Monday, March 29, 2021

Darah Anak Domba




by Glory Ekasari

Pada suatu hari yang bersejarah di tanah Mesir, bangsa Mesir mengamati orang Israel yang sibuk sekali menyiapkan makan malam bagi keluarga mereka. Menjelang sore, orang Israel menyembelih anak domba—seekor bagi tiap keluarga—dan menyiapkan dagingnya untuk diolah. Lebih anehnya lagi, darah anak domba itu mereka sapukan di ambang pintu rumah. Orang Mesir tahu bahwa orang Israel melakukan hal tersebut karena Tuhan mereka berkata bahwa malam itu akan datang bencana yang menakutkan, dan hanya rumah yang memiliki darah anak domba di ambang pintu rumah merekalah yang tidak akan kena bencana itu. Tetapi, mana mungkin itu terjadi, ya kan? Apa yang bisa dilakukan darah anak domba untuk menyelamatkan nyawa orang?

Tetapi apa yang “tidak mungkin” itu benar-benar terjadi: malam itu keluarga-keluarga Mesir menjerit karena kematian anak-anak sulung mereka! And let us guess: tidak ada satupun anak sulung Israel yang meninggal—karena ada darah di ambang pintu mereka.

Darah bukan sekadar substansi yang ada dalam tubuh manusia dan binatang. Darah itu mengandung makna sesuatu yang lebih tinggi:

Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.
(Imamat 17:11)

Darah berarti nyawa (karena itu orang Israel dilarang makan darah). Dalam ayat di atas dikatakan bahwa darah (binatang) dipakai sebagai pendamaian bagi nyawa manusia. Maksudnya, ada seekor binatang yang dibunuh dan darahnya dicurahkan, supaya seorang manusia tidak mati karena dosanya. Tanpa penumpahan darah itu, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22) dan semua orang yang berdosa harus mati (Roma 6:23). Jadi, melalui tulah kesepuluh yang telah dijelaskan di atas, nyawa anak sulung Israel dibeli dengan nyawa anak domba.

Tetapi, sekalipun kisah tulah kesepuluh di Mesir adalah contoh yang jelas tentang penebusan nyawa manusia, kita tahu bahwa manusia dan binatang tidak setara. Ini jelas terlihat dalam hukum Taurat. Setiap kali seseorang akan menghadap Tuhan di Bait Suci, dia harus mempersembahkan korban. Setiap hari imam-imam harus membakar korban bakaran bagi Tuhan. Darah binatang tidak cukup untuk menghapus seluruh dosa seseorang, apalagi dosa semua orang! Sekalipun semua binatang di dunia dikorbankan untuk satu orang, itu tetap tidak cukup untuk menghapus semua dosanya. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?

Kita tentu pernah mendengar tentang Yohanes Pembaptis yang berseru mengenai Yesus: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia!” (Yohanes 1:29). Gelar “Anak Domba Allah” yang dikenakan kepada Yesus menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa tulah kesepuluh di Mesir. Anak domba itu menggambarkan Yesus. Darah anak domba yang dicurahkan untuk keselamatan anak-anak sulung Israel adalah gambaran dari darah Yesus dicurahkan untuk keselamatan kita; nyawa Yesus sebagai ganti nyawa kita. Karena Yesus adalah Anak Allah yang sempurna, maka kematian-Nya—satu kali di atas kayu salib—cukup untuk menebus semua dosa semua manusia yang percaya kepada-Nya.

Mengapa Allah memberikan Anak Domba Allah, yaitu Yesus, sebagai penebusan nyawa kita? Jawabannya tidak lain karena Allah mengasihi kita. Dalam kisah tulah kesepuluh, Allah menyelamatkan bangsa Israel karena mereka adalah umat-Nya. Namun, kasih Allah ternyata tidak hanya terbatas bagi bangsa Israel, karena Allah membuka pintu keselamatan itu bagi semua manusia dari semua bangsa melalui Yesus Kristus. Mungkin kita pernah mendengar ada orang yang berkata bahwa Kekristenan itu eksklusif karena jalan keselamatan hanya melalui Yesus. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa Kekristenan itu sebenarnya inklusif? Ya, karena semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus—tidak peduli latar belakangnya, segala dosanya, status sosialnya, dan sebagainya—bisa menerima keselamatan melalui-Nya? Itu semua hanya bisa terjadi “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,” demikian kata firman Tuhan (Yohanes 3:16). Kalau kembali pada tulah kesepuluh, kita akan menemukan bahwa perintah Allah untuk menyapukan darah anak domba di ambang pintu tentu tidak hanya didengar oleh bangsa Israel, tetapi diketahui pula oleh orang Mesir. Kalaupun mereka percaya pada perintah itu, mereka juga akan diselamatkan (terbukti dari bukan hanya bangsa Israel yang keluar dari Mesir, namun ada beberapa orang non-Israel yang ikut bersama mereka)! Siapapun yang mau menerima keselamatan itu disambut dengan tangan terbuka oleh Allah.

Prosesi kematian Yesus di atas kayu salib memang sangat menyentuh. Orang yang tidak percaya pun bisa menangis saat menonton filmnya, karena begitu berat penderitaan dan penghinaan yang Yesus alami. Namun, rencana Allah yang ada di balik penyaliban itu lebih luar biasa lagi! Apabila kita percaya kepada Yesus yang telah mati bagi kita, kita seakan sedang menyapukan darah anak domba di ambang pintu rumah kita. Dalam kitab Wahyu dikatakan bahwa orang-orang yang diselamatkan adalah:

... orang-orang yang ... telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. (Wahyu 7:14)

Bagaimana mungkin jubah dicuci dalam darah tetapi menjadi putih? Bukankah justru jubah itu akan menjadi kotor karena darah? Ternyata tidak! Ini karena darah Yesus menyucikan kita dari segala dosa! Orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak akan dihukum untuk dosa mereka, karena semua dosa itu telah diampuni. Ketika kita menerima darah Yesus, kita menerima pula hidup-Nya bagi kita.

Tetapi ada orang yang tidak percaya kepada Yesus, sebagaimana bangsa Mesir tidak percaya bahwa darah anak domba akan menyelamatkan nyawa anak sulung mereka. Harga dari ketidakpercayaan itu adalah kematian. Harga dari ketidakpercayaan manusia kepada Yesus jauh lebih mahal, yaitu kebinasaan kekal. Ini karena semua orang yang tidak percaya kepada Yesus harus mempertanggungjawabkan dosa mereka sendiri di hadapan Tuhan, dan menerima hukuman atas dosa-dosa mereka. Bagaimana dengan kita? Apa yang akan menjadi respons atas anugerah keselamatan melalui Sang Anak Domba Allah ini?

Monday, March 22, 2021

Tidak Bercela




by Poppy Noviana

…dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita
(Titus 2:7-8)

Saya teringat seorang teman yang bertanya kepada saya, bagaimana mungkin saya bisa menerima kenyataan bahwa saya difitnah di pengadilan dan menyaksikan lawan yang saya gugat bersumpah di atas Alkitab bahwa mereka tidak bersalah. Padahal, sudah jelas mereka melanggar kontrak kerja dengan pemecatan sepihak atas dasar pandemi. Apakah semua orang Kristen semunafik dan sejahat itu? 

Saat itu Roh Kudus mengingatkan saya, tidak semua hidup orang Kristen serupa dengan gambaran ideal di Alkitab. Status Kristen bisa saja adalah warisan dari orang tua, namun menjadi pengikut Yesus adalah keputusan pribadi berdasarkan kesadaran tentang penebusan karena kasih-Nya. Itulah mengapa, Yesus memanggil kita untuk menjadi pengikut-Nya, bukan menjadi orang yang beragama saja. Mengikut Yesus merupakan perintah yang lebih tinggi dari sekedar menjadi seorang yang beragama Kristen. Jika ada yang menyaksikan seorang Kristen hidup tidak benar, lalu menganggap ajaran Tuhan-nya seperti itu, sesungguhnya itu tidak tepat, karena perihal menjadi orang Kristen dan mengikut Tuhan dan adalah dua hal yang berbeda. 

Walaupun begitu, Firman Tuhan sendiri memerintahkan kita agar hidup tidak bercela. Titus secara khusus menyebutkan “agar tidak ada hal-hal buruk” yang dapat disebarkan orang-orang tentang kita. Tujuannya jelas, supaya terang kita bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan kita yang baik dan memuliakan Bapa kita di sorga (Matius 5:16). 

Kadang ada yang bilang, ngga usah memikirkan apa yang orang pikirkan atau bicarakan tentang kita. Namun saat semua itu berhubungan dengan identitas kekristenan kita, hal itu menjadi penting. Tuhan ingin kita memiliki image yang baik karena kita membawa image Kristus. Ia juga tidak ingin perbuatan kita menjadi batu sandungan, khususnya bagi mereka yang belum mengenal Yesus.

Ini berarti, kehidupan sebagai menjadi pengikut Yesus seharusnya tidak berseberangan dengan perintah dan prinsip hidup-Nya. Padahal, kenyataannya selama kita masih hidup di dunia, kita akan selalu menjadi orang Kristen yang tidak sempurna. Bagaimana kalau kita gagal, lalu ada orang-orang yang membicarakan kita, karena label kita sebagai orang Kristen? 

Firman Tuhan menyediakan jawabannya,

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)

Dalam versi Bahasa Inggris, bagian awal ayat ini berbunyi, “Let us fix our eyes on Jesus, the author and perfecter of our faith,”. Yesus adalah penulis iman kita dan yang menyempurnakannya. Allah memahami bahwa kita tidak bisa memiliki iman yang sempurna, hidup yang sempurna, namun kita punya Yesus yang sanggup menyempurnakannya. Dengan satu syarat, mata kita selalu tertuju kepada Yesus. 

Hidup mengikut Yesus adalah sebuah proses. Mengikut Yesus tidak berhenti saat kita menerima Dia sebagai Juru Selamat kita, namun terus berlanjut saat kita menjalani hidup setiap hari memikul salib-Nya. 

Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.
(Lukas 9:23)

Yesus tahu memikul salib bukan hal yang mudah. Ia sendiri kepayahan dan pernah jatuh. Tapi Yesus tidak menyerah, Ia memandang Bapa-Nya, bangkit kembali, dan tetap berjalan sampai tujuan. Ibrani mengatakan Yesus “tekun memikulnya salibnya”.

Kesimpulannya, menjadi pengikut Yesus dan hidup dengan label tidak bercela membutuhkan dua langkah ini:

Langkah Pertama - Menerima dan mengakui Yesus sebagai Juru Selamat pribadimu.

Langkah Kedua - Mengikut Dia dengan melakukan perintah-Nya dengan setia.

Terdengar sederhana memang, tapi menjalaninya tentu tidak mudah. Tapi Tuhan berjanji bahwa Ia bekerja di dalam kita dan memberi kekuatan untuk melakukannya. Jadi jangan takut untuk mengikut Dia. Fokus pada Yesus. Fokus mengejar excellence bukan jadi perfection. Fokus untuk taat dan setia demi menyenangkan hati Tuhan, bukan untuk mendapatkan kekaguman dan pengakuan orang. Tuhan pun ngga selalu menyenangkan semua orang. 

Akhir kata, status tidak bercela sebenarnya sudah kita terima saat kita melakukan langkah pertama, karena Yesus sudah menebus dosa kita. Tugas kita menghidupi status tersebut, dengan melalukan langkah kedua, sampai akhirnya Dia memanggil kita kembali. 

Tetap semangat memelihara iman dan memikul salibnya di dunia ini. Mari kita saling mendoakan dan menguatkan dalam percaya dan berserah penuh kepadanya, tanpa ragu sedikitpun.

Monday, March 15, 2021

Mendengarkan Firman Tuhan



by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan : 1 Samuel 15 (Saul Ditolak Sebagai Raja)

Perintah Tuhan kepada Saul melalui Samuel sangatlah jelas, Tuhan tidak berbicara melalui perumpamaan, tafsiran, mimpi, atau bahasa isyarat (apalagi bahasa kalbu). Kurang apalagi? Tapi kenyataannya, Saul tidak taat pada perintah Tuhan. Tuhan marah lalu mengutus Samuel menegur Saul.

Tetapi jawab Samuel: "Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan. Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja."
1 Samuel 15:22-23

Kenapa Tuhan bisa menjadi sangat marah ya? Padahal Saul sudah melaksanakan hampir semua firman Tuhan loh. Saul “hanya” tidak menaati perintah Tuhan dengan tepat – apakah itu kesalahan yang besar? Mengapa Tuhan begitu tidak suka? Sekilas, apa yang dilakukan Saul tampaknya bukanlah dosa besar, bahkan sepertinya di Alkitab banyak lagi tuh tokoh yang melakukan kesalahan lain yang lebih besar, tapi kenapa Tuhan mengganggap dosa Saul sangat besar? Saul dikatakan telah menolak firman Tuhan, karena dia lebih memilih memberikan korban sembelihan dibandingkan mendengar dan memperhatikan Firman Tuhan. Tuhan berkata Saul durhaka dan degil. Bahkan Ia menyamakan pendurhakaan Saul sama seperti dosa bertenung, dan kedegilannya sama seperti menyembah berhala. 

Kedegilan adalah ketidakmauan menuruti nasihat/teguran.

Pendurhakaan adalah perbuatan menentang/membangkang pada perintah. 

Bagi kita, sekilas apa yang dilakukan Saul bukanlah dosa besar, tapi Tuhan melihat hati Saul melebihi apa yang dilakukannya. Segala yang dilakukan Saul menunjukkan sikap hatinya. Yuk, kita lihat, apa makna ketidaktaatan Saul dalam mendengarkan firman Tuhan?

Saat Samuel datang kepadanya, Saul berkata kalau dia telah melaksanakan Firman Tuhan. Saat dikonfirmasi Samuel, ternyata, Saul beralasan kalau rakyatnya yang berinisiatif sendiri (ah, kamu raja Saul, keputusan kan di kamu kok nyalahin rakyat, gemes kan jadinya).

Jawab Saul:”Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas.”
1 Samuel 15:15

Saul berkata dia telah melaksanakan Firman Tuhan, padahal apa yang dilakukannya berbeda. Ini Saul benar dengar apa kata Tuhan tidak ya? Mendengarkan Firman Tuhan seharusnya bukan sekedar masuk kuping kiri keluar kuping kanan, atau dengar sambil lalu. Mendengarkan Firman Tuhan berarti menaati FirmanNya dan tunduk pada otoritas Firman itu.

Sesungguhnya jawaban Saul saat dikonfirmasi tentang ketidaktaannya tersebut menyatakan beberapa hal :

1. Saul tidak mengasihi Tuhan

Perintah Tuhan sudah jelas, lalu mengapa Saul berimprovisasi? Apa Saul berpikir Tuhan akan lebih senang kalau dia mempersembahkan korban bakaran dan sembelihan dibanding menaatiNya? Ketidaktaatan Saul bukan hanya menunjukkkan kalau dia tidak tunduk pada Tuhan tapi lebih dari itu, dia tidak mengasihi Tuhan. Tindakan Saul menunjukkan bagaimana sikap hatinya yang sebenarnya. Tanda kita mengasihi Tuhan adalah kita taat kepadaNya. Titik.

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu.
Yohanes 14:15

Barangsiapa memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku.
Yohanes 14:21

Jikalau seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu.
Yohanes 14:23

Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firmanKu.
Yohanes 14:24

Tuhan ingin kita menaati Dia dalam segala hal. Seringkali manusia memakai hikmatnya sendiri, mengira saat dia melakukan ini itu Tuhan akan senang, padahal tidak perlu menggunakan hikmat sendiri, cukup dengar dan lakukan kata Tuhan. Mengasihi Tuhan dengan perbuatan, tidak hanya melalui perkataan. Tidak peduli orang bilang apa, Tidak peduli pandangan orang apa, taat kepada Tuhan sedetail-detailnya. Tidak ada yang namanya taat sebagian. Mendengarkan Tuhan dan tidak menggantikan itu dengan apapun. Misalkan, mentang-mentang pelayanan lalu melakukan dosa? No! Tidak boleh. Ketaatan sebagian sama dengan ketidaktaatan.


2. Saul menyalahkan rakyatnya atas ketidaktaannya

Saul memiliki banyak alasan. Sudah jelas dia tidak taat kepada Tuhan, bukannya mengakui kesalahan dan bertobat tapi dia malah mencari alasan untuk ketidaktaatannya. Okelah, bisa saja ide mempersembahkan korban itu berasal dari rakyatnya, tapi Saul adalah seorang raja. Dia harusnya membuat keputusan yang benar, lagipula dia mendengar langsung Firman Tuhan melalui Samuel. Apa Saul lupa kalau dia tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari Tuhan, hati kita aja Tuhan tahu. Saat Tuhan menyatakan kesalahan, entah melalui firmanNya atau orang lain maka sikap yang benar adalah mengakui kesalahan, tidak beralasan, dan segera bertobat!

Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi. 
Amsal 15:22

Inilah yang dikatakan Tuhan degil. Saul tidak mau ditegur. Sikap hati Saul setelah ditegur tidak benar. Ia tidak mengaku, malah beralasan dan menyalahkan orang lain, serta tidak segera bertobat. Saul tidak langsung mengakui dosanya tetapi membuat berbagai alasan. Samuel terus menjawabnya sampai Saul tidak punya pilihan selain mengakui kesalahanya. Yang dikatakan oleh Saul di ayat lain saat tidak punya pilihan selain mengakui dosanya sangat mengerikan:

Berkatalah Saul kepada Samuel:”Aku telah berdosa, sebab telah kulangkahi titah Tuhan dan perkataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka.
1 Samuel 15:24

Jderrr…!!! Terungkap semua, rupanya Saul lebih takut pada rakyatnya dibandingkan pada Tuhan. Saul lebih mendengarkan rakyatnya daripada mendengarkan Tuhan. Saul lebih takut pada manusia dibandingkan Tuhan. Pantas saja dia tidak mendengarkan Tuhan dan lebih mengikuti perkataan manusia.


3. Saul tidak menganggap Tuhan sebagai AllahNya

... dengan maksud untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas.”
1 Samuel 15:15

WHATTT? Bagian ini bikin geleng-geleng kepala dan sedih. Terungkap kalau Saul beranggapan Tuhan adalah Allahnya Samuel saja. Kalau memang itu isi hati Saul yang paling dalam, pantas saja mudah baginya untuk tidak menaati Tuhan, karena baginya Allah adalah Allahnya Samuel, bukan Allahnya. Pantas saja Saul durhaka dengan tidak menghormati Firman Tuhan dan menaatinya. Kalau Saul menyadari dia melayani Tuhan yang adalah ALLAH dan Raja atas hidupnya, tentunya dia tidak akan menganggap remeh setiap FirmanNya. Saul akan berusaha menyenangkan hatiNya dengan ketaatan sempurna. 

Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran.
1 Yohanes 2:4

Ketidaktaatan Saul mendengarkan Firman Tuhan bukan dosa remeh karena sebenarnya bermakna ia tidak mengasihi Tuhan dengan sungguh, ia tidak takut Tuhan dan tidak menganggap Tuhan sebagai AllahNya. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk tidak menganggap remeh setiap ketidaktaatan kita akan firman Tuhan. Jangan sampai kita menjadi seperti Saul. Biarlah ketika kita menerima Yesus sebagai Juruselamat hidup kita, kita mengerti bahwa Yesus juga Tuhan dan Raja yang memerintah setiap bagian hidup kita dan biarlah ketaatan kita sempurna untuk menyenangkan hati Sang Raja.

Monday, March 8, 2021

Nyaman




by Ika Hambali 

Bagi kita, para wanita, kita pasti tahu bagaimana rasanya menjadi wanita. Kita suka dipuji, kita suka disayang, senang kumpul-kumpul dan ngobrol dari hati ke hati. Kita suka menerima kado dan memberi kado, rasanya bahagia kalau bisa membuat orang lain juga senang. Kita suka bikin arisan, mungkin tujuan utamanya bukan uangnya, tapi kumpul-kumpul, makan bersama, tertawa dan berbagi cerita. Bahkan, sekarang pun banyak perkumpulan ibu-ibu menyusui, perkumpulan ibu-ibu sekolah tertentu, ibu-ibu homeschooling, klub masak, klub sepeda wanita, atau apa saja yang bisa menjadi alasan untuk membuat suatu perkumpulan dengan para wanita sebagai anggotanya. 

Seorang penyiar radio di Amerika pernah membuat laporan, bahwa di hari dia dimana membawakan topik tentang masalah makro; politik, ekonomi, keuangan, maka mayoritas penelpon adalah pria. Sedangkan, di hari dimana dia membawakan topik tentang hubungan manusia, seperti topik tentang cinta, anak, atau parenting, maka mayoritas penelpon adalah wanita.

Jelas sekali jika kita, wanita, adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang sangat peduli dengan relasi atau hubungan antar manusia. Rasanya mudah untuk sesama wanita menemukan kesamaan dan saling membantu. Saya sejujurnya, selalu terganggu bila ada masalah kecil, apalagi besar, dengan keluarga atau teman. Rasanya itu mengambil hampir semua porsi perhatian saya di hari itu. Ingin cepat membereskan dan cepat baik-baik saja, rasanya gundah kalau ada hubungan yang bermasalah. Karena hubungan itu penting buat saya. 

Tetapi tanpa sadar, hal ini juga yang kadang saya jadikan acuan untuk kebahagiaan saya. Apa kata orang, apa kata dia, apa kata mertua, apa yang dia pikirkan, dan apa yang terjadi kalau saya lakukan ini dan itu. Tanpa sadar, saya menjadikan orang lain sebagai tolak ukur rasa puas dan kebahagiaan saya. Dan ternyata hal ini juga membuat saya jadi tidak berani membuat keputusan karena takut dengan apa kata orang, atau dengan pemikiran orang lain. Kemudian berlanjut ke kepercayaan diri saya yang dipengaruhi dengan perkataan orang, misalnya bertemu dengan kerabat yang lama tidak bertemu lalu kalimat pertamanya adalah, “Eh gemukan ya.” Secuek apapun seorang wanita, pasti ada rasa di hati saat hal itu dilontarkan. Belum lagi kalau komentarnya soal anak, dan dilontarkan oleh orang yang dekat. Sampai di satu titik saya lelah dengan semua ini, dan menutup diri dari semua relasi atau hubungan dekat. Karena tidak nyaman, tidak mau disakiti, dan tidak mau menyakiti. 
“To love at all is to be vulnerable. Love anything, and your heart will certainly be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact, you must give your heart to no one, not even to an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements; lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket – safe, dark, motionless, airless – it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable … The only place outside Heaven where you can be perfectly safe from all the dangers … of love is Hell.” 
(C. S. Lewis – the Four Love)
Lalu, saat saya menutup semua pintu dan diri dari semuanya, keadaan tidak bertambah baik, tidak lantas tambah bahagia, tapi sepi sendiri, kaku seperti kanebo kering, dan mudah patah. Tuhan mengetuk pelan pintu hati saya, untuk membuka diri untuk diriNya, dan saya jawab ya. Berusaha bangun pagi untuk membaca Alkitab dan berdoa, perjuangan yang tidak mudah. Tapi saya menikmatinya, dan terbawa dalam perjalanan romantis dengan Tuhan, hal-hal yang diungkapkanNya melalui FirmanNya dan keseharian yang sederhana benar-benar memukau diriku. Pada saat yang sama, ternyata hati ini pun jadi lebih mudah terbuka dan menerima orang lain yang memiliki banyak salah, mudah untuk memaafkan, mudah untuk mengerti alasan orang lain melakukan hal yang menyebalkan. Tanpa sadar Tuhan membuat kapasitas hati saya menjadi besar untuk menampung banyak hal-hal yang mungkin dulu tidak bisa saya toleransi. 

Masih wanita yang sama, wanita yang menghargai hubungan, dan peduli dengan orang lain, yang juga masih sensitif, dan takut disakiti, tapi sekarang dengan hati yang berbeda. Perubahan yang terjadi adalah hati ini telah diisi oleh kasihNya terlebih dahulu, sebelum diberikan pada orang lain. Ternyata, Tuhan peduli dengan hubungan manusia, karena Dia yang menciptakan wanita sesuai gambaranNya. Artinya Tuhan juga sebenarnya rindu untuk mempunyai kedekatan dengan kita, sama seperti wanita mau disayang dan dikejar, demikian juga Tuhan. Dan saat saya berusaha meletakkan hubungan dengan Tuhan di atas segalanya, ternyata cara pandang saya dan reaksi saya dalam banyak hal bisa berubah. As if everything falls into its perfect place. 

“For a woman to enjoy relationship, she must repent of her need to control and her insistence that people fill her. Fallen Eve demands that people ‘come through’ for her. Redeemed Eve is being met in the depths of her soul by Christ and is free to offer to others, free to desire, and willing to be disappointed. Fallen Eve has been wounded by others and withdraws in order to protect herself from further harm. Redeemed Eve Knows that she has something of value to offer; that she is made for relationship. Therefore, being safe and secure in her relationship with her Lord, she can risk being vulnerable with others and offer her true self.”
(Stasi Eldredge – Captivating)
Masih wanita yang sama, tapi sekarang saya merasa nyaman menjadi diri sendiri, nyaman untuk berekspresi, nyaman untuk membuka dirinya dan memberikan apa yang bisa diberikan untuk orang lain. Karena rasa nyaman itu ditemukan dari penciptaNya. Wanita yang ber-partner dengan Tuhan akan membawa kehidupan dimana pun dia berada. 

“I’ve loved you the way my Father has loved me. Make yourselves at home in my love. If you keep my commands, you’ll remain intimately at home in my love. That’s what I’ve done—kept my Father’s commands and made myself at home in his love.” 
John 15:9-10 MSG

Monday, March 1, 2021

Wanita Ideal versi Alkitab




by Yunie Sutanto

Ada seorang remaja bermimpi menjadi gadis sampul. Setelah mencari tahu syaratnya, ia urungkan niat itu. Ia cukup sadar diri untuk tak meneruskan mimpi tersebut. Mau tahu apa saja syaratnya? Daftar ini diambil dari majalah langganannya:

● Wanita, WNI, berusia 18-25 tahun
● Pendidikan minimal lulus SMA
● Fotogenik
● Memiliki kulit mulus, gigi rapi, dan rambut sehat
● Bertubuh bugar dan proporsional
● Tinggi minimum 165 cm
● Cerdas dan berkepribadian menarik

Sayangnya tidak semua persyaratan tersebut bisa terpenuhi. Hanya gadis dengan atribut fisik ideal yang bisa ikutan. Kepribadiannya pun harus menarik. Padahal si gadis itu bukanlah wanita yang mudah bergaya bebas untuk dipotret, wajahnya berjerawat di sana-sini, bahkan kecerdasannya mungkin tidak seideal yang diharapkan. Dengan kriteria-kriteria tersebut, si gadis merasa bahwa dirinya jelas tak masuk hitungan.

Singkat cerita, masa ababilnya telah berlalu. Ketika dirinya mulai menjalani peran sebagai istri dan ibu, si gadis yang menjadi dewasa itu merenungkan Amsal 31:10-31 yang merupakan sebuah puisi akrostik berisi puji- pujian untuk wanita yang saleh:

● Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. 
● Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. 
● Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. 
● Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. 
● Ia serupa kapal-kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya. 
● Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan. 
● Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya. 
● Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya. 
● Ia tahu bahwa pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam. 
● Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal. 
● Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin. 
● Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya, karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap. 
● Ia membuat bagi dirinya permadani, lenan halus dan kain ungu pakaiannya. 
● Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri. 
● Ia membuat pakaian dari lenan, dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang. 
● Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan. 
● Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. 
● Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya. 
● Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia: 
● Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua. 
● Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji. 
● Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang! 

Perikop mengenai wanita yang tertuang dalam Alkitab itu membuat serangkaian pertanyaan memberondong pikiran si gadis:

1. Apakah Amsal 31 merupakan serangkaian checklist untuk menjadi wanita saleh? 

Jika untuk menjadi wanita saleh harus melakoni semua checklist di atas, tidak semua orang sanggup, dong! Sangat langka—bahkan nihil—orang-orang yang bisa melakoninya dengan sempurna. Namun kabar baiknya, Tuhan Yesus tahu kesanggupan kita. Dia melihat kedalaman hati kita melebihi yang tampak di luaran. Well, terlihat saleh dan sungguh-sungguh saleh itu dua hal yang berbeda, kan?

Sebagai contoh, Marta yang sibuk bekerja dengan tangannya mungkin terlihat sebagai pribadi yang lebih bertanggung jawab daripada Maria yang duduk santai di kaki-Nya. Marta lebih mirip figur wanita saleh Amsal 31 yang produktif di dapur, bahkan bisa dikatakan si nyonya rumah serba bisa! Sebaliknya, Maria bisa dianggap wanita malas, tidak peka dan cuek. Bukannya membantu Marta menjamu para tamu dengan menghidangkan makanan dan sebagainya, Maria justru memilih duduk bersama Tuhan Yesus. Padahal Dia juga datang bersama dengan (setidaknya) para murid-Nya. Tentu menyediakan hidangan dan melayani mereka bukanlah perkara yang bisa dilakukan dengan cepat oleh satu orang saja. Mungkin itulah yang membuat Marta kesal dan meminta Tuhan Yesus “membela” dirinya yang sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi-Nya dan tamu-tamu lainnya. Uniknya, respon-Nya dalam Lukas 10:40-42 (TB) ternyata tidak menyalahkan Maria: 

... sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Hati orang yang fokusnya berpusat pada Kristus tidak merasa pusing dengan citra dirinya. Apapun kata orang tentang dirinya, ia merasa aman dan memprioritaskan apa yang terutama. Satu-satunya yang dirindukan hatinya hanya kemelekatan dan keserupaan kepada Kristus saja; bukan seberapa hebat dirinya di mata dunia yang jadi fokus utamanya, tetapi seberapa dirinya bisa memuliakan Allah lewat segenap tindakannya. Setiap tindakan apapun yang hanya sebatas ritual demi memenuhi checklist semata tentu kehilangan esensi spiritualnya. Nah, mungkin Maria tidak terlihat sesaleh Marta dari tampak luar, tetapi Tuhan Yesus mengetahui kedalaman hatinya, motivasinya dalam menjamu diri-Nya dengan cara yang berbeda. Jika mengaitkannya dengan tindakan Maria, Amsal 31 adalah buah kehidupan yang nampak secara otomatis saat seorang wanita tenggelam dalam rencana Allah, sebuah gambaran wanita yang memiliki rasa takut akan Allah dan menyatakannya secara konkret. Saat hati kita tenggelam dalam rencana illahi, dengan sendirinya kualitas-kualitas di checklist Amsal 31 akan bermunculan dalam diri, bukan hasil kekuatan diri sendiri agar nampak saleh. Tentunya hal itu hanya bisa terjadi jika kita sungguh-sungguh menyadari ada buah pertobatan yang digerakkan oleh Roh Kudus, karena tanpa pertolongan-Nya kita yang berdosa ini tidak akan bisa menangkap kerinduan Tuhan dan taat pada-Nya.

Menjadi wanita yang takut akan Tuhan itu bukan soal tampilan luar semata, melainkan pada kerelaan untuk memiliki teachable heart terhadap diri-Nya dan mendasarinya dalam semua aspek kehidupan kita.


2. Apakah nasihat di dalam Amsal 31 ini masih relevan untuk generasi ini?

Pearlians, sebagai wanita yang terlahir dalam generasi X, generasi Y (generasi milenial) dan generasi Z, kita kian hari semakin akrab dengan dunia maya. Banyak hal yang bisa diraih wanita zaman now ini—yang pada era Perjanjian Lama itu mustahil dilakukan. Salah satunya adalah dengan adanya kesetaraan gender yang membuka banyak pintu kesempatan untuk wanita; kita hidup di “zaman anugerah” bagi kaum hawa!

Jika demikian, apakah pesan Tuhan dalam Amsal 31 masih relevan berbicara kepada wanita-wanita di generasi kita? Tentu! Pesan yang terkandung di dalamnya melintas zaman dan ruang!

Sebagai wanita yang takut akan Tuhan, kita senantiasa rindu memuliakan-Nya, seperti ungkapan hati Daud dalam Mazmur 145:3-4 (TB) ini:

Besarlah TUHAN dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga. Angkatan demi angkatan akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu.

Angkatan demi angkatan akan memuliakan Tuhan, generasi demi generasi yang mengenal Allahnya memiliki kerinduan yang sama: memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya (Shorter Westminster Catechism). Lewat kehidupan kita sebagai wanita yang maksimal dalam Kristus, terang-Nya dinyatakan! See? Meskipun zaman telah berubah drastis, namun sebagai wanita generasi X (termasuk baby boomers), generasi Y, dan generasi Z, kita bisa tetap berkaca pada wanita Amsal 31 ini dan tetap memuliakan Allah melalui konteks apapun yang Dia percayakan bagi kita.


3. Sebetulnya apa sih, tujuan Allah menciptakan wanita?

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Kejadian 1:27 (TB)

Tahukah Pearlians alasan di balik penciptaan Hawa setelah Adam? Salah satu alasannya karena Allah ingin Adam memiliki kesadaran bahwa dia tidak bisa hidup seorang diri. Meskipun pemberian nama yang Adam lakukan menyimbolkan kekuasaannya, namun sebenarnya Allah ingin agar Adam menjadikan Hawa sebagai rekan sekerjanya dalam kasih karunia Allah. Itulah sebabnya kita sering mendengar pernyataan bahwa pria dan wanita (seharusnya) saling melengkapi satu sama lain. Sayangnya, kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat sistem yang telah dipandang Allah dengan sangat baik itu jadi rusak. Akibatnya, wanita diperlakukan semena-mena dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. So ironic, but grace unites us again by Christ alone!

Nah, ketika wanita berfungsi sesuai rencana Allah, terang Tuhan dinyatakan lewat kehidupannya, dan itulah the great calling yang seharusnya juga kita responi—baik melalui studi, pekerjaan, pelayanan, pernikahan, maupun parenting yang kita terapkan. Oleh karena itu, biarlah kita bisa menjalani panggilan dengan maksimal dalam setiap fase kehidupan: sebagai wanita single, maupun sebagai istri dan ibu yang memuliakan Tuhan! Stop comparing our unique calling with others. Berlomba-lombalah berbuat baik di dalam Kristus dan selesaikanlah pertandingan iman kita sampai garis akhir! Who knows panggilan kita yang berbeda-beda ini bisa saling melengkapi dan menguatkan karena Allah menghendakinya demikian.

Kiranya kata-kata berikut menyambut kita saat menyelesaikan pertandingan iman ini:

“Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang!”
Amsal 31:31