Monday, April 29, 2019

Hulda, The Real Influencer


by Glory Ekasari 

Zaman sekarang, banyak profesi yang sepuluh tahun lalu belum ada: content creator, influencer, celebgram, youtuber, dll. Semuanya adalah orang-orang yang pekerjaannya mempengaruhi orang lain lewat media sosial untuk membeli produk tertentu. Kita cukup bayar mereka untuk post foto dengan produk kita (a.k.a. endorsement), dan followers mereka akan melihat. Semakin banyak followers, semakin banyak yang melihat iklan kita, semakin mahal pula tarifnya. Cristiano Ronaldo saat ini adalah selebritis dengan jumlah followers terbanyak di dunia. Berapa? 160 jutaan pengikut! Kebayang dong, betapa mahal tarif endorse dia. 

Lho, kok jadi ngomongin influencer? Ya, karena dalam post ini kita akan belajar tentang seorang wanita yang jadi influencer dalam Alkitab. Dia mungkin tidak seterkenal Debora, Maria, atau bahkan Delila; tapi dia memainkan peran yang penting dalam sejarah Israel, dan namanya dicatat dalam sejarah orang Yahudi sebagai satu dari tujuh nabi wanita yang dipakai Tuhan pada masa Perjanjian Lama (enam yang lain adalah Sara, Miryam, Debora, Hana, Abigail, dan Ester). Dialah Hulda. 

Hulda adalah isteri Salum bin Tikwa. Dia hidup pada masa pemerintahan raja Yosia, satu zaman dengan Yeremia dan Zefanya. Menurut tradisi sejarah Israel, Yeremia bernubuat di jalan-jalan Yerusalem, Zefanya bernubuat di rumah ibadah, dan Hulda mengajar para wanita untuk mengenal firman Tuhan—sementara suaminya bekerja sebagai pejabat istana. 

Baik Hulda maupun Salum, suaminya, memiliki pengaruh dalam hidup raja Yosia. Yosia naik takhta menggantikan ayahnya, Amon, pada usia 8 tahun. Memikul tanggung jawab yang besar pada usia semuda itu, tentu Yosia perlu orang-orang dewasa yang membimbing dia. Yosia mendapat bimbingan yang baik dari Imam Besar Hilkia (yang adalah kakek buyut dari Ezra) dan Safan, panitera negara. Ketika Yosia berusia 26 tahun, dia memerintahkan Safan untuk bekerjasama dengan Imam Hilkia untuk perbaikan Bait Suci. Saat itu, mereka menemukan kitab Taurat, dan Yosia meminta kitab itu dibacakan baginya. Begitu mendengar isinya, Yosia langsung sadar bahwa Israel dan Yehuda telah jauh melenceng dari hukum-hukum Allah! Dalam kesedihan dan rasa takutnya akan hukuman Allah, Yosia menyuruh orang-orangnya pergi mencari kehendak Tuhan dari salah satu nabi-Nya. Ke mana orang-orang itu pergi? Ya, kepada Hulda. 

Nubuat Hulda tercatat dalam 2 Raja-raja 22:15-20. Tuhan menyatakan bahwa Dia marah pada umat-Nya karena ratusan tahun mereka hidup menyimpang dari firman-Nya, tetapi Ia berkenan akan raja Yosia yang mencari wajah Tuhan dengan segenap hati. Yosia menanggapi firman itu dengan sungguh-sungguh: dia melakukan reformasi rohani besar-besaran, merobohkan dan menajiskan semua mezbah berhala, menyucikan Bait Allah, memerintahkan agar Taurat dibacakan kepada semua rakyat, bahkan merayakan Paskah secara nasional—sesuatu yang tidak pernah dilakukan raja-raja Israel dan Yehuda. Hulda, dengan nubuatnya, menjadi alat Tuhan untuk menggerakkan raja Yosia. 

Mempengaruhi orang lain untuk berbalik kepada Tuhan dan jadi agen perubahan? Itu baru influencer sejati! Yang didapat bukan uang, bukan ketenaran, tapi penghargaan dari Tuhan, dan kebanggaan sejati melihat Tuhan bekerja melalui hidup kita. Hulda adalah seorang wanita biasa, namun ia menyediakan dirinya untuk dipakai Tuhan, dan tidak ragu melakukan apa yang menjadi bagiannya sebagai seorang nabiah. Dengan kesediaannya untuk melayani Tuhan, dia menjadi orang yang mempengaruhi raja untuk membawa bangsanya kembali kepada Tuhan. 

Saat saya kuliah, saya pernah mendengar sebuah definisi dari kata power, yang melekat di pikiran kita sampai sekarang: Power is the ability to influence people. Dan tahukah kalian bahwa wanita, sekalipun tidak ditetapkan Tuhan menjadi pemimpin dalam keluarga, adalah influencer yang luar biasa? Orang dunia saja tahu pepatah, “Behind every successful man, there is a great woman.” Bahkan istri yang cakap dalam Amsal 31 jugalah isteri dan ibu yang sangat besar pengaruhnya bagi keluarganya. Saya berani bilang bahwa kite-kite yang sudah dewasa pasti melihat ibu masing-masing sebagai figur teladan dan berpengaruh. Apa yang dilakukannya? By simply being who she is and does what she does. Sehebat itulah pengaruh wanita, apalagi wanita yang takut akan Tuhan, yang hidupnya dipimpin oleh Roh Kudus! 

Sadarilah bahwa kita, para wanita, sejatinya adalah influencer. Walaupun followers IG kita nol, walaupun nggak main FB, kita tetap berpengaruh bagi orang-orang di sekitar kita: orangtua, kakak/adik, suami, anak, rekan kerja, tetangga, dll. Pertanyaannya, kita mau memberi pengaruh seperti apa? Kalau kita rindu orang-orang di sekitar kita mengalami reformasi rohani dalam hidup mereka, berikan diri kita kepada Tuhan untuk dipimpin Roh-Nya. Kita akan terkejut melihat apa yang bisa Tuhan kerjakan untuk orang lain lewat hidup kita!

Monday, April 15, 2019

Hawa: Wanita yang Disalahkan


by Mekar Andaryani Pradipta

“Gara-gara Hawa, seluruh umat manusia jadi menderita.”

“Satu wanita membuat semua orang hidup dalam hukuman.”

“Andai Tuhan tidak menciptakan Hawa, bisa saja dunia ini berbeda”

Apakah kamu pernah mendengar kalimat-kalimat seperti itu tentang Hawa? Mungkin tidak persis, tapi bisa saja senada. Intinya, Hawa adalah pembuat masalah. Hawa membuka pintu terhadap dosa. Hawa adalah biang kerok dari kejatuhan umat manusia.

Bahkan sampai ribuan tahun setelahnya, kebanyakan orang masih mengingat dosa Hawa dan menyalahkan Hawa atas segala kemalangan di dunia.

Pertanyaannya, apakah Tuhan menyalahkan Hawa?


***


Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.
(Roma 5:12)

Ya, ayat ini memang menjelaskan bahwa dosa masuk ke dunia karena satu orang. Tapi kalau kita membaca perikop lengkapnya, orang yang dimaksud dalam Firman ini bukanlah Hawa—melainkan Adam. 

Seluruh dunia bisa saja menyalahkan Hawa, tapi Tuhan tidak. Hawa memang berdosa, tapi Tuhan tidak memberikan label “penyebab dosa” pada Hawa.

Wow.

Kalau kita melihat lagi kejadian sesaat setelah kejatuhan manusia di Taman Eden, orang pertama yang diminta Tuhan menjelaskan apa yang terjadi memang bukan Hawa:

Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau? Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."
(Kejadian 3:8-10)

Terjemahan Indonesia memang memakai kata “manusia” yang bisa merujuk pada Adam maupun Hawa. Tapi terjemahan Bahasa Inggris menggunakan kata “man” atau “laki-laki” yang jelas-jelas mengacu kepada Adam.

Kenapa Allah meminta penjelasan atau pertanggungjawaban dari Adam? Alasan terkuatnya adalah karena Allah telah menyatakan Adam dan Hawa sebagai satu daging (Kejadian 2:24), dengan Adam sebagai kepalanya.

Lalu, apa yang Adam katakan?

“Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."
(Kejadian 3:12)

Apakah itu benar? Hmm, benar sih… tapi kurang tepat. Mari kita kembali tepat ketika dosa pertama terjadi.

Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah tahu tentang yang baik dan yang jahat. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.
(Kejadian 3:1-6)

Alkitab menuliskan Adam ada bersama Hawa ketika Hawa digoda oleh si ular, tapi Adam tidak melakukan apa-apa—sepatah kata pun tidak diucapkannya. Adam justru membiarkan istrinya memberikan respon yang salah. Ya, Adam tahu bahwa istrinya dicobai oleh ular, namun jawabannya kepada Tuhan di Kejadian 3:12 hanya menyebutkan bahwa dia jatuh dalam dosa karena istrinya. Jangankan membela dan melindungi istrinya, Adam bahkan sama sekali tidak menyebutkan fakta bahwa semua yang terjadi itu disebabkankan karena pencobaan dari si jahat. Adam adalah orang pertama yang menyalahkan Hawa, istrinya sendiri.

Bagaimana rasanya menjadi Hawa?

Hawa memang melakukan kesalahan. Mungkin saat itu dia merasa bingung, sedih, dan takut. Sangat normal jika Hawa mengharapkan Adam, yang adalah bagian yang utuh dari dirinya, menghadapi tragedi itu bersama-sama. Tapi, suaminya itu justru meletakkan semua kesalahan di pundaknya. Bukannya mengakui kesalahannya, Adam lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai kepala yang gagal melindungi Hawa—yang (katanya) adalah tulang rusuknya.


***


Dari kehidupan Hawa ini, Alkitab justru menegaskan tentang pribadi Allah: 
1) Dia adalah Allah yang setia dan adil 
Pada saat manusia melakukan dosa, Allah tidak fokus pada hukuman; tapi Dia lebih peduli pada hubungan. Ia adalah Tuhan yang punya hati untuk memahami keadaan dan posisi kita. Bagaimanapun Ia adalah seorang Bapa yang baik, yang mau mendengarkan dan mengerti. Allah bukan Tuhan yang menyalahkan kita lalu asal memberikan hukuman; melainkan Dia memberikannya dengan adil. Baik Adam dan Hawa sama-sama melakukan dosa, namun Adam dituntut pertanggungjawaban karena sebagai suami ia adalah kepala. Adam juga dimintai pertanggungjawaban, karena sejak awal ia ada bersama dengan Hawa—sesungguhnya dia bisa mencegah Hawa meladeni Iblis sampai melanggar perintah Allah.

Mungkin saat ini, ada di antara kita yang sedang menghadapi masalah karena kesalahan yang kita lakukan. Mungkin kita jadi satu-satunya pihak yang dituntut pertanggungjawaban, padahal sebenarnya kita bukanlah satu-satunya penyebab masalah itu terjadi. Listen, God knows what happened. Dunia bisa saja mengacungkan jari ke muka kita, semua orang pergi dan membiarkan kita berjuang sendiri, tapi Tuhan tidak. He knows, He cares, He understands.

Tidak hanya adil, Allah juga setia. Jika kita lanjut membaca Kejadian 3, bahkan setelah menghukum Adam dan Hawa lalu mengusir mereka dari Taman Eden, pemeliharaan-Nya tidak berakhir.

Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.
(Kejadian 3:21)

Rasanya bagian ini sangat mengharukan. Tuhan bukan bapa yang mengatakan, “Kalian pendosa, kalian bukan anak-anak-Ku lagi!” Dengan membuatkan pakaian dan memakaikannya langsung, Allah seperti mengatakan, “Kalian memang berdosa, tapi kalian tetap anak-anak-Ku dan Aku tetap mengasihi kalian. Sekarang kalian harus menerima konsekuensi dosa, berjuanglah dan jangan melakukan dosa lagi. Aku masih menyertai kalian.” Dari situ, kita bisa belajar bahwa Tuhan yang adil jugalah Bapa yang tetap mengasihi kita.

Ia adalah Tuhan yang setia, apapun dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

2) Alih-alih menyalahkan, Allah memberikan jalan keluar
Ketika manusia jatuh dalam dosa, rencana Tuhan seolah-olah hancur, Iblis merasa menang karena maut telah menguasai seluruh dunia. Tapi Tuhan punya jalan keluar. 

Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.
(Roma 5:12-15)

Saat kita melakukan kesalahan, kadang-kadang kita menganggap hidup kita berakhir dan masa depan kita hancur. Tapi Tuhan sanggup membalikkan keadaan. Dalam kasus Adam dan Hawa, Yesus Kristus adalah jalan keluar. Kabar gembiranya, Yesus menjadi jalan keluar yang juga Allah sediakan untuk setiap pergumulan dan dosa kita saat ini. Ia adalah kunci menuju kasih karunia dan anugerah Allah yang membenarkan hidup kita.


***


Sebagai bahan refleksi, bagaimana perasaanmu jika menjadi Hawa, yang suaminya menyalahkan dia, dan tidak mau menanggung beban bersama, bahkan ketika Tuhan sudah menyatakan bahwa mereka adalah satu daging? 

Alkitab tidak mencatat Hawa balas menyalahkan suaminya. Alkitab tidak mencatat Hawa sebagai wanita yang kecewa pada suaminya lalu meninggalkan dia. Alkitab mencatat Hawa yang tetap bersama Adam dan menjalankan perannya sebagai penolong bagi Adam.

Kesalahan Hawa tidak menghentikannya untuk memberikan tanggapan yang benar di kemudian hari. Hawa berusaha memahami apa artinya menjadi satu daging, meskipun suaminya pernah mengecewakannya. Bersama Adam, ia berjuang dari tragedi yang menimpa keluarga kecilnya. Pada akhirnya, Hawa tahu bahwa hidupnya dipulihkan semata-mata karena pertolongan Tuhan—sehingga ketika anak pertamanya lahir, Hawa bisa berkata, “"Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." (Kejadian 4:1)

Dengan pengampunan dan karunia Tuhan, kesalahan Hawa justru membuatnya sungguh-sungguh mengalami dan mengenal-Nya.


***


Dosa apa yang saat ini sedang menjadi bebanmu? Apakah kamu merasa sudah tidak ada harapan untukmu? Apakah kamu merasa tidak ada seorangpun yang membelamu?

Mungkin…

kamu hamil di luar nikah. Kamu melakukannya dengan pacarmu, tapi orang-orang menyalahkanmu. Mereka tidak tahu pacarmu yang merayumu. Mereka tidak tahu kamu melakukan itu karena kamu mencari kasih. Mereka tidak tahu keluargamu tidak memberikan kasih yang kamu butuhkan, sehingga kamu mencarinya di tempat lain. Orang-orang tidak tahu, tapi mereka menyalahkanmu.

… atau mungkin,

kamu pernah mencoba bunuh diri. Orang-orang menghakimimu. Mereka mengatakan kamu berdosa karena menyia-nyiakan hidup dari Tuhan. Mereka mengatakan kamu nyaris masuk neraka. Mereka tidak tahu kamu melakukannya karena tekanan keluarga dan pergaulan. Mereka tidak tahu kamu sudah bertahun-tahun ada di bawah pengawasan ahli jiwa. Kamu sudah berjuang tapi kamu tetap saja disalahkan.

Bisa jadi saat ini,

kamu merasa dosamu di masa lalu terlalu besar, sehingga bahkan ketika bertahun-tahun sudah berlalu, orang-orang di sekelilingmu belum melupakannya. Kamu berjalan dengan kepala menunduk karena penghakiman. Kamu sudah mempertanggungjawabkan dosamu, tapi label “pendosa” masih saja ditempelkan kepadamu.

Bagaimanapun keadaanmu, kamu punya kabar baik.

Seperti Tuhan yang tidak menyalahkan Hawa, Dia juga tidak menyalahkanmu. Tentu ada konsekuensi yang diberikan-Nya atas dosamu, tapi Dia juga akan membalut lukamu dan memulihkan hidupmu. Saat tidak ada seorangpun yang membelamu, bahkan orang-orang terdekatmu, Yesus yang menjadi Pembelamu.

Seperti Allah yang tidak meninggalkan Hawa bahkan setelah ia berdosa, Allah juga tidak meninggalkanmu. Dia memberikan janji masa depan yang penuh harapan. Maukah kamu menjadi seperti Hawa yang bangkit kembali dengan pertolongan Tuhan?

Monday, April 8, 2019

Febe: Bulan yang Memancarkan Kasih


by Tabita Davinia Utomo

Semakin mempelajari Alkitab, saya menemukan semakin banyak perempuan yang berperan besar dalam penyebaran Injil mula-mula. Salah satu di antaranya adalah Febe. Dalam suratnya, Paulus menceritakan tentang perempuan ini pada jemaat di Roma:

Aku meminta perhatianmu terhadap Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea, supaya kamu menyambut dia dalam Tuhan, sebagaimana seharusnya bagi orang-orang kudus, dan berikanlah kepadanya bantuan bila diperlukannya. Sebab ia sendiri telah memberikan bantuan kepada banyak orang, juga kepadaku sendiri.
(Roma 16:1-2 TB)

Nama “Febe” berarti ”pure” atau “radiant as moon”. Hm, kehadiran Febe seperti bulan yang memancarkan sinarnya dengan kemurnian hati… Wah, such a beautiful name, ya!

Walaupun hanya dicatat dalam dua ayat, namun Paulus menganggap Febe sebagai rekan kerja yang luar biasa. Hm, memangnya apa yang dilakukan Febe ya, sampai-sampai Paulus mendorong jemaat untuk menerimanya? Ini dia: 
1) Sebagai DIAKEN
Zaman dulu, tidak banyak perempuan yang dapat memiliki jabatan dalam jemaat mula-mula. Namun Febe dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai Diaken di Kengkrea dengan baik. Ini terbukti ketika dia “dikirim” dari Kengkrea untuk menyampaikan surat dari Paulus pada jemaat di Roma. Paulus memahami bahwa bisa jadi Febe merasa takut kalau ada penolakan dari jemaat, apalagi dari mereka yang masih menganggap perempuan sebagai “kaum kelas dua”, walaupun dia adalah seorang Diaken jemaat. Karena itu, Paulus mendorong jemaat agar bersedia menerima Febe dengan tangan terbuka—apalagi karena Febe telah menolong banyak orang, termasuk pada rasul terbesar itu.

2) Sebagai SAUDARI SEIMAN
Tanpa disadari, kadang-kadang kita mengabaikan pentingnya dukungan bagi para hamba Tuhan. Padahal, mereka juga sama-sama rapuh seperti kita (ya jelas. Semua orang kan, berdosa). Itu sebabnya Paulus menyatakan testimony-nya tentang Febe, saudarinya dalam Kristus. Secara tidak langsung, surat tersebut juga menunjukkan bahwa Paulus mendukung Febe dalam memberitakan Injil. 

3) Sebagai SUPPORT SYSTEM 
Salah satu ciri-ciri support system yang baik adalah memiliki tingkat prososial yang tinggi. Hal ini terbukti ada dalam diri Febe. Paulus menyatakan bahwa Febe bukanlah orang yang egois. Dia bahkan memberikan banyak bantuan bagi orang lain, termasuk dirinya. Bayangkan kalau ada pelayan Tuhan yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tidak mau tahu tentang pergumulan yang dialami jemaat. Kehidupannya tidak akan memberikan kesaksian nyata atas kehadiran Tuhan dalam hidupnya.

***

Nah, setelah mengenal tentang Febe lebih dekat lagi, mari kita berefleksi tentang kehidupan kita saat ini: 
  • Sebagai anak-anak Tuhan, apakah kita sudah mengerjakan tanggung jawab yang Tuhan berikan dengan baik? Tanggung jawab disini maksudnya dalam hal apapun. Tidak hanya dibatasi oleh keanggotaan jemaat maupun latar belakang pekerjaan. 
  • Apakah kita sudah menjadi saudari seiman yang saling mendukung dalam komunitas maupun secara pribadi? 
  • Apakah kita sudah menjadi berkat melalui kehidupan dalam pertobatan? 
Saya harus mengakui bahwa saya belum dapat menjawab “ya” pada tiga pertanyaan di atas. Masih ada jatuh-bangunnya. Tapi, uhmm… bukankah itu yang namanya dinamika iman? Saya yakin bahwa Febe pun mengalami naik-turunnya perjalanan iman. Tapi tidak berhenti di situ, Febe pasti dikuatkan melalui dukungan saudara-saudari seimannya, sehingga dia dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin jemaat dengan baik. Yaa, karena Roh Kudus dapat menguatkan kita melalui siapapun dengan cara-Nya, kan? Pertanyaannya, apakah kita mau dan bersedia taat untuk mendukung orang-orang yang membutuhkan dengan apa yang bisa kita lakukan? Atau jangan-jangan, kita lebih memilih bersikap “sebodo amat” dengan pergumulan yang dihadapi oleh suami, anak, teman, kolega, atau siapapun yang kita jumpai dalam kehidupan masing-masing?

Saya memilih untuk meneladani Febe, yang bersedia memberikan hidupnya untuk menyinari orang-orang di sekitarnya dengan kasih Tuhan. Apapun risiko yang harus dijalani, saya mau taat. Bagaimana dengan Anda?

Monday, April 1, 2019

Lidia: Pebisnis Wanita yang Menyerahkan Hidupnya bagi Kristus


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Kali ini kita akan mengenal lebih dekat seorang businesswoman yang terkenal di zamannya. Dialah Lidia, seorang penjual kain ungu dari Tiatira. Tidak dicantumkan di Alkitab apakah dia menikah atau tidak. Kita tidak tahu seberapa besar kota Tiatira namun nama Lidia sangat terkenal—hingga keterangan itu yang disematkan oleh penulis Kisah Para Rasul (selengkapnya bisa dibaca di Kisah Para Rasul 16:1-40).

Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. Sesudah ia dibaptis bersama-sama dengan seisi rumahnya, ia mengajak kami, katanya: "Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku." Ia mendesak sampai kami menerimanya. (Kisah Para Rasul 16:14-15)

Walaupun namanya hanya disebutkan beberapa kali di dalam Alkitab, namun ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Lidia:

1) LIDIA MENDENGARKAN DAN MEMPERHATIKAN PENGAJARAN PAULUS 
Hayoo… Siapa pembaca di sini yang (ngakunya) saking sibuk sampai nggak sempat mendengarkan dan memperhatikan Firman Tuhan?
Boro-boro buat merenungkan firman Tuhan Meg, baca Alkitab aja bisa gak sempat. Gimana sempat, bangun pagi dah harus siap-siap buat ngantor, sibuk urusan kantor, macet di jalan, pulang dah tepar, mana sempat lagi baca Alkitab booo!? Belum lagi kalau dah bersuami dan beranak, mana sempat lagi baca Alkitab, hidup sudah diabdikan penuh buat melayani keluarga, Meg!! 
Jangankan baca Alkitab tiap hari, bisa ke Gereja seminggu sekali buat dengar firman Tuhan aja dah sujud syukur, lhoo… Rempong banget ngurus bayi dan suami. Apalagi noh, kalau berkeluarga tapi juga kerja kantoran. Mana mungkin ada waktu buat baca Alkitab, Meg! 
Lidia? Eike sama dia kagak sama, oi! Lidia mah perempuan zaman dulu yang gak ada kerjaan kaliii... Beda dong sama eike, eike kan wanita karirrrr….
Ehmm… Maaf, kalau boleh aku mengingatkan, Lidia seorang penjual kain ungu looo… Dia nggak nganggur, wong dia seorang pedagang. Tapi waktu ditemui Paulus, Lidia sedang berada di tempat ibadah Yahudi. Lidia bukan bergosip di sana, bukan nongkrong nggak jelas. Lidia sedang beribadah. Lidia memberikan waktunya untuk mendengarkan firman Tuhan yang disampaikan Paulus bersama perempuan-perempuan lain. Jadi, kalau Lidia yang pedagang aja punya waktu untuk firman Tuhan bersama teman-temannya mosok kita gak punya waktu? 

Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.
(2 Timotius 3:15-1)

Kita pasti punya waktu untuk melakukan sesuatu yang kita anggap penting. Tiap hari masih makan, kan? Iya lah ya... Kalau nggak makan, kita bisa meninggal. Nah, sama seperti makanan untuk tubuh jasmani kita, kerohanian kita pun bisa mati kalau kita nggak baca dan menghidupi firman Tuhan!

“Trus gimana caranya aku bisa bertumbuh dan komitmen buat baca firman Tuhan, Meg?”

Seenggaknya ada dua hal yang bisa kita lakukan:

A) Berkomitmen untuk selalu mendengarkan dan merenungkan firman Tuhan

Tetapkan waktu terbaik (entah pagi, malam, dll) untuk membaca Alkitab setiap hari—dan mulailah hari ini (jadi jangan ditunda-tunda, ya)! Berdoalah dan minta Tuhan bicara melalui firman-Nya. Perhatikan dan renungkan dengan saksama apa yang dibaca. Kalau kata Ci Lia Stoltzfus, baca maupun mendengarkan firman Tuhan itu seperti bercermin. Kita harus merefleksikan diri kita dengan firman yang dibaca. Kalau ada bagian hidup kita yang dikoreksi oleh firman Tuhan, maka di situlah kita harus berubah. 

B) Membutuhkan komunitas yang concern terhadap hal firman Allah

Alangkah baiknya jika ada partner yang sama-sama berjuang untuk merenungkan firman Tuhan bersama. Kenapa? Karena ada semangat yang beda waktu kita tahu ada partner yang juga mengejar pertumbuhan rohani. Selain itu, kita dapat saling mendukung, mengingatkan, dan menegur saat ada yang melanggar komitmennya.

2) LIDIA BERIBADAH KEPADA ALLAH
Bagaimana penulis Kisah Para Rasul tahu Lidia beribadah kepada Allah? Hm, mungkin karena dia melihat aktivitas Lidia di tempat ibadah Yahudi bersama teman-teman perempuannya. Bisa jadi karena dia melihat bagaimana Lidia menjalankan bisnisnya (melalui kejujuran, keramahan, “neraca yang adil” (Amsal 11:1), dan mendasarkannya pada hukum-hukum Allah). Mungkin juga karena sang penulis melihat ketaatan Lidia pada Perintah Allah. Kita tidak tahu persis, tapi yang jelas dia tahu Lidia beribadah kepada Allah.

Bagaimana dengan kita? Bagaimana orang tahu kalau kita beribadah kepada Allah?

A) Saat kita mengasihi 

Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku , yaitu jikalau kamu saling mengasihi.
(Yohanes 13:35)

Apakah kasih Kristus nyata dalam diri kita? Apakah kita membuat orang lain merasa dikasihi? Setiap tindakan yang kita lakukan karena mengasihi dan untuk mengasihi orang lain sebagaimana Kristus telah mengasihi. 

B) Saat hidup kita berbuah 

Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal. 
(Matius 12:33)

Buah seperti apa yang kita hasilkan? Setidaknya ada tiga jenis buah yang kita hasilkan; yaitu buah karakter (Galatia 5:22-23), buah jiwa (orang-orang yang hidupnya mengenal Kristus melalui pelayanan kita) dan buah pelayanan (pelayanan yang kita lakukan di dalam tubuh Kristus sesuai karunia dan talenta yang Allah berikan). 

3) LIDIA BERMURAH HATI MEMBERIKAN TUMPANGAN
Dari Kisah Para Rasul 16:1-40, kita bisa melihat bagaimana Lidia “memaksa” Paulus dkk untuk menumpang di rumahnya. Setelah menyerahkan hidupnya pada Kristus, Lidia bermurah hati melayani Paulus dkk. Wah… Padahal, memberikan tumpangan bagi orang lain bukanlah perkara yang mudah, lho. Siapa pun yang pernah menerima orang lain menginap di rumahnya tahu betapa merepotkannya hal ini. Kita dituntut melayani orang yang menumpang di rumah kita, menyiapkan makanannya, menyiapkan kamar, dan menyiapkan berbagai hal yang diperlukannya sehari-hari! Duh, pasti riweh banget kan?

Walaupun tawaran Lidia (sebenarnya) merepotkan dirinya sendiri, tapi dia menawarkan apa yang ada padanya dengan sukarela. Tawaran ini sebenarnya menunjukkan kepekaan Lidia terhadap kebutuhan saudara seimannya. Paulus dkk. adalah pendatang di kota tersebut, dan pastinya tawaran Lidia sebenarnya merupakan jawaban dari kebutuhan mereka. Bahkan tercatat kalau Lidia “memaksa”, tawarannya bukan basa-basi—tapi benar-benar merupakan bukti dari ketulusan hatinya. 


--**--


Omong-omong soal hospitality, aku pernah menulis di Majalah Pearl edisi 25 tentang beberapa cara untuk membuka rumah dan hati kita bagi orang lain sebagai gaya hidup; yaitu:
1) Mengambil inisiatif 
Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
(Roma 12:10)

Berinisiatif berarti membuka pintu bahkan sebelum orang lain mengetuk, memberikan undangan terucapkan maupun tidak terucapkan bagi orang lain untuk masuk ke dalam rumah dan hati kita—tanpa kita tahu apakah undangan tersebut akan bersambut atau tidak. Undangan tersebut dapat berupa senyuman dan anggukan, menolong orang lain tanpa diminta, dan berbagai hal kecil yang menunjukkan kita bersedia menawarkan keramahan. Bahkan pembicaraan sederhana dengan seseorang dapat menunjukkan kepedulian kita. Menawarkan makanan yang kita miliki untuk seseorang yang tidak kita kenal pun dapat menjadi cara untuk membuka perbincangan, hal yang mungkin tidak pernah kita sadari sebelumnya.

Saat kita memiliki inisiatif memulai percakapan dengan orang lain, kita sedang mengetuk hatinya dan kita dapat mulai bertamu menawarkan kasih dan keramahan Kristus kepadanya. Mulailah tersenyum lebih dahulu kepada orang lain. Mulailah menanyakan kabar seseorang bukan sekedar basa-basi, tapi dengan kesungguhan. Mulailah tertarik pada kehidupan seseorang dan menaruh perhatian. Mulailah berinisiatif!

2) Memiliki hati yang tulus 
Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik ataupun dengan orang yang melakukan kejahatan, yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan.
(Mazmur 28:3)

Ladies, sadar atau tidak, kita bisa bermurah hati dalam kepalsuan, lho. Kita bisa mengucapkan perkataan yang ramah tanpa ketulusan. Yang lebih gawat, kita juga selalu bisa berpura-pura mengundang orang lain memasuki hidup kita melalui perkataan, namun jika kita tidak dengan tulus melakukannya… Waduh, hati-hati! Orang lain bisa merasakan ketidaktulusan kita! Bagaimana kita bisa menawarkan kasih Kristus bagi orang lain, jika mereka merasakan kita tidak benar-benar peduli dan hanya berpura-pura saja?

3) Peduli terhadap kebutuhan orang lain 
Penduduk pulau itu sangat ramah terhadap kami. Mereka menyalakan api besar dan mengajak kami semua ke situ karena telah mulai hujan dan hawanya dingin.
(Kisah Para Rasul 28:2)

Tanggapan kita terhadap kebutuhan orang lain sudah jelas menunjukkan keramahan dan kasih yang nyata. Ketika kita memilih bertindak melampaui segala perkataan, perlahan tapi pasti, ini akan membuka hati mereka bagi kita. Siapa sih yang tidak akan mau membuka hatinya pada orang yang sudah jelas peduli padanya, gak cuma omong doang?

4) Menjadi orang yang mudah didekati 
Kalau mau menjadi orang yang mudah didekati, kita harus meneladani Yesus yang sudah jelas ramah dan mudah didekati. Semua orang dari berbagai kalangan dapat berada di dekatnya. Tidak peduli anak kecil atau orang dewasa, tidak peduli apa pekerjaannya (baik nelayan, pelacur, pemungut cukai, raja, sampai para pembesar), Dia dapat didekati dengan mudah oleh (hampir) semua orang. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah membatasi pergaulannya, Dia memilih bergaul dengan semua orang. Dampaknya, kebanyakan orang menyukai-Nya (minus haters-Nya haha) \(“,)/


Apa yang Yesus teladankan pada kita dalam poin ini? 

A) Tidak membeda-bedakan orang. Semua sama di mata-Nya 

Saat para murid Yesus menghalangi anak kecil yang ingin datang pada-Nya, Dia justru membuka tangan dan hatinya lebar-lebar bagi anak kecil tersebut—bahkan Dia memberkati mereka (Markus 10:13-16). Jelas kan, kalau Yesus mudah didekati?

Seandainya Yesus itu orang yang kaku, jarang senyum, dan sebodo amat, kemungkinan besar anak-anak itu malah takut mendekati Dia. Kenyataannya nggak, tuh. Yesus menyukai semua orang yang mau datang pada-Nya; besar atau kecil, tua atau muda, dan dari latar belakang apapun. Yesus mengasihi mereka semua orang tanpa memandang rupa. Dengan leluasa, Dia berbaur dengan banyak orang, berjalan bersama mereka, mengajar mereka, makan bersama mereka, menyembuhkan, dan menguatkan mereka. 

B) Tidak menghakimi orang lain 

Saat orang lain mencemooh seorang wanita yang berzinah, Ia mengulurkan tangannya dan menerimanya (Lukas 7:36-50). Jika kita bersikap menghakimi orang lain, ini akan menghalangi kita untuk mendekati dan didekati oleh orang lain. Karena tidak ada orang yang merasa nyaman berada di sekeliling orang yang suka menghakimi orang lain. Orang lain tidak akan mau membuka hatinya pada seseorang yang punya kecenderungan suka menghakimi orang lain. Orang-orang yang dibebani perasaan bersalah perlu merasa leluasa untuk menghampiri orang-orang yang dapat membantu mereka memulihkan hubungan dengan Allah! 

C) Lemah lembut dan rendah hati 

Kelemahlembutan dan kerendahan hati Yesus membuat orang lain betah berada di dekat-Nya. Ya iya lah! Siapa yang tahan berlama-lama ada di dekat orang yang kasar dan sombong!? -.-“ Sebaliknya, Yesus justru menunjukkan kelemahlembutan, bukanlah kelemahan. Tapi, ladies, kita membutuhkan kekuatan untuk memperlakukan orang lain dengan lemah lembut setiap saat. Oleh karenanya, kita perlu berdoa kepada-Nya untuk senantiasa menguatkan kita dalam bersikap lemah lembut dan rendah hati (Matius 11:28-29).