE WHAT YOU ARE THINKING. Pikiranmu akan menentukan tindakanmu
Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci , semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
(Filipi 4:8)

Kalau kita merasa dan berpikir selalu kekurangan, sampai kapan pun kita tidak akan pernah memberi. Kapan kita merasa lebih? Atau merasa cukup? Wong kebutuhan manusia tidak terbatas kok. Setelah punya A, ingin B. Setelah punya B, ingin C. Dan seterusnya. Kita harus mulai berhenti mengasihani diri sendiri! Jangan cuma fokus memikirkan diri sendiri. Kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri. 

// BERSYUKUR
Saat bersyukur terasa sulit, mulailah menghitung berkat yang sudah kita terima dan bersyukurlah. Menghitung berkat yang kita terima melimpahkan rasa syukur di hati kita. Kalau kita nggak bersyukur, seberapa banyak pun yang kita miliki, kita nggak akan pernah merasa cukup. Contohnya, kita bisa menuliskan gratitude journal di penghujung hari. Percaya deh, saat kita membaca hari-hari yang kita lalui, kita akan kembali disadarkan bahwa ada banyaaaakkk hal yang Tuhan berikan bagi kita. Kalau sudah begitu, apakah kita masih ingin ngomel-ngomel pada-Nya?

// PERCAYALAH SEPENUHNYA KEPADA TUHAN YANG AKAN MEMENUHI SEGALA KEPERLUANMU
Ada banyak ayat yang membahas hal ini, di antaranya: 

TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. 
Mazmur 23:1 
Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah. 
Mazmur 55:23

Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
Matius 6:26-27 

Ketakutan mengalami kekurangan adalah tanda ketidakpercayaan kita kepada Tuhan. Tapi kalau dipikirkan baik-baik, pernahkah kita kekurangan?

Satu hal yang harus kita yakini: Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita perlukan. Seperti yang dikatakan Yesus di poin ketiga, Tuhan berjanji bahwa Dia senantiasa memelihara kita. Burung dan bunga saja dipelihara, apalagi kita! Don’t be afraid! Anyway, aku nggak tahu nasib janda miskin itu setelah memberikan persembahannya; tapi aku percaya Tuhan memberkati dia.

“Tapi ini masa susah, bagaimana mungkin aku memberi?”

Masa ini boleh susah, tapi belum tentu kita akan hidup susah. Yuk, kita berjuang bersama untuk belajar memercayai Tuhan, dan beriman bahwa Dia akan menggenapi janji-Nya pada waktunya.

// MEMBERILAH DENGAN TAAT DAN TULUS
“Hah? Emangnya bisa!?”

Kita bisa memberi dalam ketaatan dan ketulusan kok, Pearlians. Tiga ayat berikut menegaskan hal itu: 

“Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.” 
(Amsal 11:24-25)

“sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”
(Kisah Para Rasul 20:35b)

Tuhan berjanji memberikan kebahagiaan bagi mereka yang memberi. Bukan karena mengharapkan balasan yang berlipat dari Tuhan, tapi karena mereka tahu bahwa ketaatan dan ketulusan akan mendatangkan sukacita. Yups, sukacita memberi berasal dari Tuhan. Bahkan Dia memberikan janji yang indah ini:

“Ada limpahan kasih karunia dari Allah supaya kita senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.”
(2 Korintus 9:8)


--**--


Setelah kita membaca artikel ini, siapkah kita memberi?

“Hmmm… Kalau kamu gimana, Meg?”

Aku? Aku harus mengakui kalau aku bukan orang yang suka memberi. Ada ketakutan kalau banyak memberi, nanti aku akan kekurangan. Apalagi belakangan ini aku merasa nggak cukup dengan apa yang aku miliki. Tapi janda miskin ini mengajariku untuk memercayai Tuhan sepenuhnya, seberapa besar aku percaya Tuhan sanggup memenuhi segala keperluanku…

Kalau janda miskin ini bisa, kenapa kita nggak?

Monday, August 19, 2019

Tamar: Lebih Besar Dari Hidupmu


by Glory Ekasari

Kisah hidup Tamar sungguh unik. Tidak banyak yang kita ketahui tentang dia selain cerita singkat dari Kejadian pasal 38, tapi kalau Pearlians penggemar drama Korea, kisah hidup Tamar ini sepertinya lebih makjang dari semua drama yang pernah kalian lihat. Very, very scandalous.

Kisahnya diawali dengan pernikahan Yehuda (kemungkinan besar di usia yang masih sangat muda) dengan seorang wanita Kanaan. Dari pernikahan itu, dia memiliki tiga orang anak: Er, Onan, dan Syela. Ketika Er sudah agak besar, Yehuda mengawinkannya dengan seorang wanita Kanaan bernama Tamar. Tetapi ternyata Er ini jahat di mata Tuhan, sehingga Tuhan membunuh dia (jangan bayangkan Er mati mendadak tanpa sebab, ya; mungkin dia seorang pembuat onar yang berandalan dan akhirnya mati terbunuh dalam pertikaian—orang Timur Tengah dan orang Yahudi tidak akan segan berkata, “Tuhan membunuh dia,” kalau orang seperti itu kena bencana). Menurut adat pada waktu itu, adik Er yang bernama Onan harus mengawini Tamar (kakak iparnya) dan memberi keturunan baginya—sehingga anak itu akan dianggap anak dari Er. Tetapi Onan keberatan dengan kewajiban itu dan sengaja “setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang” (Kejadian 38:9). Lagi-lagi apa yang dilakukan Onan itu jahat di mata Tuhan, sehingga ia juga dibunuh oleh Tuhan.

Yehuda melihat apa yang terjadi kepada dua anaknya yang tertua, sehingga ia merasa takut. Ia tidak buru-buru menikahkan anaknya yang ketiga, Syela, dengan Tamar karena anak itu belum cukup umur—lalu Yehuda menyuruh Tamar kembali ke rumah ayahnya dan menunggu sampai Syela cukup umur. Namun beberapa tahun kemudian, setelah Syela sudah bertambah usia, Tamar melihat bahwa mertuanya tidak berniat menikahkan dia dengan Syela (kemungkinan besar karena takut Syela ikut mati juga). Oleh karena itu, Tamar menyadari dirinya dicurangi, dan dia berniat mencari keadilan sendiri.

Ketika Tamar mendengar bahwa istri Yehuda telah mati, dia memikirkan sebuah rencana:

Tidak ada isteri = tidak ada hubungan seks = tidak ada pemenuhan kebutuhan biologis bagi Yehuda.

Di samping itu, Yehuda datang ke Timna untuk pesta pengguntingan bulu domba, dan suasana pesta akan membuat pikirannya tidak jernih. Mengetahui hal itu, Tamar berdandan seperti seorang pelacur kuil dengan kerudung dan cadar (sehingga wajahnya tidak terlihat), lalu duduk di pintu gerbang kota—di mana para pelacur biasanya duduk. Ternyata Yehuda tidak mengenalinya, sehingga dia segera “menawar” Tamar. Tapi karena Yehuda tidak membawa seekor anak kambing (sebagai alat pembayaran yang dijanjikannya), Tamar meminta jaminan berupa cap meterai (berupa cincin atau bandul kalung dengan nama Yehuda) dan tongkatnya. Mereka berhubungan seksual, dan akibatnya Tamar hamil.

Tidak lama kemudian, Yehuda mendengar bahwa menantunya hamil. Hamil dari siapa, sedangkan ia tidak bersuami? Tentulah dia berzinah dengan pria lain! Menurut adat mereka, wanita seperti itu harus dibakar. Tetapi alangkah kagetnya Yehuda (dan alangkah malunya dia!) ketika Tamar menunjukkan cap meterai dan tongkatnya serta berkata, “Dari pria yang empunya barang-barang inilah aku mengandung.” Yehuda menyadari bahwa menantunya, yang tadinya akan ditipunya, ternyata telah balik menipunya. Dari Tamar, Yehuda memiliki dua anak kembar: Peres dan Zerah. Dan dari keturunan Peres lahirlah Yesus Kristus.

Untuk memahami cerita ini, ada hal penting yang kita ketahui. Tamar adalah seorang wanita Kanaan. Pada saat itu belum ada bangsa Israel, belum ada hukum Musa (Musa belum lahir), dan semua bangsa bertindak sesuai adat dan norma-norma mereka sendiri. Tamar dibesarkan dengan norma-norma yang sangat berbeda dengan bangsa Israel di kemudian hari. Apa yang dilakukan Tamar mungkin outrageous, tidak terbayangkan bagi kita yang hidup di masa sekarang. Namun Tamar nekat melakukan itu, sekalipun hal itu bertentangan dengan gaya hidupnya (dia terus mengenakan pakaian janda setelah Onan mati [Kejadian 38:14] dan segera pergi setelah berhubungan seksual dengan Yehuda [ayat 19], yang menunjukkan bahwa ia memelihara martabatnya sebagai seorang janda). Ada alasan yang mendasari tindakan Tamar. Alasan apa?

Bagi orang Timur Tengah pada masa itu, dan bahkan bagi orang Asia sampai hari ini, anak adalah buah pernikahan yang sangat diidam-idamkan. Wanita yang tidak punya anak dianggap sebagai orang yang “direndahkan” oleh Tuhan. Ini adalah tekanan sosial yang luar biasa bagi seorang wanita. Itu sebabnya, ketika Elisabet hamil di usia tuanya, ia berkata, “Sekarang Tuhan berkenan menghapuskan aibku di depan orang” (Lukas 1:25). Tamar tidak memiliki anak bukan karena mandul, tetapi karena dua suaminya jahat di mata Tuhan sehingga mereka mati. Sebagai wanita yang hidup di masa itu, Tamar bertekad bahwa dia harus punya anak sebagai tanda bahwa Tuhan tidak merendahkannya. Bukannya mencari pria lain untuk memberinya anak, ia “mendapatkan” anak dari mertuanya, yang masih punya ikatan perjanjian dengan dia.

--**--

Pusing kan, baca ceritanya? Lebih pusing lagi kalau hal seperti ini terjadi dalam keluarga kita! (Amit-amiiit…) Tapi nyatanya, ini semua terjadi dalam garis keluarga Tuhan Yesus! Mengapa peristiwa yang begitu memalukan ini dimuat dalam Alkitab, bahkan berkaitan dengan Tuhan kita? Bukankah lebih baik jika garis keturunan Tuhan Yesus senantiasa bersih dan bermoral tinggi sesuai moto “bibit, bebet, bobot”? 

Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari kisah Yehuda dan Tamar: 
1) Tuhan memakai orang-orang yang tidak sempurna untuk menggenapi rencana-Nya yang sempurna. 
Yehuda dan Tamar adalah orang-orang yang tidak sempurna, gegabah, dan melanggar moral dalam perbuatan mereka. Bisa dibilang, mereka mengacaukan hidup mereka sendiri. Kalau kita jadi Yakub (bapaknya Yehuda), mungkin kita cuma bisa ngelus dada dan menangis, “Ya Gusti, kenapa keluargaku seperti ini??” Tapi ternyata semua keputusan yang bodoh, semua peristiwa yang tidak enak, bahkan semua dosa yang dilakukan dalam hidup mereka, menggiring mereka untuk menggenapi rencana Tuhan.

Seringkali kita berpikir bahwa rencana Allah terbatas pada sekarang, dan penggenapan rencana Allah bergantung pada apa yang kita lakukan dengan benar. Kalau kita membaca firman Tuhan, kita akan menyadari bahwa ini adalah sebuah pemikiran yang sempit. Tuhan itu jauh lebih besar dari sekarang-nya kita, dan Dia jauh lebih berkuasa dibanding semua kesalahan yang kita buat untuk “mengacaukan rencana-Nya”. Pikirkan hal-hal ini:

Ketika Tuhan berkata kepada Hawa bahwa, “Keturunan ular akan meremukkan kepalamu, dan engkau (keturunanmu) akan meremukkan tumitnya” (Kejadian 3:15), Tuhan berbicara kepada seorang wanita yang telah membuat kesalahan fatal yang menyeret entah berapa banyak manusia ke dalam dosa.

Ketika Tuhan berkata kepada Daud, “Aku akan membangkitkan . . . anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya” (2 Samuel 7:12), yang Tuhan maksud adalah Salomo, yang akan lahir dari Batsyeba, wanita yang akan direbut Daud dari Uria!

Ketika Tuhan berkata kepada Petrus, “Jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:32), Dia berbicara kepada murid yang akan menyangkal Dia dalam waktu beberapa jam kemudian!

… dan entah berapa banyak lagi contoh lain dalam Alkitab.

Bagaimana mungkin Tuhan, yang sudah tahu kesalahan yang akan dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, tetap memilih dan melibatkan mereka dalam rencana-Nya? Salah satu jawabannya, Tuhan tidak mencari orang yang sempurna; Dia memakai orang biasa untuk menggenapi tujuan yang luar biasa. Dan itu berarti melibatkan kelemahan dan kesalahan mereka. Semua ini menunjukkan hikmat Tuhan dan kuasa-Nya yang luar biasa, sehingga kita bisa berkata bersama Paulus, 

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!
(Roma 11:33)

2) Hidup kita bukanlah yang terpenting dan bukan tujuan akhir; ada tujuan yang lebih besar dari hidup kita, yaitu kemuliaan Allah. 
Seringkali kita keliru memahami pekerjaan Tuhan dalam hidup kita. Kita berpikir bahwa kita adalah pusat dari rencana Tuhan; yang Tuhan urus adalah semua tentang kita: pekerjaan kita, jodoh kita, keluarga kita, masalah kita, dst. Kekristenan yang berpusat pada manusia seperti ini tidak alkitabiah, bahkan menyesatkan dan membawa kepada kekecewaan.

Tamar, entah disadarinya atau tidak, tidak hidup untuk dirinya sendiri—ia hidup untuk menggenapi rencana Allah. Tidak ada seorangpun dari kita yang hidup untuk diri kita sendiri; semua kita hidup untuk melayani Allah dan memenuhi kehendak-Nya. Semua yang terjadi dalam hidup kita, semua yang kita lakukan, semua yang kita alami, membawa kita mendekat pada penggenapan rencana Allah. Sama seperti sebuah mikrofon tidak eksis untuk dirinya sendiri—melainkan mendukung seorang penyanyi (hal yang sama dengan lampu sorot, sound system, dekorasi, dll)—eksistensi kita juga merupakan pendukung untuk rencana Allah yang luar biasa besar.

Apa ini berarti hidup kita tidak berarti? Justru sebaliknya, karena kita adalah bagian dari rencana-Nya, kita penting bagi Tuhan! Karena hidup kita menggenapi rencana-Nya, tidak ada satu hal pun dalam hidup kita yang berada di luar perhatian Tuhan. Bagi bangsa Kanaan, Tamar adalah seorang wanita biasa; tetapi di mata Tuhan, ia adalah bagian dari rencana keselamatan yang besar. Hampir dua ribu tahun setelah hidupnya, nama Tamar masih diingat orang dan dicatat sebagai salah satu nenek moyang Juruselamat. Bagi orang lain kita mungkin orang biasa, tetapi bagi Tuhan kita adalah bagian penting dari rencana-Nya. Dan lewat hidup kita, Tuhan akan dikenal dan dimuliakan.

Betapa kita bersyukur karena Tuhan memilih kita, yang serba terbatas, untuk menjadi bagian dalam rencana-Nya yang agung. Setiap kali kita melihat diri kita sendiri, marilah kita ingat kebenaran yang indah ini:
“Saya adalah bagian dari rencana Allah yang jauh lebih besar daripada hidup saya, sekalipun saya terbatas, lemah, dan punya banyak kesalahan. Tuhan memperhatikan hidup saya, karena saya penting di mata-Nya.”

Monday, August 12, 2019

Rahel: Seorang Isteri yang Bergumul Seumur Hidupnya


by Alphaomega Pulcherima Rambang

// Bacaan: Kejadian 29-30 
Kisah cinta Rahel dan Yakub tergolong romantis di zamannya. Bayangkan saja, untuk mendapatkan Rahel sebagai isterinya, Yakub harus bekerja untuk mertuanya selama 14 tahun. Saat membaca lagi kisah Rahel dan Yakub setelah menikah, bisa dilihat kalau kehidupan pernikahan Rahel memang tidak mudah. Rahel harus menunggu tujuh tahun untuk menikah dengan pujaan hatinya. Setelah itu, ia harus melihat suaminya bekerja tujuh tahun lagi untuk ayahnya. Ia harus bergumul dalam posisinya sebagai istri kedua yang berbagi cinta suaminya dengan kakaknya sendiri. Eh, masih ditambah dia tidak kunjung dikaruniai keturunan. Ini bukan hal yang mudah bagi wanita manapun. Tidak heran, terjadilah adegan ini dalam kehidupan pernikahan Rahel:

Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: "Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati." Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata: "Akukah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?"
(Kejadian 30:1-2)

Kalau sebelumnya Lea cemburu karena Yakub lebih mengasihi Rahel, maka kali ini Rahel yang cemburu karena Lea memiliki apa yang tidak dimilikinya. Rahel cemburu sehingga mengeluarkan perkataan bodoh kepada Yakub "Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati." (Kejadian 30:1). Tidakkah Rahel tahu kalau anak adalah anugerah pemberian Tuhan? Yakub mengingatkan kalau Tuhan saja yang mampu memberi semua yang diinginkannya. Hanya Tuhan yang sanggup memberikan apa yang kita inginkan, bukan suami kita atau pun orang lain. Kalau kita berharap kepada manusia, kita harus bersiap-siap kecewa. Tidak ada yang sanggup menggantikan Tuhan di dalam hidup kita. Berharap manusia melakukan apa yang hanya bisa dilakukan Tuhan akan berujung pada kekecewaan. Rahel mengira kebahagiaannya bergantung kepada ada tidaknya seorang anak.

Belum memiliki anak dianggap aib pada zaman itu, tapi sebagai wanita kita harus ingat kalau yang mendefinisikan kehidupan kita bukanlah status pernikahan. Rahel menganggap hanya keberadaan anak lah yang membuatnya hidup. Mungkin rasa takut ditinggalkan suami atau dianggap rendah oleh orang lain membuatnya frustrasi dan menuntut hal yang tidak masuk akal kepada Yakub. Menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak, seorang wanita harus belajar menemukan tempat perlindungan, rasa aman, rasa nyaman, kekuatan dan pengharapan hanya di dalam Tuhan. Fokus bersekutu dengan Tuhan dan dipenuhi kasih-Nya. Tanpa dipenuhi kasih Tuhan, seorang wanita akan menuntut kasih di tempat yang salah. Ya, memang suami diminta mengasihi isteri, tapi akan ada masanya suami gagal mengasihi isteri seperti yang diinginkan, tidak mungkin love tank isteri selalu penuh. Berbahaya bila seorang isteri menggantungkan kebahagiaannya kepada suaminya.

Pernah dengar quote ini: “happy wife, happy life”? Jadi, para suami, kalau mau kehidupan pernikahanmu bahagia, buatlah istrimu bahagia. Benarkah demikian? Jujur saja, dulu aku termasuk yang berpikir konyol seperti itu. Suamiku harus selalu membuatku bahagia. Dia yang bertanggung jawab kalau aku tidak bahagia. Kalau sampai aku tidak bahagia, wajar saja kalau kehidupan pernikahan kami kacau. Saat love tank-ku tidak dipenuhi suami, aku cenderung gampang mengeluh, tidak sabar menghadapi anak, gampang marah, dan lain-lain. Aku menyalahkan suamiku untuk hal ini. Sampai aku akhirnya membaca sebuah kisah tentang seorang penginjil pria. Pada suatu hari dia dan istri diundang menjadi pembicara dan saat istrinya berbicara, “Suami saya tidak bisa membuat saya bahagia”, rasanya dia mau menghilang dari ruangan itu. Lalu isterinya melanjutkan, ”Hanya Tuhan yang dapat membuat saya bahagia. Suami saya bisa melakukan apa saja untuk membuat bahagia, tapi kalau saya tidak bersyukur dan tidak memutuskan untuk berbahagia maka saya tidak akan pernah berbahagia”. Wow! 

Pergumulan Rahel dalam pernikahannya memang sulit, tapi aku pernah membaca sebuah kutipan yang indah: Keindahan kerap lahir dari pergumulan. 

Dampak benturan yang terjadi memang tidak "menyenangkan", bahkan bisa saja membuat kita merasa hancur. Tetapi, prosesnya dapat membuat kita makin kuat, karakter kita makin dibentuk dan iman kita makin diperdalam. 

Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, akan menghasilkan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kami.
(2 Korintus 4:17)

Ayat ini memang sepertinya tidak berhubungan dengan pernikahan. Juga, tidak terbayangkan kalau 'kemuliaan kekal' bicara tentang karakter dan iman. Tapi, menyadari 'penderitaan ringan' aka pergumulan dalam pernikahan sedang mengerjakan kemuliaan kekal yang jauh lebih besar dari apa yang kita alami benar-benar memberikan pengharapan. Ada proses yang sedang Tuhan kerjakan di dalam dan melalui kita saat menghadapi setiap pergumulan. Karakter dan iman akan terus bertumbuh saat kita setia pada proses yang harus kita lewati.

Jika pernikahan kita sulit, ini waktunya berlutut dan bersyukur kepada Tuhan sebab Dia telah memberi kesempatan untuk bertumbuh secara rohani. Ini berarti ada potensi besar untuk berhasil dalam pertumbuhan karakter dan ketaatan. Tidak ada pernikahan yang mudah. Sekarang aku baru sadar. Memang sepertinya ada pernikahan beberapa orang yang terlihat indah banget. Ada yang suaminya selalu romantis, istri terlihat cantik dan tersenyum, anak-anaknya manis dan penurut. Keluarga idaman banget. Tapi biasanya, saat kita mendapat akses untuk tahu kehidupan pribadi keluarga tersebut, kita akan tahu kalau mereka juga melewati masa-masa perjuangan sebagai pasangan. Bisa jadi karakter mereka tidak sesempurna yang kita kira, tapi yang penting mereka berjuang untuk memiliki karakter Kristus. 

Setiap pernikahan punya kesulitannya masing-masing. Tidak jarang ada situasi yang sama dalam beberapa pernikahan, tapi tidak semua pernikahan tersebut menghasilkan pertumbuhan karakter dan ketaatan yang sama. Perbedaannya, ya itu tadi, ada yang melihat kesulitan sebagai sarana bertumbuh (dan tentunya berusaha bertumbuh), ada yang lari dari kesulitan, ada pula yang bertahan tapi merespon dengan salah dan tidak bertumbuh. 

Jangan lari dari pergumulan dalam pernikahan. Hadapilah tiap tantangan yang ada. Bertumbuhlah di dalamnya. Melangkahlah lebih dekat kepada Tuhan melaluinya. Melalui pergumulan-pergumulan itu, kita akan makin mencerminkan Kristus. Mengucap syukurlah kepada Tuhan sebab Dia telah menempatkan anda dalam situasi di mana jiwa anda dapat makin disempurnakan.
- Gary Thomas

Monday, August 5, 2019

Wanita Seutuhnya


by Glory Ekasari 

“Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! 
Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur; 
Harum bau minyakmu, 
bagaikan minyak yang tercurah namamu, 
oleh sebab itu gadis-gadis cinta kepadamu!” 
(Kidung Agung 1:2-3) 

Kidung Agung adalah salah satu kitab yang misterius dalam Alkitab. Apa sebenarnya yang dibicarakan dalam kitab itu? Kita mungkin membacanya dengan rasa malu karena penggambaran tubuh wanita yang terasa terlalu eksplisit untuk dimuat dalam Kitab Suci, atau kita bingung karena merasa kitab ini out of place dan sama sekali tidak membicarakan Tuhan. Dia berbeda dengan kitab-kitab lain seperti Roma atau Ulangan yang secara gamblang membicarakan hubungan Allah dengan manusia. Dia juga tidak menceritakan sejarah seperti Injil atau Kejadian. Yang dibicarakan dalam kitab ini adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara—kenapa kitab seperti ini ada dalam Alkitab?? 

Selain pertanyaan tersebut, satu hal lagi yang menarik dari Kidung Agung adalah fakta bahwa tokoh utama di dalamnya adalah seorang wanita. Tidak hanya itu, wanita ini tidak malu untuk menceritakan tentang gairahnya kepada kekasihnya. Bisa jadi ini membuat para wanita Kristen semakin tidak nyaman, “Bukankah wanita seharusnya kalem, lembut, gak macem-macem, dan pikirannya selalu pure—bahkan, kalau saya bisa bilang, sama sekali tidak memikirkan seks?” Mengapa wanita dalam Kidung Agung ini sepertinya bertentangan sekali dengan gambaran seorang wanita Kristen? Dalam versi New English Translation, Kidung Agung 1:2 berbunyi, 

“Let him kiss me with the kisses of his mouth, 
For your lovemaking is sweeter than wine.” 

There it is, ladies. No shame in it. Lovemaking is the word. 

Bahasa asli “lovemaking” berasal dari loves (jamak). Berbagai macam cara mencintai seseorang terangkum dalam satu kata: seks. Wow. Ini masih dalam ayat kedua (setelah informasi tentang siapa penulisnya) dan tiba-tiba seorang wanita sudah berkata dia ingin dicumbu dan bercinta dengan kekasihnya (menulis kalimat ini saja terasa aneh. Hahaha). 

Kita perlu memperhatikan dengan saksama latar belakang dari kitab ini. Seperti kitab-kitab lain dalam Perjanjian Lama, Kidung Agung juga ditulis dalam lingkungan dunia yang sangat patriarkal. Wanita dianggap sebagai warga kelas dua dibanding pria. Kalau dalam kehidupan sosial saja seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana dengan kehidupan seksual dalam rumah tangga. Saya tidak heran bila wanita dianggap hanya sebagai pemuas hasrat suami. Tetapi dalam Kidung Agung (dan Amsal, dari penulis yang sama), wanita adalah tokoh utama. Dia berbicara dengan bebas, dan suaranya didengar. Wanita ini bisa mengekspresikan dirinya seabgai wanita seutuhnya, dan tidak malu akan adanya gairah seksual di dalam dirinya. 

Dalam pengalaman saya pribadi, saya belajar banyak sekali selama mendalami kitab Kidung Agung. Yang saya pelajari, terutama, adalah it’s okay to be a woman, with sexual desires and passion for a certain man. Kitab ini menunjukkan kepada saya bagaimana adanya seorang wanita, yang dapat berkata tentang pasangannya, “Kepunyaan kekasihku aku; kepadaku gairahnya tertuju” (Kid. 7:10) sekaligus menolak rayuan kekasihnya untuk intim secara seksual sebelum pernikahan, sekalipun dia sendiri menginginkannya (Kid. 2:8-17). Tidak berhenti di situ, hubungan seksual yang diceritakan dalam kitab ini dibahasakan secara begitu indah, bukan hanya sekedar dorongan nafsu belaka (Kid. 4:16-5:1)

Kitab ini ada dalam Alkitab karena Tuhan menciptakan kita, para wanita, sebagaimana adanya kita: dengan seksualitas (segala sesuatu yang berhubungan dengan kewanitaan; seperti perasaan kita yang sensitif, kemampuan kita untuk multitasking, dan semua yang membedakan wanita dengan pria) serta hasrat seksual kita, dan karena Dia mengasihi kita. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia melihat ciptaannya itu sungguh sangat baik (Kej. 1:31). Tuhan suka melihat kita sebagai wanita; Dia menghargai perasaan dan pemikiran kita, bahkan Dia memerintahkan para suami untuk mengasihi istri mereka (karena Dia tahu wanita perlu dikasihi), serta menempatkan sebuah kitab yang menjelaskan seperti apa hasrat seorang wanita dalam Buku-Nya. 

Lebih lagi, Tuhan suka melihat seorang wanita mengasihi seorang pria. Kalau kita melihat orang pacaran, kita bisa cekikikan melihat mereka sayang-sayangan, terlebih lagi Tuhan yang bersukacita melihat sepasang suami istri saling mengasihi, mesra, dan membangun keintiman bersama! Dalam kitab Kidung Agung, gairah sang wanita untuk kekasihnya akhirnya terpenuhi pada malam pernikahan mereka. Pernikahan adalah sesuatu yang sangat indah, di mana kasih yang rela berkorban, hasrat seksual yang diikat kesetiaan, dan kekudusan hidup berjalan beriringan. 

Kita perlu bersyukur kepada Tuhan karena Dia menciptakan kita dengan begitu indah. Kita tidak perlu malu menerima diri kita seutuhnya, karena Tuhan telah menerima kita. Laki-laki memang diciptakan dengan ambisi untuk mendapatkan wanita yang dicintainya; tapi dia juga tentu ingin merasa diinginkan oleh wanita tersebut. Hal ini bisa terjadi karena Allah menempatkan dalam diri kita hasrat seksual yang sehat—yang menyenangkan pasangan kita dan Allah, tentunya.