Thursday, June 30, 2016

Dance Together in the Rain

by Septiyana

Sebelumnya saya adalah seorang wanita yang sangat mengerti tujuan hidup saya, saya tidak pernah kuatir akan apapun dalam hidup saya. Saya sangat suka berbagi dengan banyak orang. Mungkin karena itu adalah masa-masa kuliah, dan Allah belum begitu membentuk saya dalam kehidupan saya. Saya tidak pernah berhenti menolong orang dan hari-hari saya sangat menikmati kasihnya dimana-mana. Kamar kost saya yang kecil itupun tidak pernah seharipun tanpa seorangpun mengunjunginya. Kamar saya dan saya sendiri menjadi tempat sumber penghiburan bagi banyak orang.

Hingga akhirnya bertubi-tubi masalah datang dalam hidup saya. Saya ingat sekali saat-saat terburuk saya, terkadang saya menutup diri saya dan melakukannya seorang diri. Sepulang bekerja terkadang saya menangis di kamar dan meratapi kehidupan saya saat itu dan mengasihani diri. Terkadang saya tidak dapat berdoa di tengah ke stressan saya.

Saya merasa menanggung beban hidup saya sendiri saat itu. Saya marah atas diri saya sendiri, mengapa saya gagal dalam kehidupan saya seperti ini. Saya cenderung menutup diri saya, saya marah pada orang tua saya saat itu karena saya pikir mereka adalah penyebab kegagalan saya. Saya benar-benar tidak peduli akan apapun saat itu. Saya menjadi orang yang sangat kasar. Hingga di satu titik balik saya berdoa dan Allah mengubahkan cara pandang saya.

Saat itu saya merasa sangat diberkati dengan kakak saya yang lemah lembut, dan memiliki hati untuk mendengarkan saya kapanpun saya perlukan. Saya berpikir kembali, saya ingin seperti kakak saya yg lemah lembut. Saya mengingini hati yang siap untuk Allah pakai kapanpun Allah mau. Akan ada orang-orang yang perlu didengarkan setiap harinya setiap waktu. Namun saya merasa itu bukan diri saya, saya pikir saya adalah seorang yang simple, saya lebih suka hal yang santai dan mengatakan apapun dalam hati saya tanpa saya harus memikirkan bagaimana hati orang lain. Namun saat itu Allah berkata Galatia 5:22-23 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Itu adalah buah yang harus saya miliki untuk dibaca setiap orang, untuk Allah nikmati. Jika itu bukan diriku, ya memang itu bukan diriku dan Allah yang menghendaki. Itu adalah satu buah yang harus saya miliki untuk saya bisa berbagi dengan orang banyak.

Saya belajar membagikan beban saya pada orang lain. Ketika saya mulai membagikan beban hidup saya, Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang memiliki banyak beban hidup yang terkadang lebih berat daripada hidup saya. Saya menjadi berhenti mengasihani diri dan memandang hidup saya berarti, dan betapa hidup saya masih berarti bagi banyak orang.

Awalnya saya malu untuk membagikan karena itu adalah seperti aib saya sendiri dalam salah pengambilan keputusan, namun akhirnya saya berpikir sebenarnya saya sudah jauh lebih bobrok, Yesus sudah menanggung dosa saya dan mati di kayu salib, dan penebusanNya menyelamatkan seseorang yang tak sempurna ini.

Ketika saya membagikan kebanyak orang dengan kesalahan saya. Saya menjadi terlihat tidak sempurna, saya menerima kenyataan itu, saya menyadari saya adalah manusia yang tidak sempurna dan saya memerlukan Dia yang sempurna untuk menolong saya. Ketika saya menerima kenyataan ketidak sempurnaan saya, Allah yang sempurna itu membawa banyak teman-teman saya yang tidak sempurna itu kepada saya, dan kami saling berbagi. Teman-teman saya yang dulu menganggap saya begitu suci seperti malaikat, sekarang memandang saya manusia dan wanita. Dalam ketidak sempurnaan saya, Dia yang sempurna semakin terlihat. Maka genaplah nats alkitab yang berbunyi "sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" 2 Korintus 12:9b.

Belajar membagikan berarti belajar untuk tidak fokus pada diri kita sendiri. Begitu banyak orang-orang didunia ini yang mencari kebahagiaan bagi mereka, mereka berpikir mereka menikah dan mereka akan bahagia, dan ketika mereka tidak bahagia mereka bercerai, kemudian ada orang-orang yang berpikir jika mereka kaya mereka akan bahagia, namun ketika mereka kaya mereka tidak bahagia, hingga mereka membagikan kekayaan mereka pada orang-orang miskin dan mereka tidak menemukan kebahagiaan itu. Maka tidak salah jika kita memiliki Yesus yang berkata "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi". Wow luar biasanya kita wanita didalam Dia.

Ketika saya belajar mengenal apa yang Allah inginkan saya lakukan, saat itulah saya menemukan diri saya sendiri. Saya menjadi diri saya sendiri ketika saya mengenal Dia. Perlahan-lahan diri saya kembali. Kericuhan dunia ini tidak begitu berarti kembali ketika saya menemukanNya, harta abadi yang dapat saya bagikan kapanpun, dimanapun. Berita sukacita bagi setiap orang.

Saya menikmati hari-hari saya bertemu dengan setiap orang dan belajar membagikan kebaikan-kebaikan kecil bagi sekeliling saya. Saya bersyukur kembali karena kamar saya sekarang sudah mulai banyak pengunjungnya. Saya tau Dia ada didalam saya, dan menjadi pemikat bagi jiwa yang haus akan Allah. Masalah saya belum selesai namun saya menikmati bagaimana menari di kala hujan, menari bersama teman-teman saya yang lain, tentunya :)

Tuesday, June 28, 2016

Terima (lalu) Kasih

by Ladhriska Ilhamudin

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali kita menerima sebuah pemberian maka kita akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Itu hal yang normal, bukan? Rasanya, tidak ada yang istimewa saat kita mengatakan kata terima kasih, meski kita semua tahu bahwa kata terima kasih adalah sebuah respon yang positif dan penuh makna saat kita menerima sesuatu. Suatu hari, saya memikirkan sedikit lebih dalam tentang makna dari mengucapkan kata terima kasih. Di tengah perenungan saya, saya pun berpikir, mengapa setiap saya menerima sebuah pemberian dalam bentuk barang, saya akan langsung mengatakan dua kata itu. Dan saat diingat-ingat lagi, ternyata kata terima kasih itu tidak hanya meluncur saat saya menerima sebuah barang. Kata terima kasih pun kerap terdengar di telinga, saat saya menerima perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitar saya.

Ungkapan kata terima kasih memang telah menjadi sebuah bentuk sopan santun. Lihat saja, sejak masih kecil kita pasti sudah dibiasakan oleh orang tua untuk mengatakan terima kasih saat menerima sesuatu.Namun lebih dari sebuah tutur kata yang sopan, terima kasih seolah menyimpan pesan sederhana yang mengingatkan saya untuk memberikan apa yang sudah saya terima. Kata terima kasih ini terdiri dari dua kata, yaitu terima dan kasih. Kata ‘terima’ diartikan sebagai menerima atau mendapat, sedangkan kata ‘kasih’ dapat diartikan dengan memberi atau berbagi. Dengan kata lain, mengucapkan ‘terima kasih’ telah memposisikan diri kita sebagai seorang penerima dan setelah itu sebagai seorang pemberi. Dari sanalah, saya belajar bahwa menerima dan memberi adalah dua hal yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Tidak seperti tebak-tebakan duluan mana antara ayam atau telur, dalam hal menerima dan memberi, saya menemukan sebuah pola yang pasti dimana kita tidak akan pernah bisa memberi kalau kita tidak menerima terlebih dahulu. Dalam 1 Yohanes 4:19 dikatakan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Dengan kata lain, kita akan mulai bisa mengasihi saat kita membiarkan Allah mengasihi kita terlebih dahulu. Saat kita menerima  kasihNya secara penuh, maka kita akan dengan mudah mengasihi. Mengasihi atau kasih adalah dasar dari kehidupan orang percaya dan mengasihi adalah sebuah hal yang dianggap penting oleh Allah, bahkan disebut sebagai yang terutama.  Di dalam Matius 22: 33-40, Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum, yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Mengenai keterkaitan antara mengasihi dan memberi, sebuah pepatah bijak mengatakan,you can give without loving, but you can’t love without giving.Bicara mengenai kasih, kita memang tidak bisa memisahkannya dari memberi. Saat seseorang mengatakan kalau ia mengasihi namun tidak memberi, maka apa yang ia katakan tidak akan terasa nyata. Di dalam mengasihi seseorang, kita pasti akan memberi. 1 Yohanes 3:17, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”

Dari prinsip dua hukum kasih tadi, tak jarang kita pun menjumpai orang-orang yang mengatakan “love God, love people”. Tidak ada yang salah memang dengan mengasihi Tuhan dan sesama. Keduanya adalah hal yang benar. Namun sadar atau tidak, banyak orang yang ingin berlomba-lomba untuk memberi kasihnya kepada Allah dan juga sesama, tanpa tahu bahwa mereka seharusnya menerima dari Allah terlebih dahulu. Mengapa kita perlu menerima sebelum memberi? Karena saat kita menerima dari Sumbernya, yaitu Allah sendiri maka kita akan selalu dalam keadaaan “penuh” untuk siap berbagi. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi sibuk berbagi, tanpa punya waktu untuk menerima. Cepat atau lambat, kita pasti akan merasa exhausted (kehabisan tenaga). Dan tahukah Anda siapa yang senang saat kita merasa exhausted? Sudah pasti pihak musuh alias Iblis. Bapa di Surga tidak menginginkan kita exhausted atau kehabisan tenaga, karena Ia tahu saat kita kehabisan, kita tidak akan bisa berbagi. Ia ingin kita, anak-anakNya, selalu dalam keadaan penuh, karena saat kita penuh, itu artinya kita dalam keadaan yang maksimal untuk bisa berbagi dan juga memberi.

Memberi adalah sebuah bukti dari tindakan kita mengasihi. Tapi ingatlah bahwa  kemampuan untuk kita berbagi, peduli, atau memberi kepada orang lain ditentukan dari seberapa “banyak” yang kita terima dari Bapa. Semakin banyak kita menerima dan mengecap kebaikanNya, maka kita pun tak akan tahan menyimpan kebaikan yang kita telah terima seorang diri. Saat kita menerima dari Dia, secara otomatis, keinginan untuk berbagi dan peduli kepada orang lain akan datang dengan sendirinya. 1 Yohanes 3:14, “Kita tahu sekarang bahwa kita sudah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.”

Kita tidak akan pernah bisa maksimal dalam hal memberi jika kita hanya mengandalkan kekuatan atau kemampuan kita sendiri.  Sebagai orang percaya, Yesus telah menjadi teladan kita dalam hal memberi. Mengapa saya bilang begitu? karena saat kita membaca kisah-kisah di Alkitab, kita akan dengan mudah menjumpai sosok Yesus yang adalah seorang Pemberi. Ia tidaklah tercatat sebagai sosok yang gemar mengambil, tetapi Ia sosok yang senang untuk memberi. Oh yes! Our God loves to give. He is a Good Giver.Yohanes 10:10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya di dalam segala kelimpahan.”

Kemana Yesus pergi, ia selalu memberi. Ia memberi dirinya untuk mengajar orang banyak. Ia memberi dirinya menyembuhkan orang. Ia memberi dirinya untuk mengusir orang yang kerasukan setan. Ia memberi dirinya untuk membangkitkan orang mati. Bahkan yang paling luar biasa, ia memberikan nyawanya. Tahukah Anda kalau nyawa Yesus tidak pernah diambil, tapi Ia sendiri yang menyerahkannya? Dalam sebuah penyerahan diri total kepada Bapa, Yesus sendirilah yang memberikan nyawanya. Yohanes 10:17,“Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Dari pernyataanNya tersebut, saya belajar bahwa Yesus tak pernah ketakutan untuk memberi, karena Ia tahu betul bahwa dengan memberi Ia justru akan menerima dan bukannya malah kehilangan. Ia yakin bahwa saat Ia memberi, Ia akan kembali mendapatkannya. Matius 10:39, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Kita perlu tahu bahwa dasar saat kita mengasihi dan peduli kepada orang lain adalah karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi dan peduli kepada kita. Dari sinilah, setiap bentuk kepedulian dalam bentuk kasih yang nyata akan mengalir dari diri kita dan dengan sendirinya kehadiran kita akan menjadi berkat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. We are blessed to be a blessings!


Friday, June 24, 2016

Live from the Emergency Shelter: Things I Don’t Like About Refugees

by Wellney Yara Hello, Ladies! Sebelum aku menulis lebih lanjut, kita kenalan singkat dulu ya, biar konteks artikelnya juga lebih jelas. Namaku Yarra, sekarang lagi studi di Jerman. Mungkin sekarang kalian mikir, apa hubungannya sama artikelnya? Nah, jadi begini… Sesuai yang bisa kalian lihat dari judul artikelnya, kali ini aku mau membahas tentang isu yang sedang cukup hot dibicarakan di Jerman, da juga seluruh dunia: pengungsi. Isu ini tidak hanya sekedar menarik banyak perhatian dari media dan masyarakat, namun isu ini juga cukup menimbulkan kontroversi, terutama di Jerman, yang menjadi negara tujuan kebanyakan dari para pengungsi tersebut. Banyak yang pro, namun tidak kalah banyak juga yang kontra. Aku tidak akan menulis panjang lebar tentang sisi mana yang lebih baik dan sebagainya, tapi izinkan aku membagikan hal-hal yang aku pelajari saat menjadi sukarelawan di tempat penampungan pengungsi di Berlin. 1 Oktober 2015 merupakan hari yang cukup mengesankan buatku. Setelah mengalami serentetan hal-hal yang sangat “kebetulan” (salah satunya ditegur oleh khotbah dari Pdt. Steven Furtick tentang bagaimana kita juga harus membagikan kasih yang telah terlebih dahulu kita terima dari Tuhan kepada sesama kita), aku pun akhirnya membulatkan keputusan untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan bagian anak-anak di salah satu penampungan pengungsi darurat di Berlin. Aku pun menghitung hari, menunggu hari dimana aku akan pergi kesana tiba. Terus terang aku cukup deg-degan, karena ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku. “Disana entar gimana ya?”, “Anak-anaknya pada bandel-bandel ga ya? Mereka bakal denger-dengeran ga ya?”, “Lah boro-boro dengerin, mereka ngerti ga ya gue ngomong apaan?”, dan seterusnya. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku dan beberapa teman-teman gereja lain berangkat kesana bersama-sama. Pertama-tama kita check-in dulu di pos keamanannnya, untuk memastikan bahwa kita benar-benar sudah terdaftar di jadwal untuk membantu pada hari itu. Selanjutnya kita ke kantor admin-nya untuk mengisi beberapa formulir, dan kemudian petugasnya pun menunjukkan ruangan kita masing-masing, dan aku pun dibawa ke ruangan anak-anak. Sesampainya di ruangan itu, aku cuma melihat dua atau tiga anak. Kemudian aku pun berbicara ke petugas yang kelihatannya sudah cukup berpengalaman. Dia bilang anak-anak yang lain sedang bermain di luar bersama sukarelawan-sukarelawan yang bertugas di jam sebelumnya, dan mereka sebentar lagi bakal masuk ke ruangan. Dia juga menambahkan, “Kadang-kadang kalau anak-anaknya kebanyakan bisa kalang-kabut. Sekarang sih mereka masih dalam proses belajar bahasa Jerman. Tapi untuk saat ini, mereka nggak bisa bahasa Jerman. Inggris juga nggak, jadi kalau mereka nggak ngerti bahasa tubuh kamu, kamu harus coba ngomong sama mereka pake bahasa Arab atau Persia.” Habis ngomong begitu, dia ketawa. Nggak lama kemudian, giliran dia udah selesai, jadi dia beres-beres dan pulang. Lalu, aku menghampiri satu anak kecil yang duduk sendirian. Awalnya dia sangat pemalu, tapi nggak lama kemudian, kita udah bermain telfon-telfonan, padahal bahasanya aja beda. Setelah itu, anak-anak lain kembali ke ruangan, dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi suara anak-anak dan mainan dimana-mana. Beberapa anak ngantri minta digendong. Begitu udah bosen main gendong-gendongan, mereka minta main puter-puteran. Daaaan begitu terus sampai akhirnya aku menolak anak yang minta putaran kedua, saking pusingnya. Kemudian ada anak laki-laki bernama Jode yang berhasil mencuri hatiku. Dia begitu dewasa dibanding anak-anak yang lain. Bukan berarti aku tidak suka anak-anak yang bertingkah laku seperti anak-anak, tetapi Jode benar-benar berbeda. Saat anak-anak yang lain lari kesana-sini dan rebutan mainan, dia duduk dan melukis. Aku menghampiri dia dan berusaha mengajaknya berbicara, dan anak itu manis sekali. Dia pun bercerita tentang negara asalnya dan bagaimana dia dan ibunya berhasil melarikan diri ke Jerman, namun sayangnya ayahnya dan kakaknya tidak. Hatiku hancur mendengarnya. Tanpa disadari, waktu cepat sekali berlalu. Setelah bermain-main lagi dengan anak-anak yang lain, waktunya pun tiba untuk pulang. Kita pun membersihkan ruangan tersebut, mengunci pintu, dan pulang. Dan mungkin kalian sekarang bingung, “loh di judul tapi katanya hal-hal yang ga disukai dari pengungsi? Mana?”. Dan ini jawabannya (setidaknya sesuai pengalamanku melayani anak-anak pengungsi): Aku mengasihi pengungsi-pengungsi itu, tetapi ada beberapa hal yang tidak kusukai dari mereka: Aku tidak suka bagaimana mereka melalui begitu banyak kesusahan, tetapi tidak terlihat sama sekali. Aku tidak suka bagaimana mereka tertawa begitu lepas, padahal hidup mereka sama sekali tidak mudah. Aku tidak suka bagaimana mereka memelukku dan meminta dipeluk dengan begitu manis. Aku tidak suka bagaimana mereka begitu tangguh. Mengapa? Karena semua hal tersebut membuatku merasa malu terhadap diriku sendiri. Kalian tahu? Aku pergi ke penampungan tersebut dengan pemikiran aku yang membantu mereka, tetapi aku salah besar. Mereka yang lebih banyak membantuku pada akhirnya. Membantuku menyadari betapa banyak berkat yang telah Tuhan percayakan. Membantuku menyadari betapa hal-hal yang aku alami tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Membantuku belajar bersyukur kepada Tuhan. Mungkin kita terlalu sering diingatkan betapa diberkati dan beruntungnya kita, sampai-sampai sudah menjadi klise. Kita mendengarnya setiap saat - melalui khotbah yang kita dengar, lagu yang kita nyanyikan, renungan yang kita baca, dll - bahwa ada orang-orang di luar sana, yang bersedia melakukan apa saja untuk berada di posisi kita; padahal kita sendiri bersungut-sungut tentang posisi dimana kita berada. Posisi yang menurut kita kurang - kurang kaya, kurang sukses, kurang ini dan kurang itu. Tapi coba pikirkan sejenak. Pengungsi-pengungsi ini, sebagai contohnya, harus melalui begitu banyak hal untuk tiba dimana mereka berada sekarang, dimana mereka mungkin bahkan tidak mendapatkan setengah dari apa yang kita anggap biasa. Jatah makanan yang diporsi dan terbatas, tidur sempit-sempitan dengan sesama pengungsi yang tidak mereka kenal, dan menunggu tanpa kepastian. Belum lagi perbatasan-perbatasan negara dan perjalanan panjang yang harus mereka lalui untuk bahkan tiba di negara tujuan mereka. Belum lagi ancaman-ancaman dan bahaya-bahaya yang mereka hadapi di negara asal mereka sebelum mereka melarikan diri. Sedangkan kita berada disini, menatap sebuah layar, membaca artikel ini, dengan sesuatu untuk dipakai, perut yang kenyang, dan atap di atas kepala. Apakah kita sungguh mempunyai hak untuk bersungut-sungut kepada Tuhan? Bila kalian belum bisa banyak membantu para pengungsi ini (walaupun aku sungguh berdoa kalian bisa), setidaknya bantulah diri kalian sendiri. Berhenti bersungut-sungut. Hitunglah berkat kalian... walaupun aku yakin sebenarnya berkat-Nya tidak dapat dihitung! “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” -Efesus 5:20

Tuesday, June 21, 2016

Memberi Lebih Baik Daripada Menerima (?)

by Krisan Wijaya

“Orang miskin? Itu kan tanggung jawab pemerintah?”

“Alaah, pasti banyak kok orang lain yang udah nyumbang untuk korban bencana.”

“Boro-boro mikirin hidup orang lain, hidup gue sendiri aja udah banyak susahnya.”

“Wajar aja dong kalau Bill Gates jadi filantropis, secara duitnya aja udah nggak keitung banyaknya. Nah, gue? Mau beli sepatu baru aja mikirnya seribu kali.”

Coba jujur dengan diri sendiri, pernahkah kita mengutarakan – baik terang-terangan maupun dalam hati – salah satu dari kalimat di atas? Kita tahu, Alkitab jelas-jelas mengatakan ‘memberi lebih baik daripada menerima’, namun seberapa dalam kita mengiyakan ayat itu?

Coba ingat-ingat lagi, berapa banyak yang kamu sudah berikan pada mereka yang nasibnya kurang beruntung dibandingkan kamu?

We all love the security of having stuff, especially money. It’s part of our broken nature. Namun sebagai orang percaya, kita tidak lagi serupa dengan dunia ini. Kita seharusnya tidak lagi berpikir bahwa memberi = memiskinkan/merugikan diri sendiri. Bagi orang percaya, memberi berarti...

1. Mencerminkan kasih Kristus
One can give without loving, but one cannot love without giving. Pribadi Tuhan Yesus sendiri adalah kasih yang sempurna. And because of His love, He gave so much to the world around him during his ministry on earth. Makanan yang cukup untuk beribu-ribu orang. Anggur terbaik untuk sebuah pesta pernikahan di Kana. Kesembuhan tak terhitung untuk mereka yang membutuhkan: orang buta, orang lumpuh yang diturunkan dari atap, wanita yang sudah belasan tahun sakit pendarahan, sepuluh orang kusta, dan masih banyak lagi. Harapan baru untuk Zakheus dan wanita Samaria di tepi sumur. Kehidupan untuk Lazarus yang sudah terbaring di dalam kubur. Dan yang terpenting: keselamatan yang digenapkannya di atas kayu salib.

Oke, sebagian besar dari kita sama sekali tidak bisa melakukan mujizat seperti itu. But the point is, Jesus Christ gives. And as a Christian, we are to follow His steps. Dengan memberi, kasih Kristus tercermin dalam diri dan hidup kita – begitu pula sebaliknya, seperti kata 1 Yohanes 3:17, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”

2. Menaati perintah Tuhan
Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Paulus mengutip perkataan Tuhan Yesus, “ Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Selain itu, ia juga menekankan pentingnya memberi dalam suratnya untuk Timotius, “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” (1 Timotius 6:18-19)

Orang yang mengasihi Tuhan akan menaati perintah-Nya. And giving is obviously one of His commands. Selain dua ayat di atas, sebenarnya masih banyak sekali ayat yang terang-terangan menekankan pentingnya memberi – dan peringatan bagi mereka yang pelit. Salah satunya Amsal 28:27, “Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki.”

Sebagai orang Kristen, kita tidak lagi punya excuse untuk tidak memberi. Giving should not be merely an obligation, but a lifestyle. Sekalipun kita merasa diri kita miskin secara materi, namun pasti ada orang-orang yang lebih berkekurangan dibandingkan kita. Lagipula, pemberian yang tulus tidak harus selalu berupa uang, kan?

Coba buka mata lebar-lebar. Dunia tidak pernah kekurangan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Tidak usah jauh-jauh melihat anak-anak yang kelaparan di Afrika, di dekat kita pun pasti ada banyak keluarga yang hidup pas-pasan hanya untuk bisa makan.
Kita tahu persis bahwa apa yang kita lakukan untuk mereka yang paling hina, berarti kita melakukannya untuk Tuhan (Matius 25:40) – demikian pula sebaliknya.

So, shall we give?

Friday, June 17, 2016

Love for the Forgotten Ones

by Tabita Davinia


Ketika kasih berarti ‘mengasihi orang-orang yang terlupakan’, kita dapat merayakan hari kasih sayang dengan penuh makna :)

Guys, pernahkah kalian berpikir bahwa suatu saat nanti kalian akan menjadi tua (jadi opa-oma)? Pernahkah kalian berpikir bahwa suatu saat nanti kalian akan mempunyai anak dan cucu?

Well... aku yakin kalo sebagian besar (ato jangan-jangan malah semuanya?) pernah berpikir seperti itu. Tapiiiii, pernahkah kalian berpikir juga, bahwa suatu hari nanti orang-orang yang kamu kasihi akan meninggalkanmu sendirian *konteksnya keluarga nih*? Kamu bakal tinggal di sebuah panti wreda (panti jompo) tanpa anak dan cucumu?

Perlu kalian tahu, itulah yang ada di pikiran para opa-oma di zaman sekarang (walaupun ada di antara mereka yang masih tinggal bersama dengan anak-cucu mereka). Para opa-oma ini kangen sama keluarga mereka, kebersamaan bersama dengan anak-cucu, tawa dari orang-orang yang mereka kasihi...yang (sayangnya) nggak bisa mereka dapatkan sekarang.

Nah, karena itulah... pada salah satu momen Valentine, komunitas remaja gerejaku mengadakan kunjungan ke Panti Wreda Asih, yang letaknya sekitar 20 menit dari gereja hehe.



Persekutuan bersama mereka dimulai dengan puji-pujian, dilanjutkan dengan ucapan terima kasih dari koordinator Panti Wreda Asih. Di situ beliau juga menyampaikan tentang salah satu program yang diadakan panti tersebut, yaitu ‘Compassion for Grandparents’.

“Apaan tuh, ‘Compassion for Grandparents’?”

Guys, program ini adalah program di mana kita bisa menjadikan opa ato oma yang ada di sana sebagai opa ato oma angkat kita :) misalnya, aku mau oma A jadi oma angkatku. Lewat program ini, kita bisa mengunjungi mereka, memberikan hadiah, ato cuma sekadar mengobrol dengan mereka. Kita juga bisa kok, menabung untuk kebutuhan mereka di panti itu.



Setelah itu, ada renungan singkat hehe. Inti renungan waktu itu adalahhhhhhh kita harus mengasihi orang-orang di sekitar kita (termasuk orang tua dan opa-oma kita), sebelum semuanya terlambat. Oya, renungan tersebut didasari dari Amsal 17:17 :)

Selanjutnyaaaaaa, ada sesi ngobrol sama oma-opa di sana :D Setiap anak mengobrol dengan setiap opa ato oma yang ada di sana. Ada juga opa-oma yang ngobrol dengan 2 anak :)
Aku ngobrol sama seorang oma, yang (maaf) pendengarannya udah jauh berkurang. Jadi aku harus ngomong dalam jarak yang sangat dekat dengan telinganya .__. Bukan cuma itu, aku juga harus sabar waktu ngobrol sama oma ini *saking seringnya beliau mengulang perkataannya -.- but it’s okay lah for me :)*



Dua hal yang paling nggak bisa aku lupain dari beliau adalah senyumannya dan rasa terima kasihnya kepada Tuhan.
Jadi, ceritanya beliau agak kesusahan buat menyuapkan muffin dan puding, terus aku tolong deh hehe. Dan setelah aku menyuapinya, beliau langsung tersenyum :’) duhhh senyumannya mengalihkan perhatiankuuuu *jiah malah nggombal gini :v#justkidding. lol*
Dan yang kedua, beliau juga bilang kalo beliau bener-bener bersyukur sama Tuhan buat keluarganya yang baik. Walopun suaminya udah nggak ada lagi, anak-anaknya juga cuma kadang-kadang telepon beliau *dan juaraaangggg banget buat ketemu secara langsung. Bahkan ada anaknya yang tinggal di Belanda (/ ._.)/*, beliau tetep bilang kalo semuanya itu udah lebih dari cukup. “Terima kasih Tuhan, terima kasih...

FYI, walaupun cuma ada sekitar 25 orang yang ikut acara itu *dan ada majelis penghubung juga*, I really proud on them :D bahkan ada 1 anak yang sempet bikin aku sama yang lain speechless waktu dia meluk oma yang dia ajak ngobrol :$ ehehehe.

Thanks God, for this Valentine day. Let it be our encouragement to keep loving the forgotten ones :)

Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi
(Yohanes 13:34-35)

Tuesday, June 14, 2016

Child Sponsorship Program

by Marcella Florenzia

Sejak tahun 2006, saya mulai menjadi salah satu sponsor di Wahana Visi Indonesia. Saat itu saya masih kuliah dan entah mengapa, timbul kerinduan di dalam hati saya untuk memiliki anak asuh. Saya belum pernah mendengar tentang Wahana Visi Indonesia sebelumnya. Sampai suatu saat, saya berdoa kepada Tuhan tentang kerinduan saya ini dan akhirnya Ia menjawab. Ketika saya mampir ke sebuah toko buku Kristen, tiba-tiba saya sangat terkejut melihat sebuah brosur mengenai Child Sponsorship Program yang dimiliki oleh Wahana Visi Indonesia. Saya mulai mencari informasi tentang program tersebut dan akhirnya memutuskan untuk menjadi salah satu sponsor. Anak pertama yang saya sponsori berasal dari Pantai Kasuari, Papua. Dan kemudian sekitar tahun 2009, karena anak tersebut pindah ke wilayah lain, akhirnya digantikan dengan seorang anak dari wilayah Maro, Papua.


Tidak lama kemudian, karena faktor biaya dan juga saya harus tinggal di luar negeri selama satu tahun, saya berhenti untuk menjadi sponsor untuk sementara. Tetapi kemudian di tahun 2011 ini saya memutuskan untuk mulai mensponsori anak lagi, kali ini dari wilayah Sikka, NTT. Dan saya berdoa dan memiliki kerinduan untuk bisa menambah minimal 1 anak lagi di tahun 2012 serta bisa mengunjungi mereka suatu hari nanti… (Amin!)


Child Sponsorship Program ini sangat menarik. Meskipun Wahana Visi Indonesia (yang bekerja sama dengan World Vision) ini sendiri merupakan organisasi yang berbasis Kristen, tetapi mereka tidak membedakan pelayanan mereka berdasarkan suku, ras maupun agama. Selain itu, kita juga bisa berhubungan dengan si anak (melalui surat, hadiah bahkan mengunjungi mereka secara langsung) dan kita juga mendapatkan laporan perkembangan mereka setiap tahunnya. Rasanya jadi seperti memiliki anak sendiri ;)


Di tahun ini saya mulai untuk lebih aktif terlibat di Wahana Visi Indonesia. Selain menjadi sponsor, saya juga mulai ikut membantu sebagai volunteer (penggalangan dana di Mall Kelapa Gading, Jakarta) dan sempat ikut mengunjungi pelayanan Wahana Visi Indonesia yang berada di daerah Cilincing, Jakarta. Saya juga mengikuti sponsor gathering yang mereka adakan dan mulai mempromosikan Child Sponsorship Program ini kepada rekan-rekan saya. Rindu sekali rasanya bisa melihat lebih banyak anak yang ditolong dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Hanya dengan Rp 150.000,- setiap bulannya kita sudah bisa mengubah kehidupan anak bangsa, bahkan mengubah daerah tempat di mana ia tinggal.

Ayo dukung Child Sponsorship Program! Caranya, bisa dengan mengunjungi website www.wvindonesia.org atau menghubungi langsung ke kantor Wahana Visi Indonesia (021-3907818) / e-mail ke visi@wvi.org

Siapa tahu melalui program ini, kehidupan kamu akan semakin bernilai dan kamu juga bisa menambahkan nilai lebih ke dalam kehidupan orang lain…

God bless you! :)

Friday, June 10, 2016

Celengan Berbagi dan Pohon Harapan

by Tabita Davinia


Saya mempunyai seorang teman kuliah yang jiwa sosialnya sangat tinggi. Saya nggak habis pikir, kenapa dia mau berbagi dengan anak-anak yang tidak sebahagia anak lainnya. Awalnya saya sempat berpikir, “Buang-buang waktu aja”. Tapi ternyata, WOW. Dia bisa menggerakkan banyak orang untuk berbagi lewat komunitas yang dia bentuk tahun lalu. Komunitas itu bernama Celengan Berbagi, dan sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia. Whoa!
Teman saya ini non-Kristen, namun saya sangat terinspirasi oleh dirinya maupun komunitas yang dibentuknya. Bahkan komunitas  ini didukung oleh teman-teman seangkatan saya—banyak di antara mereka yang tergabung dalam Celengan Berbagi. Mereka telah mengadakan berbagai kegiatan seperti menyumbang untuk berbagi nasi bungkus kepada kaum papa, seragam anak-anak di sekolah dasar di kota-kota lain, dan gerakan mengajar di sekolah maupun rumah ibadah mereka.

--**--

Setiap Natal, ada pohon tanpa daun yang diletakkan di halaman gereja saya. Pohon itu adalah pohon harapan, sebuah pohon yang di setiap rantingnya “memiliki” harapan dari anak-anak panti asuhan maupun dari yayasan Kristen lainnya. Dengan adanya pohon ini, diharapkan anggota jemaat mau memberikan hadiah Natal kepada anak-anak itu. Dan tanggapan jemaat pun positif, sehingga sejak beberapa tahun yang lalu selalu ada Pohon Harapan ini.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk mulai mengikuti kegiatan ini tahun lalu. Saya menyisihkan sebagain uang saku bulanan saya untuk membelikan hadiah Natal bagi anak yang saya pilih—tentunya yang sesuai dengan kemampuan saya hehe. Rasanya gembira sekali saat bisa memberikan sesuatu kepada orang lain di hari yang istimewa itu :)

--**--

Apakah memberikan sesuatu itu harus menunggu timing yang istimewa? Hm, saya rasa tidak—walaupun saat itu saya memang memberikan hadiah pada seorang anak panti asuhan saat hari Natal. Kita bisa memberikan apa yang orang lain butuhkan kapanpun dia membutuhkannya, dan saat kita memang bisa memberikannya. Kalau memang tidak bisa memberikan apapun, ya jangan memaksakan diri—apalagi kalau untuk dianggap orang yang (sok) dermawan. Kalau pun Tuhan meminta kita untuk memberikan apa yang orang lain butuhkan, Dia pasti akan mencukupkan kebutuhan kita juga :)

Ingatkah kalian tentang janda di Sarfat, yang ditemui Elisa? Janda itu hanya mempunyai persediaan makanan terakhir bagi dirinya dan anaknya. “Setelah kami memakannya, kami akan mati”, kata janda itu saat Elisa memintanya membuat roti dari persediaan mereka itu. Tapi Elisa berkata, “Buatlah dulu roti itu untukku, lalu buatlah roti untukmu dan anakmu. Tuhan akan mencukupkan persediaan makananmu sampai hujan turun lagi” (kurang lebih begitu kata-katanya). Janda itu pun menurut, dan Tuhan pun menepati janji-Nya. The widow and her child wouldn’t be starving anymore.

Dari dua kegiatan yang telah saya ceritakan itu, saya belajar bahwa berbagi itu bukan soal materi maupun soal aku-ingin-dianggap-dermawan-dan-suka-berbagi. Tapi soal hati yang tulus dan rindu untuk berbagi dengan orang lain. Dengan hati yang seperti itu, kita pun akan dimampukan Roh Kudus untuk berbagi, walaupun keadaannya tidak memungkinkan :)

Lagipula, berbagi bukan hanya soal hadiah atau barang. Berbagi pun juga bisa dalam hal lain. Misalnya, kita mau mendengarkan orang lain yang sedang curhat ke kita tanpa mengalihkan perhatian kita dari mereka. Kita juga bisa berbagi lewat tenaga kita—contohnya dengan menjadi guru sekolah minggu.

Tuhan Yesus pun telah memberikan teladan-Nya bagi kita dalam hal berbagi. Pertanyaannya adalah... maukah kita juga melakukan hal yang sama seperti-Nya? :) haruskah berbagi dengan terpaksa? Hm, kurasa tidak :) bagaimana denganmu?

Tuesday, June 7, 2016

Latihan

by Glory Ekasari

Salah satu kegiatan yang tidak saya sukai adalah olahraga. Olahraga apa aja. Karena keringetan, capek, pegel-pegel. Intinya saya ga suka gerak. (Untungnya ga hobi kuliner juga, jadi berat badan ga terlalu tragis.)

Tapi akhir-akhir ini saya insyaf bahwa saya harus olahraga, gara-gara frustasi masuk angin terus-terusan. Saya sadar bahwa tidak ada jalan pintas untuk jadi sehat dan kuat selain… olahraga. Jadilah saya membiasakan diri (tepatnya memaksa diri) hidup sehat (makan diatur, minum air yang banyak) dan olahraga setiap hari. So far so good, tiap hari waktunya ditambah, dan sekarang saya sudah mulai menikmati olahraga tiap hari. Target saya adalah satu jam sehari untuk olahraga, dan sekarang saya cukup optimis bisa mencapai target itu.

Saya punya pengalaman yang mirip dalam hal yang lebih penting: kepedulian terhadap orang lain. Dulu, saya tidak peduli terhadap orang lain, cenderung apatis, dan pandangan saya terhadap hidup sangat sinis. “Your life, your problems”—kira-kira begitulah. Saya tidak mau direpotkan orang, saya juga tidak mau merepotkan orang. Bahkan sekedar mengucapkan selamat ulang tahun pun saya malas (dipikir-pikir, aneh, memang). Sampai suatu hari saya ditegur seorang teman ketika saya minta maaf karena saya merasa merepotkan dia, dan dia berkata, “Orang tuh seneng, tau, kalo bisa nolongin orang lain.”

Sebenarnya sebelum itu pun saya sudah sadar bahwa saya tidak melakukan firman Tuhan tentang menunjukkan kebaikan hati kepada orang lain. Saya sadar saya harus murah hati dan berkorban untuk menolong orang lain. Tapi saya selalu merasa itu bukan prioritas dan terus menunda itu, sampai mendapat teguran dari teman saya itu.

Dan saya memutuskan—okelah, sebenarnya ga dramatis banget sih, cuma saya berpikir, sudahlah jangan ditunda-tunda terus—untuk membiasakan diri peduli terhadap orang lain. Dan dimulailah latihan serius selama bertahun-tahun.

Agak aneh ya? Untuk peduli dan berbuat baik pada orang lain saja saya harus belajar. Yah, pembaca, saya juga maunya dari sananya udah baik hati, tapi mau gimana lagi.
Ketika kita mengikut Yesus, memberikan hidup kita bagi Dia, di situlah proses unlearning dimulai. Semua yang selama ini ditorehkan dalam karakter kita harus dihapus dan diganti dengan sifat-sifat Kristus. Dan itu butuh waktu.

Saya tidak berkata demikian sebagai alasan. Saya tidak bisa berkata pada Tuhan, “Tuhan, ga bisa dong saya langsung diminta jadi sempurna. Saya kan perlu waktu dan proses…” Kalau firman Tuhan bilang, “Hendaklah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna,” maka itulah firman Tuhan, saya harus melakukannya sekarang, dan saya tidak bisa membantahnya. Yang saya maksud adalah kualitas ketaatan saya kepada Tuhan meningkat seiring berjalannya waktu. Dulu, saya batal marah-marah kepada orang yang membuat saya jengkel karena saya diharuskan sabar oleh firman Tuhan. Sekarang, keinginan untuk melampiaskan kemarahan itu pun hampir tidak ada. Firman Tuhan tidak berubah; hati saya yang berubah.

Saya mulai dengan baby steps, cara yang sudah saya ketahui dan bisa dipraktekkan: mendengarkan cerita orang lain. Lalu saya belajar untuk mengumpulkan niat ngajak orang ikut kegiatan yang saya tahu akan bermanfaat bagi mereka; saya juga belajar membantu orang lain dengan tugas atau kegiatan mereka. Ketika ada teman yang punya gawe, saya datang (walaupun saya ini 200% anak rumahan yang ga suka jalan-jalan, beneran deh). Saya melakukan semua yang saya tahu untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa saya peduli terhadap mereka sebagai pribadi. Lebih dari seratus kali saya awalnya berpikir, “Males ah,” dengan berbagai alasan, tapi lalu saya memaksa badan bergerak dan bertindak karena saya tahu itulah yang harusnya saya lakukan. Saya sangat termotivasi dengan apa yang dikatakan rasul Paulus:
“Aku melatih tubuhku dan menguasainya sepenuhnya, supaya sesudah aku memberitakan Injil, jangan aku sendiri ditolak.”
Setiap kali ingat ayat itu, saya jadi greget. Saya mengasihi Tuhan, dan saya tidak ingin Dia dirugikan gara-gara sikap saya. Jadi berkali-kali saya memaksa tubuh saya bergerak, mulut saya tersenyum, telinga saya mendengarkan, supaya ketika saya memberitakan Injil, apa yang saya beritakan itu diterima karena sudah diberi pendahuluan dengan tindakan yang baik.

Beberapa tahun kemudian…

Saya masih 200% anak rumahan. Hehehehe. Tapii.. Mempedulikan orang lain dan melakukan hal yang baik bagi mereka bukan lagi beban buat saya. Saya mengasihi mereka. Saya merasakan belas kasihan bagi orang-orang yang perlu diperhatikan. Saya membantu mereka sejauh yang saya mampu karena mereka penting di mata Tuhan—dan karenanya, penting di mata saya. Itulah hasil latihan bertahun-tahun jalan dalam rute firman Tuhan.

Tentu saja saya harus latihan terus dan disiplin dalam latihan itu. Sebagaimana yang dikatakan firman Tuhan: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor. Biarlah rohmu menyala-nyala, dan layanilah Tuhan.” Saya suka versi bahasa Inggrisnya:
“Not lagging in dilligence,
fervent in spirit,
serving the Lord!”
Saya selalu percaya bahwa bila Tuhan bisa mengubah saya, Tuhan bisa mengubah siapapun. Saya sendiri dulu tidak pernah terpikir untuk berubah; saya merasa diri saya baik-baik saja dan sifat saya ya memang begini. Tapi sejak kenal Tuhan secara pribadi, saya sadar saya tidak bisa hidup seperti itu. Setiap kali saya melihat ke belakang, kepada hidup saya yang lama, saya takjub bagaimana orang dengan karakter seperti itu bisa diubah begitu rupa oleh Tuhan. Jadi, bagi semua pembaca yang ingin berubah, ingin menjadi seperti Yesus, ingin karakternya yang buruk dikikis, ingin mengasihi orang lain seperti Tuhan mengasihi mereka…
Dengan pertolongan Roh Kudus dan dengan latihan rutin… Bisa!

Friday, June 3, 2016

Maukah kamu peduli?

by Alphaomega Pulcherima Rambang

Waktu itu, gara-gara baca komentar seseorang di tulisanku, aku jadi teringat tentang materi bersaksi yang pernah kudapat. Komentarnya kayak ginni: aku jadi bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku meluangkan waktu buat temen2ku dengan mendengar keluh kesah dan pergumulan mereka? Kok rasanya udah gak pernah lagi.... Padahal banyak temen2ku yg belum kenal Tuhan Yesus, Doain ya Kak,biar aku punya keberanian untuk menyapa mereka... and to open up my heart to listen to their problems.

So, sekarang aku mau nanya: Mana yang lebih penting bagimu, bersaksi melalui perkataan atau melalui perbuatan? Apa alasanmu berkata demikian? Silakan dijawab ya dalam hati..

Dulu waktu ditanya gitu aku bakal jawab, “Perbuatan dong. Bukankah iman tanpa perbuatan itu mati?” *pake bawa ayat segala nih jawabnya, hehehehehe”

Sebenarnya, keduanya SAMA PENTING. Gak ada yang lebih penting.
Jadi ceritanya, aku baru tau kebenaran ini pas dapat pengajaran bersaksi tentang Kristus memiliki 2 sisi mata uang yang gak terpisahkan, sisi yang satu adalah melalui perkataan dan yang kedua lewat perbuatan. Keduanya harus ada, sama seperti uang yang tidak berlaku kalau salah satu sisinya kosong.

Kenapa keduanya harus ada?
Jika kita bersaksi lewat perkataan saja minus perbuatan-artinya kita ngomomgin tentang Yesus Sang Juruselamat, tapi hidup kita masih acak kadul, masih terus tinggal tetap dalam dosa. Bagaimana orang lain akan tertarik pada Yesus yang kita saksikan itu? Orang tidak akan tertarik. Dari awal dah jauh-jauh deh mereka dari kita. Wong hidup pengikut Yesus yang satu ini gak lebih baik atau gak beda sama yang lain. Itu yang mereka pikirkan. Sebelum perkataan kita membawa orang lain pada Kristus, perbuatan kita akan membuat mereka berlari menjauhi kita.

Trus, kalo kita cuma melakukan perbuatan yang baik saja minus ngomong tentang Yesus yang sudah mengubah hidup kita maka yang terjadi adalah perbuatan baik tinggallah perbuatan baik. Banyak orang bisa kok berbuat baik, dengan usaha sekuat tenaga dan disiplin yang luar biasa pasti-dengan kemampuan dan usaha semata. Tetapi kita berbeda, yang membedakan adalah Yesus lah yang memampukan kita. Kita yang berdosa ini telah diselamatkan Yesus oleh kasih karunia-Nya, dan apa yang kita lakukan sebagai ucapan syukur kita pada-Nya. Tapi sekali lagi, jika kita hanya melakukan yang baik, tanpa bercerita tentang Yesus, kita sama dengan dunia ini. Perbuatan baik tinggal lah perbuatan baik.

Next question for you.....
Mana yang lebih sulit, bersaksi lewat perbuatan atau kata-kata?
Bagiku sih lewat kata-kata, entah ya gimana bagi kalian yang membaca ini ^^ Buatku berbicara langsung tentang Kristus tu sulit, apalagi berkata-kata pada MEREKA YANG BELUM MENGENAL KRISTUS dan tidak tertarik padaNya. Untuk perbuatan tidak terlalu sulit bagiku karena aku juga memang berjuang menyenangkan Kristus lewat perbuatanku sehari-hari, jadi itu “tidak dengan sengaja” aku lakukan untuk bersaksi ^^ Aku hanya ingin menyenangkan Dia lewat perbuatanku.

Tapi perkara “tidak dengan sengaja” bercerita tentang Kristus adalah hal yang memerlukan usaha lebih keras bagiku, perlu banyak doa, keberanian dan hikmat dari Allah. Hikmat untuk tahu kapan dan apa yang harus diucapkan, bagaimana mulai bercerita tentang Dia. Aneh dan canggung kan kalo tau-tau tanpa babibu langsung tembak ngomong tentang Kristus? ^^ Aku juga perlu keberanian untuk menyampaikan apa yang Tuhan ingin aku sampaikan. Dan doa pastinya, supaya sungguh Allah yang bekerja di dalamku dan melalui ucapan-ucapanku.

Ketakutan terbesarku adalah saat aku ‘salah’ berkata-entah dalam hal timing, isi perkataan, dsb-nya adalah...... kalau-kalau orang tidak peduli apa yang aku katakan. Dan kemudian berespons negatif, lalu menjauh dariku. Emang sih, kayak dibilang, kita bisa menanam dan menyiram, tapi pertumbuhan dari Tuhan. Kita bisa berkata dan bersaksi tentang Kristus, tapi respons orang tersebut bukanlah tanggung jawab kita, dia menerima atau tidak adalah pekerjaan Kristus. Aku tahu itu, tapi jujur, tetap saja aku rindu mereka PEDULI pada kesaksianku, at least mendengarkan sampe abis dan gak sebodo teuing lahhhh...^^

Hal ini juga yang membuat BERSAKSI MELALUI PERKATAAN itu penting:
Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?. Roma 10:13-14

See? Betapa pentingnya orang lain MENDENGAR tentang Kristus, dan bagaimana mereka bisa mendengar tentang Dia kalau kita tidak pernah MEBERITAKANNYA?

Ok, then apa hubungannya dengan komen temenku?
JADIIIII..........baca komennya temenku bikin aku kembali diingatkan bener kalo PEDULI SAMA ORANG LAIN adalah cara supaya kita bisa bersaksi tentang Kristus lewat kata-kata kita.
Kenapa?
Karena sesungguhnya.....
ORANG TIDAK AKAN PEDULI PADA APA YANG KAMU KATAKAN, SAMPAI MEREKA TAHU KALAU KAMU PEDULI (PADA MEREKA).

Aku mendengar kebenaran itu pertama kali dari kakak rohani, dan kemudian membacanya lagi di bukunya John Maxwell. Dan kupikir itu benar, kudapati orang-orang yang perkataannya kupedulikan adalah perkataan mereka yang telah menunjukkan kepeduliannya kepadaku. Mereka yang aku tahu mengasihiku dan peduli padaku. Sungguh aku menghormati dan peduli pada apa yang mereka katakan. Bahkan saat aku sebenarnya gak ingin mendengarkan, aku akan berusaha mendengarkan. Mereka yang kita dengarkan biasanya adalah mereka yang dekat dengan kita.

So, salah satu langkah jika kita ingin kesaksian kita tentang Kristus melalui perkataan didengarkan orang lain adalah dengan menunjukkan kepedulian pada mereka dan terlibat dalam hidup mereka. Untuk hal ini, sungguh aku perlu minta hati yang mengasihi dan peduli pada orang lain kepada Kristus, dan perlu berlatih juga menunjukkan kepedulian pada orang lain.

Seringkali PEDULI ini bukanlah hal yang mudah. Membutuhkan pengorbanan. Spending waktu (pastinya), duit (kadang), dan perasaan (seringnya). Tapi percayalah, ntar buahnya bakal manis dan berlimpah-limpah kok ^^ Terkadang kita susah ‘terhubung’ sama orang lain ya karena itu tadi, kita gak mau berkorban. Tapi kalau mau kesaksian kita dalam kehidupan seharian kita efektif, itulah caranya.

Jadi, maukah kamu MENUNJUKKAN KEPEDULIAN kepada orang lain?