Monday, May 25, 2020

Nyata Tapi Tak Terlihat


by Benita Vida

Bulan ini kita merayakan kenaikan Yesus ke Sorga, suatu peristiwa dalam sejarah Kekristenan yang menyatakan bahwa Yesus berasal dari Sorga dan bahwa Dia sendiri adalah Allah. Tapi, bukan hanya peristiwa itu yang kita rayakan bulan Mei ini. Peristiwa lain yang tidak kalah luar biasa adalah turunnya Pribadi lain yang menggantikan posisi Yesus, sepuluh hari setelah kenaikan Yesus. Pribadi itu hadir dan bekerja bahkan hingga saat ini. Siapakah Dia? Ya, ROH KUDUS. Pribadi ini tak terlihat. Alkitab hanya mencatat wujud Roh Kudus terlihat sekali dalam bentuk lidah api yang turun ke atas kepala murid-murid saat sedang berkumpul dan berdoa. 

“Hanya karena sesuatu tak terlihat, tidak berarti sesuatu itu tidak nyata”, kalimat ini pernah muncul dalam salah satu film yang saya tonton. Saat mendengar kalimat ini, Tuhan menegur saya karena kadang saya sering melupakan Pribadi yang tidak terlihat itu. Kita adalah makhluk visual, kita cenderung mempercayai dan mengingat semua yang bisa kita lihat dan dengar, karena ini lah terkadang kita mudah menyerah dan putus asa dengan keadaan sekeliling kita karena kita tidak bisa melihat apa yang kita harapkan.

Kabar baiknya, setelah Yesus meninggalkan kita secara “fisik”, Dia mengerti kita tak pernah bisa sendiri. Dia mengutus Pribadi yang akan selalu ada bersama kita sesuai dengan janji-Nya di Matius 28:20 sebelum Ia naik ke Sorga. 

“… dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Siapa sih yang tidak pernah sedih? Siapa sih yang bisa melakukan segalanya tanpa ada bantuan orang lain? Siapa sih yang tidak butuh disemangati? Sekuat-kuatnya seorang manusia, pasti ada saat dimana dia butuh bersandar dan dikuatkan, butuh dihibur dan diberikan kata-kata penyemangat. Setelah kenaikan Yesus ke Sorga, mungkin murid-murid dalam keadaan galau bahkan kalut dan sedih karena seseorang yang selalu bersama mereka selama 3,5 tahun ini tidak lagi bersama mereka. Yesus sangat paham perasaan itu, perasaan kehilangan seseorang yang dekat. Karena itu, sejak awal Yesus menjanjikan Pribadi lain yang menggantikan-Nya menemani orang-orang terdekat-Nya. Pribadi yang akan menjadi seorang Penghibur. 

“Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.”
(Yohanes 16:7)

Datangnya Roh Kudus menjadi penghiburan bagi murid-murid yang ditinggalkan. Roh Kudus memang tidak terlihat secara fisik, tapi jauh dalam hati mereka, ada sukacita dan damai sejahtera karena Roh Kudus tinggal dan diam dalam hidup mereka. 

Ada banyak sekali cara menghibur. Penghiburan bisa datang dari diri sendiri dan orang lain. Ada orang yang terhibur hanya dengan makan makanan enak, ada yang terhibur dengan belanja di mall, ada juga yang terhibur dengan tidur seharian, dan lain-lain. Tapi terkadang dalam suatu keadaan tertentu, dimana seseorang sedang mengalami tekanan yang hebat, mereka butuh orang lain sebagai tempat bercerita dan berkeluh kesah. 

Tahukah kita kalau kita punya “Penghibur pribadi”? Kita punya satu Pribadi yang selalu bersama kita. Berbeda dengan orang lain yang tidak selalu punya waktu untuk kita, Roh Kudus selalu ada untuk kita dan selalu siap memberikan penghiburan. Penghiburan-Nya selalu tepat waktu dan kadang tidak pernah terlintas di pikiran kita. Saya ingat di tahun 2014, saat saya dalam proses pencarian kerja dan sudah 1 bulan belum dapat kerja, jujur saat itu sangat amat stres dan malu jika ada orang yang bertanya tentang pekerjaan saya. Di tengah kesedihan dan perasaan tertekan yang saya alami, Roh Kudus menghibur saya dengan memberikan saya seekor anjing yang sudah lama saya inginkan. Sederhana dan nampak seperti tidak ada hubungannya, tapi hal kecil ini mengingatkan saya ada Tuhan yang peduli dengan kerinduan hati saya.

Tahukah kamu, terkadang rasa stres, sedih, dan tertekan membuat kita tidak tenang? Ketika kita tidak tenang, kita menjadi sulit berdoa. Roh Kudus sangat paham akan hal itu, terkadang bisikan lembut membuat kita menjadi lebih tenang dan bisa berdoa. Ia terkadang mengingatkan kita tentang kebaikan Tuhan dalam hidup kita dan membuat kita menyadari bahwa kita tidak perlu panik menghadapi hidup ini. Karena bukankah kita punya Allah yang hebat? Penghiburan tidak selalu harus membuat kita senang dan masalah kita selesai, kadang penghiburan cukup membuat kita menjadi lebih tenang sehingga kita bisa berpikir lebih jernih dan bertindak dengan hikmat. 

Daud berkata dalam Mazmur 94:19 

“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku.”

Dalam keadaan yang tidak menyenangkan dan dibandingkan dengan segala usaha yang bisa kita lakukan untuk menghibur diri sendiri atau orang lain, sesungguhnya penghiburan-Nya lah yang paling kita butuhkan. Tapi kadang kita lupa. Kita justru mencoba mencari segala cara supaya hati kita lebih tenang dan terhibur, padahal sesungguhnya yang perlu kita lakukan adalah meminta langsung dari Sang Sumber. 

Dalam keadaan pandemik seperti sekarang ini, semua media yang menyediakan penghiburan seperti hilang. Mall tutup, restoran tutup, taman bermain tutup. Kumpul-kumpul bersama teman-teman pun sulit. Kita hanya bisa diam di rumah. Siapa yang tidak pusing? Siapa yang sudah mulai bosan? Siapa yang sudah tertekan? Rasanya pasti sudah kehabisan cara untuk menyenangkan diri sendiri, tapi yuk ingat, Daud yang dalam keadaan tidak mengenakkan mencari Sumber Penghiburan itu sendiri. Percayakah kita akan keberadaan-Nya? Pekerjaan-Nya nyata sekalipun fisik-Nya tak terlihat, Penghibur yang Tuhan sediakan untuk kita, bahkan bukan hanya sebagai penghibur, Roh Kudus juga penolong dan pemimpin hidup kita. Mari kita buka hati dan terima Roh Kudus dalam hati kita, biarkan Dia bekerja bebas dalam hidup kita dan biar penghiburan-Nya nyata dalam setiap keadaan kita. 

Monday, May 18, 2020

Kenaikan-Nya Adalah Pengharapan


by Glory Ekasari

Selama saya jadi orang Kristen, peringatan kenaikan Tuhan Yesus ke surga biasanya kalah pamor dengan kematian dan kebangkitan-Nya, apalagi dibanding kelahiran-Nya. Padahal peristiwa ini sangat penting – saya tidak melebih-lebihkan.

Rencana Allah tidak selesai dengan kebangkitan Yesus. Rencana-Nya berlanjut dengan kenaikan Yesus, lalu kedatangan-Nya kembali ke dunia, dan seterusnya sampai pemerintahan kekal oleh Tuhan Yesus di seluruh dunia. Perjanjian Baru tidak berhenti di empat kitab pertama, tetapi sampai kitab Wahyu.

Ratusan tahun sebelum Yesus lahir, Daniel mendapat penglihatan yang dahsyat. Penglihatan ini dicatat dalam Daniel 7, dan highlight dari penglihatan Daniel adalah ayat 13-14, tentang Anak Manusia.

Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.
(Daniel 7:13-14)

Dua ayat ini sangat sarat makna, orang bisa bikin skripsi dari situ (serius lho). Dari sinilah asalnya gelar Anak Manusia yang dikenakan Yesus pada diri-Nya sendiri.

Ketika Yesus menyebut diri-Nya Anak Manusia di hadapan Mahkamah Yahudi, imam besar sangat marah dan Mahkamah langsung menjatuhi-Nya hukuman mati (Markus 1:62-64). Mengapa? Karena mereka tahu bahwa dengan menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Allah. Bagi orang Yahudi, ini berarti Yesus menghujat Allah.

Kapan Yesus, sebagai Anak Manusia, menerima segala kekuasaan dan kemuliaan di surga? Petrus memberikan jawaban:

“Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah.”
(Kisah Para Rasul 2:33)

Ayatnya kelihatannya simpel banget ya, sampai kita menyadari bahwa “di mana” memegang peranan penting untuk memecahkan misteri ini.

Posisi “kanan” dalam budaya Timur Tengah (termasuk dalam Alkitab) memiliki makna penting. Ketika kita membaca kalimat seperti, “Si A duduk di sebelah kanan raja Nebukadnezar,” misalnya, ini berarti A ikut memerintah sebagai raja bersama Nebukadnezar. Biasanya posisi “duduk di sebelah kanan raja” ini adalah untuk putera mahkota yang kelak akan menggantikan raja itu.

Demikian pula Yesus! Ketika dikatakan, “Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah,” itu berarti Dia diangkat menjadi Raja oleh Allah, didudukkan di sebelah kanan Allah, memerintah bersama Allah. Inilah yang terjadi dalam Daniel 7:13-14 tadi: Yesus menerima kemuliaan dari Bapa, dan kuasa untuk memerintah atas bangsa-bangsa. Di mana ini terjadi? Di surga. Kapan ini terjadi? Ketika Yesus naik ke surga!

Sekarang kita mengerti, mengapa kenaikan Yesus ke surga sangat penting. Dia harus naik ke surga, untuk menerima kemuliaan dan kuasa sebagai Raja atas segala raja, dan memerintah atas dunia ini bersama Bapa-Nya.

Apa yang menjadi dasar sehingga Yesus layak menerima kemuliaan dan kuasa? Tentu saja Dia memang adalah Allah. Tapi ‘kan Dia juga manusia, seperti kita? Untuk mendapat jawaban, kita beralih ke tulisan Paulus.

“Kristus Yesus . . . telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!”
(Filipi 2:6-11)

Yesus layak menerima kemuliaan dan kuasa, karena itu semua memang milik-Nya sebelum Dia datang ke dunia sebagai manusia. Tetapi lebih dari itu, Dia membuat diri-Nya layak karena “dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati.” Alkitab berkali-kali menulis bahwa Allah mengasihani orang yang rendah hati dan akan mengangkat dia. Yang Yesus lakukan ini adalah kerendahan hati yang ultimate. Dia “mengosongkan diri”. Tidak ada manusia yang mau melakukan hal seperti itu, tapi itulah yang dilakukan Yesus.

Jadi, karena Dia telah merendahkan diri-Nya sampai mati, bahkan mati secara hina di kayu salib, maka Allah sangat meninggikan Dia. Bahkan Nama-Nya menjadi Nama di atas segala nama; seperti nama kaisar Romawi yang dicetak di uang, dipatri di cap surat-surat resmi, dsb. Asal ada nama kaisar, semua orang tunduk. Kehormatan dan kuasa yang diberikan kepada Nama Yesus jauh melebihi kaisar.

Pertanyaan terakhir adalah mengapa Yesus harus mengambil rupa sebagai manusia, begitu merendahkan diri, untuk menerima kemuliaan yang memang milik-Nya? Ada satu lagu yang sangat bagus dan menyentuh, yang liriknya berbunyi demikian:

Mengapa Yesus turun dari sorga,
masuk dunia gelap penuh cela?
Berdoa dan bergumul dalam taman,
cawan pahit pun diterima-Nya.
Mengapa Yesus menderita didera,
dan mahkota duri pun dipakai-Nya?
Mengapa Yesus mati bagi saya?
Kasih-Nya, ya, karena kasih-Nya.

Yang Yesus lakukan adalah menebus manusia. Menebus ini bukan hanya membayar hutang dosa kita dengan darah-Nya. Yesus, atas nama semua manusia yang percaya kepada-Nya, menerima kemuliaan dan kuasa sebagai Anak Manusia. Dia mengangkat kita, dari budak dosa, menjadi anak-anak Allah yang menjadi ahli waris bersama Dia. Semua ini bolak-balik dijelaskan oleh rasul Paulus, karena dia mengerti betapa berharganya apa yang Yesus lakukan bagi kita.

Tahukah teman-teman bahwa ketika Yesus menjadi manusia, tubuh-Nya itu Ia bawa selama-lamanya bersama-Nya? Dia tidak akan pernah melepaskan tubuh itu lagi. Sebesar itulah kasih-Nya bagi kita, sampai Dia bersedia berbagi keadaan sebagai manusia dengan kita, sampai selama-lamanya. Karena Yesus adalah manusia, Dia bisa mengerti keadaan kita ketika di dunia. Dan karena Yesus adalah manusia, kita yang manusia akan mengalami juga semua yang Dia alami: kebangkitan, kenaikan, dan kemuliaan kekal.

Sementara itu, dalam hidup ini, kita mengalami banyak masalah. Orang-orang percaya mengalami pergumulan seperti orang lain: penyakit, masalah ekonomi, masalah keluarga, dll. Sepertinya Yesus entah di mana, dan kehadiran-Nya tidak terasa. Apa yang harus kita lakukan dalam keadaan seperti itu?

Orang Kristen, by definition, adalah orang-orang yang hidup oleh iman. Kita percaya pada kebenaran, walaupun seringkali kebenaran itu nampaknya bertentangan dengan fakta. Bukan berarti kita percaya buta, tapi kita percaya bahwa ada tangan Tuhan yang tidak terlihat, yang sedang bekerja. Kita percaya bahwa Tuhan Yesus bertakhta di surga, bahwa Dia memegang kendali, dan bahwa Dia menjamin hidup kita.

Pengharapan yang seperti itulah yang membuat Stefanus berani menghadapi kematian:

Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.”
(Kisah Para Rasul 7:55-56)

Dia melihat Yesus yang telah naik ke surga, yang memegang pemerintahan atas segala sesuatu. Batu-batu besar yang dipegang orang-orang Yahudi di depan matanya tidak lagi menakutkan waktu dia melihat Yesus bertakhta dalam kemuliaan.

Begitu juga dengan Paulus. Menghadapi kematiannya yang sudah di depan mata, Paulus menulis kepada Timotius:

Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.
(2 Timotius 4:8)

Mengapa Paulus begitu berani dan kuat? Karena dia mengharapkan kedatangan Tuhan Yesus, yang akan memberinya upah atas kesetiaannya. Paulus tahu bahwa Yesus berkuasa, Dia memerintah, dan hari kedatangan Sang Raja akan segera tiba.

Seandainya Yesus tidak naik ke surga, berarti Dia tidak bertakhta, dan kita tidak bisa berharap pada Tuhan yang memegang kendali atas segala situasi, sepanjang segala masa. Injil yang dipercaya Stefanus dan Paulus bukan Injil yang membuat orang merasa nyaman dengan diri sendiri, atau Injil yang melulu tentang berkat, atau sekedar penghiburan emosional. Yang mereka percayai adalah Injil Yesus Kristus, yang telah menerima pemerintahan atas seluruh ciptaan dan yang akan datang kembali untuk membela umat-Nya dan menghukum musuh-Nya, yang begitu mengasihi kita sampai Dia memperhatikan rambut kita yang jatuh ke tanah dan bersedia menjadi manusia demi kita. Itulah Injil yang mereka percaya; itulah kebenaran, yang layak diperjuangkan sekalipun dengan tetesan darah.

Bersama dengan kenaikan Yesus ke surga, kita memiliki jaminan dan pengharapan. Jaminan, karena Yesus berkuasa atas segala sesuatu; tidak peduli seburuk apapun situasinya di mata kita. Pengharapan, karena Yesus akan datang kembali untuk menyempurnakan keselamatan kita di dalam Dia. Karena Dia telah naik ke surga, Dia bisa berkata kepada kita, “Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku.” (Yohanes 14:3)

Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.
(Filipi 3:20)

Monday, May 11, 2020

Being A Disciple Maker


by Leticia Seviraneta

Ketika ada seorang yang kita kasihi bangkit dari kematian dan memberikan pesan terakhir kepada kita, kita akan menganggapnya penting bukan? Bangkit dari kematian sendiri sudah merupakan hal yang supernatural, sebuah mujizat. Terlebih lagi ketika yang bangkit dari kematian tersebut memberikan mandat atau perintah terakhir untuk kita lakukan. Sebelum perpisahan, kita pada umumnya hanya menitipkan pesan yang sangat penting. Demikianlah halnya yang terjadi ketika Yesus bangkit dari kematian dan sebelum naik ke Sorga, ia memberikan mandat bagi para murid. Sebuah perintah yang terpenting bagi Tuhan Yesus untuk kita lakukan.

Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Matius 28:18-20)

Bila kita baca kelanjutan dari pekerjaan-pekerjaan para murid setelah kenaikan Yesus ke Sorga dalam Kitab Para Rasul, kita dapat melihat betapa mereka bersungguh-sungguh menjalankan perintah-Nya ini. Mereka berkeliling untuk memberitakan kabar baik keselamatan yang datang melalui Yesus, banyak orang yang menjadi percaya berkumpul secara rutin untuk bertekun dalam pengajaran para rasul, dan jumlah yang percaya setiap hari bertambah. 

“Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dalam persekutuan dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
(Kisah Para Rasul 2:41-42)

“Sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
(Kisah Para Rasul 2:47)

Sejak semula, kekristenan bukanlah sebuah agama, melainkan sebuah pergerakan (movement) untuk:
  1. Memberitakan kabar keselamatan melalui Kristus (Injil).
  2. Membaptis mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.
  3. Mengajar mereka untuk melakukan perintah-perintah Kristus.
dengan disertai oleh kekuatan Allah melalui Roh Kudus.

Namun yang terjadi dalam kekristenan saat ini, seringkali kita menganggap bahwa peran tersebut milik eksklusif dari pendeta, evangelis, guru Alkitab, dsb. Kita cukup puas menjadi “penonton” dengan hadir di dalam kebaktian gereja, “makan” Firman Tuhan yang dikhotbahkan, dan pulang dengan merasa telah melakukan apa yang Yesus ingin kita lakukan. Sayangnya, mandat terakhir Yesus bukanlah sekedar supaya kita rutin datang ke gereja dan pasif mendengarkan pengajaran Firman, melainkan untuk menjadi pemurid (disciple maker). Ini bukanlah panggilan khusus untuk orang Kristen tertentu saja yang “lebih rohani” melainkan panggilan yang berlaku bagi semua orang percaya kepada Kristus. 

Tentu sebelum menjadi seorang pemurid (disciple maker), kita perlu menjadi seorang murid (disciple) terlebih dahulu. Ketika Yesus memanggil para murid-Nya, ia berkata, “Ikutlah Aku” atau “Follow Me. Seorang murid pada dasarnya adalah pengikut Kristus (Jesus’ followers). Seorang murid pada zaman itu akan mengikuti (follow) gurunya (rabi) kemana pun ia pergi. Ia akan mempelajari pengajaran gurunya serta meniru perbuatannya. Seorang murid benar-benar adalah pengikut gurunya secara literal. Dengan demikian, adalah mustahil menjadi seorang murid tanpa pada akhirnya menjadi serupa dengan gurunya. 

“Tidak ada murid yang lebih besar daripada gurunya. Tetapi murid yang sudah selesai belajar, akan menjadi sama seperti gurunya.”
(Lukas 6:40 / BIS)

Jadi, pada intinya menjadi murid Yesus adalah meniru perbuatan-Nya, melanjutkan pelayanan-Nya, dan menjadi serupa dengan-Nya dalam proses. Seorang Kristen tidak dapat tidak menjadi serupa dengan Kristus.

Kabar baiknya, Tuhan tidak memanggil kita dalam isolasi. Untuk menjadi seorang murid, kita perlu dimuridkan terlebih dahulu. Di sinilah peranan komunitas gereja menjadi vital. Kita perlu tertanam di sebuah gereja lokal, dimuridkan oleh seorang yang lebih dewasa dalam karakter dan perjalanan-Nya bersama Kristus. Kita perlu mengenal Firman-Nya sehingga dapat memberitakan dan mengajarkan-Nya kepada orang lain. Kemudian kita perlu bertumbuh dari seorang murid menjadi seorang pemurid. Karena kembali lagi, mandat Kristus bukan berhenti menjadi seorang murid saja melainkan menjadi pemurid.

Saya tidak bermaksud membuat ini menjadi seperti beban atau kewajiban sebagai pengikut Kristus. Setiap pemurid harus memiliki motivasi dan sikap hati yang benar. Kita tidak menjadi pemurid karena kewajiban, melainkan karena kasih. Saya percaya bahwa cara terbaik untuk mengasihi Allah adalah dengan menggembalakan domba-domba-Nya.

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini? Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
(Yohanes 21:15)

Tiga kali Yesus bertanya kepada Petrus apakah ia mengasihi-Nya. Tiga kali Petrus memberi respon bahwa ia mengasihi-Nya. Kemudian Yesus mengulangi tiga kali untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Ketika kita mengasihi seseorang, kita akan belajar mengasihi juga apa yang ia kasihi. Yesus sangat mengasihi domba-domba-Nya hingga mati bagi kita semua. Apa yang berharga di mata-Nya menjadi berharga bagi setiap kita yang mengasihi-Nya juga. Inilah mengapa seorang Kristen tidak dapat terlepas dari komunitas gereja. Seorang Kristen tidak dapat benar-benar mengasihi Kristus bila ia tidak mengasihi sesama orang percaya dan terlibat dalam pemuridan.

Seringkali yang membuat kita menganggap pemuridan menjadi panggilan yang terlalu tinggi untuk kita adalah karena kita menganggap kita harus sempurna terlebih dahulu untuk menjadi pemurid. Kita menganggap kita perlu tahu banyak sekali Firman Tuhan untuk dibagikan terlebih dahulu, sudah tidak jatuh ke dalam dosa lagi, dsb. Hal ini membuat kita menunda niat untuk melakukannya dan pada akhirnya kita tidak maju sama sekali. Kabar baiknya, memuridkan bukanlah tentang mengumpulkan orang untuk mendengarkan pengajaran kita, melainkan berfokus untuk mengasihi mereka. Seorang gembala mengasihi dombanya dengan memperhatikan, mengetahui keseharian, menolong dalam pergumulan atau kesulitan, memberi makan, dan mengobatinya bila terluka. Sesungguhnya menjadi pemurid dimulai dari langkah sederhana untuk hadir - “be present” - dalam kehidupan para murid. Seorang pemurid mengasihi sedemikian rupa sehingga menolong mereka untuk mengasihi dan taat kepada Kristus. Seorang pemurid menunjukkan sekilas seperti apa Tuhan Yesus itu. Untuk melakukan langkah sederhana ini, modal dasar seorang pemurid adalah kasih. Bila teman-teman mengasihi Tuhan dan mengasihi domba-domba-Nya, maka teman-teman dapat menjadi seorang pemurid saat ini juga. Dalam perjalanannya, seorang pemurid pun juga terus bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus melalui Firman Tuhan dan pengalaman pribadinya. Sehingga pemurid akan terus diperlengkapi juga oleh Roh Kudus dalam proses memuridkan.

Pemuridan bukanlah sekedar program gereja. Pemuridan adalah sebuah hubungan. Sama seperti kedua belas murid Yesus yang tinggal bersama-Nya, menghabiskan waktu dan membina hubungan dengan-Nya, demikian juga halnya pemuridan yang Yesus kehendaki untuk kita lakukan. Tanpa jabatan pemimpin dalam gereja sekalipun, setiap anggota gereja dapat menjadi pemurid. Teman-teman dapat memulai dengan mencari seseorang yang membutuhkan pertolongan. Teman-teman dapat membina hubungan dengannya, menyediakan telinga untuk mendengar, hadir di masa-masa sukar hidupnya, dan pada akhirnya teman-teman dapat memperkenalkan pribadi Tuhan Yesus kepadanya. 

Pemuridan justru terjadi dalam situasi non-formal, terlihat alami, namun tetap harus disengaja (intentional). Kita perlu secara aktif membina hubungan baik kita sebagai murid dan juga kita sebagai pemurid. Kita membutuhkan keduanya. Kita butuh seorang untuk memuridkan kita dan kita butuh untuk memuridkan orang lain. Dengan demikian hidup kita terjaga dan terus bertumbuh seiring dengan kita pun menolong pertumbuhan orang lain. Inilah gereja sesungguhnya. Gereja pada intinya terletak pada pemuridan. Dan semua ini hanya dapat terjadi bila kita sadar dan taat untuk menjadi seorang pemurid (disciple maker) untuk menyalurkan kasih Kristus kepada dunia.

“Discipleship is not an option. Jesus says that if anyone would come after me, he must follow me.” – Tim Keller
“The Christian life is the disciple life and the discipling life.” – Mark Dever

Monday, May 4, 2020

Yesus Menampakkan Diri di Jalan ke Emaus


by Poppy Noviana

(Lukas 24:13-35)

Mendapati diri tidak memperoleh apa yang diharapkan seringkali menjadi pukulan berat dan menyakitkan. Hal ini bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan, sebab manusia jaman dulu juga sudah mengalami hal tersebut. Sampai hari ini pun banyak anak Tuhan yang mengalaminya. Banyak orang yang berharap lalu kecewa dan memutuskan berhenti berharap. 

Melalui kisah penampakan Yesus kepada dua murid yang sedang berjalan menuju Emaus, kita bisa belajar tentang meletakkan pengharapan kita dalam kebenaran. Kisah ini mengajar kita untuk mengenal Yesus dengan lebih baik, sehingga kita punya respon yang tepat pada masalah.

“Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel.”

Kalimat di atas adalah kutipan percakapan dua orang murid Yesus yang sedang berjalan menuju Emaus, desa yang terletak sekitar tujuh mil dari Yerusalem. Kutipan ini merupakan harapan mereka tentang Yesus. Harapan yang tidak terjadi sesuai dengan cara mereka, tetapi dengan cara Allah melalui kematian Yesus. Kedua murid itu merasa harapan mereka hancur karena Yesus mati di kayu salib. 

Sebelumnya, pernahkah diantara kita mengungkapkan suatu pemikiran kepada ahlinya? Bagaimana perasaanmu? Kurang lebih mirip seperti menghadapi dosen penguji pada saat sidang kelulusan di Universitas. Ada rasa takut salah, minder dan enggan. Sikap inilah yang tidak terlihat pada kedua murid Yesus ini. Padahal, mereka bicara tentang Yesus kepada Yesus sendiri! Tentu saja karena, mereka bersama Yesus tapi mereka tidak mengenal-Nya. 

Mengenal dan mengetahui adalah dua hal yang berbeda. Contohnya, saya tahu Presiden saya, namun saya tidak mengenalnya. Saya tidak tahu kelemahan dan hobinya secara pribadi, karena saya tidak memiliki hubungan yang dekat dengannya. Lain halnya jika seseorang menanyakan kepada saya tentang teman dekat saya. Saya tahu hobi dan kelemahannya, bahkan rahasianya sekalipun, sebab saya sungguh-sungguh mengenalnya. 

“Lalu Ia berkata kepada mereka: "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!”

Mendengar kekecewaan kedua murid ini, Yesus berkomentar cukup keras. Ia mengatakan kedua murid itu bodoh karena mereka tidak percaya pada apa yang telah dinubuatkan para nabi. Bahkan selama ini Yesus sebenarnya sudah sering menjelaskan bahwa Ia datang menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia yang berdosa, termasuk mereka yang sedang berjalan bersama-Nya. Ia juga telah mengabarkan bahwa Ia akan mati dan bangkit pada hari yang ketiga, sebagaimana dinubuatkan oleh para nabi. Namun perkara mulia ini menjadi terlupakan karena kedua murid itu mempunyai harapannya sendiri tentang Yesus. Mereka berharap Yesus tidak mati dan membebaskan bangsa Israel dengan cara yang mereka inginkan dan pahami. Ketika itu tidak terjadi, kekecewaan dan kesedihan mereka membuat mereka terguncang, sampai mereka tidak bisa mengenali Yesus yang berjalan bersama mereka. 

“Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?"

Pada akhirnya Yesus memberikan sebuah pertanyaan retorik, lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Hal ini menggambarkan bahwa Yesus suka sekali untuk dikenali, Ia suka menceritakan kebenaran, meluruskan ekspektasi yang salah, dan mengajar mereka yang kurang hikmat. Inilah sebabnya Yesus merasa penting untuk berjalan, bercakap-cakap, dan bahkan makan bersama kedua murid ini, supaya Yesus bisa mengarahkan pengharapan kedua murid pada dasar yang benar.

“Lalu kedua orang itu pun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti”

Kedua murid akhirnya mengenal Yesus. Seringkali manusia mengenali seseorang memang bukan karena siapa dia tapi karena ingatan akan perbuatannya. Selama ini kekecewaan mereka pada kematian Yesus menghalangi pengenalan mereka. Bagi pikiran manusia mereka, Yesus sudah mati, dan tidak akan pernah bangkit kembali. Mereka sudah tidak mengharapkan Yesus ada bersama-sama mereka. Jalan pikiran mereka membuat mereka melupakan Firman yang selama ini Yesus ajarkan. Sehingga bahkan ketika Yesus menemani perjalanan mereka, mereka tidak mengenal-Nya. 

Firman Tuhan menjelaskan, “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal dia.” Kalau ayat ini dikembalikan ke kehidupan kita, apa yang selama ini mungkin menghalangi pengenalan kita akan Tuhan?

Pada saat kehidupan baik-baik saja, memang mudah untuk kita mengenali Tuhan dan perbuatannya. “Ah, gajiku naik seperti yang aku doakan, ini pasti perbuatan Tuhan, Tuhan sungguh baik!”, begitu misalnya. Atau, “Ini pasti Yesus!”, kata orang lain yang penyakitnya disembuhkan. 

Tapi ketika kondisi sebaliknya, saat keuangan kita dalam masa sulit, saat penyakit tidak juga sembuh, saat orang yang kita kasihi meninggalkan kita, saat apa yang kita harapkan tidak menjadi kenyataan, apakah kita tetap bisa dan mau mengenali pribadi Tuhan? Apakah kita masih bisa merasakan Tuhan berjalan bersama kita? Apakah kita tetap berjalan bersama Dia di tengah kebingungan kita? Atau justru kita pergi menjauhi Dia dan perkataan-Nya?

Jadi, apa rencanamu? Di saat pengharapanmu seperti sudah berakhir, seperti kedua murid di jalan menuju Emaus itu, Tuhan ingin kita berjalan bersama-Nya dan mendengarkan Dia. Yesus rindu membangkitkan harapanmu. Dia ingin memberikan harapan yang benar di hatimu. Badai kehidupan mungkin membuat fokus kita kepada Allah terguncang, tapi Yesus menunggu kita duduk bersekutu kembali bersama-Nya, mendengarkan Dia, sampai kita kembali memiliki pengenalan yang benar tentang Dia dan segala perbuatan-Nya.