Monday, September 28, 2020

The Forgotten Ingredient for a Tasteless World


by Tabita Davinia Utomo

Artikel ini mengacu pada Yohanes 13:31-35, 15:12-17

Apa kabar, Pearlians? Apa kabar? Fyuhhh… pandemi Covid-19 ini sudah berlangsung lebih dari setengah tahun, tapi tampaknya dunia berubah dengan sangat drastis, ya? Semua orang sibuk untuk bertahan hidup, tetap sehat roh, jiwa dan tubuhnya. Kalau kita mau peka, di saat semua orang sibuk dengan hidup mereka, ada sesuatu yang bisa dipertanyakan:

Masihkah ada kasih di dunia yang hambar ini?

Di masa sulit seperti sekarang, ternyata tidak sedikit orang-orang yang berusaha melakukan kebaikan untuk meringankan beban orang lain. Tapi apakah mereka (mungkin termasuk kita) mendasarinya dengan kasih seperti yang Tuhan Yesus kehendaki? Apakah sebagai orang (yang mengaku) percaya kepada-Nya, kita mengedepankan motif untuk unjuk diri daripada menjadikan perbuatan diri kita sebagai bentuk syukur atas berkat Allah? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu perenungan terbesar saya akhir-akhir ini. Ketika saya sudah merasa melakukan perbuatan baik bagi orang lain, apakah itu karena saya ingin mereka juga mengapresiasi apa yang saya lakukan, atau memang saya tulus melakukannya karena saya mengasihi mereka? Apakah saya mengharapkan mereka membuat story atau post di media sosial tentang encouragement words atau hadiah yang saya berikan, atau saya melakukannya sebagai perpanjangan tangan Allah dalam mengasihi mereka?

Mungkin hal tersebut terjawab melalui perkataan Yesus dalam “pesan terakhir” kepada para murid-Nya—sebelum Dia menjalani Via Dolorosa.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
(Yohanes 13:34-35)

Tidak dijelaskan alasan kenapa Yesus baru menyampaikan perintah tentang “saling mengasihi” justru setelah Yudas meninggalkan perjamuan terakhir Sang Guru bersama sesama murid (Yohanes 13:31). Namun yang jelas, Yesus mengulang perintah-Nya ini di Yohanes 15:12-17:

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain."

Saat itu, sebuah perkataan yang diulang (bahkan sampai berkali-kali) berarti bersifat sangat penting dan tidak boleh dilewatkan begitu saja. Hal yang sama juga dilakukan Yesus kepada para murid-Nya, agar mereka tidak melupakan perintah penting ini. Apalagi sebelumnya, Yesus menekankan pentingnya saling melayani—sama seperti diri-Nya yang telah memberikan teladan kepada mereka. Tindakan tersebut menegaskan bahwa pelayanan tanpa kasih Allah (agaphe—bahasa Yunani) adalah sia-sia. Sebaliknya, ketika kita mengasihi, kita juga akan terdorong untuk melayani dengan “modal” yang Tuhan percayakan. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengasihi kalau tidak benar-benar menyadari bahwa kita dikasihi oleh Allah? Mungkin ada beberapa ayat di atas yang kita hapalkan sampai di luar kepala, tapi seberapa besar dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain?

Pearlians, ketika kita mengabaikan ke-“tidak baik-baik saja”-an yang dimiliki, tidak jarang imbasnya pada letihnya jiwa kita untuk mengasihi orang lain. Walaupun secara penampilan (kalau kata dosen saya, “fenomena”) kita bisa sangat mengasihi orang lain, ada kemungkinan semangat yang melandasinya adalah insecurity. Ya, bisa saja kita “mengasihi” karena takut mereka meninggalkan kita. Kita berbuat baik agar mereka juga melakukan hal yang sama. Seperti transaksi dagang, ya? Mungkin itu juga yang dialami oleh dunia saat ini: rasa hambar karena kasih terasa tawar. Padahal bukankah seharusnya kasih membuat hidup ini menjadi lebih manis untuk dijalani, meskipun kadang-kadang berseling dengan rasa getir dan pahit?

Jadi sebenarnya, kasih seperti apa yang harus kita miliki? Paulus menjawabnya dengan indah di 1 Korintus 13:4-7:

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

“Love is patient, love is kind, it is not envious. Love does not brag, it is not puffed up. It is not rude, it is not self-serving, it is not easily angered or resentful. It is not glad about injustice, but rejoices in the truth. It bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things.”
(New English Translation version)

Keempat ayat di atas seringkali digunakan sebagai landasan dari pembahasan mengenai relationship; tapi disadari atau tidak, sebenarnya Paulus justru menuliskan tentang kasih ini setelah dia menyebutkan berbagai karunia rohani di pasal sebelumnya (1 Korintus 12). Artinya, kasih ini adalah karunia rohani terbesar di atas segalanya—yang pasti dimiliki oleh semua orang percaya. Namun di sisi lain, kasih di dalam diri kita tidak akan berkembang kalau kita hanya menyimpannya untuk diri sendiri—atau justru menolaknya karena tidak sesuai dengan keinginan kita.

Mengasihi memang penuh tantangan, tapi bukankah lebih melelahkan lagi ketika kita mengasihi dengan kasih yang egois dan penuh tuntutan tak berbalas?

Mungkin kita perlu belajar bersama untuk memperbaiki mindset bahwa kasih yang sejati hanya bisa disalurkan kepada orang lain ketika kita sudah benar-benar menyadari Allah mengasihi kita dengan kasih tersebut. Setelah menyadarinya, kita juga perlu untuk mengasihi diri kita terlebih dulu—iya, lho. Bagaimana kita bisa mengasihi orang lain kalau kita tidak bisa mengasihi diri sendiri? Bukan berarti kita jadi egois, ya… tapi seperti yang dikatakan Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Kita tidak bisa memberi apa yang kita sendiri tidak miliki.

Selamat tenggelam dalam cintanya Tuhan, Pearlians, jangan lupa untuk mengasihi diri sendiri dan orang lain… seperti yang telah dilakukan-Nya bagi kita.

Monday, September 21, 2020

Mengampuni Karena Diampuni


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: MATIUS 18:21-35 (Perumpamaan tentang pengampunan)

Bertahun-tahun yang lalu, aku sangat membenci seseorang. Sulit rasanya mengampuni apa yang dia lakukan. Aku tahu aku akan lebih tenang kalau mengampuni, tapi rasanya gak sanggup. Tuhan ingatkan, “AKU sudah mengampuni kamu, Meg, perbuatlah yang sama baginya.” Tapi aku berdalih, “TUHAN, aku gak mau dia merasa menang setelah apa yang diperbuatnya padaku.” Sampai akhirnya seseorang menegurku, “Meg, ini bukan masalah menang atau kalah. Kamu mau taat ato gak sih? Katanya mau taat…”

Lalu, ayat-ayat yang berbunyi tentang pengampunan melintas di kepalaku. 1 Korintus 13:5 berkata "kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain", dan TIDAK MENGAMPUNI berarti MENYIMPAN KESALAHAN ORANG LAIN.

Tapi Tuhan, aku tidak mengasihi orang ini setelah apa yang diperbuatnya kepadaku. Buat apa mengasihi orang seperti dia? Aku tidak bisa mengampuni dia. Aku membayangkan TUHAN berkata, “Lalu buat apa aku mengasihi kamu?”

"Karena jika kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tapi jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."
(Matius 6:14,15)

"Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah dalam Kristus telah mengampuni kamu."
(Efesus 4:32)

Aku memikirkan bagaimana perasaan KRISTUS waktu Ia harus mengampuni dan mati buat orang sepertiku. Sedangkan aku, hanya disuruh mengampuni, belum disuruh mati buat orang itu saja terasa berat. Kok Kristus mau ya? 

Lalu, lagi-lagi, dengan sabar-Nya Dia berkata, “Meg, ini bukan tentang dia, ini tentang AKU berurusan denganmu sekarang. Segala sesuatu bukan tentang kamu atau dia, segala sesuatu adalah tentang AKU.”

Aku tertunduk dan kehilangan kata-kata. Rasanya hati masih sulit mengampuni, padahal sudah tahu kebenaran firman Tuhan. Aku masih mengeraskan hati.

Pada akhirnya, aku baru bisa mengampuni sepenuhnya saat membaca dan merenungkan bacaan Perumpamaan tentang pengampunan. Perumpamaan ini indah sekali karena dua hal:

Tuhan terlebih dahulu mengampuniku. 

Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.
(Matius 18:27)

Sang Raja tahu kalau hambanya tidak sanggup membayar hutangnya, demikian juga Tuhan tahu kalau aku tidak sanggup menanggung dosa-dosaku. Dia tidak harus mengampuniku tetapi Dia berbelas kasihan lalu membebaskanku dan menghapus segala kesalahanku. Dia tidak memperhitungkan kesalahanku. Sang Raja memberikan teladan kepada hambanya bagimana mengampuni. Sama dengan Tuhan. Dia tidak memintaku mengampuni tanpa Dia memberikan teladan kepadaku.

Pengampunan yang telah kuterima dari Tuhan terlebih besar dari kesalahan yang dibuat orang lain kepadaku. 

Raja dalam perumpamaan tersebut membebaskan hambanya dari hutang sebanyak sepuluh ribu talenta, tetapi si hamba ini mempermasalahkan hutang kawannnya yang ‘hanya’ seratus dinar. Menurut kamus Alkitab, 1 talenta sama dengan 6.000 dinar, sedangkan 10.000 talenta sama dengan 60.000.000 dinar.

Bandingkan, hamba tersebut punya hutang 60 juta dinar dan dibebaskan dari segala hutangnya tapi dia tidak sanggup merelakan hutang kawannya padanya yang hanya 100 dinar. Keterlaluan sekali hamba ini. Lah, bagaimana denganku yang sulit mengampuni orang lain, padahal kesalahanku yang begitu banyak telah diampuni Tuhan. Aku juga keterlaluan. Jadi, jika Tuhan telah mengampuni dosa-dosaku yang begitu banyak, kenapa aku mempermasalahkan kesalahan kecil yang dibuat orang lain padaku. 

Mengampuni itu sulit. Gak mudah. Tapi bukan berarti gak bisa. Caranya? Dengan menerima pengampunan Kristus. Gak ada jalan lain. Saat aku sadar kalau aku sangat berdosa. Saat aku ingat betapa banyaknya kesalahanku dan gak ada yang bisa kulakukan untuk menebusnya. Aku teringat anugerah pengampunan-Nya yang besar telah diberikan kepadaku. Aku sadar, Tuhan begitu baik mau mengampuniku. Dia tidak harus mengampuniku tapi Dia mau mengampuni. Saat menyadari anugerah yang kuterima begitu besar, aku dimampukan mengampuni dia yang menyakitiku. Di kemudian hari, saat ada orang yang menyakitiku, aku bisa mengampuni dia karena aku tahu aku sudah diampuni dari dosa dan kesalahan yang jauh lebih besar daripada kesalahan yang dia lakukan padaku. 

Kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki. Jika pengampunan terasa sangat sulit diberikan, mungkin karena kita belum menyadari betapa besar anugerah pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan.

Monday, September 14, 2020

WHAT MATTERS MOST


by Leticia Seviraneta
Faith in action is love,and love in action is service.– Mother Teresa
Bila sudah lama menjadi orang Kristen (yang lahir baru, bukan hanya Kristen KTP), kita akan terbiasa dengan kutipan-kutipan ayat Alkitab, isi khotbah, ritual kebaktian, bahkan juga kesibukan pelayanan di gereja. Tanpa disadari, semua hal baik yang kita terima dan lakukan tersebut terkadang menjadi sekedar rutinitas (atau jadi beban tersendiri?) hingga kita melupakan alasan mengapa kita melakukannya. Ketika kita melupakan “the why” di balik apa yang kita lakukan, kita menjadi kehilangan arah serta tujuan. Akibatnya, “the why”—yang merupakan hal penting—ini sering tergusur urutan prioritasnya oleh hal yang terlihat “urgent” atau mendesak. Jika sudah begini, mungkin kita perlu mengingat pepatah di bawah ini:

Hal yang penting tersebut bukanlah untuk ditemukan seolah-olah belum kita miliki,
melainkan untuk diingat kembali.
(The important things are not to be discovered, but to be remembered.)

Lalu, sebagai orang Kristen, apa yang paling penting untuk kita lakukan?

Pertanyaan seputar “apa-yang-paling-penting” ini juga muncul di pikiran seorang ahli Taurat saat bertemu dengan Yesus. By the way, ahli Taurat adalah orang yang secara khusus mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari hukum Taurat. Nah, ketika ada kesempatan, dia bertanya kepada Yesus mengenai hukum yang terpenting dari semua hukum Taurat yang ada:

... dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
(Mat 22:35-40 / TB)

Pertanyaan di atas bukan berarti menandakan bahwa ahli Taurat itu tidak sungguh-sungguh mempelajari kitab Taurat. Bukan! Sebaliknya, dia bertanya kepada Yesus dengan maksud untuk mencari celah kesalahan di mana Sang Rabi itu akan mengabaikan hukum yang lain. Namun di luar dugaan, jawaban Yesus menunjukkan esensi dari keseluruhan hukum yang ada, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama. Perintah ini merupakan kutipan dari kitab Ulangan:


“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
(Ulangan 6:5 / TB)

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dulu mengasihi kita.”
(1 Yoh 4:19 / TB)

Kita dapat taat tanpa mengasihi, tetapi kita tidak dapat mengasihi tanpa taat. Kita bisa saja melakukan seluruh perintah Allah tanpa dilandasi kasih, namun kita tidak dapat mengasihi Allah tanpa ketaatan. Oleh karenanya, motivasi di balik hal-hal baik yang kita lakukan menjadi penting. Semuanya itu harus berlandaskan kasih kepada Allah. Kasih tersebut yang akan menjadi energi, menjadi alasan yang kuat di saat situasi kita melemahkan semangat, tidak ideal, dan sulit.

Apa artinya mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita? Nah, tahukah Pearlians bahwa kata “hati”—dalam bahasa Ibrani—disebut “lev”? “Lev” diartikan sebagai “organ yang memberikan kehidupan, tempat berpikir, merasakan emosi, dan membuat keputusan-keputusan”. Menariknya, “lev” tidak sekadar berarti “hati”, melainkan juga diterjemahkan sebagai “pikiran”. Ini menunjukkan bahwa hati dan pikiran menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, apalagi karena keduanya merupakan pusat dari kehidupan. Dari situlah pusat emosi, keinginan, pengambilan keputusan yang kemudian akan menentukan arah kehidupan kita. Itulah mengapa raja Salomo menuliskan dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” 

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan akal budi dimulai dengan mengarahkan fokus perhatian dan pikiran kita kepada kebaikan Tuhan, Firman-Nya, dan menyembah-Nya di setiap saat. Bila kita mau jujur, banyak hal yang berusaha merebut fokus kita sehari-hari; entah itu pekerjaan, pasangan, keluarga, pelayanan, dan sebagainya. Iya, semuanya itu hal yang baik. Tapi kalau Tuhan tidak ditempatkan menjadi Sang Raja atas kehidupan kita (baca: yang hadir dalam setiap aspek kehidupan yang kita miliki), maka seringkali motivasi dan tujuan sebenarnya dari hal-hal baik tersebut akan hilang. Oleh karenanya, mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan pikiran dapat dilakukan dengan memulai hari kita untuk meluangkan waktu bersama-Nya, berdoa, memuji dan menyembah-Nya, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, serta menerapkannya setiap saat. Disiplin rohani ini seringkali dilihat sepele, namun itu akan menuntun kita sepanjang hari ke arah sesuai yang Tuhan inginkan.

Lalu apa yang dimaksud “mengasihi Tuhan dengan segenap jiwamu”? Dalam bahasa Ibrani, jiwa menggunakan kata “nephesh” yang memiliki arti keseluruhan dari keberadaan fisik seseorang (the whole physical being of a person). Artinya, “mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa” berarti mendedikasikan keseluruhan keberadaan dan hidup kita kepada Tuhan. Hal ini bukan berarti pekerjaan atau kegiatan kita sehari-hari harus yang bersifat “rohani”—karena sebenarnya tidak ada kegiatan yang “rohani” maupun “non-rohani” (atau “sekuler”) di mata Tuhan. Apapun yang kita kerjakan sehari-hari, kalau selalu dilakukan dengan tujuan untuk memuliakan Tuhan, maka itu adalah penyembahan kita yang sejati.

So here's what I want you to do, God helping you: Take your everyday, ordinary life—your sleeping, eating, going-to-work, and walking-around life—and place it before God as an offering. Embracing what God does for you is the best thing you can do for him.
(Rom 12:1 / MSG)

Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
(Rom 12:1 / TB)

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
(1 Korintus 10:31)

Kemudian apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatanmu? Menarik sekali, kekuatan disini tidak merujuk kepada kekuatan fisik seseorang, melainkan berasal dari kata Ibrani “me’od” yang sebenarnya merupakan kata keterangan yang berarti “sangat” atau “very”. Misalnya pada hari ketujuh penciptaan Tuhan mengatakan semuanya “me’od” baik atau sangat baik. Dalam bahasa Yunani kata ini diterjemahkan menjadi “dunamis” atau “power”. Intinya adalah “mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan” tidak membatasi kita mengasihi Tuhan dengan cara tertentu saja. Sebaliknya, kita justru dibukakan pada anugerah bahwa dalam segala aspek kehidupan kita—dalam situasi apapun, kesempatan yang diberikan, maupun setiap kemampuan yang kita miliki—dapat digunakan untuk mengasihi-Nya. 

Keseluruhan dari perintah untuk mengasihi mendorong kita kepada suatu perbuatan (action). Stephen Covey berkata, “Kasih adalah sebuah kata kerja. Kasih adalah sesuatu yang kamu lakukan: pengorbanan yang kamu lakukan, pemberian diri kita sendiri. Bila kamu ingin belajar mengasihi, pelajari mereka yang berkorban untuk orang lain. Kasih—sebuah perasaan—adalah buah dari kasih yang merupakan kata kerja.” Mengasihi Tuhan tidak dapat terlepas dari mengasihi orang lain. Keduanya seperti dua sisi mata koin yang sama. Kita tidak dapat menanyakan, “Mana yang lebih penting: mengasihi Tuhan atau mengasihi sesama?” Karena bagi Tuhan, mengasihi-Nya ditunjukkan dengan mengasihi sesama, dan mengasihi sesama menunjukkan bahwa kita mengasihi-Nya. Oleh karena itu perintah yang terutama yang Yesus sebutkan dilanjutkan dengan “…mengasihi sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” (Luk 10:27 / TB)

Dalam Lukas 10:29-37, dikisahkan bahwa ahli Taurat yang menanyakan hal yang sama—yang bertujuan untuk membenarkan dirinya—bertanya kembali, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Bukankah pertanyaan itu seolah-olah menyiratkan bahwa kita dapat memilih orang-orang tertentu saja untuk dikasihi dan itu sudah cukup untuk memenuhi perintah Tuhan tersebut? Tapi Yesus menjawabnya dengan menceritakan ilustrasi seorang Samaria yang menolong orang yang telah dirampok, dipukul habis-habisan, dan meninggalkannya di pinggir jalan dalam keadaan hampir meninggal. Sebelum orang Samaria tersebut datang, seorang imam dan Lewi melewati jalan tersebut, melihat kondisi orang itu, dan mengabaikannya dengan berjalan di sisi jalan lain. Sementara ketika orang Samaria melihatnya, ia menaruh belas kasihan kepadanya. Ia membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, membawanya ke tempat penginapan, merawatnya, dan menitipkan uang di tempat penginapan untuk tempat pengobatannya. Yesus mendeskripsikan orang Samaria tersebut sebagai sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun tersebut. Lalu kenapa Dia menjadikan orang Samaria di kisah itu sebagai “orang yang menunjukkan belas kasihan pada sang korban perampokan”, bukannya imam atau orang Lewi? Well, ini karena Yesus tahu bahwa pada zaman itu, orang Samaria adalah kelompok yang dibenci oleh orang Yahudi; sedangkan imam dan orang Lewi cenderung dihormati karena mereka memiliki hak untuk melayani Allah. As simple as that.

By the way, perintah agar kita mengasihi Allah dan sesama menggunakan kata Yunani “agape”, jenis kasih tidak bersyarat yang ditunjukkan Allah kepada manusia. Ini merupakan kasih yang tanpa pamrih, yang tidak memandang buluh siapa penerima kasihnya.

“Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya [agape] kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”
(Rom 5:8)

Ketika masih berdosa, manusia (termasuk) berada di posisi yang menempatkan Tuhan sebagai musuhnya. Tuhan mengasihi kita selagi kita menjadi “musuh”-Nya? Wah, ironis sekali, kan? Demikian juga dengan ilustrasi Yesus, orang Samaria pada masa itu merupakan “musuh” orang Yahudi. Orang Yahudi tidak akan mau berurusan sama sekali dengan orang Samaria, demikian juga sebaliknya. Yesus menjabarkan deskripsi sesama manusia dengan menggunakan contoh yang paling ekstrim: musuh kita pun termasuk sesama kita. Melalui ilustrasi-Nya, deskripsi sesama manusia dapat meliputi orang yang (menurut kita) tidak layak mendapatkan kasih kita, orang yang tidak berdaya, maupun orang yang tidak dapat membalas kebaikan kita. Tapi karena Tuhan sudah memberi agape kepada kita yang sebenarnya tidak layak untuk dikasihi, Dia juga menginginkan kita untuk memberikan agape tersebut kepada orang yang tidak layak mendapatkannya.

Secara manusiawi, tentu ini perintah yang sungguh sulit untuk dilakukan. Bila kasih hanya bersumber dari diri kita sendiri, maka hal ini tentu mustahil untuk dilakukan. Bagaimana bisa kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang menyakiti kita atau yang tidak akan membalas kebaikan kita? Secara logika, hal ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, kita perlu menerima terlebih dahulu agape Allah, kasih tidak bersyarat-Nya yang begitu besar. Allah perlu menjadi sumber kasih dalam keseharian kita sehingga kita dimampukan oleh-Nya untuk mengasihi sesama kita juga. Bagaimana melakukan hal ini secara nyata? Hal ini dapat dimulai dari langkah kecil seperti berdoa bagi yang pernah menyakiti kita. Mendoakannya mungkin tidak secara instan mengubah orang tersebut, namun akan secara progresif mengubahkan hati kita. Fokus kita dapat bergeser dari tindakannya yang salah terhadap kita menjadi melihatnya sebagai seorang yang membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Dari langkah kecil ini, kita dapat pelan-pelan berbuat sesuatu yang baik kepadanya. Demikian juga halnya dengan orang yang jelas membutuhkan pertolongan, seorang yang tidak berdaya, dan tidak dapat membalas kebaikan kita. Kita perlu membuka mata dan berbesar hati untuk lebih peka melihat kebutuhan di sekitar kita dan melakukan sesuatu untuk memenuhinya.

Bunda Teresa berkata, “Iman dalam perbuatan adalah kasih, kasih dalam perbuatan adalah pelayanan.” Pelayanan yang sesungguhnya tidak terbatas dalam lingkup gereja, melainkan dalam keseharian kita, dan kepada siapa pun yang kita temui. Dengan cara inilah, kasih Allah dapat hadir dan nyata bagi kehidupan orang lain dan pelayanan kita menjadi respon natural dari kasih yang sudah kita terima dari-Nya. Selamat mengasihi!
“Bentuk penyembahan tertinggi adalah penyembahan dari pelayanan orang Kristen yang tidak egois. Bentuk pujian tertinggi adalah suara kaki-kaki yang mencari orang yang terhilang dan tidak berdaya.” – Billy Graham

Monday, September 7, 2020

Ironi dari sebuah Pengajaran Agung


by Tabita Davinia Utomo


Artikel ini mengacu pada Matius 20:17-34 dan Markus 10:32-52.

Pernahkah Pearlians merasa kesal saat melihat ada orang lain yang tidak memahami perintah yang baru saja diberikan? Misalnya saja ada anak, murid, atau karyawan kita yang justru melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kita suruh. Hmmmm… rasanya gemas dan tidak habis pikir, ya? Bahkan mungkin kita jadi berpikir, “Aku salah apaaaa? Kok, mereka nggak ngerti-ngertiii. Hufttt… “

Mungkin itu juga yang dirasakan Yesus saat mendengar permintaan Yakobus dan Yohanes—yang kisah selengkapnya ada di kedua bagian Injil di atas. Menariknya, ada perbedaan pada perikop yang akan menjadi fokus kita di artikel ini. Di Matius, kita mengetahui bahwa permintaan dua anak Zebedeus itu disampaikan oleh ibu mereka; sementara Markus justru mencatat mereka sendirilah yang meminta kepada Yesus.

Wait, permintaan apa yang dimaksud di sini?

“Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”
(Ibu Yakobus dan Yohanes, dalam Matius 20:21b)

“Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami! Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.”
(Yakobus dan Yohanes, dalam Markus 10:35, 37)

Mungkin bagi sebagian orang, permintaan tersebut menunjukkan bahwa mereka sedang “menjilat” Yesus agar bisa memperoleh kekuasaan yang tinggi di kerajaan-Nya kelak. Tidak heran kalau para murid yang lain jadi marah, tapi bisa juga itu karena mereka merasa “kalah cepat” dari kedua murid yang berada dalam inner circle Yesus ini. Tapi sebelum membahas lebih lanjut mengenai “jilat-menjilat” ini, kita perlu melihat konteks yang sedang terjadi pada saat itu.

Beberapa saat sebelumnya, Yesus berkata kepada mereka saat menuju ke Yerusalem:

’”Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.”
(Matius 20:18-19)

Tampaknya setelah mendengar pemberitahuan ketiga tentang penderitaan Yesus, Yakobus dan Yohanes berpikir bahwa di Yerusalem lah Sang Guru akan berkuasa. Padahal tidak. Kekuasaan yang dimaksud Yesus bukanlah tentang pembebasan dari penjajahan Romawi, tapi tentang diri-Nya yang mengalahkan maut bagi semua orang yang percaya kepada-Nya—meskipun harus melalui salib. Karena itulah, Yesus berkata kepada mereka, “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta.” Yesus tidak ingin para murid-Nya hanya berfokus kepada kekuasaan duniawi yang mereka dambakan, tapi melihat bahwa ada satu hal yang lebih penting dari itu: bersikap dan bertindak seperti yang dilakukan-Nya. Dia juga ingin agar mereka memberikan “warna” yang baru dalam berelasi dengan orang lain.

Yesus ingin agar para murid-Nya melayani, bukannya dilayani.

“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
(Matius 20:26b-28)

Ironisnya, sepertinya para murid tidak langsung memahami maksud Yesus ini. Mungkin saat memasuki Yerusalem dan melihat Sang Guru dielu-elukan seperti raja, ada juga yang justru bertanya-tanya, “Kapan Guru akan disalib? Lha wong orang-orang nyambut Dia kek gini! Bohong, ah!” Saya menduga alasan inilah yang membuat kisah mengenai penyembuhan dua orang buta dicatat oleh Matius setelah pengajaran melayani-bukan-dilayani itu (Matius 20:29-34). Matius ingin menunjukkan Yakobus dan Yohanes—yang adalah dua murid terdekat Yesus—ternyata tidak memahami kehadiran Sang Guru. Di sisi lain, dua orang buta itu justru tahu status-Nya sebagai Tuhan, Sang Anak Daud yang dijanjikan itu—sehingga mereka tidak asal bersikap. Bahkan mereka memohon belas kasihan Yesus agar Dia menyembuhkan kebutaan mereka. Well, mungkin dua orang itu buta secara fisik, tapi setidaknya mereka menyambut Yesus untuk mengubah hidup mereka sebelum Dia menyelesaikan misi-Nya di dunia. Ingat kan, dengan apa yang Yesus katakan saat Dia dan para murid-Nya menuju ke Yerusalem?

Pengajaran mengenai “bukan memerintah, namun melayani” ini perlu kita renungkan bersama. Kita tidak bisa melayani tanpa kasih; tapi saat kita mengasihi, di situlah kita digerakkan untuk melayani. Sayangnya, pelayanan yang Yesus inginkan bukan hanya soal aktif paduan suara di gereja, atau ikut kegiatan pemuridan di sana-sini, bahkan pergi mission trip ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Oke, ketiganya memang bukan sesuatu yang salah, Pearlians. Tapi dalam banyak kondisi, pelayanan kepada orang-orang terdekatlah yang kita abaikan. Mungkin mereka adalah keluarga kita sendiri, atau teman sekolah/kuliah maupun rekan kerja. Bahkan bisa saja ada juga orang-orang yang menyebalkan yang masuk ke dalam kriteria ini (sampai membuat kita ingin menundukkan mereka, mungkin?). Ironis, ya :(

Tidak seorangpun yang tahu persis seberapa dekat hubungan kita dengan Tuhan selain Dia dan diri kita sendiri. Tapi setidaknya, kita bisa menyimpulkan bahwa pengenalan pribadi dengan Tuhan akan membuat kita memandang pelayanan dengan lebih luas dan mendalam. Melayani orang lain bukanlah bentuk ketidakberdayaan, tapi justru bentuk kasih kita kepada orang lain, sekaligus ketaatan kepada Tuhan yang sudah memberikan teladan pelayanan itu kepada kita. Pertanyaannya, sudahkah kita memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh? Atau jangan-jangan… selama ini “pelayanan” kita hanya sebatas di permukaan saja tapi rasanya hambar karena tidak ada kasih di dalamnya?